Senin, 31 Oktober 2011

Mimpi-mimpi Tokoh Tua

Mohamad Sobary
Kompas, 28 Nov 2010

APA istimewanya ’mimpi-mimpi’ para tokoh yang saat ini berusia lebih dari 78 tahun? Bagaimana mimpi itu diletakkan di lintasan kehidupan tiga zaman pergolakan yang meresahkan?

Perancang, sekaligus editor buku ini, memiliki asumsi dasar mengapa pemikiran tokoh-tokoh tua perlu dibukukan. Pertama, orang-orang yang mengalami banyak hal di zaman-zaman yang meresahkan itu dengan sendirinya bisa berbicara tentang banyak hal yang patut diabadikan dalam bentuk buku.

Kedua, tiga zaman yang panjang itu memberi endapan pengalaman—pahit, getir, dan manisnya—yang dihayati sebagai makna hidup yang tetap melekat dalam kenangan anak-anak yang saat itu masih remaja, belum terampil menghubungkan satu fenomena dengan fenomena lain. Mereka pun belum terlampau menyadari perlunya menempatkan makna hidup tadi ke dalam konteks politik kebangsaan yang lebih luas.

Meskipun begitu, mungkin sekali mereka telah memiliki ’mimpi-mimpi’ buat masa depan: mimpi akan kemerdekaan bangsa, mimpi akan kehidupan lebih adil, atau mimpi meningkatkan dunia pendidikan, setara dengan bangsa asing. Semua ini kemudian menjadi bahan penulisan buku yang berharga.

Ketiga, sesamar apa pun ’mimpi-mimpi’ masa lalu itu, ketika mereka menginjak dewasa, niscaya mampu menjalinnya dalam kenangan sejarah sebagai wujud mimpi-mimpi orang dewasa. Dalam pemikiran kebudayaan, mimpi di tahap itu disebut aspirasi kultural yang menandai komitmen atau kepedulian mereka sebagai warga negara. Dan kita tahu aspirasi kultural macam itu harus direkam sebagai wujud ’cita-cita’ kolektif kita, maupun sebagai bagian ’bangunan’ tradisi politik kita. Di atas landasan asumsi-asumsi dasar seperti inilah, kira-kira, buku Guru-guru Keluhuran ini ditulis.

Judulnya merupakan penghormatan terhadap para penulis, yang memang layak memperolehnya. Ada sejumlah penulis yang merasa judul itu terlalu tinggi buat mereka. Tapi, perasaan itu malah membuktikan lebih jauh keluhuran budi mereka sebagai tokoh masyarakat, yang ”seranting ditinggikan, dan selangkah didahulukan” seperti citra keluhuran budi Minangkabau.

Latar belakang para tokoh yang diminta menuliskan mimpi-mimpi mereka sangat menarik. Ada wartawan terkemuka, ada tokoh dunia pendidikan, psikolog, filsuf, sosiolog, sejarawan, ekonom, tokoh dunia bisnis, dan birokrat. Ada pula sastrawan yang mengabdi bangsa lewat dongeng dan dunia anak-anak. Semuanya para ’empu’ dalam dunia ilmu.

Tokoh-tokoh ini diminta mengungkapkan—sebagaimana dapat dibaca di sampul depan buku—”ketulusan, kerendahan hati, dan penghayatan” atas pengalaman dan harapan tentang Indonesia merdeka. Beberapa dari tokoh ini menulis, bahwa di masa itu—ketika masih remaja—mereka belum memiliki gagasan politik keindonesiaan yang jelas sosoknya, seperti sudah diduga sebelumnya.

Tapi, kini, di usia di atas 78 tahun, para tokoh kita ini bermimpi mengenai Indonesia yang lebih baik, seperti impian kita semua. Karena mereka tahu, tata kelola pemerintahan kita berlangsung tidak berdasarkan suatu perencanaan yang ideal, dan berwawasan, melainkan hanya menyambung rutinitas yang telah ada. Dan kita tahu, rutinitas itu bagian yang kita kritik, kita keluhkan dan harus ditingkatkan, tapi kita tak melihat peningkatan itu.

Indonesia masa depan

Indonesia yang ’lebih baik’ itu merupakan aspirasi warga negara yang menaruh peduli, dengan kesungguh-sungguhan pribadi memikirkan nasib bangsa di masa depan. Di balik buku ini, ada gagasan besar yang memiliki perspektif masa depan yang jauh. Ini adalah buku antropologi politik yang menarik dan kaya detail pemikiran dan latar belakang daerah. Ditulis dari sudut pandang pribadi dan unik. Namun, karena latar belakang penulis semuanya kelas menengah perkotaan, terasa cita rasanya elite. Beberapa bahkan terlalu elitis: sibuk ’berkaca’ di dalam lapisan sosialnya, dan lupa akan lapisan sosial lain. Mereka lebih mewakili potret Indonesia, yang mewajibkan tiap anak—atau kita semua—bermimpi dan berharap–terwujudnya Indonesia yang lebih baik.

Tampaknya buku ini sedang berbicara mengenai tanda-tanda zaman—mungkin akhir zaman—yang membuat kita merasa risau, gundah, dan kecewa sehingga kita harus berbicara mengenai Indonesia yang ’lebih baik’ sebagai tema sentral.

Kapan lahir buku sejenis yang khusus memotret ’impian’ lapisan sosial bawah, yang masih tertindas, untuk ’bermimpi’ kebebasan—juga kebebasan ekonomi—yang membuat mereka merasa sebagai warga negara terhormat? Dan kapan kita selesai bermimpi?

Mohamad Sobary, Budayawan
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/11/buku-mimpi-mimpi-tokoh-tua.html

Kritik tanpa subyektivitas

Subagio Sastrowardoyo
http://majalah.tempointeraktif.com/
MITOS DAN KOMUNIKASI
Umar Junus
Sinar Harapan, Jakarta 1981,
237 halaman

KRITIK sastra modern cenderung kehendak bersifat ilmiah. Unsur subyektif di dalam penghayatan karya sastra, seperti kesan dan citarasa pribadi, sebanyak mungkin hendak dihindari. Cita-citanya kini adalah mendapatkan metode penelitian, ukuran penilaian, ketepatan peristilahan serta kesimpulan pemikiran yang dapat dipertanggungjawabkan kepada penalaran yang bisa berlaku secara umum.

Strukturalisme dan semiotik yang dianut Umar Junus dalam bukunya Mitos dan Komunikasi adalah teori mutakhir dalam kritik sastra yang berkembang di Eropa, khususnya di Prancis. Kedua teori itu mula-mula berdasarkan penglihatan linguistik (ilmu bahasa) dengan metode analisa, yang diterapkan kemudian pada bidang antropologi, psikoanalisa, senirupa, senimusik, dan akhirnya pada kesusastraan.

Strukturalisme itu berusaha mengungkapkan hubungan-hubungan dalam yang memberikan bentuk dan tugas pada berbagai bahasa. Yang menjadi pokok perhatian adalah struktur bahasa-struktur dalam arti kombinasi dan relasi unsur-unsur formal yang menunjukkan pertautan yang logis pada sesuatu obyek.

Dilupakan Sejarah Pada lapangan yang lebih luas, para sarjana strukturalisme hendak meletakkan dasar bagi yang disebutnya semiotik, ilmu tanda-tanda. Ilmu ini tidak hanya bertalian dengan bahasa saja sebagai sistem tanda-tanda. Tetapi juga dengan sistem tanda-tanda lainnya, yang dipakai dalam antarhubung atau komunikasi manusia. Juga mitos yang menjadi sasaran perhatian antropologi, dan dipergunakan Umar Junus sebagai istilah pengertian di dalam sastra, menjadi obyek penelitian semiotik.

Umar Junus adalah seorang linguis yang berkecimpung dalam bidang penelitian sastra. Dengan mempergunakan asas penglihatan dan metode pendekatan strukturalisme dan semiotik, kesimpulan-kesimpulan yang diperolehnya dari penyelidikan kesusastraan modern Indonesia tidak boleh dikatakan tidak menarik. Kesadarannya akan obyektivitas yang didasarkan pada segi formal tampak pada penggunaan tabel perbandingan serta perhitungan persentase gejala sastra yang ditemukan.

Bagan dan grafik yang bercorak ilmu pasti itu diakuinya sendiri telah menjadi trade mark baginya. Di samping pada cara dan bentuk pendekatan yang obyektif-matematis itu, kesimpulan-kesimpulan Umar Junus berpangkal pada asas sastra yang umum, yang boleh dikata sudah pasti baginya: sastra modern selalu membarui dirinya (hal. 9) kenyataan dalam karya sastra adalah otonom dan terlepas dari kenyataan dalam kehidupan sehari-hari (hal. 198) karya sastra pada dasarnya adalah mitos (hal. 92) perubahan sastra baru memperlihatkan kekuatannya bila dihubungkan dengan perubahan sosio-budaya (hal. 160).

Dari asas-asas yang sebenarnya berkait-kaitan itu ditemukannya nilai pada karya Armin Pane Belengu, roman yang menurut pendapatnya cenderung dilupakan sejarah. Roman itu telah memperlihatkan style individu, yang menyatukan pemikiran yang disampaikan dengan strukturnya. Kedudukannya sejajar dengan karya Iwan Simatupang dan Putu Wijaya pada tahap perkembangan yang kemudian, yang juga menyesuaikan struktur karangan dengan konsep pikirannya tentang masyarakat yang dianggap kacau dan penuh misteri. Karya-karya mereka tidak melanjutkan tradisi tukang cerita dengan teknik yang tidak ada hubungan fungsionalnya dengan keseluruhan dan hakikat cerita.

Dalam roman Atheis Achdiat K. Miharja dan Maut dan Perangnya Mochar Lubis misalnya, teknik — oleh Umar Junus disebut senapas dengan istilah struktur — hanya semata-mata hiasan. Umar Junus cenderung memuji keberhasilan karya Iwan Simatupang dan Putu Wijaya dalam bentuk roman dan drama. Dan karya Sutardji Calzoum Bachri dalam bentuk puisi. Yang ketiga-tiganya, tidak membawa pengertian yang jelas.

Dijelaskan juga oleh Umar Junus karya Iwan, Putu dan Sutardji adalah suatu gejala modern Indonesia, yang “lebih memperlihatkan perjuangan sia-sia dari pribadi untuk mendapatkan kemerdekaannya, karena dominasi keadaan tertentu yang penuh dengan misteri.” (hal. 175). Cakap juga kesimpulan yang ditarik Umar Junus dari tanggapan kekuasaan misteri di dalam masyarakat itu.

Karena tidak mungkin mengadakan komunikasi dengan kekuatan misteri, karya-karya mereka pun tidak komunikatif. Sedang kata-kata yang mereka pergunakan tak punya arti, kehilangan arti nominalnya. Masih bertalian dengan pandangannya, bahwa kenyataan di dalam karya sastra bukan kenyataan atau realitas yang kongkrit, maka dikatakan oleh Umar Junus, bahwa cerita di dalam sastra adalah mitos. Maksudnya, “generalisasi dari suatu ‘peristiwa’ yang dianggap terjadi, dan dianggap akan selalu terjadi” (hal. 95).

Realisme yang melekatkan kesusastraan kepada realitas yang kongkrit sebenarnya mitos juga. Yang terjadi dalam perkembangan dari romantisme ke realisme adalah pergantian mitos lama dengan mitos baru. Dalam sejarah terdapat penolakan terhadap tradisi mitos yang mendahuluinya. Proses demikian kita lihat pada sastra modern yang selalu membarui dirinya.

Buku Umar Junus ini berharga sebagai uraian kritik sastra modern Indonesia yang berpangkal pada asas teori strukturalisme dan semiotik. Yang menarik adalah pengungkapan aspek-aspek baru dalam roman Belenggu yang ditinjaunya dari sudut pertentangan tradisi dan modern, realitas dan mimni. Demikian pula bab-bab mengenai perkembangan mutakhir sastra Indonesia yang dilihatnya dari tiadanya komunikasi dengan masyarakat, merupakan halaman yang tidak boleh diabaikan. Tapi tak ada gading yang tak retak, memang. Pandangan sastra Umar Junus, menurut selera saya, terlalu mutlak dan tegang.

Kesan saya waktu membaca buku ini, ialah bahwa saya berhadapan dengan seorang peneliti sastra yang terlalu kaku berpegang pada teori yang dianutnya. Selaku seorang penganut agama yang terlalu fanatik berpegang pada dogma-dogmanya. Hal itu terutama tampak pada bab pertama yang berjudul Teori Sastra dan Kreativitas Sastra Dalam bab itu dengan nada angkuh dan lagak, ia mengesampingkan hasil pendekatan kritikus lain sebelumnya, seperti Teeuw, Boen Oemarjati dan Hutagalung. Dilontarkan cemoohannya kepada usaha-usaha mereka yang gagal dan sia-sia, yang dikiranya menyandarkan kritik mereka pada filologi.

Ketegangan Pendapat Kemutlakan pandangan itu terbukti juga pada pernyataannya, bahwa sastra modern selalu membarui dirinya. Pernyataan itu sudah tidak bersifat deskriptif lagi berdasarkan pengamatan obyektif pada perkembangan yang ada, tetapi lebih bersifat preskriptif, seakan-akan harus demikian adanya. Karena ketegangan pandangan, Umar Junus cenderung tidak menyadari kontradiksi-kontradiksi pada pendiriannya.

Misalnya, dinyatakannya bahwa ia tidak setuju dengan pembagian sastra dalam angkatan-angkatan. Tetapi pembagian berdasarkan style puisi pada masa sebelum Chairil Anwar, pada Chairil dan pada Sutardji tidak lain dari perbedaan angkatan juga yang disangkutkan pada nama penyair (hal. 34). Demikian juga waktu dicelanya anggapan, bahwa kritik sastra kita hanya tentang sastra modern dan sastra modern kita adalah sesuatu yang dipengaruhi Barat (hal. 16, pada halaman berikutnya ia mengatakan, bahwa “kita tidak mungkin melepaskan diri dari perkembangan teori penyelidikan sastra di Barat.”

Saya kira, ketegangan dan kemutlakan pandangan itu disebabkan oleh metode penelitian Umar Junus. Ia berpegang pada teori yang diperoleh orang lain, yang sebenarnya masih banyak mengandung masalah yang ia tidak bersedia menghadapinya secara kritis. Proses sebaliknya mungkin sekali akan lebih berhasil: dengan bekal asas-asas ilmu keterbukaan hati serta kepekaan rasa menelaah dan mengritik karya-karya sehingga kita sampai kepada teori sastra sendiri.

_______18 Juli 1981
Dijumput dari: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1981/07/18/BK/mbm.19810718.BK51149.id.html

Sejarah dalam Kulit Bawang

Afrizal Malna
http://majalah.tempointeraktif.com/

Pada awal 1980-an demonstrasi perdamaian marak di Jerman. Warga menentang keputusan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang menerima penempatan 572 misil Pershing II Amerika Serikat di lima negara Eropa Barat. Tak tanggung-tanggung, Heinrich Boll dan Gunter Grass (keduanya pemenang Nobel Sastra) ikut turun ke jalan. Dua Nobelis ini berpidato tentang tanggung jawab moral Jerman sebagai penyebab pecahnya dua perang dunia.

Dua puluh lima tahun kemudian, 1 September 2006, meluncurlah otobiografi Gunter Grass: Beim Haut der Schwiebel (Pada Kulit Bawang). Sebuah pengakuan mengejutkan disampaikan Grass dalam buku itu. Pada suatu saat, katanya, dia pernah menjadi pasukan Waffen-SS, yakni pasukan elite yang kejam milik Hitler-Nazi. Dunia terperangah!

Kehidupan Dami N. Toda di Jerman, sejak awal hingga akhir sebagai pengajar di Lembaga Studi Indonesia dan Pasifik Universitas Hamburg, ditentukan oleh dua peristiwa itu. Dami mulai mengajar sejak 1981. Dan pada 10 November 2006 dia meninggal dunia di Leezen. Sebelumnya dia koma sejak September lalu.

Kedua peristiwa di atas terekam dalam kehidupan intelektual Dami N. Toda. Yang pertama dinyatakannya dalam sebuah diskusi pada Oktober 2003, di Hamburg. Dan yang kedua dalam tulisannya di harian Kompas, 17 September 2006. Mungkin inilah tulisan terakhir dia sebelum kematian merenggutnya.

Saya mengenal Dami sebagai seorang penyair sejak akhir 1970-an. Puisi-puisinya sarat ungkapan teologis dan mitologi Yunani. Kegelisahan teologisnya itu, saya kira, ikut mendorongnya untuk hidup di Jerman-berada langsung di sebuah negeri yang sebagian besar kaum intelektualnya pernah menyatakan “tuhan telah mati”, sementara 95 persen rakyat Jerman masih memeluk agama. Kegelisahan teologis yang juga berkali-kali muncul dalam kehidupan intelektualnya.

Dia menulis puisi, tetapi berbagai analisis sastranya jauh lebih memikat. Saut Situmorang, penyair, menempatkan Dami N. Toda sebagai kritikus sastra Indonesia yang sejajar dengan H.B. Jassin, Umar Junus, Subagio Sastrowardoyo, dan Boen S. Oemarjati.

Kehadiran Dami dalam kritik sastra Indonesia seperti antitesis bagi konstruksi sastra Indonesia yang dihasilkan H.B. Jassin. Dami menolak konstruksi sastra Indonesia dalam perspektif tunggal yang dihasilkan sarjana-sarjana sastra lulusan Belanda. Menurut dia konstruksi sastra itu telah direduksi ke dalam sejarah Indonesia modern, yang juga merupakan konstruksi kolonial.

Konstruksi itu tidak bisa dipotong dari genesis kulturalnya. Dami mencoba menawarkan “estetika bahari” sebagai alternatif, dan menelusuri kembali perjalanan kebudayaan Melayu hingga Manggarai (Flores, NTT), yang juga menjadi tempat kelahirannya pada 20 September 1942.

Saya kembali bertemu Dami beberapa kali pada awal 1990-an di Hamburg. Saat itu dia sudah bekerja sebagai pengajar. Ia sempat memberi saya sebuah topi musim dingin. Bentuk topi itu sering mengingatkan saya pada sebuah teropong milik anaknya, di apartemennya di Hamburg. Teropong yang acap digunakan untuk melihat dunia luar lewat balkon apartemennya. Dan, Dami tersenyum-sebuah senyum dari ensiklopedia yang tak pernah tidur.

Dan burung-burung nazar menemukan mayat kita, tersusun dalam kornet ensiklopedia, entah di delta benua mana, tulis Dami dalam salah satu puisinya.

Selamat jalan, Dami….

Danke untuk semua kebaikanmu. Sejarah seperti bermain dalam spasi antara kulit bawang dan isinya. Mata kita akan pedas bila mengupasnya.

___________________20 Nov 2006
Afrizal Malna Penyair, tinggal di Yogyakarta

Kolase genit sastra indonesia

Sapardi Djoko Damono
http://majalah.tempointeraktif.com/
DARI PERISTIWA KE IMAJINASI: WAJAH SASTRA DAN BUDAYA INDONESIA
Oleh: Umar Junus
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1983, 175 halaman

DUA puluh karangan dalam bunga rampai ini bisa dianggap benar-benar mewakili penulisnya, setidaknya dalam gaya bahasa dan cara berpikir. Anak judulnya, Wajah Sastra dan Budaya Indonesia, mencerminkan perhatian pengarang yang luas, meski sebenarnya pokok bahasan Umar Junus adalah sastra.

Umar Junus memang pengarang yang subur, dan mungkin yang paling banyak menulis dan menyiarkan karyanya di antara pengamat sastra Indonesia dewasa ini. Kesuburan itu membuktikan kecekatannya mengajukan masalah, dan sekaligus ketergesaannya menarik kesimpulan- atau kadang merumuskan persoalan.

Karangan dalam buku ini dibagi menjadi tiga bagian: Bagian I, “Realitas dan Imajinasi”, Bagian II, “Karya Sastra dan Pembaca”, dan Bagian III, “Hakikat Suatu Karya”. Untuk kumpulan karangan ini, Taufik Abdullah menulis sebuah kata pengantar – karangan yang justru paling menarik dalam bunga rampai ini.

Dalam pengantarnya, Taufik berusaha sebaik mungkin merumuskan pokok pikiran karangan Umar Junus usaha ini merupakan hal yang tidak mudah. Sebab, Umar Junus adalah seorang pengamat sastra yang gaya tulisannya khas memiliki “kenakalan”, “kesombongan”, dan “kegenitan” – meminjam istilah yang dipakai Taufik Abdullah.

Dalam hubungan ini, perlu dicatat bahwa Taufik memberikan nilai positif terhadap ketiga pengertian itu. Jumlah halaman yang hanya 175 untuk 20 karangan menunjukkan bahwa pokok pikiran Umar Junus hanya sempat diuraikan dalam karangan yang ringkas.

Ringkasnya karangan itu sangat terasa karena sebenarnya pengarang berusaha menunjukkan – dan meyakinkan pembaca – hal-hal baru sehubungan dengan teori mutakhir tentang sastra. Bagaimanapun juga – terutama kalau kita memasukkan “jenis” pembaca di Indonesia ke dalam pertimbangan kita – hal-hal “baru” seperti yang disampaikan oleh Umar Junus dalam bukunya membutuhkan ruang lebih luas untuk menjelaskannya.

Dalam ruang sempit, yang berupa karangan ringkas, tentu pelbagai konsep yang diajukan Umar Junus menjadi berdesak-desak. Dan banyaknya konsep dalam ruang sempit memberikesan pikiran yang meloncat-loncat. Karangan yang berjudul “Maka Terjadilah Sebuah Collage” bisa dipergunakan sebagai contoh. Karangan ini, yang menghabiskan 12 halaman, merupakan usaha yang sungguh-sungguh untuk menjelaskan novel Putu Wijaya, Stasiun.

Untuk menunjukkan bahwa Stasiun merupakan kolase, Umar Junus memulai karangannya dengan serentetan nama, kutipan, serta konsep pengamat dan budayawan Barat. Penyebutan tersebut menyebabkan karangan itu terasa meloncat ke sana kemari. Bagaimanapun, ruang yang begitu sempit tidak akan bisa dipergunakan sebaik-baiknya untuk menjelaskan konsep-konsep yang susul-menyusul.

Loncatan-loncatan itu juga terasa karena tampaknya konsep tersebut tidak disusun secara bertahap. Semacam kolase saja. Masalahnya, karena yang disampaikan Umar Junus itu merupakan semacam pembelaan bagi teknik Putu, maka ia harus bisa meyakinkan pembaca. Barangkali benar bahwa Stasiun adalah kolase – suatu hal yang sudah diuji Umar Junus lewat serangkaian konsep sastra dan kesenian mutakhir. Namun, tentu tidak seharusnya pembelaan itu berbentuk kolase konsep pula.

Perlu ditekankan lagi bahwa Umar Junus adalah pengamat yang subur. Barangkali situasilah yang menyebabkan kesuburan itu menghasilkan karangan ringkas semacam yang dikumpulkan dalam bunga rampai ini. Hal itu tidak begitu menguntungkan. Sebab, pada dasarnya, pelbagai masalah yang diajukan pengarang menuntut ruang lebih luas. Bukan suatu kebetulan bahwa karangan yang relatif panjang dalam buku ini seperti “Unsur Luar dalam Novel Indonesia”, “Anakronisme dalam Karya Sastra”, dan “Puisi yang Mantra di Indonesia: Suatu Interpretasi”, merupakan yang paling berharga.

Mungkin Profesor Teeuw benar, pendekatan Umar Junus ini memberi ‘harapan bagi kritik sastra Indonesia. Namun, agar harapan itu terkabul, Umar Junus masih harus menyeleksi pendekatan dan peralatan kritik yang paling dikuasainya, dan kemudian mencobakannya dalam karangan yang (jauh) lebih panjang – yang ditulis dengan lebih tenang, dan dalam gaya yang tidak terlalu melelahkan.

____________________05 November 1983
Dijumput dari: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1983/11/05/BK/mbm.19831105.BK45052.id.html

Sabtu, 29 Oktober 2011

DAMPAK LICENTIA POETICA BERNAMA “KREDO PUISI” TERHADAP EKSISTENSI BAHASA

Hadi Napster
http://sastra-indonesia.com/

Pada tanggal 02 Oktober 2011 yang lalu, tepatnya pukul 20:08 WIB, di Grup Komunitas Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM), terjadi satu interaksi sangat menarik dengan tema pembahasan “licentia poetica” dalam sebuah diskusi yang diawali oleh posting Dimas Arika Mihardja (DAM) melalui tulisan:

Jumat, 28 Oktober 2011

Dami N. Toda sebagai Kritikus Sastra

Yohanes Sehandi *
harian Pos Kupang, 23 Juni 2010

Sejak Dami N. Toda meninggal dunia 10 November 2006 di Hamburg (Jerman) sampai dengan pengantaran abu jenazahnya ke Indonesia/NTT, Oktober 2007, sejumlah koran nasional dan lokal NTT (Pos Kupang dan Flores Pos), memberitakannya. Wartawan Pos Kupang di Manggarai, Kanis Lina Bana, merekam kembali perjalanan hidup almarhum dan menghasilkan tiga tulisan berseri di Pos Kupang (25-27/10/2007). Dua penulis muda NTT, Bill Halan (Pos Kupang, 1/11/2007) dan Isidorus Lilijawa (Flores Pos, 24/10/2007) memberi sumbangan “opini sastra” tentang Dami N. Toda beserta jasa-jasanya. Semakin semarak berita tentang almarhum dengan kehadiran sastrawan besar Indonesia, WS Rendra, yang memberi kesaksian tentang kehebatan Dami N. Toda, juga ikut mengantarkan abu jenazah almarhum ke Kupang terus ke Todo-Pongkor, Manggarai, untuk disemayamkan di tempat peristirahatannya yang terakhir (Pos Kupang, 12, 16, 17, 19, 21/10/2007, dan Flores Pos, 16, 19/10/2007).

Kebenaran yang Kalah dalam “Rintrik” Cerpen Danarto

Ahmad Suyudi *
Harian Jayakarta, 2 Maret 1989

Sebuah karya sastra merupakan suatu ekspresi estetis yang lahir dari jiwa pengarangnya. Ekspresi estetis ini lahir disebabkan oleh adanya impuls internal sebagai akibat adanya impuls eksternal pengarangnya. Oleh karenanya isi dari suatu karya sastra biasanya tidak jauh dari realitas-realitas yang ada di dalam kehidupan masyarakat di mana pengarang tersebut berada. Fenomena dan peristiwa-peristiwa yang ada atau terjadi di dalam kehidupan manusia terbaca oleh kepekaan hati dan pikiran pengarang dan terserap ke dalam batin/jiwanya. Kemudian secara imajiner, fakta-fakta itu diolah (melalui proses fictionality) dan hasilnya suatu cerita rekaan yang tidak jauh dari kenyataan hidup yang ada. Maka dapat pula dikatakan, bahwa karya sastra merupakan hasil rekaman pikiran pengarang yang dituangkan kembali ke dalam bentuk lain setelah terlebih dahulu mengalami proses fiksionalisasi.

Akan tetapi ada pula pengarang tertentu yang secara sengaja membuat tokoh-tokoh imajiner di dalam cerita rekaannya. Tokoh-tokoh tersebut sebenarnya tidak ada di dalam realitas formal. Tokoh-tokoh yang diciptakannya hanya merupakan simbolisasi-simbolisasi dari sifat-sifat manusia dalam kehidupan, atau bisa juga simbolisasi dari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Para pengarang seperti Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Danarto, dan Arifin C. Noer, adalahbeberapa pengarang yang ingin mengembalikan realitas sastra kepada keadaan yang murni, yakni realitas imajiner. Sastra harus dibebaskan dari monotoni kesemuan dan perangkap realitas formal (Dami N. Toda, Hamba-Hamba Kebudayaan). Jadi seperti sifat dari karya sastra itu sendiri, sastra adalah karya tulis yang bersifat khayali.

Demikian yang terjadi di dalam cerpen karya Danarto yang judulnya tidak menggunakan kata/frase atau kalimat gramatikal, melainkan sebuah gambar jantung yang tertusuk anak panah dan meneteskan darah. Tokoh Rintrik di dalam cerpen ini adalah simbolisasi dari bawah sadar manusia. Setting tempat maupun waktu pun di dalam cerpen ini boleh dikatakan unik, tidak terikat oleh sebuah keterangan waktu maupun tempat layaknya setting yang terjadi pada realitas formal. Seperti pada cerpen-cerpen yang lain, Danarto menempatkan tokoh-tokoh pelakunya yang bersifat imajiner itu pada setting yang sulit untuk diketemukan/diketahui di mana letaknya di muka bumi ini. Di situlah cerita itu terjadi, segala macam fenomena dan peristiwa-peristiwa berlangsung dan mengalir. Dapat saja disebut di barat, dapat pula di timur, atau utara atau di selatan. “… saya merasa tidak pernah terikat oleh tempat. Apalagi yang disebut Barat dan Timur. Saya menganggap Barat dan Timur itu tidak ada.” (Danarto: Jelmaan Ruang dan Waktu yang disusun oleh Pamusuk Eneste dalam “Proses Kreatif”).

Di dalam cerpen “Rintrik” (judul sebenarnya berupa sebuah gambar jantung tertusuk anak panah dan meneteskan darah. Untuk selanjutnya penulis menyebutnya cerpen “Rintrik”, mengacu kepada nama tokoh protagonis), kita dihadapkan kepada tokoh ”Rintrik” yang didiskripsikan sebagai seorang perempuan tua yang buta. Tokoh “Rintrik” adalah seseorang yang memiliki keagungan budi dan kekuatan iman. ”Rintrik” merupakan simbolisasi dari nilai-nilai kebenaran yang dalam kodratnya harus berhadapan bahkan berperang melawan kebatilan. Itulah yang ingin diungkapkan oleh pengarangnya di dalam cerpen tersebut.

Kehadiran ”Rintrik” di lembah tempat pembuangan bayi-bayi manusia yang baru dilahirkan itu diibaratkan sebagai kedatangan seorang nabi atau rasul utusan Tuhan yang mengemban tugas untuk membebaskan dan memperbaiki budi manusia yang bobrok. Ia sekaligus menjadi gambaran seseorang yang membawa nilai-nilai kebenaran di dalam dirinya.

Kehadiran ”Rintrik” sebagai simbol kebenaran yang betarung menghadapi kebatilan oleh Danarto digambarkan melalui keberadaan lembah yang pada mulanya dahulu merupakan tempat yang memiliki keindahan dan menakjubkan luar biasa, telah berubah menjadi tempat yang buruk, angker, dan menyeramkan. Lembah yang semula menjadi tempat tujuan orang untuk berplesiran dan berhibur dari kepenatan hidup sehari-hari, kini menjadi ajang tempat pembuangan bayi-bayi hasil perbuatan keji manusia. Nilai-nilai kebatilan tergambar jelas dan utuh melalui tokoh Pemburu, sebagai antagonis di dalam cerpen ini, dan secara tersirat melalui kebejatan moral orang-orang kota yang membuang bayi-bayi hasil perbuatan mesum mereka ke lembah itu.

Keberadaan ”Rintrik” yang buta tidak lagi merupakan keberadaan manusia. Eksistensinya telah melampui batas eksistensi manusia biasa, bahkan nabi dan rasul sekali pun.

Membaca cerpen ”Rintrik” kita disuguhi suatu kehidupan realitas imajiner, yang begitu cepat berganti antara dunia nyata dan dunia surealis, yakni bukanlah kehidupan yang benar-benar riil yang berpijak di dunia nyata. Realitas-realitas yang tercipta di dalamnya lebih menyerupai suasana dalam impian. Seperti apa yang diungkapkan pula oleh Dr. Umar Kayam: “Danarto nyaris secara langsung memberitahu dan mengajak kita untuk masuk ke dalam dunia yang memang bukan dunia manusia kita sehari-hari. Bukan dunia fana seperti yang kita kenal, tetapi juga bukan dunia yang mutlak baka. Bukan dunia riil tetapi juga bukan yang sepenuhnya abstrak. Seringkali suasana itu adalah suasana sonya ruri yang mengambang, sunyi, mengerikan, di mana sosok manusia itu tidak jelas identitasnya, asal-usulnya, dan status hidupnya.” (Umar Kayam, Pengantar Buku Kumpulan Cerpen “Berhala” karya Danarto)

Realitas imajiner seperti itu tidak hanya terjadi pada cerpen ”Rintrik”, melainkan juga pada beberapa cerpen lain karya Danarto. Cerpen “Godlob”, “Armegedon”, “Kecubung Pengasihan”, “Sandiwara Di Atas Sandiwara”, adalah contoh cerita dengan setting di mana saja. Fenomena-fenomena di dalam cerpen Danarto dapat berlaku dan terjadi di mana saja. Setting pada “Godlob” misalnya, dapat saja terjadi di semua peperangan yang ada di muka bumi ini. Atau taman bunga tempat hidup dan bercengkerama si Perempuan Bunting yang dapat mempertahankan hidup dengan menyantap bunga-bunga yang pada menawarkan diri untuk dimakannya, dan juga kolong jembatan yang selalu dijadikan mesjid dan gereja tempat sembahyang Perempuan Bunting (dalam cerpen :“Kecubung Pengasihan”), ada di mana saja, di kota mana saja, di negara mana saja. Atau juga padang tandus dalam cerpen “Armegedon”, sulit bagi kita untuk mengetahuinya di mana tempat-tempat itu berada di atas muka bumi ini.

Nilai yang Kalah

Seperti dijelaskan tadi tokoh “Rintrik” yang buta merupakan simbolisasi dari kebenaran yang harus mengalami kekalahan oleh kebatilan. Di dalam cerpen ini dikisahkan “Rintrik” harus menerima kematiannya di ujung peluru sang pemburu.

Para penduduk di sekitar lembah tempat pembuangan bayi-bayi merupakan lambang bagi keberhasilan nilai-nilai kebenaran mengambil simpati manusia. Layaknya para pengikut nabi dan rasul yang berhijrah menuju kebenaran hidup, menuju hidayah dari Yang Maha Kuasa. Hal ini seperti dikatakan sendiri oleh Danarto, bahwa terkandung di dalam cerpen ini suatu ma’rifat dan hikmah ke-Tuhan-an yang diimpi-impikan oleh para rasul, dan nabi, para sufi, dan wali.

Perempuan berhati lembut dan berbudi agung bernama “Rintrik” itu juga melambangkan seorang manusia yang berhasrat besar untuk dapat menyaksikan wajah Tuhan, sehingga pada akhirnya kematian yang dialaminya merupakan satu jalan menuju tercapainya hasrat tersebut.

Fenomena inilah kiranya yang dapat kita tangkap dari keseluruhan rangkaian alur dan penokohan dalam cerpen “Rintrik”. Kenyataan semacam itu bukan tidak ada di dalam realitas kehidupan sehari-hari, di mana nilai-nilai kebenaran tidak jarang harus tenggelam oleh suatu kebatilan.

Inilah yang terjadi di dalam proses fiksionalisasi hingga terciptanya karya sastra. Fakta yang ada di dalam kehidupan nyata dapat dituangkan ke dalam bentuk lain setelah mengalami proses fiksionalisasi menjadi cerita rekaan dengan tokoh-tokoh imajiner yang menyimbolkan berbagai nilai dan sifat perangai manusia di dalam kehidupan yang nyata.
***

*) anggota Kelompok Studi LAS IKIP Rawamangun Jakarta.
Dijumput dari: http://rintrik.blogspot.com/

Obituary Dami N. Toda (1942-2006)

Riris K. Toha-Sarumpaet
http://docs.susastra-journal.com/

DALAM sebuah lawatan kesenian Fakultas Sastra UI ke Yogyakarta di awal 1970-an, Dami dengan suara tenornya yang lengking mengiris, berduet dengan saya. Bukan gentar atas ratusan pasang mata taruna Akademi Militer Nasional (AMN) yang menyaksikan persoalan saya waktu itu, tetapi tuntutan estetik Dami yang untuk ukuran saya sebagai mahasiswa sangat sulit dipenuhi. Masa itu saya lebih mengandalkan alam dan penghayatan, tetapi dia meminta teknik dan pembangunan khalayak.

Tepuk riuh menyambut pertunjukan kami, tetapi terus terang, masa itu tak banyak yang dapat saya pahami dari Dami: ia mengangankan sesuatu yang sangat jauh dan membicarakan yang bukan main pelik bagi mahasiswa yang kurang makan, membaca, dan pengalaman seperti saya. Juga, dalam kuliah seminar sastra yang dipimpin Lukman Ali almarhum, Dami selalu datang dengan bahan sanggahan yang telak, bahkan keras.

Kalimat dalam makalahnya bertingkat-tingkat, pemikirannya bahkan sering bertumpuk, sehingga sulit dipahami. Akan tetapi, ketika kami berperan dalam drama RT Nol RW Nol Iwan Simatupang, secara intensif di bawah pimpinannya berlatih —walau tetap masih samar memahami aturan main, apalagi Stanislavski— sangat saya hargai tuntunan dan kemampuannya mendidik.

Ia cermat, menyeluruh, dan selalu menegaskan kelebihan setiap anggota, bukan kekurangannya. Begitulah, misalnya, bagaimana ketika almarhum ibu saya Julia Sarumpaet-Hutabarat —waktu itu mahasiswa di Sastra Inggris FSUI- mengejar-ngejar sampai ke panggung menuntut agar saya memusatkan perhatian pada kuliah, namun Dami penuh bijaksana dan entah cara apa melunakkan hati ibunda.

Sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara yang disekolahkan secara primitif (meminjam istilah kakak kandung Dami, Tjole Matias, terima kasih), dengan orang tua miskin dan buta huruf namun berdarah bangsawan, tidaklah mengherankan bila Dami menjadi besar dengan hasrat membimbing “membangun khalayak”: kakak kandung ayahnya adalah raja pertama di Manggarai, Kraeng Bagung, sedangkan kakeknya, Kraeng Wanggur, adalah panglima yang dipenjara bertahun-tahun karena sangat menentang Belanda.

Walau Dami mudah berairmata bila dipukul dan diganggu kakak-kakaknya, pada nyatanya dia adalah pemain depan yang dipuja-puja di sekolahnya. Jangan-jangan, daya kritisnya, kemampuannya menganalisis sastra dan berbagai hal, serta instingnya yang tajam bermula dari latihan menendang dan merebut bola ini, dengan tentu saja dongeng dan tuturan lisan tentang perjuangan nenek moyangnya melalui bibir ayah dan ibunya serta dasar pendidikan yang ketat namun manusiawi dari para pastor Belanda yang diterimanya di seminari kecil dan seminari tinggi di Flores.

Daftar riwayat hidup terlampir menyatakan kepada kita kepenuhan Dami terhadap sastra. Sejak muda dia rutin menyuarakan kegelisahan dan kegembiraannya, yang sangat saya kenang dan hingga kini tajam bahkan relevan adalah: “Teori hanya ilmu. Metode hanya jalan. Aliran hanya arus. Percuma saja seorang menguasai metode, teori secara sempurna tanpa diimbangi ketajaman menangkap bias-bias yang diberikan sebuah dunia sastra. Metode ataupun aliran bukan penebus untuk menjamin keselamatan mutu sebuah kritik sastra” (Hamba-hamba Kebudayaan, 1984: 28-29).

Soal wawasan estetik amat penting baginya. ”Iwan Simatupang pada novel, Sutarji C. Bachri pada puisi, dan Rendra serta Putu Wijaya pada drama, baginya adalah pahlawan pembaharu.” Krisis eksistensi, masalah identitas, persoalan sosial, hingga pengajaran sastra secara berulang diungkapnya melalui tulisan dan kritiknya yang menunjukkan perhatian dan wawasannya yang luas. Dia sering gregetan menyaksikan perkembangan kehidupan sastra dan kritik di Indonesia.

Bukan hanya sastra, sebenarnya. Kesenian secara umum ikut diperjuangkannya. Hingga dia secara penuh mengajar di Universitas Hamburg sekalipun, laporan-laporannya yang menarik dan membuka wawasan perihal tokoh dan masalah dunia, pendidikan, serta kunjungan para budayawan dan sastrawan menunjukkan perjuangannya yang tak pernah berhenti.

Walau dia geli menyaksikan kekenesan di Indonesia perihal sistem, birokrasi, pangkat, gelar, dan lainnya, diam-diam ia terus mengamati dan menuliskannya, diam-diam dan dengan kebesaran hati ia menanggapi perkembangan sastra dan budaya di Indonesia, dan mengamalkannya.

Kalau dipikir-pikir, Dami yang diam dan pengamat, tidak pernah secara frontal menampik apalagi melawan ini, boleh dibilang adalah seniman yang serba bisa. Puisi yang ditulisnya mengungkit perbincangan dengan penciptanya, menyuarakan sangsi dan kepastiannya. Penguasaan teologi, filsafat, mitologi, sejarah, apalagi tradisi oral leluhurnya menuntut kita berpikir banyak untuk memahami obsesinya.

Sebagai orang teater, yang juga menulis, bermain, dan menyutradarai, saya ingat betul bagaimana ia sangat meyakini kebaruan Rendra dan Putu Wijaya dalam dunia teater Indonesia. Namanya orang teater, Dami yang gemar bekerja sama dan suka berbagi ini bagaimana pun disuburi kisah tentang nenek moyangnya.

Ia menyimpan ingatan semua tuturan itu, dan sebagai generasi pertama berpendidikan di Manggarai, tak heran, dalam masa liburannya di Jerman, ia mencari pastimasa lalu nenek moyangnya itu.

Dia mempertanyakan sejarah Manggarai yang ditulis para ahli Barat dan membandingkannya dengan tradisi lisan yang membesarkannya. Ternyata, menurut penelitiannya, Manggarai tidak pernah dijajah oleh Bima! Demikianlah Dami, seorang keturunan raja menjelaskan kedudukannya dan meluruskan sejarah yang menjadi haknya.

Walau bila datang ke Jakarta ia berusaha bertelepon atau mampir ke rumah, sebagai sahabat lama, tidak selalu kami bertukar kabar. Tetapi, itu menjadi intensif sebelum tahun 2005, ketika Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) mengundangnya berbicara di konferensi HISKI di Palembang pada Agustus 2005 dan sebelumnya pada 20 Mei 2005 bersama PDS H.B. Jassin dan IndonesiaTera meluncurkan bukunya Apakah Sastra?

Buku tebal itu dipersembahkannya untuk “Mengenang H.B. Jassin sebagai Lambang Pengabdian Abadi Sastra Nasional Indonesia” sekaligus merupakan “Harga Diri dan Penjaga Abadi Jatidiri Sastra Nasional Indonesia”.

Persembahan itu secara gamblang menyatakan sikap dan cita-cita Dami mengenai sastra dan bangsa Indonesia. Bukunya yang sangat padat dan dengan gaya bertuturnya yang hampir selalu berkelindan itu juga menjadi cerminan persoalan sastra kita.

Surat-suratnya selalu penuh dengan penjelasan, kiriman pikiran, pertimbangan, banyak cerewet lainnya, kesenian dan kebudayaan, teori, kritik, sampai ke soal pengajaran sastra yang amburadul.

Belajar dari semua yang ditulis Dami, melalui kabar email-nya dan contoh tulisan yang diharapkannya dapat diterbitkan untuk “menjawab tantangan diskusi konferensi HISKI soal pengajaran/ pembelajaran sastra sejak SD”, menurut saya, nyatalah sikap visionernya, sebagai pemain depan memikirkan gelindingan bola sastra Indonesia.

Untuk membangun sastra di Indonesia, katanya perlu menolong guru. Katanya, perlu memberi ruang pada siswa.

Pada ziarahnya ke Lourdes, Prancis Selatan, di bulan Mei 2005, Dami mendoakan semua orang yang dicintainya dan segala kerja yang menjadi tujuan hidupnya. Lalu dia pergi ke Flores menghadiri upacara keluarga dengan pakaian kebesaran segala, lanjut menghadiri konferensi HISKI, apalagi ketika di Jakarta ia menggilir numpang tidur bersama semua saudaranya. Di sini, menjadi tampak, bahwa tahun 2005 adalah kesempatannya berpamit.

Akhirnya, saya mengingat kembali tuntutannya ketika bernyanyi di Yogyakarta. Orang baik yang tidak pernah memandang harta itu, yang memberi tanpa mengingat kondisi dirinya, pekerja keras yang tak berhenti berharap itu, mungkin dengan semua kenangan ini bisa dipahami melalui petilan sajaknya “Madah Pagi”.

Dalam madah ini kita jadi mengenal “hamba kebudayaan” yang menemukan makna hidup dalam penyerahan dan kehendak “berkarya” untuk memuliakan Tuhannya:

”terpujilah Engkau yang mengalirkan darah/
dalam tubuh melafaskan madah di mulutku/
terpujilah Engkau selamanya terpujilah/
Engkau yang membuka Waktu hingga amal/
berjalan di atasnya terpujilah Engkau/
selamanya terpujilah Engkau yang/
menggerakkan tangan untuk berkarya/
terpujilah Engkau selamanya terpujilah/
Engkau yang memasang usia dan memetiknya/
pada kesaksian waktu terpujilah Engkau/
selamanya” (Buru Abadi, 2005: 17).

Jakarta, May 30, 2007

Riwayat Hidup dan Karya Dami N. Toda:

Mempunyai nama lengkap Damianus Ndandu Toda, lahir pada 29 September 1942 di Cewang-Pongkor, Manggarai, Flores Barat dan meninggal di Hamburg, Jerman, pada 10 November 2006.

Ia anak dari Frans Sales Baso (Kraeng Baso) dan Paula Pangul. Dami menikah dengan gadis Solo, Dwi Sarjuningsih Setya Wardhani, dan dikaruniai dua orang anak, Putra Rian Mashur dan Mayang Cita Putri Kembang Emas.

Sebagai seorang kritikus sastra, Dami dikenal sebagai pencetus istilah Angkatan ‘70 dalam Kesusastraan Indonesia Modern. Selain kecintaannya pada dunia sastra, Dami juga berminat pada dunia musik dan teater.

Dami pernah aktif memimpin kelompok vokal dan drama Teater Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Bahkan minatnya pada bidang musik membawanya pernah bergabung dengan Orkes pimpinan Smits van Weesberg sebagai pemain biola II di Yogyakarta dan Orkes Kamar pimpinan Willenborg SH.

Education

- SR Ruteng A di Manggarai, Flores, tamat 1954.
- SMP dan SMA pada Seminari Mataloko, Flores, tamat 1961.
- Pendidikan Tinggi pada Seminari Tinggi Ledalero, Flores, 1961-1962, tidak tamat.
- Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gajah Mada (BA, Doktoral 1), 1966.
- Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta, 1965-1967, tidak tamat.
- Fakultas Sastra Universitas Indonesia, tamat 1974. Work Experience
- Departemen Sosial RI (1973-1974).
- Sekretaris Eksekutif Yayasan Seni Tradisional, Jakarta.
- Pengajar Institut Kesenian Jakarta.
- Pengajar Akademi Perawat Rumah Sakit St. Carolus.
- Redaktur Tamu Berita Buana.
- Staf Redaktur Kadin Indonesia.
- Penulis Kolom: Pelopor Minggu (Yogyakarta), Sinar Harapan (Jakarta), Kompas (Jakarta), Suara Karya (Jakarta), Berita Buana (Jakarta), Mingguan Mahasiswa Indonesia (Bandung), dan Horison.
- Pengajar Bidang Studi Indonesia-Pasifik Universitas Hamburg, Jerman, sejak 1981 hingga wafat.

Prizes and Awards

1984 Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta untuk karya esainya Hamba-hamba Kebudayaan.Works: Literary Research, Editing, Essay Collection, Translations, Historiography

1966 “Dunia dalam Kebudayaan Poesi M. Yamin” (skripsi BA). Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.

1974 “Novel Baru Iwan Simatupang” (skripsi Sarjana). Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

1975 Puisi-Puisi Goenawan Mohamad. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen P dan K.

1976 Sajak-sajak Goenawan Mohamad dan Sajak-sajak Taufiq Ismail (bersama Pamusuk Eneste). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen P dan K.

1980 Novel Baru Iwan Simatupang. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

1983 Tegak Lurus dengan Langit: Cerita Pendek Iwan Simatupang. Jakarta: Sinar Harapan (sebagai pengumpul dan penulis kata pengantar).

1984 Hamba-Hamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan.

1995 Manggarai, Mencari Pencerahan Historiografi. Ende: Nusa Indah.

2000 Maka Berbicaralah Zarathustra (terjemahan karya Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra). Ende: Nusa Indah.

2004 Tiada Tempat di Rawa (terjemahan puisi karya penyair Irlandia Terry McDonagh, No Place in The Marshes, diterjemahkan bersama Sapardi Djoko Damono). Magelang: IndonesiaTera.

2005 Apakah Sastra? Magelang: IndonesiaTera.

Poems, Antologies

1969 “Sesando Negeri Savana”, dalam Sastra, No 7/Th. VII.

1973 “Epitaph buat Daisia Kecil”, dalam Horison, No. 12/Th. VIII.

1976 Puisi-puisi pada antologi Penyair Muda di Depan Forum. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

1987 Puisi-puisi pada antologi Tonggak, Antologi Puisi Indonesia Modern III, Linus Suryadi Ag. (ed.). Jakarta: Gramedia (Puisi-puisi yang dimuat dalam antologi ini dikutip dari Penyair Muda di Depan Forum).

2002
1. “Kali Mati”, “Hujan di Karang”, dan “Tepi Sampur”, dalam kolom Sajak-Sajak Bentara, Kompas, 7 Juni.
2. Puisi-puisi dalam Jurnal Puisi, No.8, Juni.

2003 Puisi-puisi pada Puisi Tak Pernah Pergi: Sajak-sajak Bentara 2003. Jakarta: Kompas (Puisi-puisi yang pernah dimuat pada Kompas, 7 Juni 2002).

2005 Buru Abadi. Magelang: IndonesiaTera. Plays

1969 “Mbak Ida Sayang: Drama Komedi Satu Babak”, Januari, tidak diterbitkan.

1973 “Matinya Moralis Comstock”, Tifa Sastra, No. 16/Th. II, September.Essays

1969
1. “Teater FSUI dan RT-Nol/RW-Nol Iwan Simatupang”, Harian Kami, 29 Oktober.
2. “Pembelaan Puisi”, Sinar Harapan, 5 November.

1970 “Pencarian Puisi dan Gerak Massa”, Sinar Harapan, 1 Juni.

1973
1. “Merahnya Merah: Wajah Lain dari Sebuah Kegelandangan”, Bahasa dan Kesusastraan, No. 2/Th VI.
2. “Willy: yang Mencari, Terluka, dan yang Berang: Studi Sajak-sajak Terbaru W.S. Rendra”, Horison, No. 1/Th. 8, Januari.
3. “Peluang-Peluang Roman Indonesia Menyelamatkan Hipotesa Idrus”, Suara Karya Minggu, 4 Maret.
4. “Alihbasa dan Persoalannya”, Sinar Harapan, 26 Maret.
5. “Suara-suara Cipta: Teriakan Pemberontakan Tak Berdarah”, Tifa Sastra, No. 14/Th. II, Juli.
6. “Redaksi Yth.: Guru Pegang Kunci” (tanggapan pembaca tentang “Nasionalisme Generasi Muda”), Kompas, 14 Juli.
7. “Suatu Coba-coba untuk Sedikit Membahas Rendra”, Sinar Harapan, 19 Juli.
8. “Cipta Seni, Seniman dan Sakit Jiwa”, Suara Karya Minggu, 29 Juli.
9. “Sesudah Konsorsium Fakultas Sastra dan Filsafat 1970, Lalu Apa?”, Tifa Sastra, No. 15/Th. II, Agustus.
10. “Ziarah Iwan Simatupang: Suatu Gagasan Pracipta yang Menjadi Kenyataan”, Budaya Jaya, No. 64/Th. 6, September.
11. “Kritik Seni Jangan Rasionalisasikan Seni”, Suara Karya Minggu, 16 September.
12. “Surat buat Sutardji Calzoum Bachri: Sajak Sudah Mati”, Kompas, 2 Oktober.
13. “Ilmu-ilmu Sastra: Sebuah Industri Besar Tak Dikenal”, Horison, No. 10/Th. 8, Oktober.
14. “Aspek Rendra dalam Teater Indonesia: Kesadaran Teater Baru”, Sinar Harapan, 24 Desember.

1974
1. “Ketakutan Hilang Identitas Suatu Gejala Krisis Eksistensi”, Suara Karya Minggu, 13 Januari.
2. “Definisi Vs. Fenomena”, Suara Karya, 10 Februari.
3. “Bercakap dengan Wowor: Menggugat Indonesia Kontemporer”, Horison, No. 7/Th. 9, Juli.
4. “Proses Kreatif dan Catharsis”, Suara Karya Minggu, 4 Agustus.
5. “Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir”, Suara Karya Minggu, 22 September.

1975
1. “Novel Baru. Sebuah Gagasan Pracipta Novel Iwan Simatupang”, Bahasa dan Sastra, No. 2/Th.I.
2. “Sajak Kontemplatif dan Sajak Naratif”, Suara Karya Minggu, 5 Januari.
3. “Desentralisasi Kegiatan Kebudayaan Nasional”, Suara Karya, 1 Februari.
4. “Upacara Sunatan Sastrawan Baru”, Suara Karya, 29 Juli.

1976
1. “Menuju Kebudayaan Perjuangan”, Salemba, 14 Januari.
2. “’Baru’ dalam Novel Iwan Simatupang”, Horison, No. 2/Th. 11, Februari.
3. “Nilai Literer dan Nilai Teater”, Suara Karya, 20 Februari.
4. “Nasionalisasikan Kebudayaan sebagai Proses Sejarah”, Suara Karya, 2 Maret.
5. “Apakah yang Dimaksud Iwan Simatupang dengan Novel Masa Depan Berprofil Indonesia?”, Sinar Harapan, 3 Maret.
6. “Studi Sastra-sastra ASEAN dalam Perspektif Politik Kebudayaan Asia Tenggara”, Suara Karya, 19 Maret.
7. “Studi Sastra di Universitas Mau ke Mana?”, Salemba, 20 Maret.
8. “Redaksi Yth.: Puncak Sumantri Brojonegoro?” (Tanggapan terhadap tulisan di Kompas, 9 April 1976), Kompas, 29 April.
9. “Beberapa Kesimpulan Atas Novel Baru Iwan Simatupang”, Berita Yudha, 12 Juni.
10. “Beberapa Kesimpulan Atas Novel Baru Iwan Simatupang”, Berita Yudha, 19 Juni.
11. “Menikmati Sajak Lebih Tepat daripada Mengartikan Sajak”, Suara Karya, 25 Juni.
12. “Mengais Nilai dari dalam Sajak”, Suara Karya, 27 Agustus.
13. “Kesibukan Hamba-hamba Kebudayaan”, Horison, No. 10-11/Th. 11, Oktober-November.
14. “Sastra dan Seni: Keseleo dan Salah Paham dalam Menerjemahkan Puisi Indonesia”, Waspada, 7 November.
15. “Langkah-langkah Sastra”, Tifa Sastra, No. 31/Th. V.
16. “Tentang Koong”, Pengajaran Bahasa dan Sastra, No.6/Th. II.

1977
1. “Penyair-penyair, Sudahkah Anda Memilih Peran Sebagai Penyaksi Mata Jaman?”, Tifa Sastra, No. 34/Th. VI.
2. “Catatan Teoretik Sekitar Penciptaan Novel 1970-an”, Tifa Sastra, No. 36/Th. VI (ditulis bersama Abdul Hadi W.M.).
3. “Koong-nya Iwan Simatupang”, Berita Buana, 14 Februari.
4. “Kritik Sastra di Indonesia Dewasa Ini”, Horison, No. 3/Th. 12, Maret.
5. “Sastra dan Masalah Sosial di Indonesia”, Berita Buana, 4 April.
6. “Sastra dan Masalah Sosial di Indonesia”, Berita Buana, 18 April.
7. “Iwan Simatupang: Gelandangan yang Terasing”, Sinar Harapan, 28 Mei.
8. “Iwan Simatupang (1928-1970): Manusia Hotel Salak Kamar 52”, Budaya Jaya, No. 110/Th. 10, Juli.
9. “Menyambut Rencana GAPENA Malaysia: Pertemuan Pengarang-pengarang ASEAN di Kuala Lumpur, Agustus 1977”, Suara Karya, 3 Agustus.
10. “Rumah Kertas Teater Koma N. Riantiarno”, Berita Buana, 9 Agustus.11. “Filsafat Tahi Ayam dalam Sastra Indonesia”, Berita Buana, 23 Agustus.
12. “Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa”, Budaya Jaya, No. 112/Th. 10, September.
13. “Budaya Jaya”, Budaya Djaya, No. 112/Th. 10, September.
14. “Dari Meja Redaksi: Orang-Orang Paling Sulit Diatur”, Berita Buana, 25 Oktober.
15. “Dari Meja Redaksi: Pokok-pokok dan Pola Pembinaan/ Pelolaan Kesenian agar Masuk dalam GBHN”, Berita Buana, 22 November.
16. “Dari Meja Redaksi: Sekitar Memorandum Kesenian”, Berita Buana, 29 November.
17. “Leon Agusta Berhuklahukla”, Berita Buana, 29 November.

1978
1. “Sastra Sekarang Sastra Terpencil”, Berita Buana, 7 Maret.
2. “Konsumen Seni Bukan Konsumen Camelpo”, Berita Buana, 14 Maret.
3. “Sastra Juri: Antara Hikmah dan Kenyataan”, Berita Buana, 30 Mei.
4. “Tahap-tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia”, Budaya Jaya, No. 121/Th. 11, Juni.
5. “Tahap-tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia (bag.I)”, Pos Sore, 5 Juli.
6. “Tahap-tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia (bag. II)”, Pos Sore, 12 Juli.
7. “Tahap-tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia (bag. III)”, Pos Sore, 19 Juli.
8. “Tahap-tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia (bag. IV)”, Pos Sore, 26 Juli.
9. “Tahap-tahap Perkembangan Wawasan Estetika Perpuisian Indonesia” (bag. 1), Waspada, 6 Agustus.
10. “Tahap-tahap Perkembangan Wawasan Estetika Perpuisian Indonesia” (bag. 2), Waspada, 13 Agustus.
11. “Tahap-tahap Perkembangan Wawasan Estetika Perpuisian Indonesia” (bag. 3), Waspada, 20 Agustus.
12. “Tahap-tahap Perkembangan Wawasan Estetika Perpuisian Indonesia” (bag. 4), Waspada, 27 Agustus.
13. “Tahap-tahap Perkembangan Wawasan Estetika Perpuisian Indonesia” (bag. 5), Waspada, 10 September.
14. “Tahap-tahap Perkembangan Wawasan Estetika Perpuisian Indonesia” (bag. 6, habis), Waspada, 17 September.
15. “Puisi Konkret: Puisi Peragaan”, Berita Bibliografi Idayu, No. 9-10, September-Oktober.
16. “Peragaan Puisi Konkret”, Berita Buana, 28 November.
17. “Dari Meja Redaksi: Undang-Undang Hak Cipta dan APBN Buat Kesenian/Seniman”, Berita Buana, 28 November.
18. “Dari Meja Redaksi: Dilema Sebuah Kesenian”, Berita Buana, 5 Desember.
19. “Dari Meja Redaksi: Kritik Sastra”, Berita Buana, 12 Desember.

1979
1. “Dari Meja Redaksi: Berdagang Seni di Pasar Ancol”, Berita Buana, 30 Januari.
2. “Sajak ‘Kucing Amuk’ Sutardji Calzoum Bachri”, Berita Bibliografi Idayu, No. 2, Februari.
3. “Dari Meja Redaksi: Forum Dialog 79”, Berita Buana, 6 Februari.
4. “Dari Meja Redaksi: Forum Dialog 79”, Berita Buana, 20 Februari.
5. “Dari Meja Redaksi: Forum Dialog 79”, Berita Buana, 27 Februari.
6. “Dari Meja Redaksi: Forum Dialog 79”, Berita Buana, 6 Maret.
7. “Keluarga Permana dan Wajah Sosial Indonesia Apa?”, Budaya Jaya, No. 133/Th. 12, Juni.
8. “Dari Meja Redaksi: Kritik Terhadap Musyawarah Antar-Dewan Kesenian se-Indonesia II”, Berita Buana, 16 Oktober.

1980
1. “Puisi Indonesia dalam Dekade Terakhir (I)”, Berita Buana, 15 Januari.
2. “Puisi Indonesia dalam Dekade Terakhir (II)”, Berita Buana, 22 Januari.
3. “Puisi Indonesia dalam Dekade Terakhir (III)”, Berita Buana, 29 Januari.
4. “Puisi Indonesia dalam Dekade Terakhir (IV habis)”, Berita Buana, 5 Februari.
5. “Seni untuk Siapa?”, Berita Buana, 19 Februari.
6. “SCZ”, Zaman, No. 11, 7 Maret.
7. “Biografi Manusia Hotel”, Berita Buana, 19 Maret.
8. “’Lingkaran Keadilan’ Kejutan dari Surabaya”, Suara Karya, 11 April.
9. “Posisi Sastra dan Posisi Kritik Sastra pada Media Massa”, Berita Buana, 22 April.
10. “Posisi Sastra dan Posisi Kritik Sastra pada Media Massa”, Berita Buana, 29 April.
11. “Eksistensialisme dan W.S. Rendra”, Horison, No. 5/Th. 15, Mei.
12. “Novel Baru Iwan Simatupang”, Suara Karya, 26 Mei.
13. “Otonomi Seni dan Kebebasan Cinta”, Berita Buana, 10 Juni.
14. “Seni Tanpa Slogan Panglima”, Berita Buana, 17 Juni.
15. “Tanya buat Bung Wiratmo Soekito: Kebudayaan Tidak Memerlukan Strategi?”, Berita Buana, 1 Juli.
16. “Jurusan Sastra Indonesia ke Mana?”, Berita Buana, 8 Juli.
17. “Baru dalam Novel Iwan”, Berita Buana, 19 Agustus.
18. “Dari Meja Redaksi: Manusia Sastra”, Berita Buana, 16 September.
19. “Bukan Sekadar Status Bahasa”, Berita Buana, 7 Oktober.
20. “Puisi-puisi Tikungan”, Zaman, 26 Oktober.
21. “Tradisi Baru Baca Puisi”, Berita Buana, 18 November.
22. “Dari Meja Redaksi: Membudayakan Apresiasi Sastra Nasional”, Berita Buana, 2 Desember.
23. “Lomba Baca Puisi Dewan Kesenian Jakarta”, Berita Buana, 2 Desember.
24. “Kebenaran Sastra sebagai Alternatif”, Berita Buana, 16 Desember.

1981
1. “Puisi Indonesia dalam Dekade Terakhir”, Horison, No. 8/Th. 16.
2. “Manajemen Kesenian yang Bagaimana?”, Berita Buana, 17 Februari.
3. “Pemilihan Pola Pengelolaan Kesenian”, Berita Buana, 24 Februari.
4. “Pemilihan Pola Pengelolaan Kesenian di Daerah”, Waspada, 2 Maret.
5. “Bumi dan Cakrawala Kesenian Indonesia”, Berita Buana, 31 Maret.
6. “Pengarang Muda dan Peranan Kreatif”, Waspada, 10 Mei.
7. “Dari Meja Redaksi: Kartu Seniman?”, Berita Buana, 12 Mei.
8. “Dari Meja Redaksi: Mencari dan Menemukan Diri”, Berita Buana, 19 Mei.
9. “Bertumbuh dari Akar Budaya”, Berita Buana, 9 Juni.
10. “Dari Meja Redaksi: Sastra Agama?”, Berita Buana, 28 Juli.
11. “Puisi Indonesia dalam Dekade Terakhir”, Horison, No. 8/Th. 16, Agustus.
12. “Abracadabra Baca Puisi”, Berita Buana, 20 Oktober.
13. “Abracadabra Baca Puisi (II)”, Berita Buana, 27 Oktober.

1983
1. “Iwan yang Lelah Berfalsafat”, Mutiara, No. 292, 13-26 April.
2. “Redaksi Yth.: Merugikan WNRI di Luar Negeri”, Kompas, 29 Oktober.

1985
1. “Beberapa Pendapat Tentang Chairil Anwar”, Horison, No. 4/Th. 19, April.
2. “Dari Meja Redaksi: Sastra Tak Perlu Embel-embel”, Berita Buana, 23 April.
3. “Keberanian Intelektual Chairil Anwar”, Berita Buana, 2 April.
4. “Estetika Baru Sastra Indonesia”, Mutiara, 3 Mei-4 Juni.
5. “Dari Meja Redaksi: Sastra Sayembara dan Komersialisme”, Berita Buana, 10 September.
6. “Dari Meja Redaksi: Dikotomi Lama”, Berita Buana, 17 September.

1987 “Diplomasi Budaya dalam Politik Luar Negeri Indonesia”, Kompas, 1 Oktober.

1988
1. “Reflections Back Home”, Zeitschrift fŸr Kulturaustausch. 38Jg. Institut fŸr Auslandsbeziehungen (IFA), Stuttgart.
2. “Mengenang Pemenang Hadiah Nobel Sastra 1972: Heinrich Boell (1917-1985)”, Horison, No. 8/Th. 22, Agustus.
3. “Dari Waruwaru Hingga Parit Jebakan Air”, Kompas, 9 Oktober.
4. “Konflik Agama pada Kasus Perkawinan Beda Agama dalam Novel Keluarga Permana 1978 Ramadhan K.H.”, Horison, No. 11/Th. 22, November.

1991 “Info Pendidikan: Persiapan Masuk SD di Jerman”, Gelora CBSA, No. 10/I/Juli.

1992 “Surat dari Hamburg”, Horison, No. 11/Th. 26, November.

1993
1. “Wawancara dengan Dr. Mika Ginzburg: Pengobatan Sakit Jiwa dengan Seni Lukis”, Kompas, 8 Agustus.
2. “Percakapan dengan Ute Reichel: Dua Benua-Zwei Kontinental”, Kompas, 8 Agustus.

1995 “K’tut Tantri dan Renungan 50 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia”, Koinonia.1997
1. “Prapemilu (Mei) 1997 dan SU MPR (Maret) 1998”, Koinonia.
2. “Kraeng Bagung dan Era Pencerahan Budaya Manggarai”, Dian (Ende), Juli-Agustus.
3. “Catatan Kaki Festival Teater Musim Panas ke-14 Hamburg: Sardono W. Kusumo Menggebrak Hamburg”, Kompas, 14 September.

1998
1. “Sugesti dan Estetik Magi Pantun”, Kompas, 4 Januari.
2. “Kepada Menteri P dan K RI: Surat Terbuka Budaya ‘98”, Kompas, 1 Februari.
3. “Dimensi Undang-Undang dalam Politik Kebudayaan”, Suara Pembaruan, 23 April.
4. “Keprihatinan Pengarahan Kebudayaan Nasional”, Suara Pembaruan, 27 April.

1999 “Manuscripts of Bimanese Historiography”, Sejarah, No. 7: 61-77.

2000
1. “Baca Puisi Gus Mus di Universitas Hamburg”, Kompas, 16 Januari.
2. “H.B. Jassin: Harga Diri Sastra Modern Indonesia”, Kompas, 26 Maret.

2001
1. “Manuskrip Historiografi Bima: Cerita Manggarai”, Jurnal Beriga (Brunei), April-Juni, Bil. 71: 36-63.
2. “Konsep Kerja Kolonial Lawan Persepsi Adat Pribumi”, Jurnal Beriga (Brunei), Juli-September, Bil. 72: 99-112.

2002
1. “Catatan Baca Puisi Dorothea dan Joko Pinurbo: Dua Penyair Indonesia di Hamburg”, Kompas, 3 Februari.
2. “Putu Wijaya Menghipnotis Hamburg”, Kompas, 31 Agustus.
3. “Siti Zainon Ismail, Penyair Wanita Tersohor Nusantara”, Dewan Sastra (Malaysia), Jilid 32, Bil. 10, Oktober.
4. “Estetik Magi Sastra Bahari Nusantara”, Jurnal Beriga (Brunei), Oktober-Desember, Bil. 77: 61-72.

2003
1. “Seratus Tahun Meninggal Friedrich Nietzsche”, Matabaca, Vol. I/No. 7-8 (Februari-Maret).
2. “Karl May dan Dongeng Damai di Bumi”, Matabaca, Vol. I/No. 9 (April).
3. “Tarian Jagad Bali Oka Rusmini”, Matabaca, Vol. II/No. 8 (April).

2004
1. “Historiografi Kerajaan Goa-Tallo dan Pasal Penghancur Kolonialisme Belanda”, Jurnal Beriga (Brunei), Januari-Maret, Bil. 82: 62-75.
2. “Pentasan Baca Puisi dan Akar Jatidiri Sastra Nusantara”, Pangsura Jurnal Pengkajian dan Penelitian Sastera Asia Tenggara, Januari-Juni, Bil. 18/Jilid 10.

2006 “Ganter Grass: Pengakuan Anggota Wafen –SS”, Kompas, 17 September. Introductions, Essays, and Endnotes in books 1982
1. “Kata Pengantar” dalam Iwan Simatupang, Tegak Lurus dengan Langit. Jakarta: Sinar Harapan.
2. “Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa”, dalam Satyagraha Hoerip (ed.) Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.1985 “Iwan Simatupang (1928-1970) Manusia Hotel Salak Kamar 52”, dalam Korrie Layun Rampan (ed.) Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia. Jakarta: Yayasan Arus.

1989 “Catatan Sejarah: 80 Tahun Usia Kota Ruteng”, dalam A. Hagul dan C.D. Lana (eds.) Manggarai: Kemarin, Hari Ini, dan Esok. Ruteng: LKM.

1997
1. “Catatan Penutup” dalam Iwan Simatupang, Ziarah Malam: Sajak-Sajak 1952-1967 (Oyon Sofyan dan S. Samsoerizal Dar, eds.).
Jakarta: Grasindo.
2. “Bunga-bunga Bulan: Sketsa Puisi 1969-1989 Siti Zainon Ismail”, dalam Kembara Seni Siti, Kuala Lumpur: Galeri Melora.

1999 “Catatan Penutup: Biografi Membaca”, dalam Afrizal Malna Kalung dari Teman, Jakarta: Grasindo.

2000
1. “Aspek Rendra dalam Teater Modern Indonesia: Kesadaran Teater Baru”, dalam Haryono (ed.) Rendra dan Teater Modern Indonesia. Yogyakarta: Kepel Press.
2. “H.B. Jassin: Harga Diri Sastra Modern Indonesia”, dalam Oyon Sofyan (ed.) H.B. Jassin Harga Diri Sastra Modern Indonesia. Magelang: IndonesiaTera.
3. “Kata Pengantar: Tentang Nietzsche, Zarathustra, dan Catatan Terjemahan”, dalam Dami N. Toda (penerjemah) Maka Berbicaralah Zarathustra. Ende: Nusa Indah.

2004
1. “Kata Pengantar”, dalam Dami N. Toda dan Sapardi Djoko Damono (penerjemah) Tiada Tempat di Rawa, Magelang: IndonesiaTera.
2. “Hamba-hamba Kebudayaan”, dalam Taufiq Ismail, Hamid Jabbar Cs (eds.) Horison Esai Indonesia (Buku 2), Jakarta: Horison & Ford Foundation.

2005
1. “Estetik Perulangan”, dalam Yoseph Yapi Taum, I. Praptomo Baryadi, Peni Adji (eds.) Bahasa Merajut Sastra Merumut Budaya. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
2. “What is Poetry? Who and What is a Poet?”, dalam Harry Aveling (ed. & translated poems) Dorothea Rosa Herliany: Santa Rosa – Saint Rosa, Magelang: IndonesiaTera.

Papers

1970
1. “Merahnya Merah: Wajah Lain dari Sebuah Kegelandangan”, makalah untuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia dalam diskusi yang bertema “Roman Pertama Iwan Simatupang yang Berjudul Merahnya Merah 1968”, 20 Mei.
2. “Ziarah Iwan Simatupang, Suatu Gagasan Pracipta yang Menjadi Kenyataan”, makalah untuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia dalam diskusi yang bertema “Roman Iwan Simatupang yang Berjudul Ziarah 1969”, 20 Juni.

1977
1. “Iwan Simatupang (1928-1970) Manusia Terasing Hotel Salak Kamar 52”, makalah pada Ceramah Sastra di Teater Arena Taman Ismail Marzuki Jakarta, 23 Mei.
2. “Catatan Teoritik Sekitar Penciptaan Novel 1970-an” kertas kerja bersama Abdul Hadi W.M. pada Diskusi Kesusastraan Indonesia dalam rangka memperingati 5 tahun berdirinya majalah Tifa Sastra di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Rawamangun, Jakarta, 25 Mei.
3. “Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa”, makalah pada Diskusi Kesusastraan Indonesia dalam rangka memperingati 5 tahun berdirinya majalah Tifa Sastra di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Rawamangun, Jakarta, 25 Mei.

1978
1. “Sastra Kita sebagai Cermin Budaya Bangsa”, makalah pada Diskusi Sastra di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, 27 Februari.
2. “Tahap-tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia”, makalah pada Forum Diskusi Sastra Puisi ASEAN ’78, Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 17-20 Juli.

1981
1. “Konsep Bushido Jepang dalam Gairah Untuk Hidup dan Untuk Mati Nasjah Djamin”, makalah pada Ceramah di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 26 Mei.
2. “Puisi-Puisi Luka Sutardji Calzoum Bachri”, makalah pada Ceramah di Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 14 September.

1987 “Konflik Perbedaan Agama dalam Novel Keluarga Permana karya Ramadhan K.H.”, makalah pada Kšlner interdiziplinŠre Konferenz fŸr Gegenwartbezogene SŸdostasien-Forschung XXII. Konferenzsemester UniversitŠt zu Koln.

1995
1. “Refleksi Metodologis Penulisan Buku Teks Pengajaran Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Asing”, makalah pada Kongres Internasional Pengajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 28-30 Agustus.
2. “Manuskrip Historiografi Bima: Cerita Manggarai”, makalah pada Simposium Internasional Kajian Kawasan Pasifik Barat Daya, Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi Manado, 19-21 Februari.
3. “Puisi Bunga-bunga Bulan: Sketsa dan Puisi 1969-1989 Siti Zainon Ismail”, makalah pada Seminar Antarbangsa Kesusastraan Melayu IV, Universiti Kebangsaan Malaysia, 14-16 Agustus.
4. “Kembali ke Akar Identiti Nusantara Terhempas kepada Abracadabra Poetry Reading”, makalah pada Kongres Bahasa Melayu Sedunia, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 21-25 Agustus.

1996 “Dutch Treaty and Contract Conceptions versus Indigenous Adat Perceptions (with a Footnote Study on Manggarai, West Flores)”, makalah 10th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies, Humboldt University, Berlin 12-17 Juni.

1998
1. “Estetik Magi Sastra Bahari Nusantara”, makalah untuk International Conference Nanyang Technological University of Singapore.
2. “Maharaja Dewa Sang Bima and Dutch Claim Statusquo on Nusa Tenggara Timur (A Case Study on West Flores)”, makalah untuk XVth International Conference of Asian Historian Association di Jakarta, 27 Agustus-1 September.

2004 “Japanese Soul of Bushido in Modern Indonesian Novels: The Works of Nasjah Djamin and Takdir Alisjahbana”, makalah untuk Konferensi Internasional Toward The Bright Future of Japanese and ASEAN Cultures di Universitas Negeri Surabaya, 6-8 Desember.

2005 “Tantangan Penelitian Teks Sastra – Interpretasi dan Kritik Teks”, makalah pada Konferensi Internasional XVI HISKI di Palembang, 18-21 Agustus.

Text to be Published

Manggarai: The Search for Historiography (Abera Verlag, Hamburg).
Hamba-hamba Kebudayaan II (Nusa Indah, Ende). Unpublished Texts

1989 “80 Tahun Lalu Perlawanan Rakyat Manggarai Melawan Penjajahan Belanda”.

2005 Masa Kami Bertualang …(Als Wir Abenteurer Waren … ): Novel Penulis Muda Kelas 5a, Gymnasium SOPHIE-BARAT, Klaus LutterbŸse, ed., diterjemahkan bersama Mayang Cita Putri Kembang Emas. Writings about Dami N. Toda, his Thoughts, and Works

1975 “Tinjauan Atas Puisi-puisi Penyair Muda”, Naskah Ceramah H.B. Jassin di Sanggar Bambu Taman Ismail Marzuki, 28 November.

1976 “Beberapa Penyair di Depan Forum”, oleh H.B. Jassin dalam Penyair Muda di Depan Forum, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

1977 “Realitas Imaginer Belaka”, Kompas, 27 Mei.

1978
1. “Percakapan dengan Kritikus Dami N. Toda: Angkatan 70 dalam Sastra”, Berita Buana, 14 Februari.
2. “Dami N. Toda pada Diskusi Sastra di Gelanggang Remaja: Sastra Kita sebagai Cermin Budaya Bangsa”, Sinar Harapan, 8 Maret.
3. “Terima kasih untuk Sdr. Abdul Hadi W.M. & Sdr. Dami N. Toda”,
oleh Permadi, S.H. dalam kolom Redaksi Yang Terhormat, Berita Buana, 17 Maret.
4. “Prasaran Dami N. Toda: Angkatan 70 & Wawasan Estetiknya”, Berita Buana, 22 Agustus.

1979
1. “Wawancara dengan Dami N. Toda: Kemunduran Penghayatan Kebudayaan”, Berita Buana, 14 Agustus.
2. “Dami N. Toda, Menyongsong Forum Penyair Muda: Penyair Penting untuk Percaya Diri dan Karyanya”, oleh Slamet R.R., Pelita, 2 November.
3. “Catatan buat Dami N. Toda”, oleh Ray Fernandez, Pelita, 4 Desember.

1980
1. “Tiga Sajak Dami N. Toda”, oleh Edijushanan, Berita Buana, 22 Januari.
2. “Novel Baru Iwan Simatupang”, oleh Korrie Layun Rampan, Suara Karya, 26 Mei.
3. “Manusia Sastra Menurut Dami N. Toda”, Waspada, 24 September.

1981
1. “Menurut Dami N. Toda: Karya Besar Masa Lampau Dilestarikan”, Waspada, 6 April.
2. “Omong-omong dengan Dami N. Toda: Apa Kabar Kritik?”, oleh Endang K. Sobirin, Merdeka, 22 April.
3. “Dami N. Toda: Sebelah Kiri Sebelah Kanan”, Berita Minggu, 10 Mei.
4. “Dami N. Toda Ceramah”, Berita Buana, 26 Mei.
5. “Dami: Ketuhanan”, Berita Minggu, 16 Agustus.
6. “Dami: Sutardji”, Berita Minggu, 6 September.
7. “Kronik Budaya”, Haluan, 15 September.
8. “Dami N. Toda Melihat Tempatnya Sutardji”, Waspada, 16 September.
9. “Dami N. Toda: Kredo dan Puisi Luka Sutardji”, Berita Buana, 22 September.
10. “Dari Dunia Sastra Indonesia”, oleh Endang K. Sobirin, Merdeka, 4 Oktober.

1983 “Dami N. Toda”, Optimis, No.43, Agustus.

1984
1. “Hamba-hamba Kebudayaan Dami N. Toda”, Berita Buana, 18 September.
2. “Hamba Kebudayaan”, oleh Korrie Layun Rampan, Suara Karya, 5 Oktober.
3. “Hamba-hamba Kebudayaan”, oleh Nurmini Tjunty Velley’s, Yudha Minggu, 7 Oktober .
4. “Hamba-hamba Kebudayaan”, oleh Gunawan, Pelita, 11 Oktober.
5. “Dimensi Baru dalam Materi Lama: Hamba-hamba Kebudayaan
Esei-Esei Dami N. Toda,” oleh Kusman K. Mahmud, Pikiran Rakyat, 17 Oktober.
6. “Sastra dalam Kapita Selekta”, oleh Cicik Sandhyka, Sinar Harapan, 14 November.

1985
1. “Dami N. Toda Raih Hadiah Sastra”, Suara Karya, 30 Maret.
2. “Hamba Kebudayaan Ini Luas Wawasannya”, Kompas, 30 Maret.
3. “Kritikus Dami N. Toda Memenangkan Hadiah Sastra DKJ”, Berita Buana, 2 April.
4. “Dami N. Toda Peraih Hadiah Sastra 1985: Menjembatani Karya Sastra dengan Para Pembaca”, Suara Karya Minggu, 7 April.
5. “Omong-omong dengan Dami N. Toda: Sastra Besar Tidak Lahir dari Slogan”, oleh Abdul Hadi W.M., Kompas, 12 April.
6. “Dami Datang dari Hamburg untuk Menerima Hadiah Sastra”, Sarinah, No. 68, 15-28 April.
7. “Estetika Baru Sastra Indonesia”, oleh Sehandi Yohanes, Mutiara, 22 Mei-4 Juni.
8. “Membahas Masalah-masalah Sastra”, oleh Gunoto Saparie, Kartika, 23 Juni.
9. “Hamba Kebudayaan: Dami N. Toda (wawancara)”, Horison, Juni.
10. “Membaca ‘Manusia Praktis’nya Iwan Simatupang”, (timbangan buku) oleh S. Samsoerizal Dar, Terbit, 15 Oktober.

1988
1. ”Nama dan Peristiwa: Dami N. Toda”, Kompas, 11 September.
2. “Dami N. Toda: Sastra Indonesia Tak Kalah dengan Sastra Jerman” oleh Ray Rizal, Suara Pembaruan, 14 November.

1989 “Mata Elang Seorang Pengamat Budaya”, oleh Jeval Yudhakisra, Aceh Post, 1 November.

1994 “Sosok: Dami N. Toda, ke Jerman karena Orang Indonesia Lebih Menghargai Gelar”, oleh Herdi SRS/Djadjat Sudradjat, Media Indonesia, 27 Maret.

1998 “Politik Budaya, Daya Saing Ekonomi dan Ketahanan Masyarakat” oleh Savitri Scherer, Kompas, 15 Maret.

2000 “Kritikus Dami N. Toda dan Karyanya” oleh B. Trisman. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

2004
1. “Regol: Indonesia Tera Luncurkan Buku Baru”, Kompas Yogya, 14 Oktober.
2. “Agenda Seni: Buku Tidak Ada Tempat di Rawa”, Kompas, 17 Oktober.

2005
1. “Boen S. Oemarjati Tampil di Diskusi Buku: Apakah Sastra?”, Kompas, 13 Mei.
2. “Guru Memerlukan Keterbacaan Buku Ajar Sastra Indonesia”, Kompas, 21 Mei.
3. “Resensi Buku Baru: Kajian Sastra Indonesia”, Kompas, 18 Juni.

2006
1. “Sejarah dalam Kulit Bawang-Obituari”, Tempo, 26 November.
2. “Obituari: Mengenang Dami N. Toda (1942-2006)”, oleh Martina Heinschke, Media Indonesia, 26 November.

Notes:
I would like to express my gratitude for D.S. Setya Wardhani, Pamusuk Eneste, and Kasijanto for the important materials that enabled me to complete this curriculum vitae.

Dijumput dari: http://bingkaisastra.blog.com/2010/12/19/obituary-dami-n-toda-1942-2006/

Minggu, 23 Oktober 2011

Kesenimanan di Dewan Kesenian Lampung

Udo Z. Karzi dan Budi P. Hatees*
Lampung Post, 13 Maret 2005

KESENIAN, apa pun bentuknya, tidak lahir dari sebuah lembaga yang dibentuk segelintir manusia yang merasa paling bertanggung jawab terhadap masa depan kesenian. Lembaga apa pun hasil bentukan itu, sekalipun bernama dewan kesenian, tidak ada satu karya seni pun yang bisa dihasilkannya. Tidak sepotong puisi, tidak sebentuk lukisan, tidak selembut gerak tari, tidak selenting bunyi, dan, ini yang paling penting, lembaga itu justru telah meletakkan kesenian bukan sebagai kesenian.

Tidak heran jika kesenian, di zaman ketika hidup manusia didominasi oleh logika dominan tertentu seperti ekonomi atau pasar, kesenian justru menggelepar-gelepar kehabisan oksigen. Kesenian kehilangan publik, karena publik sendiri tidak menangkap adanya semacam strategi dari seni(man) itu untuk, setidaknya, berusaha agar publik bisa menerima kesenian sebagai jalan kontemplatif melihat hidup mereka sendiri.

Begitulah seharusnya kita, terutama masyarakat Lampung, menyikapi lembaga kesenian bernama Dewan Kesenian Lampung (DKL). Selama bertahun-tahun, lembaga yang telah membuat penggagasnya begitu romantis dan cengeng, sehingga merasa perlu disebutkan namanya setiap kali orang lain bicara soal DKL, tidak lebih bagus dari semacam reuni orang-orang yang pernah muda di sebuah panti jompo yang sumuk. Dan setiap kali orang-orang yang pernah muda itu bertemu, mereka membolak-balik album masa lalu dengan cita rasa yang dibuat lebih hebat dan warna emas lebih berkilau, lalu sampai pada kesimpulan bahwa tidak akan pernah ada generasi baru yang sanggup melampai capaian-capaian yang telah mereka peroleh. Capaian-capaian yang, sebetulnya, nonsen karena cuma mereka yang menganggap telah ada pencapaian puncak, meskipun cara mereka mengukur capaian-capaian itu bukan saja keliru tetapi sangat tidak mendasar.

Kita tidak bisa membicarakan kesenian seperti membicarakan nilai tukar rupiah atau kita tidak bisa mengukur ada pencapaian dalam kesenian seperti mengukur pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung, sementara kita sama-sekali tidak menunjukkan kreativitas yang alternatif, unik, dan artistik. Begitulah DKL, selama bertahun-tahun, dikelola tanpa konsep yang jelas, tanpa perencanaan-perencanaan yang matang, dan akhirnya, menghasilkan segala sesuatu yang tidak jelas serta tidak matang pula. Hal-hal yang disebut kegiatan kesenian, atau yang dimaknai sebagai upaya melestarikan kesenian daerah, tidak berorientasi pada sebentuk strategi seni untuk membuat publik merasa memiliki kesenian sebagai jalan kontemplatif melihat hidup dan kehidupannya, yang berbeda dengan kontemplasi dunia sosial lainnya.

Kesenian di belahan mana pun di Nusantara ini, telah terkooptasi dalam bingkai politik pemaknaan warisan zaman represif Orde Baru, tidak lebih dan tidak kurang cuma untuk l’art pour l’art, dimana sudah diandaikan hanya kalangan seniman saja yang dirangkul di dalamnya. Pemahaman yang masih sangat kuat dalam diri elite pemerintah daerah sehingga mereka merasa tidak perlu bertanggung jawab untuk memberikan tempat bagi kesenian di dalam riuh-rendah kehidupan.

Elite pemerintahan daerah terperangkap dalam retorika pasar yang telah menusuk ke dalam sendi-sendi kehidupan kita hari ini, karena pemerintah tidak pernah berusaha memahami bahwa seni berbeda dengan publik utiliti, peraturan daerah, retribusi, propaganda, subsidi BBM, pamflet politik, pidato-pidato pengentasan kemiskinan, kredit UKM, atau beras raskin. Dan seni, seharusnya, tidak perlu berebut tempat di masyarakat dengan elemen-elemen sosial lainnya. Seni tidak perlu dikalahkan terus-menerus, menjadi nomor sekian dalam list persoalan yang harus diselesaikan pemerintah, menjadi anak haram dalam pembangunan daerah.

***

SELAMA bertahun-tahun seni terstigmatisasi dalam benak elite pemerintah daerah sebagai dunia yang artifisial. Seni adalah semacam benda artistik yang cuma berfungsi untuk dekorasi, pelengkap sebuah acara peresmian gedung atau penyambut tamu kenegaraan. Seni akhirnya tidak membutuhkan kreativitas, bentuk-bentuk baru. Seni adalah apa yang sudah ada dan tumbuh di masyarakat. Seni tidak pernah dianggap sebagai salah satu bentuk kreatif dari kebudayaan manusia.

Stigma semacam ini terus berlangsung tanpa ada upaya dari DKL untuk menawarkan sebuah paradigma yang bisa membalikkan cara berpikir, setidaknya mempertegas bahwa seni adalah sebuah dunia alternatif, karena seniman-seniman yang mengelola DKL adalah gerombolan massa yang tidak bisa meng-counter atau setidaknya menghidar dari gempuran-gempuran isu. Malah Herwan Achmad sebagai Ketua Umum DKL periode 2005-2008 dengan sangat bangga minta dilibatkan dalam program kepariwisataan seperti Festival Krakatau, yang semakin mempertegas bahwa DKL dikelola bukan berdasarkan paradigma berpikir. DKL dikelola dalam bingkai paradigma politik artifisial yang mengekang dan tidak pernah mempersiapkan kesenian yang ada di Lampung agar bisa memproduksi isunya sendiri, dan kita tahu jika hal itu yang terjadi sejumlah alternatif sudut pandang akan berhamburan sehingga kehidupan tidak menjadi sekering jerami.

Para seniman di tubuh DKL adalah seniman boyongan, kaum yang menyerah dan pasrah saja dibuai politik kepentingan penguasa, karena seluruh hidupnya sangat tergantung pada kucuran dana APBD. Seniman di DKL lebih percaya kepada kepemimpinan birokrasi atau bekas pejabat birokrasi, dan menutup diri terhadap pemimpin yang dari luar birokrasi. Tidak heran jika hingga hari ini, pengurus DKL periode 2005-2008 yang baru dipilih secara “demokratis” dalam Musyawarah Besar Seniman Lampung, terlihat seperti bagian dari birokrasi pemerintah daerah yang tidak bisa berbuat apa-apa selama APBD 2005 belum disahkan DPRD Lampung. Kita tahu, birokrasi di Indonesia, tidak terkecuali di Lampung, adalah wadah yang cara berjalannya bukan saja lambat tetapi menyebalkan. Birokrasi sangat memuakkan, apalagi dikelola oleh sumber daya manusia yang melulu berorientasi pada proyek dan mengincar fee untuk tambahan uang masuk. Birokrasi punya andil besar untuk membunuh kreativitas, menghancurkan produktivitas, dan membuat profesionalisme tidak bisa berkutik di dalamnya.

***

REFORMASI yang digulirkan susah-payah oleh kalangan seniman di belahan lain Nusantara ini, gemanya tidak sampai ke DKL. Padahal, para seniman di Indonesia tidak lagi berpikir bagaimana supaya dekat dengan pemegang kekuasaan politik negara, tetapi bagaimana menghasil karya-karya kreatif dimana ekspresi seni mampu membuat ruang-ruang sempit menjadi semakin lebar dan setiap orang bisa masuk ke dalamnya untuk emencari alternatif baru dalam melihat kehidupannya.

Orang tidak lagi mengait-kaitkan ekspresi kesenian dengan ketidaksepahaman ideologi politik, apalagi dengan arus besar pemahaman politik yang terjadi di masyarakat. Ada pembatas tegas antara kebebasan ekspresis seni dengan ideologi politik, dan keduanya tidak ada lagi sangkut-paut. Pluralitas dalam hal pemahaman politik mendapat toleransi yang sangat memadai, sehingga setiap insan tidak dilarang untuk menghasilkan karya seni seperti apa saja yang diinginkannya.

Di Lampung, kebebasan ekspresi seni ditandai dengan munculnya gagasan-gagasan untuk, misalnya, menggelar pameran lukisan nude. Bukan lukisan-lukisan realis perempuan telanjang itu yang ingin ditampilkan Arief Mulyadi dan kawan-kawannya, para perupa muda Lampung, melainkan bagaimana paradigma ekspresi seni mereka bisa diterima oleh lingkungan masyarakatnya. Penelanjangan nilai-nilai tradisi warisan leluhur budaya lewat lukisan-lukisan nude ini bisa dipahami sebagai pengungkapan fakta-fakta riil dalam masyarakat terkait masalah-masalah yang selama ini dianggap tabu.

Paradigma berpikir seperti ini secara pasti akan terus berpengaruh pada modus ekspresi budaya dalam pengejawantahan seni, baik tari, musik, teater, maupun berbagai ungkapan yang kadang sudah sulit dikategorikan karena cakupannya yang merangkum elemen-elemen media seni yang sangat beragam.

Di dalam kesusastra, seharusnya seorang sastrawan (apalagi anggota DKL) tidak perlu merasa bangga jika diundang tampil di berbagai festival seni yang keterwakilannya ditetapkan berdasarkan tetapan teritori yang bersifat geopolitis atau beradasarkan standar koneksitas dengan struktur kelembagaan yang memiliki otoritas untuk penetapannya. Di sana tidak ada kreativitas, melainkan semacam pengkolonian seniman untuk direkayasa pola perilaku dan pola berkesenian sehingga bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang bersifat sangat spesifik.

Kreativitas harus menjadi tujuan utama seniman. Kreativitas memungkinkan seniman untuk lebih leluasa berekspresi secara individual untuk mempertajam dan mempekuat jelajah nilai-nilai instrinsik seni yang digelutinya, tanpa mengabaikan nilai-nilai ekstrinsik yang membuatnya bersentuhan dengan masyarakat. Dengan begitu, begitu seorang seniman menghasilkan sebuah karya, maka karya itu tidak mati iseng sendiri. Dalam musik, pernyatan Alan P. Merriam dalam The Anthropology of Music, bisa menjadi pendorong dalam ekspresi seni kita. “Begitu musik dihasilkan,” tulis Merriam, “karya itu menjadi milik seseorang atau yang lainnya-milik individu, milik kelompok tertentu, atau milik masyarakat pada umumnya” (1964: 82).

Ada kepemilikan terhadap karya seni tersebut. Persoalan sekarang, bagaimana seorang penyair, misalnya, sampai pada tahap itu? Jawabannya adalah kreativitas yang dibangun di atas fondasi kokoh.

***

KREATIVITAS seniman di tubuh DKL tidak segegap-gempita kreativitas seniman yang berada di luar DKL. Seniman DKL terlalu sibuk menjadi bagian birokrasi pemerintahan daerah, sehingga kreativitasnya lebih banyak diarahkan untuk mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Kalaupun mereka berkreativitas, hal itu cuma untuk diri sendiri. Malangnya, kreativitas yang sangat invidual itu dijadikan bagian dari kegiatan DKL. Contoh, program penberbitan buku sastra cuma diperuntukkan bagi pengurus DKL. Kesibukan mengurus diri sendiri itu menyebabkan DKL tidak bisa merangkul kalangan seniman untuk menjadikan lembaga ini sebagai wadah kebersamaan. Tidak heran jika banyak seniman di Lampung yang merasa tidak memiliki lembaga ini, karena pengurusnya tidak berusaha mendekatkan diri. Seorang Herwan Ahmad pun, akhirnya, cuma kenal satu penyair di Lampung.

Akhirul kalam, teruslah berdiskusi tentang DKL. Terus berperang ide dan gagasan. Jangan pernah merasa puas atas apa yang sudah ada. Gelisahlah. Andalkan rasionalitas, kreativitas, lalu tanyakan: untuk apa lembaga ini dibentuk? Kemudian jawab sendiri.
_________________________
* Udo Z. Karzi, Ketua Penelitian dan Pengembangan Dewan Kesenian Lampung periode 2005-2008.
** Budi P. Hatees, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung periode 2005-2008.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2005/03/esai-kesenimanan-di-dewan-kesenian.html

Bahasa, Penyair, dan Kreativitas

Rida K Liamsi
Riau Pos, 26 Des 2010

BAHASA adalah rumah, tanah air para penyair. Di sinilah dia lahir dan dibesarkan. Di sinilah dia tumbuh dan berkembang. Dari sinilah kemudian dia mengembara untuk memberi makna kehidupannya, sebelum pada akhirnya pulang kembali ke rumah keabadiannya. Bahasa adalah jati diri penyair. Karenanya, penyair yang kehilangan bahasanya, akan kehilangan segalanya. Kehilangan jati diri. “Yang tak berumah takkan menegakkan tiang,” begitu kata salah satu bait puisi penyair Rainer Maria Rielke “Di Batu Penghabisan ke Huesca” yang diterjemahkan Goenawan Mohammad, salah satu penyair besar Indonesia.

Karena itu pula, salah satu tugas penting seorang penyair adalah memelihara, memperkaya, dan mempertahankan bahasanya. Karena itu adalah perjuangan menegakkan jati dirinya. Apalagi, sekarang ini pada kenyataannya, bahasa adalah salah satu benteng terakhir nasionalisme yang masih bisa bertahan di tengah gempuran globalisasi dan kemajuan tekhnologi informasi. Fungsi, peran, dan posisi bahasa yang demikian ini, sejak dahulu sudah dilakukan oleh bahasa Melayu, baik sebagai bahasa ibu, maupun sebagai bahasa yang menjadi teras bahasa nasional Indonesia. Dan tetap kukuh sampai saat ini, sebagaimana kukuhnya jati diri para penyair Melayu.

Ibarat samudera, bahasa juga adalah sumber kreativitas para penyair, tak terkecuali bahasa Melayu. Di sinilah, di keluasan, di kedalaman, di kebiruan, di gelombang, di karang, di ribut, di badainya samudera bahasa itulah, para penyair mengekplorasi segala sumber misteri dan inspirasi yang terkandung di dalamnya, menjadi karya-karya, yang hakekatnya adalah untuk mengangkat dan mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaan. Karya-karya inilah yang kelak menjadi kontribusi para penyair terhadap pembentukan kebudayaan bangsa dan tanah airnya. Karya-karya yang ujud dalam bentuk puisi, novel, roman, teater, dan karya budaya lainnya, yang hanya bisa lahir karena adanya bahasa dan seluruh inspirasi yang disediakannya.

Eksistensi seorang penyair, sastrawan, budayawan, adalah karena karyanya. Dan karya-karya itu hanya lahir dari proses kreativitas, dan kreativitas itu hanya bisa tumbuh dan berkembang, jika ada media ekspresinya yang hidup dan menggairahkannya, dan itu adalah bahasa. Dan kita belajar menulis puisi, belajar membangun kreativitas, sejak degub kehidupan manusia ini bermula. “Kun Fayakun” itulah kata pertama. Itulah puisi pertama. Itulah imaji pertama yang mengaliri darah dan napas para penyair. Dan karena itu pulalah, bahasa Melayu sebagaimana ujudnya, dan kesadaran awalnya, adalah bahasa yang sangat kreatif, imajinatif, dan menggairahkan.

Bahasa yang baik bagi penyair, adalah bahasa yang memberi kebebasan kepadanya untuk mengembangkan dan mengolahnya menjadi media komunikasi yang mudah, lancar, dan bermakna dalam karya-karyanya. Kondisi yang demikian diperlukan penyair untuk meghasilkan karya-karya yang kuat, termasuk karya sastra. Karya-karya yang besar hanya lahir dari bahasa yang merdeka, yang bebas, yang lentur, yang tidak terkurung dan terperangkap dalam berbagai aturan dan tata bahasa yang kaku dan beku.

Dalam hal ini, bahasa Melayu, adalah salah bahasa yang sangat apresiatif. Bukan hanya memiliki kemerdekaan dalam bentuk dan struktur bahasanya, juga memiliki keindahan dalam diksi, intonasi, dan ritmenya sehingga menjadi bahasa yang sangat puitis. Lihatlah syair-syair salah satu bentuk karya sastra Melayu. Atau gurindam seloka, dll. Membacanya, seakan kita bernyanyi. Berdendang. Karena itu, ada yang menyamakan keindahan bahasa Melayu itu dengan keindahan bahasa Spanyol.

Bahasa yang merdeka, yang bebas, adalah bahasa yang selalu memberi inspirasi, yang seakan tak pernah diam, terus menggelitik batin penyair untuk terus meluapkan ekspresi, yang terus mengajaknya untuk terus menggali mencari inti esensinya. Bahasa yang demikian sangat diperlukan untuk proses kreativitas menghasilkan karya-karya sastra, terutama puisi , karena bahasa yang merdeka itu sangat imajinatif. Menulis puisi itu adalah menulis metafor, menuangkan imajinasi. Dengan sepatah kata, serangkai hanya satu kata saja, penyair sudah bisa menghasilkan sebuah puisi yang penuh makna. Lihat puisi alit Sutarji yang berjudul “Luka”, atau sajak Chairil Anwar “Ibu”, dan beberapa sajak Sitor Situmorang, seperti “Malam Lebaran”, atau yang sangat terkenal puisi “Bunga di Atas Batu”: Bunga di atas batu, dibakar sepi… Karena itu, di Indonesia misalnya, karya-karya besar dan kuat, banyak lahir dari para penyair atau sastrawan yang berlatar belakang dan bertutur dalam bahasa Melayu, karena pengaruh dan keunggulan bahasa Melayu yang sangat imajinatif itu. Bahkan ada yang mengatakan, semua orang di Riau ini, bisa jadi penyair, karena memiliki bahasa Melayu, salah satu bahasa yang mempunyai semua aspek puitical terbaik sebagai bahasa puisi. Bandingkan dengan bahasa Inggris misalnya, yang aspek puitica-nya sangat sulit didapat, meski ditulis dalam bahasa ibu mereka.

Puisi-puisi Indonesia muthahir, punya kecendrungan kembali ke bahasa ibu, kebahasa asal, kekuatan lokal, ke pengucapan purba. Puisi-puisi mantra Sutarji, atau puisi-puisi historisnya Taufik Ikram Jamil, atau puisi-puisi rasnya Fakhrunnas MA Jabbar, atau puisi-puisi tradisi pada beberapa penyair Riau lain seperti Marhalim Zaini, untuk menunjukkan beberapa contoh, meski penamaan genrenya belum tentu tepat. Meskipun puisi-puisinya ditulis dalam bahasa Indonesia, tetapi di dalam puisi-puisi itu dapat dirasakan gaya pengucapan yang menampilkan semangat dan tradisi tuturan lokal,jejak awal sejarah dan budaya ibunya.

Muncul sejumlah kata-kata lokal, bahkan yang sudah termasuk kata-kata arkhais. Bentuk-bentuk pengucapan, terutama puisi, makin banyak yang kembali ke struktur syair, gurindam, dan berbagai bentuk lain. Puisi-puisi ini, akan semakin tampak kelokalan, keasalannya, bila sudah dibacakan. Dan pada kenyataannya, meskipun dominasi bahasa ibu, gaya penuturan lokal, karya-karya itu tetap komunikatif, bisa dirasakan, dapat dipahami, karena pada hakekatnya bahasa itu, bagaimanapun bedanya, rohnya adalah pada kesamaan rasa, yang dapat dibangkitkan dalam bentuk simbol-simbol, dalam isyarat-isyarat. Lihatlah bagaimana bahasa prokem itu masuk dan mengaduk-aduk karya sastra, termasuk puisi-puisi dan novel, terutama bahasa Betawi dan bahasa gaul. Juga bahasa Facebook, bahasa Twitter, dan yang sangat fenomenal adalah bahasa Blackberry, yang mampu membangun komunikasi secara luas, hanya dengan simbol-simbol (smiley), yang betapapun asing dan aneh, tetapi seakan dapat berbaur dan berkomunikasi dengan komunitas mereka yang berbeda.

Bahasa juga adalah bagian dari kesejarahan. Dalam pemahaman harfiah, bahasa memang berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi. Di mulai dengan simbol-simbol, lalu kata, lalu kalimat, dan seterusnya. Kini, bahasa komunikasi, kembali ke simbol-simbol, meskipun lebih universal. Bahasa Melayu sebagai bahasa yang merdeka, kreatif, imajinatif, dan sugestif, ada di dalam proses moderenisasi dan simplikasi komunikasi manusia dalam berbahasa, ikut membangun simbol-simbol universal itu. Karena itu, “takkan Melayu hilang di dunia”, sepanjang mereka masih memiliki bahasa, sepanjang masih memiliki simbol-simbol yang universal. Masih ada 300 juta orang Melayu di dunia. Maka tegakkanlah Melayu di atas pancang bahasanya. Sebab kalau orang Melayu sudah kehilangan bahasanya, maka mereka kehilangan segala-galanya. Jangan sampai yang tinggal hanya “u” saja. Seperti puisi ini:

U
Melayu
Hhhuuuuuuu
________________
Rida K Liamsi, sastrawan. Menulis sajak, novel, dan genre sastra lainnya. Tulisan ini berasal dari makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Bahasa Indonesia, yang diselenggarakan di Pekanbaru, 22-23 Desember 2010.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/bahasa-penyair-dan-kreativitas.html

Yang Tak Picisan dalam Roman Pergaoelan

Suryadi*
Padang Ekspres, 17 Mei 2009

BUKU ini membahas sebuah korpus karya sastra Indonesia yang muncul di akhir masa kolonial yang selama ini luput dari ‘mata (kurang) awas’ studi (sejarah) kesusastraan Indonesia karena dianggap picisan. Korpus itu disebut roman pergaoelan (RP), yang diterbitkan oleh Penerbit Penyiaran Ilmoe (1939-1942) di Bukittinggi.

Mengutip definisi dari penerbitnya sendiri, istilah roman pergaoelan kurang lebih berarti “berbagai macam warna, bentuk, dan gambaran dari pergaulan”. Tetapi di sisi lain istilah itu juga berarti sejenis “genre sastra, novel atau cerita tentang pergaulan dan hubungan [antar] sesama manusia” (p.69).

Dalam buku ini, Sudarmoko—dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas (UNAND), sekarang jadi dosen tamu di Hankuk University, Korea—menelaah struktur dan konteks sosio-budaya dan kesejarahan RP. Ia membahas sejumlah aspek yang mendukung keberadaan RP, seperti penerbitnya, karya, pembaca, dan reaksi-reaksi politis dan literer terhadapnya.

Bab I (hlm.1-20) membahas efek kanonisasi dalam penelitian ilmiah dan kritik sastra Indonesia yang mengakibatkan karya-karya yang berada di luar mainstream menjadi terabaikan, kemudian melanjutkannya dengan paparan tentang prinsip-prinsip dasar sosiologi sastra dan ideologi dalam sastra yang menjadi landasan teoretis penelitian ini, dan diakhir dengan penjelasan mengenai struktur buku ini.

Keberadaan Penerbit Penyiaran Ilmoe (PI) dan konteks sosio-budaya dan politik yang melahirkan dan membesarkannya dideskripsikan dalam Bab 2 (hlm.21-62). Kehadiran PI tidak lepas dari perkembangan kota Bukittinggi (Fort de Kock) di awal abad ke-20 yang pada dekade-dekade berikutnya ikut menggairahkan pertumbuhan usaha penerbitam/percetakan pribumi. Bab ini memberi gambaran historis yang multi dimensi seputar usaha ini di daerah pada zaman kolonial: tentang para penggiat dan latar belakang pendidikan dan ideologi mereka, pemodalnya, produk-produk yang dihasilkannya dan strategi pemasarannya, serta pengawasan-pengawasan politis yang dilakukan Pemerintah Kolonial.

Bab 3 (hlm.63-112) menganalisa aspek intrinsik RP. Sebelum membahas aspek intrinsik empat contoh RP yang telah dipilih, penulis melukiskan kemunculan genre ini, dengan berbagai macam nama, di Sumatera pada tahun 1930-an. Hal itu dimulai dari terbitnya Madjalah Dunia Pengalaman sebelum kemudian muncul beberapa nama lain seperti Lukisan Pudjangga, Tjedrawasih, Gubahan Maya, dan Mustika Alhambra. Kemudian genre ini muncul pula di Padang di tahun 1940-an yang diberi nama Roman Indonesia (p.63-4).

Empat contoh RP yang dibahas penulis adalah Angkatan Baroe (Hamka, 1939), Kamang Affair (Martha [Maisir Thaib], 1939), Joerni-Joesri (Matu Mona, 1940), dan Rahasia Pembongkaran (Surapati, 1941). Sudarmoko menyajikan sinopsis keempat roman itu, menganalisa tema-tema utama masing-masing teks dan membahas pandangan ideologi (pengarang) yang terepresentasi di dalamnya. Ia menunjukkan bahwa hakikat RP adalah representasi dunia pergerakan dan nasionalisme anak muda bumiputera di daerah dalam ranah literer yang mencoba ‘melawan’ wacana politik, budaya, dan sastra bentukan kolonialis Belanda yang didominasi oleh pusat (Batavia).

Bab 4 (hlm.113-45) berisi paparan historis mengenai reaksi-reaksi seputar RP: yang berupa polemik menyangkut estetika dan dampak sosial genre ini maupun yang berupa reaksi politis dari Pemerintah Kolonial Belanda (dan kemudian Jepang) terhadapnya. Dalam bab penutup (Bab 5; hlm. 147-53) penulis antara lain menyatakan bahwa penelitan terhadap korpus RP telah memberi kontribusi dalam membuka pembicaraan yang lebih luas dan dalam mengenai sejarah kesusatraaan Indonesia dan keberadaan penerbit karya sastra di daerah, di luar lingkungan Balai Pestaka.

Buku ini memperkenalkan kepada kita banyak nama pengarang sastra Indonesia yang, karena karya-karya mereka diletakkan di luar karya-karya mainstream, tidak dikenal namanya dalam peta historis kesusatraan Indonesia, seperti Aziz Thaib, Maisir Thaib (Martha), Thaher Samad, Tamar Djaja, St. R. Alamsjah, M. Kasim, Hs. Bakry, D. Umri, Mohd. Hasan Tansa, Mahals, Aminar, Nuraji ZR, Merayu Sukma, SZ Kamisir, Fajoermiah, Suara Sutji, dan Roma-Nita – untuk sekedar menyebut beberapa nama.

Buku yang juga berisi ilustrasi ini—aslinya adalah thesis MA Sudarmoko di Universitas Leiden (2005)—berhasil mengungkapkan sisi-sisi lain dari dinamika dunia kesusastraan Indonesia di akhir zaman penjajahan. Seperti diungkapkan Umar Junus dalam pengantarnya (hlm. ix-xiii), Sudarmoko, yang dinilai berani keluar dari mainstream penelitian kesusaatraan Indonesia yang sangat bersifat kanonik (warisan kolonialisme Belanda), berhasil menggambarkan dimensi lain kesusastraan Indonesia di akhir zaman penjajahan.

Dalam pemahaman yang luas istilah kanon (canon) merujuk kepada pengakuan yang bersifat melembaga terhadap daftar karya yang dianggap patut dicontoh, seperti karya-karya yang merupakan sastra nasional sebuah negara. Istilah kanon juga merujuk kepada system of rules untuk menciptakan karya-karya tersebut. Secara tradisional kanon sastra dimaknai sebagai susunan kronologis para pengarang terkenal dan karya-karya sastra utama yang tetap bertahan dalam ujian waktu karena nilai guna intrinsiknya yang terkait selama beabad-abad oleh suatu kesatuan budaya.

Namun belakangan ini pandangan di atas telah diserang oleh kritikus yang berargumen bahwa kanon tradisional itu pada dasarnya adalah semacam konstruksi sosial yang, karena kecenderungannya mengeyampingkan minoritas tertentu, merefleksikan relasi kuasa ketimbang nilai-nilai estetika. Sudarmoko tampaknya adalah salah seorang dari golongan penggugat itu. Lewat buku ini ia mengungkapkan aspek estetika, sosial, budaya, ekonomi, politik, ideologi, bahkan agama yang amat menarik di balik kehadiran sebuah korpus ‘sastra pinggiran’ yang disebut roman pergaoelan, yang selama beberapa dekade (sengaja) dilupakan karena sudah terlanjur dicap picisan.
_________________
*) Suryadi, alumnus Fakultas Sanstra UNAND, dosen dan peneliti pada Faculteit Geesteswetenschappen Universiteit Leiden, Belanda
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/05/buku-yang-tak-picisan-dalam-roman.html

SASTRA YOGYA TIDAK PERNAH MATI

Sri Wintala Achmad *
Kedaulatan Rakyat, 3 Nov 2006.

Sejak Persada Studi Klub (PSK) hingga sekarang, telah ratusan sastrawan dilahirkan di Yogyakarta. Seiring perjalanan waktu, sebagian mereka masih banyak yang konsisten sebagai penulis sastra. Namun, sebagian lainnya memilih pensiun. Mengingat profesi lain dipertimbangkan lebih memberikan harapan akan perbaikan nasib ekonomis dirinya dan keluarganya di hari kelak.

Diakui melalui PSK yang didirikan Umbu Landu Paranggi, Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara dan Iman Budi Santosa telah memberikan kontribusi positif atas geliat sastra di Yogyakarta. Tidak hanya kala itu, melainkan gemanya masih kita tangkap sampai detik ini. Sekadar menyebut nama, semisal: Iman Budi Santosa, Fauzi Absal dan lain-lain, masih konsisten sebagai sastrawan.

Konsistensi dari beberapa sastrawan PSK yang pula turut memperjuangkan pertumbuh-kembangan sastra di Yogyakarta tersebut telah mengukuhkan legitimasi bahwa mereka adalah para suhu (baca: bukan pendekar) sastra. Tempat jujugan (tujuan) para sastrawan pemula menimba ilmu sastra. Mereka akan selalu mengajarkan: karya sastra bukan sekadar permainan kata-kata indah. Akan tetapi, karya sastra seyogianya ditangkap sebagai refleksi pengalaman empirik literer yang diciptakan sastrawan melalui proses pengamatan, pencerapan, metabolisme (pengendapan), penuangan dan revisi berulang kali. Hingga karya sastra mencapai tingkat kesempurnaannya.

Sekalipun demikian, mereka akan sadar bahwa geliat sastra Yogyakarta di hari kelak tetap tergantung di tangan generasinya selama menekuni proses kreativitasnya. Karena itu, kebulatan tekad generasi sastra guna menguasai teknik penuangan, memperkokoh spesifikasi gaya penciptaan, mempertajam sense dan intelektual (imajinasi, intuisi dan logika), serta pemahaman akan ilmu bahasa, filsafat dan pengetahuan lain sangat diperlukan.

Langkah lain yang harus ditempuh oleh generasi sastra, yakni: pertama, banyak membaca karya dari sastrawan lain baik yang dipublikasikan melalui media massa, buku, dan situs sastra di internet. Dengan banyak membaca karya dari sastrawan lain, generasi sastra akan mendapatkan referensi dan termotivasi untuk selalu menciptakan karya yang memiliki standar kualitasnya.

Kedua, menjalin interaksi kreatif dengan sesama sastrawan secara intensif. Langkah ini dianggap efektif guna menunjang spirit proses penciptaan karya sastra. Tingkat efektivitasnya tidak hanya dibuktikan oleh para sastrawan PSK. Para sastrawan pasca PSK seangkatan Andrik Purwasito, Ahmadun Y Herfanda, Bambang Widiatmoko, Joko Pinurbo, Ida Ayu Galuh Pethak, Nana Irnawati, Indra Tranggono, Denok Kristianti, Marjuddin Suaeb, Budi Nugroho, Usdika Ibranora pula membangun jalinan interaksi kreatif antar-sastrawan baik melalui media sanggar maupun kelompok studi sastra.

Bahkan aktivitas Pengadilan Puisi versi Lingkar Kreativitas Sastra Yogya telah diarahkan sebagai medium interaksi kreatif antar-sastrawan muda pada penghujung dekade 80-an hingga awal dekade 90-an itu. Hingga beberapa nama sastrawan, semisal: Hamdy Salad, Dorothea Rosa Herliany, Adi Wicaksono, Agus Noor, Abidah El Khalieqi, Mathori A Elwa, Ahmad Syubanuddin Alwi, Otto Sukatno CR, Whani Darmawan, Sufat Farida, Ulfatin CH, Lephen Purwarahardja, Achid BS, Rina Ratih Sri Sudaryani, Mukti Haryadi, Ismet NM Harris, M Nurgani Asyik, Syam Candra Mentik dan lain-lain menyemerbak serupa bunga-bunga di taman sastra Yogyakarta.

Sayang memang, aktivitas sastra yang diselenggarakan oleh Lingkar Kreativitas Sastra Yogya secara mobil dari rumah sastrawan satu ke rumah sastrawan lainnya atau dari kampus satu ke kampus lainnya itu, hanya berlangsung beberapa tahun. Namun, keberakhiran aktivitas tersebut tidak berarti keberakhiran sastra di Yogyakarta. Secara faktual, Sigit Sugito membentuk Paguyuban Teater Bantul (PTB). Paguyuban ini tidak sekadar sebagai wadah aktivitas teater, melainkan pula sebagai medium interaksi kreatif sesama sastrawan Bantul khususnya dan Yogyakarta umumnya.

Di luar dugaan, Suwarno Pragolapati pun turut turun gunung untuk menggairahkan kehidupan sastra di Yogyakarta. Melalui Sanggar Yogya Sastra Pers (SYS), Mas Warno mengumpulkan para generasi muda yang berminat untuk menulis karya sastra. Selain itu, melalui dukungan Sumantri Citropati, berbagai acara sastra seperti pertunjukan dan diskusi dapat diselenggarakan di Perwatin secara intensif. Hingga Perwatin (awal dekade 90-an) telah menjadi media interaksi kreatif efektif bagi para sastrawan. Ajang diskusi sastra yang terbuka sampai fajar tiba. Luar biasa! Berkat dukungan dari kawan-kawannya, kerja keras Mas Warno tidak sia-sia. Terbukti beliau mampu membangkitkan kembali proses kreativitas literer Kuswahyo SS Rahardjo almarhum yang telah membeku sekian tahun. Kelahiran Muhammad Fuad Riyadi dan Endang Susanti Rustamadji di dunia sastra Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari bimbingan beliau.

Lagi-lagi sejarah membuktikan bahwa sastra Yogyakarta tidak pernah mati. Sekalipun beberapa kelompok pengembang sastra, seperti; PSK, Lingkar Kreativitas Sastra Yogya, PTB dan SYS telah mengakhiri aktivitasnya. Paruh dekade 90-an, Asa Jatmiko dkk telah membentuk Himpunan Sastrawan Muda Indonesia (HISMI). Aktivitas sastra yang mendapatkan dukungan dari Taman Budaya Yogyakarta (TBY) itu mampu memberikan kontribusi kepada sastrawan muda di dalam meniti proses kreativitasnya.

Baru pada pasca 2000 sesudah HISMI berangsur-angsur tidak menggeliatkan aktivitas sastranya, persoalan regenerasi sastrawan yang efektif di Yogyakarta tampak muncul di permukaan. Hingga nama-nama semisal Hasta Indriyana, Pay Jarot Sujarwo, Abror Y Prabowo, Y Wibowo, Sriyono Daningrono, Bambang Susilo dkk harus meluangkan waktu buat ngangsu kawruh (menimba pengetahuan) sastra dari rumah ke rumah para suhu sastra.

Upaya para generasi sastra di dalam melakukan interaksi kreatif di bidang sastra tersebut merupakan langkah taktis guna meningkatkan kualitas karya-karyanya. Agar eksistensi kesastrawanannya tidak diragukan lagi sebagaimana para generasi sebelumnya yang masih eksis di Yogyakarta kala itu, seperti: Raudal Tanjung Banua, Satmoko Budi Santoso, Aning Ayu Kusuma, Edi AH Iyubenu, Ita Dian Novita, Zainal Arifin Thoha, Kuswaidi Syafi’ie, Akhmad Muhaimin Azzet, Abdul Azis Sukarno dll.

Apa yang sekilas saya paparkan di atas, seyogianya ditangkap sebagai sumbangsih pemikiran atas kegelisahan Sunardian Wirodono tentang masa depan sastra Yogyakarta, yang mana nasibnya sangat tergantung pada sikap generasi berikutnya itu. Karenanya, apabila sastra diibaratkan sebagai kereta, maka para generasi sastra harus mampu menjawab buat apa dan untuk siapa sastra diciptakan, serta melalui jalan mana dan ke mana sastra diarahkan? Persoalan ini harus dijawab terlebih dulu. Agar penciptaan karya sastra tidak diasumsikan dengan membangun rumah mimpi yang sekadar membawa kehidupan manusia jauh dari bumi pijakan.

Dengan memahami konsepsi dan motivasi di dalam penciptaan karya sastra, para generasi tersebut niscaya mampu menciptakan image bahwa masa depan kehidupan sastra di Yogyakarta niscaya kian membaik. Di mana sastrawan-sastrawan arif dan rendah hati bakal dilahirkan. Sekelompok insan yang selalu memosisikan sastra sebagai media pembelajaran kehidupannya. Hingga mereka serupa suhu bagi dirinya sendiri. Bukan pendekar di dunia persilatan, yang selalu menganggap pihak-pihak berseberangan sebagai lawan bebuyutan.

Terakhir ditandaskan, pemerhati sastra (baca: penyair) Sunardian Wirodono tidak perlu menggelisahkan perihal masa depan sastra di Yogyakarta. Mengingat solusi arif atas persoalan tersebut bukan polemik kusir berkepanjangan, melainkan apa yang mampu dilakukan seoptimal mungkin di dalam upaya menumbuhkembangkan sastra di kota ini. Hingga Yogyakarta yang diasumsikan sebagai salah satu barometer sastra di Indonesia senantiasa terjaga eksistensinya.

*) Penulis Sastra, Tinggal di Yogyakarta.
Dijumput dari: http://komunitassastra.wordpress.com/2009/12/13/sastra-yogya-tidak-pernah-mati/

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati