A.S. Laksana
jawapos.com
LIMA minggu belakangan saya berkutat dengan kritik sastra, dan masih akan membicarakannya sampai minggu kedelapan bersama Martin Suryajaya, di kelas yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Ini kali pertama DKJ menyelenggarakan kelas kritik sastra; para pengurus Komite Sastra DKJ menganggap kritik sastra adalah urusan yang penting dan kelas semacam ini perlu diadakan.
Saya memiliki anggapan yang sama bahwa kritik sastra adalah hal yang sangat penting, dan tampaknya semakin tidak menarik minat orang untuk mengerjakannya. Ia mensyaratkan orang untuk membaca buku banyak-banyak, dan sebagian besar orang Indonesia membaca buku sastra secara tekun akan sama beratnya dengan memikul kerbau.
Dan, urusan itu akan terasa semakin berat ketika kesastraan kita tidak banyak melahirkan karya yang berkualitas dan layak dibicarakan. Bagaimanapun, kritik adalah sebuah bentuk apresiasi terhadap karya yang dihasilkan penulis. Artinya, subjek bagi kritik sastra semestinya adalah karya-karya yang secara teknis penulisan sudah tidak mengandung masalah.
Di negara-negara yang memiliki tradisi kesastraan yang lebih panjang dan lebih tua jika dibandingkan dengan Indonesia, orang bisa mendapatkan bahan yang berlimpah untuk dikaji. Dan dengan kecakapan teknis para sastrawan untuk mengolah karya mereka, para kritikus memiliki banyak pilihan untuk dibahas.
Karya-karya yang jelek tidak layak dikaji, kecuali karya jelek itu ditulis oleh nama besar dalam dunia kesastraan. Tidak untuk membantainya, tetapi demi mewakili harapan publik bahwa sebuah nama besar dari dunia kesastraan semestinyalah mempertanggungjawabkan nama besarnya dengan menghasilkan karya bermutu. Itu juga sekadar harapan. Sebab, tidak pernah ada larangan untuk menulis karya buruk.
Tetapi, ada atau tidak ada karya bagus, saya selalu menyukai dunia sastra karena ia selalu meriah. Apa saja bisa menjadi percakapan panjang, dan mungkin perdebatan seru. Pernah suatu saat saya terlibat percakapan dengan seorang teman yang memiliki kekhawatiran menyala-nyala terhadap menyusupnya kapitalisme dalam sastra.
Saya mendengarkan saja dan kemudian menanyakan apakah prinsip pasar bebas yang menjadi tulang punggung kapitalisme, menurut dia, akan mengakibatkan kehancuran kesastraan atau mengganggu praktik-praktik kesastraan yang kita jalani. Atau, hal itu akan mengotori medan sastra yang kita andaikan suci hama dan terbebas dari pengaruh-pengaruh uang –sesuatu yang dalam agama sering dicurigai sebagai akar dari semua kejahatan.
Dia tetap ngotot tidak setuju kapitalisme mengotori dunia sastra dan memberikan alasan-alasan yang sulit saya cerna. Pertama, saya tidak mendalami kapitalisme. Kedua, dia mungkin juga sama tidak pahamnya dengan saya.
Akhirnya saya hanya bisa menyampaikan bahwa ketika tidak ada lagi karya sastra yang ditulis dengan kesetiaan untuk mengikuti garis partai, sesungguhnya kita bisa mengatakan bahwa sastra tumbuh mengikuti jalan hidup kapitalisme dan menemui publiknya melalui jalur pasar bebas.
Tidak ada lagi satu kekuatan politik yang mengendalikan kesastraan. Tidak ada kekuatan pemaksa yang menentukan bahwa karya sastra harus memiliki berbagai anasir yang diperlukan untuk membangun sebuah masyarakat ke arah mentalitas tertentu atau dikerjakan demi mendukung perjuangan ideologi tertentu.
Dalam hal ini, sastra adalah sebuah produk yang dilempar ke pasar bebas serupa dengan hasil bumi dan batu akik serta barang-barang keluaran pabrik yang ditawarkan dengan segala macam teknik promosi. Maka, demi alasan perdagangan, kita menjumpai puji-pujian di sampul belakang buku.
Dan, sebagaimana batu akik dan lain-lain, ada karya sastra yang laku dijual, ada yang tidak. Di antara yang laku, sebagian karena nama penulisnya. Jadi, di pasar kesusastraan cukup lazim terjadi bahwa orang membeli karena menaruh kepercayaan terhadap nama penulis. Tidak berbeda dengan kecenderungan pada masyarakat kuno: orang membeli kepercayaan terhadap dukun.
Dalam iklim di mana industri-industri yang menopang kesastraan, yakni industri buku dan media massa, memutuskan bahwa sastra dan berbagai produk pemikiran tidak sanggup memenuhi selera pasar, ia tidak layak diproduksi. Mereka memegang kuat-kuat asumsi bahwa selera pasar adalah raja, seolah-olah apa yang dirumuskan sebagai selera pasar adalah sesuatu yang sudah jadi begitu saja dan mereka menggunakannya sebagai dalih untuk membuat keputusan apakah sesuatu layak diterbitkan atau tidak.
Dalam wilayah sastra, korban pertama dari prinsip selera pasar mungkin adalah puisi dan naskah drama. Akan sulit sekali bagi para penyair dan penulis naskah drama untuk mendapatkan penerbit besar yang bersedia menerbitkan karya-karya mereka.
Meskipun selera pasar adalah sebuah kebohongan, karena dalam praktiknya ia adalah selera yang dibentuk kaum pedagang, di antaranya melalui iklan dan promosi gencar, kita tidak bisa berbuat apa-apa ketika para pelaku bisnis perbukuan menolak menerbitkan karya-karya yang mereka pikir tidak akan dibeli orang.
Kita juga tidak bisa mengutuk mereka atau meminta mereka ikut membangun selera pasar yang lebih baik. Urusan membangun selera pasar perbukuan, menciptakan masyarakat yang gemar membaca karya bermutu, semestinya adalah urusan negara –melalui institusi pendidikan– dan bukan urusan para pedagang.
Di bawah penindasan rezim selera pasar inilah para pelaku kesastraan bergiat dalam situasi yang serupa dengan kehidupan kaum-kaum tersisih yang berebut remah-remah untuk mempertahankan hidup. Sesekali kita mendengar teriakan yang mencoba menentang apa yang mereka sebut arus utama. Sesekali kita mendengar suara kuat untuk menolak otoritas dan menghendaki adanya demokratisasi dalam sastra dengan menyerahkan penilaian baik-buruk sebuah karya kepada masyarakat.
Artinya, sastra atau bukan sastra biarlah masyarakat yang menilai. Apa yang lebih diterima oleh masyarakat itulah yang bisa disebut sastra, atau biarkan masyarakat menentukan sendiri karya sastra seperti apa yang mereka butuhkan.
Pada satu sisi, ini gerakan tampak heroik karena tujuannya melawan dominasi figur-figur kuat dalam sastra. Namun, kasus Andrea Hirata, yang dulu pernah didebat secara riuh, membuktikan bahwa para pelaku sastra sendiri tetap tidak rela menyerahkan penilaian kepada publik.
Artinya, gerakan-gerakan demokratisasi sastra, suara-suara untuk melawan otoritasi figur-figur kuat di dalam kesastraan, juga rentan menghadapi konflik dalam diri sendiri. Dia juga rentan disusupi kepentingan lain yang menggunakan kekuatan uang untuk mengacak-acak situasi. Orang bisa menggunakan kekuatan uangnya untuk mendapatkan pengakuan dari figur-figur yang dianggap otoritatif untuk memuji apa yang dia tulis, untuk menginformasikan kepada publik bahwa karyanya adalah sebuah inovasi dalam kesastraan.
Kurang lebih sama dengan produsen obat cacing membayar Christiano Ronaldo atau Lionel Messi sebagai bintang iklan, dan dia juga bisa menggunakan uang untuk memobilisasi dukungan dari massa, sama dengan politikus menjalankan politik uang untuk membeli suara kontituen.
Kelas kritik sastra juga seriuh itu, bukan ketika kelas berlangsung, tetapi ketika kami ngobrol-ngobrol setelah kelas. Beberapa kali ucapan Roland Barthes dikutip, yakni bahwa pengarang sudah mati dan posisinya digantikan oleh pembaca yang memiliki hak penuh untuk menafsirkan makna pada tiap-tiap karya yang dia baca. Namun, ada beberapa kasus yang membuktikan pernyataan Barthes tidak berlaku. Beberapa pengarang menolak mati. Mereka tegak di depan karya, marah terhadap kritik, dan memutuskan hubungan pertemanan di media sosial.
Saya selalu menyukai dunia sastra dan keriuhan yang muncul di dalamnya serta berbagai karakter yang terlibat di dalamnya. Mereka sangat menghibur. (*)
https://www.jawapos.com/read/2016/09/04/48887/dunia-sastra-dan-keriuhan-yang-menyenangkan
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar