Asep Salahudin *
Media Indonesia 17 Mei 2014
SESUNGGUHNYA dari karya sastra ada hal yang jauh lebih menarik ketimbang `kreasi’ kerumunan politisi yang bikin puisi penuh polusi. Puisi partisan sekadar berisi caci maki. Puisi jelek model seperti itu alih-alih dapat membersihkan ruang sosial yang kotor, justru menjadi bagian yang memberikan andil tergelarnya kegaduhan politik yang tidak bermutu.
Hal menarik itu tidak lain karena terlihat bagaimana karya sastra telah memberikan kontribusi besar dalam merumuskan nilai-nilai kepemimpinan dalam tema yang diusungnya. Sastra dalam titik tertentu dengan visi jelas meretas gagasan tentang `jalan’ yang sebaiknya dilalui agar bangsa dan kemanusiaan dapat keluar dari kemelut yang menderanya.
Kepemimpinan ternyata bukan hanya dipercakapkan dalam filsafat dan agama, melainkan juga sastra. Sastra sebagai sarana untuk menyucikan jiwa (Aristoteles), menggerakkan seseorang ke arah tindakan yang penuh tanggung jawab. Sastra bertautan dengan fungsi keindahan (beauty); fungsi kemanfaatan (benefit); dan fungsi kesempurnaan jiwa (spiritual perfection).
Karya sastra menawarkan terang kebenaran bukan sekadar khayalan yang berangkat dari ruang hampa kebudayaan. Sastra menggunakan bahasa sebagai media meneropong institusi sosial dan memotret kenyataan kemasyarakatan walaupun pada saat yang sama karya sastra juga melakukan peniruan alam dan dunia subjektif manusia (Wellek & Austin Warren, 1989).
Sastra menating gambaran manusia yang utuh. Termasuk berkaitan dengan kepemimpinan itu. Bagaimana manusia seharusnya memimpin dan bagaimana kepemimpinan itu mengalirkan keberkahan bagi khalayak. Sosok ideal pemimpin diimajikan sebagai manusia yang layak diteladani agar `kekuasaan’ kemudian membawa faedah kepada rakyat.
Manusia pergerakan
Maka tidak mengherankan jika manusia pergerakan dalam konteks kebangsaan ialah mereka yang berkarib dengan karya sastra bahkan tidak sedikit mereka ialah bagian dari kaum sastrawan. Hanya pemimpin yang akrab dengan literasi sastra yang bisa menulis `Indonesia’ ketika negara itu belum terbentuk. Seperti dilakukan Muhammad Yamin lewat Sumpah Pemuda. Begitu juga Tan Malaka, Hatta, Bung Karno, Agus Salim, Syahrir ialah sosok-sosok yang intens bergulat membaca karya sastra.
Dalam konteks dunia, kita dikenalkan sosok semacam Presiden Abraham yang terkenal banyak bikin puisi dan berkarib dengan penyair Walt Whitman. Sebut juga lainnya yang selalu membawa kitab sastra ketika mereka di medan juang semacam Vaklav Havel, Che Guevara, Pablo Neruda, Leopold Sedar Senghor, penyair dan pejuang Senegal.
Seperti ditulis Hendrawan Nadesul, ‘… efek puisi bukan cuma pada manajemen stres, melainkan juga bisa mencegah penyakit jantung dan gangguan pernapasan. Periset meneliti efek puisi dapat mengendurkan denyut jantung, dan irama napas jadi harmoni.’ (International Journal of Cardiology 6/9/2002). Dengan puisi, temperamen politisi pun mestinya bisa menjadi lebih jinak.
Bersastra dan berkesenian harus menjadi salah satu adonan dalam pembangunan karakter bangsa. Krisis multidimensi kita diperburuk dan diperpelik timpangnya pembangunan bangsa selama ini yang mendahulukan pembangunan sosok, tetapi mengabaikan pembangunan inner beauty bangsa. Pembangunan ekonomi mempercantik sosok bangsa, puisi, dan sastra membuatnya beradab. Termasuk menjadikannya elitis saat berpolitik (2004)’.
Kuasa dan kepemimpinan
Dalam sastra Jawa kuno seperti tergambarkan dalam Serat Rama, Serat Pustaka, Serat Paniti Praja, Serat Wulung Reh Serat Wedhatama (Suyami, Konsep Kepemimpinan Jawa dalam Ajaran sastra Cetha dan Brata, 2008) di sebutkan bahwa pemimpin itu harus menjadi panutan dan teladan, pelindung pertahanan dan ketahanan negara, pengayom, dan pemelihara kesejahteraan rakyat. Mpu Tantular memperkenalkan bineka tunggal ika yang membayangkan sikap lapang pemimpin dalam melihat keragaman.
Dalam Kekawin Ramayana diteguhkan ajaran Rama yang intinya menggambarkan pemimpin ideal itu. ‘Dan ia disuruh untuk menghormatinya, karena Ida Bhatara ada pada dirinya, delapan banyaknya berkumpul pada diri sang Prabhu, itulah sebabnya ia amat kuasa tiada bandingnya. Hyang Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, Agni, demikian delapan jumlahnya, beliau-beliau itulah sebagai pribadi sang raja, itulah sebabnya disebut Asta Brata’.
Hikayat Sri Rama yang memiliki kemiripan pesan moralnya dengan Wawacan Babad Timbanganten yang mengajarkan tujuh sifat ideal yang berkaitan dengan kepemimpinan kreatif, yaitu kearifan, keadilan, kasih, sifat-sifat lahiriah yang menarik, keberanian demi harga diri, dan pertapa (Ikram, 1980). Juga dapat kita temukan dalam Sanghiyang Siksa Kandang Karesian dan Amanat Galungguung dalam naskah Sunda Kuna.
Dalam Kitab Tajus Salatin karya Bukhari Al-Jauhari yang hidup masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah abad XVII disebutkan 10 syarat menjadi pemimpin yang baik, yakni; 1) dewasa, 2) berwawasan luas, 3) cermat memilih pembantu negara, 4) baik rupa dan elok akhlaknya, 5) dermawan, 6) mengingat kebaikan orang, 7) tegas dalam menegak kankebenaran, menegur yang keliru dan member hentikan jenderal sean dainya tidak patuh terhadap komando, 8) menjaga perut dengan tidak terlampau banyak makan, pesta, dan hura-hura, 9) memperlakukan perempuan dengan bijak/tidak gemar mempermainkan kaum hawa, 10) laki-laki dan atau perempuan jika tidak ada laki-laki yang memenuhi syarat.
Dalam karya sastra Indonesia, nilai-nilai kepemimpinan itu dapat kita baca dalam senarai karya Pramoedya Ananta Toer yang banyak menggambarkan tentang `manusia unggul’ dalam menghadapi berbagai gejolak kehidupan. Manusia dengan segala problematika dan kompleksitas permasalahan yang dihadapinya dan bagaimana sosok-sosok rekaannya itu keluar dari kemelut itu dengan penuh harga diri. Sebut saja misalnya dalam Korupsi, Arok Dedes, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Alhasil, setelah kita menyelenggarakan Pemilu 2014, agenda yang musti kita perhatikan selanjutnya ialah menentukan pemimpin nasional, baik presiden maupun wakil presiden yang akan menjadi nakhoda dari sebuah negeri kepulauan dengan penduduk 250 juta lebih. Harapannya, yang hadir bukan sekadar `penguasa’ yang dipilih berdasarkan koalisi politik dagang sapi, melainkan pemimpin kreatif yang dapat mengeluarkan bangsa dari sekapan masalah selama ini.
Sebab bagaimanapun juga pemimpin yang tidak kreatif pada gilirannya hanya akan menjadi pemantik bagi munculnya negara gagal. Menjadi awal bagi lahirnya `negeri angin’ seperti dalam cerita pendek M Fudoli Zaini, ‘… Negara yang miskin itu pun bertambah melarat dan morat-marit. Orang-orang kehilangan pekerjaan dan menjadi penganggur. Anak-anak putus sekolah dan berkeliaran di jalanan. Kejahatan jadi merebak bagai cendawan di musim hujan. Tak lama kemudian bukan hanya pencurian yang terjadi di mana-mana, tetapi juga perampokan; penjarahan, dan kerusuhan mulai meletus di setiap tempat’.
Asep Salahudin, Dekan Fakultas Syariah di IAILM Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat
https://cerpenmediaindonesia.wordpress.com/2014/05/17/sastra-dan-kepemimpinan-bangsa/
Media Indonesia 17 Mei 2014
SESUNGGUHNYA dari karya sastra ada hal yang jauh lebih menarik ketimbang `kreasi’ kerumunan politisi yang bikin puisi penuh polusi. Puisi partisan sekadar berisi caci maki. Puisi jelek model seperti itu alih-alih dapat membersihkan ruang sosial yang kotor, justru menjadi bagian yang memberikan andil tergelarnya kegaduhan politik yang tidak bermutu.
Hal menarik itu tidak lain karena terlihat bagaimana karya sastra telah memberikan kontribusi besar dalam merumuskan nilai-nilai kepemimpinan dalam tema yang diusungnya. Sastra dalam titik tertentu dengan visi jelas meretas gagasan tentang `jalan’ yang sebaiknya dilalui agar bangsa dan kemanusiaan dapat keluar dari kemelut yang menderanya.
Kepemimpinan ternyata bukan hanya dipercakapkan dalam filsafat dan agama, melainkan juga sastra. Sastra sebagai sarana untuk menyucikan jiwa (Aristoteles), menggerakkan seseorang ke arah tindakan yang penuh tanggung jawab. Sastra bertautan dengan fungsi keindahan (beauty); fungsi kemanfaatan (benefit); dan fungsi kesempurnaan jiwa (spiritual perfection).
Karya sastra menawarkan terang kebenaran bukan sekadar khayalan yang berangkat dari ruang hampa kebudayaan. Sastra menggunakan bahasa sebagai media meneropong institusi sosial dan memotret kenyataan kemasyarakatan walaupun pada saat yang sama karya sastra juga melakukan peniruan alam dan dunia subjektif manusia (Wellek & Austin Warren, 1989).
Sastra menating gambaran manusia yang utuh. Termasuk berkaitan dengan kepemimpinan itu. Bagaimana manusia seharusnya memimpin dan bagaimana kepemimpinan itu mengalirkan keberkahan bagi khalayak. Sosok ideal pemimpin diimajikan sebagai manusia yang layak diteladani agar `kekuasaan’ kemudian membawa faedah kepada rakyat.
Manusia pergerakan
Maka tidak mengherankan jika manusia pergerakan dalam konteks kebangsaan ialah mereka yang berkarib dengan karya sastra bahkan tidak sedikit mereka ialah bagian dari kaum sastrawan. Hanya pemimpin yang akrab dengan literasi sastra yang bisa menulis `Indonesia’ ketika negara itu belum terbentuk. Seperti dilakukan Muhammad Yamin lewat Sumpah Pemuda. Begitu juga Tan Malaka, Hatta, Bung Karno, Agus Salim, Syahrir ialah sosok-sosok yang intens bergulat membaca karya sastra.
Dalam konteks dunia, kita dikenalkan sosok semacam Presiden Abraham yang terkenal banyak bikin puisi dan berkarib dengan penyair Walt Whitman. Sebut juga lainnya yang selalu membawa kitab sastra ketika mereka di medan juang semacam Vaklav Havel, Che Guevara, Pablo Neruda, Leopold Sedar Senghor, penyair dan pejuang Senegal.
Seperti ditulis Hendrawan Nadesul, ‘… efek puisi bukan cuma pada manajemen stres, melainkan juga bisa mencegah penyakit jantung dan gangguan pernapasan. Periset meneliti efek puisi dapat mengendurkan denyut jantung, dan irama napas jadi harmoni.’ (International Journal of Cardiology 6/9/2002). Dengan puisi, temperamen politisi pun mestinya bisa menjadi lebih jinak.
Bersastra dan berkesenian harus menjadi salah satu adonan dalam pembangunan karakter bangsa. Krisis multidimensi kita diperburuk dan diperpelik timpangnya pembangunan bangsa selama ini yang mendahulukan pembangunan sosok, tetapi mengabaikan pembangunan inner beauty bangsa. Pembangunan ekonomi mempercantik sosok bangsa, puisi, dan sastra membuatnya beradab. Termasuk menjadikannya elitis saat berpolitik (2004)’.
Kuasa dan kepemimpinan
Dalam sastra Jawa kuno seperti tergambarkan dalam Serat Rama, Serat Pustaka, Serat Paniti Praja, Serat Wulung Reh Serat Wedhatama (Suyami, Konsep Kepemimpinan Jawa dalam Ajaran sastra Cetha dan Brata, 2008) di sebutkan bahwa pemimpin itu harus menjadi panutan dan teladan, pelindung pertahanan dan ketahanan negara, pengayom, dan pemelihara kesejahteraan rakyat. Mpu Tantular memperkenalkan bineka tunggal ika yang membayangkan sikap lapang pemimpin dalam melihat keragaman.
Dalam Kekawin Ramayana diteguhkan ajaran Rama yang intinya menggambarkan pemimpin ideal itu. ‘Dan ia disuruh untuk menghormatinya, karena Ida Bhatara ada pada dirinya, delapan banyaknya berkumpul pada diri sang Prabhu, itulah sebabnya ia amat kuasa tiada bandingnya. Hyang Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, Agni, demikian delapan jumlahnya, beliau-beliau itulah sebagai pribadi sang raja, itulah sebabnya disebut Asta Brata’.
Hikayat Sri Rama yang memiliki kemiripan pesan moralnya dengan Wawacan Babad Timbanganten yang mengajarkan tujuh sifat ideal yang berkaitan dengan kepemimpinan kreatif, yaitu kearifan, keadilan, kasih, sifat-sifat lahiriah yang menarik, keberanian demi harga diri, dan pertapa (Ikram, 1980). Juga dapat kita temukan dalam Sanghiyang Siksa Kandang Karesian dan Amanat Galungguung dalam naskah Sunda Kuna.
Dalam Kitab Tajus Salatin karya Bukhari Al-Jauhari yang hidup masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah abad XVII disebutkan 10 syarat menjadi pemimpin yang baik, yakni; 1) dewasa, 2) berwawasan luas, 3) cermat memilih pembantu negara, 4) baik rupa dan elok akhlaknya, 5) dermawan, 6) mengingat kebaikan orang, 7) tegas dalam menegak kankebenaran, menegur yang keliru dan member hentikan jenderal sean dainya tidak patuh terhadap komando, 8) menjaga perut dengan tidak terlampau banyak makan, pesta, dan hura-hura, 9) memperlakukan perempuan dengan bijak/tidak gemar mempermainkan kaum hawa, 10) laki-laki dan atau perempuan jika tidak ada laki-laki yang memenuhi syarat.
Dalam karya sastra Indonesia, nilai-nilai kepemimpinan itu dapat kita baca dalam senarai karya Pramoedya Ananta Toer yang banyak menggambarkan tentang `manusia unggul’ dalam menghadapi berbagai gejolak kehidupan. Manusia dengan segala problematika dan kompleksitas permasalahan yang dihadapinya dan bagaimana sosok-sosok rekaannya itu keluar dari kemelut itu dengan penuh harga diri. Sebut saja misalnya dalam Korupsi, Arok Dedes, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Alhasil, setelah kita menyelenggarakan Pemilu 2014, agenda yang musti kita perhatikan selanjutnya ialah menentukan pemimpin nasional, baik presiden maupun wakil presiden yang akan menjadi nakhoda dari sebuah negeri kepulauan dengan penduduk 250 juta lebih. Harapannya, yang hadir bukan sekadar `penguasa’ yang dipilih berdasarkan koalisi politik dagang sapi, melainkan pemimpin kreatif yang dapat mengeluarkan bangsa dari sekapan masalah selama ini.
Sebab bagaimanapun juga pemimpin yang tidak kreatif pada gilirannya hanya akan menjadi pemantik bagi munculnya negara gagal. Menjadi awal bagi lahirnya `negeri angin’ seperti dalam cerita pendek M Fudoli Zaini, ‘… Negara yang miskin itu pun bertambah melarat dan morat-marit. Orang-orang kehilangan pekerjaan dan menjadi penganggur. Anak-anak putus sekolah dan berkeliaran di jalanan. Kejahatan jadi merebak bagai cendawan di musim hujan. Tak lama kemudian bukan hanya pencurian yang terjadi di mana-mana, tetapi juga perampokan; penjarahan, dan kerusuhan mulai meletus di setiap tempat’.
Asep Salahudin, Dekan Fakultas Syariah di IAILM Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat
https://cerpenmediaindonesia.wordpress.com/2014/05/17/sastra-dan-kepemimpinan-bangsa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar