Minggu, 31 Juli 2011

Mochtar Lubis: Pahlawan Saya Mahatma Gandhi

ditulis ulang: Leila S. Chudori
http://tempointeraktif.com/

Dalam usia 70 tahun pekan lalu, wartawan sejak sebelum perang ini mengenang banyak hal. Dari “zaman keemasan pers Indonesia”, hubungannya dengan Bung Karno, sampai bagaimana menjaga semangat dalam sel penjara.

Dialah wartawan Indonesia yang banyak memperoleh penghargaan internasional. Antara lain Hadiah Ramon Magsaysay dari Filipina, dan Pena Emas dari Federasi Pemimpin Redaksi Sedunia. Sastrawan yang juga banyak meraih hadiah ini, yang mendirikan majalah sastra Horison, dan salah seorang anggota Akademi Jakarta ini bertutur tentang semua itu kepada Leila S. Chudori.
***

Saat itu saya masih berusia sembilan tahun. Dan saya ingat betul, di suatu pagi, ayah yang bekerja sebagai seorang demang di Kerinci, melarang kami bermain di halaman belakang rumah kami yang luas. Rumah kami yang terletak di bukit memang dipenuhi pohon, dan kami sering memanjat pohon-pohon itu untuk memandang kota Sungai Penuh atau menonton yang terjadi di halaman belakang penjara. Tapi, justru karena ayah melarang, saya jadi penasaran. Saya terbelalak, karena saya melihat ayah saya beserta seorang dokter kenalan keluarga kami dan kontrolir Belanda berdiri di halaman belakang penjara.

Kemudian dua tahanan yang lunglai keluar dari pintu penjara diiringi pengawal penjara. Tahanan itu diperintahkan tengkurap di dua balai. Kaki dan tangan mereka diikat. Dua orang berpakaian hitam dan membawa cambuk panjang menyusul. Setelah dokter memeriksa kedua tahanan, kepala penjara memberi perintah pada dua orang berpakaian hitam tadi. Maka keduanya memulai mencambuki punggung kedua narapidana itu. Setiap kali cambuk itu mendarat di punggung mereka, hatiku terasa ikut dicambuk.

Dari jauh saya bisa melihat dengan jelas darah segar yang menetes. Kenapa Bapak tidak menghentikan tindakan itu? Dan bagaimana dokter kenalan kami bisa berdiri di sana? Lalu, kenapa kepala polisi yang selama ini begitu ramah tamah pada kami kelihatan garang di sana? Saya tak tahan lagi, saya menangis, saya berlari ke rumah.

Di rumah saya katakan pada ibu badan saya panas. Saya meringkuk di tempat tidur sampai Bapak pulang. Siang hari, Bapak banyak memandangi saya dengan lembut. Saat itu saya menyadari, ia pasti tahu bahwa saya mengintip kejadian itu. “Sekarang kau mengerti kenapa aku selalu melarang anak-anakku untuk menjadi pegawai Belanda. Cukup satu saja di keluarga ini!” katanya sambil mengusap kepala saya.

Saya menangis dengan hati perih. Belakangan saya baru tahu identitas kedua narapidana malang itu. Bapak bercerita bahwa kedua orang yang dicambuk itu kuli kontrak dari pulau Jawa. Mereka bekerja di perkebunan teh terbesar di Indonesia di daerah Kayu Aro, Kerinci. Karena upah mereka tidak memadai, maka para kuli ini suka meminjam uang. Nah, jika kontrak habis sementara mereka masih berhutang, terpaksa mereka bikin kontrak baru dengan Belanda. Ini menyebabkan mereka harus jadi kuli kontrak sampai mati.

Mereka yang sudah tidak tahan dengan beban itu lalu mencoba melarikan diri. Mereka yang kabur dan tertangkap itulah yang dipecut punggungnya hingga keluar darah. Kejadian ini terus membayang di benak saya, hingga mempengaruhi pandangan saya terhadap keadilan. Dan agaknya peristiwa inilah menjadi dasar dari sikap saya sebagai wartawan maupun sebagai penulis.

MASA KECIL

Sentuhan saya pada kesenian sebenarnya diawali dengan melukis. Saya mulai melukis ketika saya masih di sekolah rakyat. Baru ketika saya duduk di kelas V saya mulai menulis cerita anak-anak. Mungkin saya terpengaruh oleh ibu saya yang sering mendongeng dan saya mengulangnya buat adik-adik. Abang dari ibu saya seorang seniman Mandailing yang menulis syair-syair dalam huruf Mandailing. Ibu melahirkan saya di Padang 7 Maret 1922 sebagai anak keenam. Kami semua berjumlah 10 bersaudara yang terdiri lima perempuan dan lima lelaki.

Ibu saya, Siti Madinah bermarga Nasution meninggal ketika berusia 96 tahun. Ayah saya Raja Padapotan bermarga Lubis meninggal ketika berusia 75 tahun. Meski lahir dan dibesarkan di Padang, saya tetap merasa sebagai seorang Mandailing. Bagi saya, Mandailing adalah tanah yang cantik. Pada zaman kolonial, daerah itu masih penuh harimau, gajah, dan burung-burung dan tak mungkin saya bisa-lupakan alamnya dan gunung Merapinya, ada sungai yang indah berpasir mengandung emas. Orang Mandailing mencari nafkah dari tanaman karet, tapi jika harga karet jatuh, mereka ke sungai mendulang emas.

Meski ayah saya bekerja sebagai demang, tak bosan-bosannya ia mengatakan kepada kami, “Jangan kalian bekerja kepada pemerintah Belanda.” Sebagai pegawai Belanda, ayah saya terkenal tegas, tak pandang bulu. Ia pernah diturunkan pangkatnya gara-gara menampar seorang kontrolir Belanda. Ayah saya kesal karena kontrolir itu bersikap congkak.

Kesadaran bahwa kita dijajah cepat sekali tumbuh di dalam diri saya. Ayah tak mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Belanda. Ia masukkan abang saya ke America Methodist Boys Scool di Medan, abang saya tertua dikirim sekolah di Singapura, dan saya sendiri setelah lulus sekolah rakyat dikirim ke Sekolah Ekonomi di Sumatera Tengah. Padahal, saya ingin masuk MULO, karena saya ingin jadi dokter. “Jangan! Kalau kamu sekolah dokter, nanti bekerja pula sama Belanda,” cegah ayah saya. Jadi, dengan berat hati saya Sekolah Ekonomi di Kayu Tanam, di kaki gunung di luar kota Padang.

Sekolah ini memang agak istimewa dari segi kurikulum maupun filsafat. Ini sekolah yang didirikan oleh salah seorang tokoh pendidikan yang bernama S.M Latief. Ia lulusan pertanian tinggi di Nederland. Latief membangun sekolah ini dengan tujuan mendidik anak Indonesia untuk menjadi mandiri, merdeka dan anti kolonialisme. Mereka mengajar kepada murid agar para murid jangan ada yang mau bekerja dengan Belanda setelah lulus nanti. Akhirnya, saya memang menyukai guru-gurunya dan setuju dengan filsafat sekolah itu, yakni anti kolonialisme. Maka kami mengerti apa arti penjajahan, mengapa kita menginginkan kemerdekaan, apa arti Indonesia Raya, apa harga diri bangsa, dan seterusnya.

Dalam hal kurikulum, sekolah ini agak berbeda dengan sekolah umum lainnya. Anak-anak yang bersekolah di situ bisa meneruskan SMP ke SMA yang sama. Dan masih semuda itu, kami sudah diajarkan pemikiran Adam Smith dan teori ekonomi lainnya. Selain itu, mereka juga tidak ingin menjejalkan hafalan seenaknya. Mereka ingin kami mengerti filsafat hidup melalui berbagai praktek.

Misalnya, suatu hari, kami diajarkan main catur. Mula-mula saya heran dan tidak melihat konteks pengajaran catur dalam hidup. Setelah delapan bulan gurunya bertanya, kenapa kita belajar main catur. Semua murid mengangkat tangan. Seorang kawan saya menjawab, “karena permainan ini mengajak kita berpikir berbagai langkah dan antisipasi ke masa depan dan belajar berpikir yang matang.” Dan guru saya membenarkan.

Ketika libur, anak-anak yang sudah kelas senior disuruh latihan kerja di perkebunan karet atau perkebunan kelapa sawit atau di pabrik, dan dianjurkan bergaul dengan kuli-kuli. Selain itu, karena kami tinggal di asrama yang fasilitasnya lengkap tersedia. Kami bisa main tenis, berenang, atau naik gunung. Jika pelajaran botani, kami diajak masuk hutan untuk mempelajari kekayaan tanaman Indonesia selama 10 hari atau lebih. Jadi kami tidak mengurung diri di kelas saja.

Yang paling mengesankan adalah perpustakaan sekolah yang saat itu yang terbesar di Sumatera karena memiliki 35 ribu buku. Latief mempunyai cara sendiri untuk mengumpulkan buku sebanyak itu. Setiap tiga bulan sekali, ia menerbitkan sebuah majalah bernama Resensi dalam empat bahasa: Jerman, Belanda, dan Prancis. Kemudian dia kirimkan ke semua penerbit di seluruh dunia. Maka para penerbit mengirim buku-buku sastra, ekonomi, politik, dan buku-buku lainnya ke perpustakaannya.

Yang lebih penting lagi, kami selalu didorong untuk selalu membaca. Cara mereka mendorong kami adalah dengan memberikan kredit angka jikalau kami bisa menceritakan kembali buku yang sudah kami baca. Melalui perpustakaan itulah saya mengenal karya sastra dunia. Saya ingat betul, salah satu buku yang berkesan bagi saya dimasa kanak-kanak adalah Tom Sowyer karya Mark Twain yang terjemahannya diterbitkan oleh Balai Pustaka. Sungguh saya melihat diri seolah-olah seperti Tom yang senang bertualang itu.

Saya juga terkesan oleh karya Hernet Becheer Stowe yang berjudul Uncle Tom’s Cabin. Betapa sedihnya ketika saya membaca halaman terakhir buku itu. Setelah lebih dewasa, saya mulai menyukai buku sastra klasik Perancis karya Dostoyesky dan berbagai sastra klasik Perancis dan Inggris. Untuk sastra kontenporer saya penggemar Albert Camus dan Ernest Hamingway. Ketika saya berusia 16 tahun saya bergabung dengan Indonesia Muda, sebuah pergerakan yang mendukung gerakan nasionalis untuk merebut kemerdekaan. Anggotanya adalah pemuda berusia 16 ke atas.

MASA PENJAJAHAN

Sebelum Perang Dunia II, sekitar tahun 1940-an, saya lulus sekolah. Karena saya bercita-cita ingin menjadi dokter, maka saya pindah ke Jakarta. Semula saya berkerja di Bank Factorij, sebuah bank besar Belanda yang mendukung finansial industri gula di pulau Jawa. Sementara abang saya, Bactar Lubis, yang sekolah di America Methodist Boys Scool, sudah bekerja di konsulat jenderal Inggris.

Selama saya bekerja di sana, saya selalu berterus terang pada rekan Belanda, “kalian tak boleh berlama-lama di sini.” Lalu kami mulai berdiskusi hingga meningkat menjadi perdebatan yang panas. Dua tahun kemudian, Jepang datang. Kantor Bank Fatorij langsung disita. Saya ingat betul, betapa gembiranya kawan-kawan saya yang menyangka akan dibantu orang Jepang. Ketika Jepang mendarat di Banten, orang Jakarta sudah siap menyambut. Saya menunggu mereka di Hayam Wuruk.

Di sebelah saya ada seorang nyonya muda Belanda dengan anaknya yang berumur sekitar lima tahun. Ketika tentara Jepang masuk, baunya menyerang hidung kami karena mereka baru saja berperang dan tak pernah mandi. Ada yang menuntun sepeda dan semua membawa senapan yang lebih panjang dari badannya. Eh, tiba-tiba anak kecil Belanda itu berteriak dalam bahasa Belanda sambil menunjuk bendera Jepang, “Mami, mami alangkah jeleknya bendera itu,mami…” Ibunya menyuruh anaknya menutup mulut sambil melirik saya, wajahnya tampak ketakutan. Saya tersenyum padanya. Dan nyonya muda itu membungkuk sedikit serta menarik anaknya, lalu mereka pergi.

Di situlah saya melihat betapa takutnya Belanda terhadap orang Jepang. Orang Indonesia pada umumnya gembira bukan karena Jepang masuk Indonesia, tapi gembira merayakan kekalahan Belanda. Ada yang percaya bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan itu dan adapula yang curiga dengan kehadiran Jepang. Belum lama ini terbuka bagaimana tentara Jepang memperlakukan wanita-wanita Korea. Saya merasa mereka pernah memperlakukan hal yang sama terhadap perempuan Indonesia.

Saya mendengar dari beberapa kawan, mereka melihat perempuan-perempuan Indonesia yang dibawa ke Tanjung Priok untuk dikirim ke Ambon dan ke tempat lain tentara Jepang bertugas. Entahlah. Memang ada yang melakukan investigasi tentang hal ini. Saya menganggur sekitar sebulan. Bang Bachtar bergabung dengan stasion radio yang saat itu sudah dikuasai Jepang. Bang Bachtar menginformasikan bahwa kantor radio militer Jepang memerlukan anggota redaksi yang mampu siaran berbahasa Inggris. Saya melamar dan diterima. Maka, pekerjaan saya setiap hari mendengarkan VOA, BBC, Radio Australia, Radio Belanda, dan Radio siaran asing lainnya. Setelah itu saya harus mencatat dan bikin laporan dan komentar.

Selain saya, ada beberapa orang Indonesia dan orang Belanda bekas redaksi Kantor Berita Belanda di Indonesia Aneta yang bekerja di sana. Kantor radio militer Jepang itu terletak di jalan Riau, belakang President Hotel sekarang. Saya senang karena saya bebas mengetahui apa yang terjadi di dunia dan setiap kali ada berbagai informasi, saya sampaikan pada Bang Bachtar yang ikut gerakan mempersiapkan perjuangan untuk merebut kemerdekaan.

Jepang memang kejam. Tapi mereka memperlakukan saya cukup baik. Terus terang, secara tidak langsung, saya belajar jurnalistik ketika bekerja di radio militer Jepang itu. Saya ikut latihan militer karena senang dengan latihannya yang keras. Pada zaman Jepang pula saya berkenalan dengan Hally yang kemudian menjadi istri saya. Ceritanya, Hally dulu bekerja sebagai staf di surat kabar Asia Raya yang diterbitkan Jepang. Ia berkawan dengan istri Rosihan Anwar yang bekerja di sana. Banyak wartawan bekerja di sana, termasuk B.M Diah dan Rosihan Anwar. Nah, saya berkenalan disitu.

Saat itu, sabun wangi sangat sukar didapat. Kebetulan saya menjadi salah satu juru distributor sabun wangi kepada kawan-kawan. Nah, salah satu sabun itu saya berikan pada Hally, untuk merayunya, ha,ha,ha… Maklum, sabun wangi adalah barang eksotik saat itu. Kami berpacaran dan menikah tahun 1945. Bulan Agustus 1945, saya sudah berjanji pada Bang Bachtar, saya akan memberitahu mereka jika Jepang kalah. Bang Bachtar dan kawan-kawannya sudah mempersiapkan pemuda-pemuda Indonesia. Jadi begitu saya mendengar berita tersebut, langsung saya kasih tahu padannya.

Bang Bachtar, Jusuf Ronodipuro, Taslim Ali, dan kawan-kawannya yang lainnya akhirnya merebut RRI Jakarta. Karena Bachtar dianggap salah satu pemimpin yang merebut RRI dari tangan Jepang, ia ditangkap polisi Kenpentai dan disiksa cukup berat. Setelah proklamasi ia masuk Akademi Militer Yogya.

MENJADI WARTAWAN

Setelah proklamasi, seorang kawan yang bekerja di Kantor Berita Antara mengajak saya membantu Antara. Sebetulnya Kantor berita Antara sudah didirikan di masa penjajahan Belanda, tapi pada masa pendudukan Jepang sempat dipegang oleh kantor berita Jepang Domei. Setelah Jepang kalah, Bung Adam Malik membenahinya kembali. Seorang wartawan Antara, Syahrudin juga mengajak saya untuk bergabung. Saya segera bergabung karena memang tertarik untuk menjadi wartawan.

Beberapa hari setelah saya bekerja, tiba-tiba Bang Bachtar mengajak saya masuk Akademi Militer di Yogya. “Kita harus ikut bertempur melawan Belanda yang akan datang ke sini. Abang sudah mendaftar di AMN. Kalau kamu mau ikut, kita bisa atur…” katanya. Terus terang, saya sempat tertarik untuk ikut berjuang dengan senapan. Maklum saat itu saya masih muda dan jiwa saya masih berkobar-kobar. “Tunggu dulu, Bang. Saya sudah berjanji dengan Bung Adam (Malik) untuk membantu Antara. Saya harus bicara dulu dengannya,” jawab saya. “Baik, saya tunggu tiga hari,” kata Bang Bachtar.

Saya agak bingung dan saya datangi Bung Adam. “Bung Adam, program perjuangan kemerdekaan nampaknya harus berubah… saya mau masuk militer saja…” kata saya. Bung Adam kaget. “Ah, jangan. Berjuta pemuda Indonesia sudah siap berjuang angkat senjata. Tapi yang berjuang dengan pena susah dicari,” bujuk Bung Adam. “Aduuuh,” saya garuk kepala, “kasih waktu dua harilah, Bung.” Buat saya pendapat Bung Adam dan Bang Bachtar sama-sama sah dan berharga.

Perjuangan pena maupun senjata sama beratnya, hanya lapangan yang berbeda. Dilema ini menyebabkan saya tak bisa tidur semalaman. Tapi, saya tertarik dengan bidang jurnalistik. “Bang, saya mau jadi wartawan saja …,” kata saya akhirnya. Bang Bachtar berangkat, lulus AMN, jadi letnan dan bertempur di daerah Krawang Bekasi.

Tahun 1949, muncullah ide untuk mendirikan sebuah harian yang independen dari pengaruh Belanda. Kawan-kawan mengatakan bahwa kita perlu satu suara yang mewakili Republik Indonesia. Ide dan dorongan datang antara lain dari Hasyim Mahdan, juru bicara komando militer Jakarta Hiswara, seorang wartawan Kolonel dan Yahya, Gubernur Militer Jakarta dan saya. Indonesia Raya lahir tanggal 29 Desember 1949 dengan filsafat Dari Rakyat Untuk Rakyat. Logonya berwarna hitam dan terbit hanya empat halaman. Headline kami yang pertama adalah tentang timbang terima kedaulatan Indonesia di Istana Merdeka.

Karena dulu belum ada yang namanya SIT (Surat Ijin Terbit) atau SIUP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers), jalan untuk penerbitan Indonesia Raya sangat mudah. Cukup hanya dengan mendaftar kantor polisi saja. Saat itu jumlah “awak kapal” Indonesia Raya hanya sekitar 15 orang, termasuk reporter dan korektor. Pemimpin Redaksi pertama adalah Hiswara, dan beberapa saat kemudian, baru saya menggantikannya.

Memang saat itu pers belum menjadi industri besar. Penghasilan Indonesia Raya sebagian besar tertolong karena kami dilanggani beberapa ribu eksemplar oleh Angkatan Darat, yang beranggapan perlunya surat kabar yang mendukung Republik Indonesia untuk mengimbangi pers Belanda. Seingat saya, demikian pula keadaan oplah harian Pedoman dan Abadi. Dalam keadaan kesulitan cashflow, selalu ada saja pengusaha yang membantu kami, antara lain almarhum Syahzam, adik Perdana Menteri Syahrir Dasaad Haji Gani.

Saya merasakan yang sering kami sebut secara bergurau sebagai zaman keemasan pers Indonesia. Di tahun pertama kemerdekaan sistim parlementer dilaksanakan, partai-partai yang punya suara terbesar membentuk pemerintahan dari tahun 1946 sampai tahun 1955. Kebebasan pers saat itu sangat baik dan jauh lebih terjamin dibandingkan dengan masa kini. Bayangkan, berbagai harian bisa mengkritik pemerintah secara langsung. Jika pemerintah tersinggung paling-paling mereka membantah. Artinya pemerintah mengerti yang disebut hak jawab.

Hally, istri saya, sangat kritis terhadap berita-berita yang dimuat harian Indonesia Raya. Jika Indonesia Raya dianggap melempem, ia pasti menyindir saya. “Kok, rasanya sudah nggak enak ya baca Indonesia Raya.” Saya tertawa saja. Buat saya, komentar Hally memang penting karena ia sangat berharga dalam kehidupan saya. Ia adalah istri yang setia dan mengerti akan perjuangan. Ia sangat tabah ketika saya dipenjara. Ia tahu itu konsekuensi perjuangan. Tentu Hally sangat sedih. Tapi Hally sangat mendukung perjuangan kami sepenuhnya. Ketika saya ditahan di Madiun, Hally pasti muncul setiap bulan, naik KA berjubel-jubel, dengan ibu Anak Agung, Anak Agung Gde Agung, Yunan Nasution, dan lain-lain.

BUNG KARNO DAN SAYA

Orang sering menganggap saya sebagai musuh bebuyutan Bung Karno. Sebenarnya saya sangat menghargai Bung Karno pada awal pemerintahannya hingga masyarakat dan pers bisa sebebas itu. Bahkan, percaya atau tidak, Bung Karno pernah menjadi salah satu idola saya pada zaman Belanda. Pada zaman pendudukan jepang saya mulai skeptis padanya karena ia menganjurkan anak-anak muda masuk Romusha dan Heiho. Sebagai pemimpin seharusnya ia tahu akibatnya pada anak-anak muda yang kagum padanya.

Pertemuan saya pertama kali ketika saya mewakili Antara di Yogyakarta. Saat itu, ibu kota Indonesia masih di Yogyakarta. Saya ingat, ada sekitar lima atau enam wartawan yang berbincang dengan Bung Karno dan banyak orang, sehingga saya tak punya kesempatan berbincang secara personal. Ketika Bung Karno kembali ke Jakarta dan masuk ke Istana Merdeka, saya mulai mengenal Bung Karno secara pribadi. Maklum saat itu, tak seperti masa kini, Istana Merdeka sangat terbuka bagi wartawan. Bung Karno rajin mengundang kami makan bersama sambil mengobrol, saya terkesan oleh keramahan dan kehangatannya. Bayangkan, kami selalu diperlakukan sama, duduk bersama dan makan bersama di satu meja.

Indonesia Raya mulai mengkritik Bung Karno ketika ia kawin lagi dengan Hartini. Suatu hari kami didatangi serombongan perempuan yang menamakan dirinya Perhimpunan Puteri Indonesia (PPI). Ini organisasi pembebasan wanita yang sama sekali tidak identik dengan filsafat Dharma Wanita. Sayang saya lupa nama ketuanya. Yang jelas rekan-rekan wanita ini mengutarakan kekecewaan mereka, kenapa Presiden Indonesia yang mereka hormati dan selalu memuji harkat wanita wanita Indonesia itu bisa kawin lagi.

Mereka semua berpihak pada Fatmawati dan mengatakan harian Indonesia Raya harus membicarakan soal ini. ” Ini menyangkut martabat perempuan. Lihat, masak ibu negara diperlakukan seperti ini,” kata salah satu anggota PPI. “Tunggu dulu. Apa benar Presiden kawin lagi, kami harus mengecek lagi,” kata saya merasa terdesak. Lalu mereka menginformasikan Bung Karno mengawini Hartini di Cipanas. Akhirnya, saya pergi sendiri ke sana.

Saya cari penghulunya ke Kantor Urusan Agama. “Pak, saya dengar ada kabar gembira ya. Presiden kita sudah memperbesar keluarganya dan saya dengar bapak yang mengawinkan? ” Penghulu itu nampak senang mendengar pertanyaan saya, “O, betul Pak…” katanya semangat. Dia membuka bukunya. Saya baca: nama Soekarno, jabatan Presiden Indonesia dan seterusnya. Dan nama itu memang menikah dengan Hartini. Saya catat apa yang saya baca. Kisah ini kami beritakan di harian Indonesia Raya sebagai head line dan editorial keesokan harinya. Pemberitaan kami mengakibatkan kehebohan. Apalagi, kami juga menekankan di editorial bahwa betapa tak pantasnya seorang pemimpin memberi contoh demikian.

Yang kami dengar kemudian, Bu Fatmawati bermaksud meninggalkan istana. Yang menarik, setelah hebohnya headline itu, Bung Karno toh masih mengundang saya ke Istana Bogor untuk menghadiri acara rutin yang diadakannya. Ini acara berpiknik Bung Karno dengan wartawan beserta istri masing-masing sambil makan siang, mendengarkan musik dan menari lenso. Sikapnya tetap baik. Malah dia berolok-olok kepada rekan-rekan, “Alaah, Mochtar kan cuma cemburu sama saya…” Ha,ha,ha …Bung Karno memang lucu.

Indonesia Raya terus menghantam perkawinan-perkawinan Bung Karno berikutnya setelah perkawinannya dengan Hartini. Tapi Bung Karno tidak pernah bereaksi terhadap tulisan-tulisan itu. Yang membuat Bung Karno berang adalah tulisan saya mengenai sikap Bung Karno terhadap Jepang. Saya mengkritiknya gara-gara ratusan ribu pemuda Indonesia bersedia menjadi Romusha dan Heiho. Mereka mati disiksa Jepang karena mengikuti seruan Bung Karno dalam pidatonya untuk membantu perjuangan tentara Jepang. Saya punya banyak bukti kejamnya perlakuan Jepang terhadap pemuda-pemuda Indonesia yang ikut Romusha.

Ketika Ibu Kota dikembalikan ke Jakarta, Bung Adam Malik bilang kami harus keliling Asia Tenggara untuk membuat kontak-kontak untuk Kantor Berita Antara. Di Filipina, kami bertemu dengan dua orang Indonesia yang pernah ikut Romusha. Tubuh mereka bagaikan mayat, sudah tak berdaging dan mata cekung. Adapun yang bersedia bergabung dengan Jibakutai, pasukan bunuh diri Jepang. Saat terakhir Jepang di Jakarta, sebelum pasukan Inggris masuk, saya bertemu dengan satu regu Jibakutai mereka digunduli, berbadan besar dan tidak bersedia berbicara.

Sayang ketika Jepang kalah, Jepang banyak membakari dokumen militer mereka. Saya yakin, sebenarnya belakangan Soekarno menyadari bahwa imbauannya terhadap pemuda Indonesia untuk bergabung menjadi Romusha dan Heiho adalah kesalahan besar. Namun, tampaknya sudah terlajur termakan slogan “Inggris kita linggis, Amerika kita seterika”, meski sudah jelas Jepang akan kalah.

Suatu hari Jaksa Agung Suprapto menelpon saya: “Bung Mochtar, coba datang kemari sebentar.” Sayapun datang. Pak Suprapto menceritakan ada telepon dari Istana mengenai tulisan Romusha.” Saya tertawa. “Perkara Romusha? Wah, saya senang sekali kalau bisa bicara dengan Presiden soal Romusha,” sambut saya. “Saya siap dituntut, Pak. Saya bisa mengumpulkan sekitar 100 atau 200 orang yang pernah ikut Romusha” sambung saya lagi.

Saat itu undang-undang masih berlaku dengan baik, jadi saya siap menghadapi tuntutan seorang Presiden pun. “Tunggu dulu,” kata Jaksa Agung, “Saya harus lapor dulu pada Bung Karno.” Tiga hari kemudian saya ditelepon Jaksa Agung dan saya diminta singgah lagi. “Bung Karno tidak jadi menuntut…”kata Jaksa Agung Suprapto. “Lho, kenapa? Saya sudah menyatakan sudah bersedia kok,” kata saya. “Entah. Katanya, cabut saja,” jawab Jaksa Agung Suprapto.

Salah satu contoh lagi tentang kemerdekaan pers saat itu adalah kasus Roeslan Abdulgani, menteri luar negeri waktu itu. Ia menuntut Harian Indonesia Raya. Wakru itu ada undang-undang yang melarang warga negara Indonesia membawa mata uang asing ke luar negeri tanpa izin Departemen Keuangan. Roeslan Abdulgani dititipi uang oleh kawannya yang bernama D. Quelyu, bekas direktur Percetakan Negara, untuk suatu keperluan. Lalu kami mendengar keluhan orang Departemen Keuangan tenteng pelanggaran ini. Isi tulisan Indonesia Raya merusak nama baiknya. Kami membuktikan memang dia telah melakukannya, dan hakim membebaskan saya dari dakwaan Ruslan Abdulgani.

Belakangan, Roeslan Abdulganilah yang menjadi terdakwa. Bayangkan, zaman itu, seoarang menteri bisa dibawa kemeja hijau. Dan bahkan di dalam pengadilan terbukti Roeslan telah membawa uang asing hingga ia dijatuhi hukuman penjara dua tahun sekian bulan. Presiden Soekarno segera memberi amnesti kepada Roeslan, maka ia tak dipenjara. Hubungan saya dengan Roeslan tetap baik setelah kejadian itu, paling tidak dari pihak saya tidak pernah terjadi apa-apa. Hal-hal semacam ini masih bisa dilakukan pers jaman itu terutama, karena lembaga yudikatif masih sangat indenpenden.

Di masa itu pers masih dimungkinkan untuk menulis seorang menteri melanggar peraturan dan melakukan korupsi. Tentu saja sang menteri boleh menuntut. Tapi sang pemimpin redaksi juga mendapat kesempatan membuktikan apa yang ditulis itu bukan omong kosong. Ini menunjukkan bahwa perangkat hukum saat itu seperti hakim, jaksa, dan pengacara, masih bisa dipercaya intergritasnya. Tapi setelah Bung Karno mulai kacau, membubarkan konstituante dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, hancurlah masa jaya pers Indonesia.

Ketika BK meninggal, terus terang saya sangat sedih. Buat saya, biar bagaimana, ia adalah seorang pemimpin besar yang banyak jasanya. Memang jasanya dihancurkannya sendiri dan telah meninggalkan warisan yang harus dibereskan kembali. Sebagai seorang tokoh, ia seorang tokoh yang tragis. Ia disanjung rakyat, bahkan hingga kini, tapi dalam kurun waktu terakhir, ia terlalu asyik dengan petualangan politiknya dengan PKI yang tidak bermutu.

Saya banyak kawan-kawan lain adalah korban-korban dari PKI dan Lekra, jadi sulit bagi kami untuk melihat rasio di balik tindakan-tindakan mereka. Di dalam dunia kesenian, PKI tak kalah agresifnya. Saya tak pernah kenal Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang tokoh Lekra, secara dekat, karena bagi saya dunia kami memang berbeda. Bahwa kemudian buku-buku saya, Achdiat Kartamihardja, Takdir Alisjahbana, dan pengarang-pengarang lain dilarang karena desakan Lekra adalah salah satu desakan yang tidak mengherankan.

Pelarangan itu resminya menyatakan buku-buku itu anti demokrasi terpimpin. Saya ingat betul, sebelum saya ditahan oleh Soekarno, secara kebetulan saya bertemu dengan Aidit di resepsi di kedutaan RRC di Jakarta. “Aaah, Bung Mochtar, sudah lama tidak bertemu,” tegur Aidit. “Bung Aidit, makin hebat saja,” jawab saya: “Aaah, tidak, biasa saja. Begini Bung, saya ingin meramal sesuatu. Kelihatannya Bung Moctar dan mungkin anak-anak Bung tidak mungkin saya bikin menjadi PKI. Tapi saya pastikan, cucu Bung Mochtar suatu hari akan menjadi PKI. Saya yakin.” Saya tertawa mendengar ramalan itu.

Tahun 1974, ketika para wartawan senior diajak Pangkobkamtib (saat itu) Jenderal Soemitro mengunjungi pulau Buru, kata-kata Aidit terngiang kembali. Apa katanya, jika ia melihat kawan-kawannya bekerja di pulau terpencil seperti ini, memacul, membersihkan WC dan kesepian? Apakah Aidit masih akan tertawa terbahak-bahak? Kami mendapatkan waktu tersendiri untuk berbincang dengan Pramoedya. Ia menceritakan bagaimana beratnya tinggal di pulau Buru dan bagaimana mereka harus mendirikan rumah-rumah itu sekaligus menanam jagung dan membangun komunitas dari nol.

Pram mengeluh bahwa penjagaan terhadap mereka sangat keras dan jika ada yang berani mencoba lari, hukumannya sangat berat. Pram kelihatan sangat emosional dan memperlihatkan bahwa ia tak setuju dengan perlakuan terhadap penghuni penjara. Ia kelihatan sangat geram dan saya bersimpati kepadanya.

SAYA DITAHAN

Di suatu malam jumat, 21 Desmber 1956, saya ditahan atas perintah Bung Karno. Ia memerintahkan Nasution untuk menangkap saya. Nampaknya akhirnya kesal juga melihat tak bosan-bosannya mengkritiknya. Beberapa kawan sudah mulai mengolok-olok saya karena masih juga berseliweran dan belum juga ditahan Bung Karno. Awalnya penangkapan tokoh-tokoh PSI dan Masyumi, seperti Syahrir, Subadio (Sastropratomo) dan Natsir. Saya mengkritik penangkapan ini. Lalu saya dikenakan tahanan rumah.

Indonesia Raya boleh terbit. Saya tetap menulis tajuk rencana. Caranya, Hally membawa naskah itu ke kantor dan sementara saya tetap di rumah saya di jaga dua CPM bersenjata penuh setiap hari. Bulan pertama, saya tak boleh terima tamu, bulan berikutnya saya sudah mulai bisa merayu para penjaga. Saya bercerita tentang alasan saya mengkritik Bung Karno. Akhirnya mereka mulai mengerti, kalau saya mau keluar rumah.

“Pokoknya kami tutup mata deh, Pak…” kata mereka. Mereka percaya saya tak akan melarikan diri dan saya memang tak pernah berencana melarikan diri kemana-mana. Suatu hari, malah para penjaga CPM itu yang permisi mau pergi sebentar. “Pak kalau letnan kontrol, tolong dong bilang kami di belakang. Kami tinggalkan senjata. Kami mau ke Jakarta Kota cari duit…” Mereka pergi ke Glodok. Ketika letnannya datang saya bilang anak buahnya sedang di belakang. Pernah pula suatu malam, mereka minta izin pulang. “Pak, sudah dua minggu saya tidak tidur sama istri, jadi minta pulang ya …” Nah, karena itu para penjaga CPM bisa kompak dengan saya.

Setelah tiga bulan, saya bilang, “Eh, sudah lama saya tidak nonton film. Nonton yuk…” Mereka mau dan katanya: “Tapi belakagan saja datangnya, biar tidak kelihatan. Bapak terlalu dikenal orang, kalau ketahuan, kami yang susah.” Saya setuju. Maka saya nunggu di mobil sampai penonton sudah masuk semua, lantas kedua CPM itu mengurus tiketnya di Globe Teater. Ternyata tidak pakai karcis karena ada tempat duduk gratis buat anggota pemadam kebakaran yang dapat dipakai.

“Pak, kolonel mau nonton, ” kata CPM itu kepada menejer bioskop. “O, beres …” Saya segera diantar ke dalam dan orang-orang memberi hormat pada saya. Saya menahan tawa geli. Dulu, jabatan kolonel itu sangat tinggi. Begitulah kehidupan saya selama empat tahun, Indonesia Raya tetap beredar dan tetap laku. Setelah saya dibebaskan, saya mendapat undangan dari International Press Institute untuk menghadiri sebuah konprensi international di Tel Aviv. Di dalam konperensi itu saya mengatakan bahwa berbagai pemerintah negara berkembang tidak suka pada kebebasan pers. Banyak pemerintah negara berkembang takut di ekspos. Bung Karno nampaknya tidak suka dengan ucapan saya.

Ketika saya pulang, mampir di Singapura karena janji ketemu dengan istri saya untuk honey moon kedua. Ketika kami tiba di Kemayoran, di Imigrasi, pegawainya mengatakan “Maaf Pak, ada perintah jika bapak pulang, paspornya harap diserahkan pada kami.” Saya jawab, “Ambil saja.” Sebulan saya tidak diapa-apakan. Lalu saya dipanggil Peperti (Penguasa Preng Tinggi), “Pak, kami diperintah menahan Bapak.”

Waktu itu Mayor Pepertinya adalah Mayor Sudharmono yang sekarang menjadi Wakil Presiden. Jadi tugasnya dulu adalah menangkap-nangkapi orang. Alasannya menangkap saya karena saya dianggap menjelek-jelekan kepala negara. Padahal saya hanya mengatakan bahwa kebanyakan berbagai negara berkembang tidak suka kebebasan pers dan sama sekali tidak menyebut Bung Karno. Akibatnya, saya dibawa ke RTM (Rumah Tahanan Militer) di jalan Budi Utomo, dan dimasukkan ke dalam sel. Itulah pertama kali saya masuk sel.

Saya mendapat kamar yang sempit. Saya merasa gusar dan marah. Saya tak bisa duduk, tak bisa tidur. Beberapa hari dalam keadaan demikian, saya seperti mendengar suara bahwa jika saya terlalu merasakan penderitaan di sel itu, saya akan sakit. Benar juga. Maka saya menulis surat untuk Hally agar membawakan buku-buku bacaan, kertas, dan pena. Saya membaca dan rajin menulis buku harian sekaligus bersosialisasi dengan orang-orang sesama ditahan. Ada serdadu, ada yang ditahan dengan tuduhan subversi, ada pencopet, ada pembunuh. Pokoknya mereka sangat menarik untuk dijadikan bahan cerita.

Setelah beberapa lama di sana, saya dipindahkan ke RTM Madiun. Penjara di Madiun ini, berbeda dengan sebelumnya, penuh sesak dengan sebelumnya tahanan politik seperti Prawoto Mangunkusumo, Yunan Nasution, Kyai Ashari, Sultan Hamid, Princen dan lain-lain. Tapi saya anggap penderitaan di penjara ini tak seberapa karena direktur penjaranya seorang kapten yang gila tenis. Ia selalu mengajak kami main tenis setiap kali ada yang membawa bola tenis baru dari Jakarta. Bahkan kami sering dibawa main tenis ke tengah kota, minimal sebulan sekali.

Sekali waktu kami dipanggil kepala penjara yang baru dapat instruksi dari Jakarta. “PKI mengadu, katanya bapak-bapak terlalu enak hidupnya di Madiun. Jadi sementara ini kita jangan main tenis di luar dulu,” katanya. Maklum, zaman itu PKI sedang dominan. Ketika peristiwa gerakan 30 September PKI pecah, saya masih di penjara Madiun. Kami semua hanya mendengar peristiwa itu dari radio Jakarta.

Yang pertama disiarkan adalah nama-nama Dewan Revolusi. Saya ingat, yang pertamakali bereaksi adalah pak Subadio, “Wah, ini jelas PKI.” Kami semua langsung berdiskusi dan berkesimpulan bahwa di belakang itu adalah PKI. Kami semua memang menentang PKI.

Kami berbincang dengan pemimpin penjara, seorang komandan CPM, saya bilang, “Mayor, kalau PKI bisa jalan terus, kamilah yang pertama dibunuh di Madiun. Apakah anda bisa menjamin keamanan kami?” Mayor itu menjawab terus terang, “Tidak bisa Pak. Persenjataan dan anak buah kami tidak cukup. Tapi saya akan berusaha mengumpulkan senjata apapun ke sini. Nah, terserah Bapak-bapak akan melakukan apa. Jika mereka menyerbu, dengan anak buah yang lima orang ini, terserahlah.” Kami menghargai keterusterangannya dan kerja samanya, dan langsung menyusun strategi.

Rekan-rekan sepenjara dari Masyumi segera mengontak kawan-kawannya di Madiun, entah bagaimana mereka juga mendapatkan senjata dan mereka menyatakan siap untuk menjaga orang-orang yang di penjara. Suasana saat itu sangat menyeramkan dan tegang. Ketika saya mendengar salah satu korbannya adalah Ade Irma Suryani Nasution, hati saya menangis dan luka. Ini peristiwa yang sungguh gila. Sambil tiduran, meski mata terpicing, saya teringat kembali bagaimana kejam dan berkuasanya PKI ketika Bung Karno memberi angin.

Saya ingat bagaimana pandainya mereka menteror orang-orang yang menentang mereka. Tapi seberapapun kejamnya PKI masa lalu, saya tak setuju jika ada anak-anak, atau saudara eks PKI ikut-ikutan terkena getahnya seperti apa yang terjadi di masa Orde Baru. Artinya mereka dihukum berdasarkan guilt by association. Konsep bersih lingkungan adalah sebuah konsep yang sangat tidak saya setujui.

Apa salah anak-anak, kemenakan, atau cucu-cucu orang-orang PKI itu? Yang bersalah adalah orang tua mereka, bukan anak-anaknya atau saudaranya yang belum tentu percaya pada ideologi yang dianut bapak, adik, atau kakaknya. Itu sangat tidak adil dan tidak manusiawi. Tentang kejadian itu sendiri, saya tetap percaya bahwa kejadian tanggal 30 September itu adalah gerakan PKI.

SASTRA

Saya sudah mulai menulis sastra secara serius tahun 1946. Semuanya diawali karena saya tergugah melihat anak-anak muda yang mengikuti perjuangan bersenjata. Saya pernah mengikuti Syahrir, perdana menteri RI waktu itu, dan beberapa pejabat Departemen Luar Negeri ke Yogyakarta. Di kereta api ikut juga Soebandrio yang kala itu menjadi Sekjen Departemen Penerangan. Kala itu Bung Karno sudah pindah di Yogyakarta, tapi perdana menteri masih di Jakarta.

Kami naik kereta api ke Yogyakarta. Ketika kami menyeberangi batas antara tentara Republik dan tentara Belanda di kali Bekasi, saya melihat anak-anak Indonesia mulai menembak. Kami jalan terus ke Karawang. Kereta api berhenti. Lalu, kami dapat laporan, beberapa anak Indonesia terkena tembak. Soebandrio sebagai dokter segera bertindak. Dia mendiagnosa ada yang kakinya harus dipotong. Karena tidak ada alat untuk melakukan operasi, kaki mereka dipotong dengan gergaji. Sungguh mati, saya tak kuat melihatnya. Itulah sebabnya jika saya melihat para politikus Indonesia mempermainkan rakyat, wuaduh, saya marah besar. Saya sudah melihat bagaimana rakyat bersedia mengorbankan jiwanya untuk kemerdekaan Indonesia.

Saya tidak ingin terlalu emosional dalam sebuah penulisan jurnalistik, meski yang saya lihat adalah realita. Menyadari keterbatasan jurnalistik, saya lalu menuangkan hal-hal seperti itu ke dalam sastra. Sastra bisa mengekspresikan persoalan humanitas dan emosi manusia dengan kuat. Cerita pendek saya yang pertama dimuat di majalah Siasat. Waktu itu, usia saya sekitar 24 tahun. Lalu cerita pendek berikutnya dimuat di Mimbar Indonesia. Saya selalu menulis sebuah kisah fiksi berdasarkan pengalaman-pengalaman saya.

Sastra saya adalah kisah nyata berdasarkan kisah masyarakat kehidupan yang nyata. Bromocorah, Harimau-harimau, Kuli Kontrak, Si Djamal semuanya adalah berdasarkan kisah nyata. Bromocorah diilhami pada saat saya ditahan Bung Karno di Madiun. Bromocorah yang mengilhami saya itu kerjanya membelah kayu, dan saya sendiri sering mencari kayu untuk saya ukir. Kami sering mengobrol dan dia menceritakan ketika lari ke Riau. Saat itu masih banyak perampok kapal yang datang dari Singapura. Dan dia mengaku sering ikut kapal-kapal itu untuk merampok.

Cerita pendek Dara juga adalah sebuah kisah nyata tentang anak puteri kawan saya. Mengembara dalam Rimba adalah pengalaman saya ketika masih muda mengembara dalam hutan-hutan. Si Djamal memperlihatkan kenaifan manusia Indonesia. Dia seorang intel di Yogyakarta ditugaskan memata-matai Belanda di Jakarta. Belum apa-apa, yang dilakukannya pertama kali adalah mendatangi saya di kantor, menunjukkan kartu intel yang dimilikinya, dan menceritakan ke seluruh dunia bahwa ia adalah intel. Waduh, naif betul. Saya tertawa terbahak-bahak melihat kelakuannya.

Juga banyak yang merasa bahwa dalam Senja di Djakarta saya menceritakan sebagian kawan-kawan saya. Soedjatmoko sampai menghampiri saya dan mengatakan, “pasti tokoh ini adalah saya….” Dan saya jawab, “saya tak akan bilang apa-apa, tapi yang pasti memang ada Anda.” Kami sama-sama tertawa.

Saya ingat, suatu pagi ketika saya naik mobil menuju kantor Indonesia Raya, saya melihat seorang wanita yang kotor dan setengah telanjang. Ia berdiri di bawah pohon dan beberapa kali saya lewat, ia tampak tertawa sendiri, dan ngobrol sendirian. Sepotong kain yang menutup pinggulnya tampak kotor dan sobek-sobek. Maka saya tanyakan pada Hally, apakah ia memiliki sepotong kain batik bekas untuk diberikan pada perempuan itu. Hally segera memberi sepotong kain baik, dan sehelai blus.

Pagi itu juga saya menghampiri perempuan itu. Karena nampaknya sukar berbicara dengannya, saya hanya menggunakan bahasa tangan saja bahwa saya ingin memberikan kain batik dan blus itu padanya. Ia malah lari meninggalkan saya, dan setiap kali saya mendekat ia menjauh malu-malu. Beberapa hari saya bolak-balik, dan yang terjadi adalah wanita itu lari setiap kali melihat saya. Akhirnya saya tinggalkan saja potongan kain itu di bawah pohon.

Dari jauh, saya melihatnya ia mengambil kain batik dan blus itu. Sebuah pertanyaan yang selalu mengganggu saya adalah: apakah wanita itu benar-benar gila atau ia berpura-pura gila? Setelah beberapa lama, akhirnya saya menulis sebuah cerita pendek berjudul Perempuan Gila. Isi ceritanya adalah seorang perempuan yang sebenarnya tidak gila, tapi karena tidak memiliki baju, maka ia berpura-pura menjadi gila.

Saya ingat, saya menerima beberapa surat yang menyukai cerpen itu, tapi beberapa surat lain protes karena menganggap saya membesar-besarkan kondisi kemiskinan di Indonesia. Nampaknya banyak juga orang Indonesia yang menolak untuk melihat realitas di sekelilingnya. Tapi, semua komentar ini penting untuk saya.

Kritikus yang paling saya perhatikan di dunia ini adalah isteri saya sendiri. Seperti dalam dunia jurnalistik, Hally pun berperan penting dalam dunia kepenulisan saya. Ia sangat penting bukan hanya dalam karya saya, tapi dalam kehidupan saya. Terkadang karya saya, saya ubah karena kritik Hally, tapi sering juga saya biarkan.

Perhatian saya terhadap dunia sastra salah satunya adalah melalui Yayasan Obor. Ini adalah satu yayasan yang antara lain bergerak di bidang penerjemahan karya sastra asing ke Indonesia. Saya menganggap, masyarakat Indonesia patut diperkenalkan dengan karya sastra dunia, yang bukan hanya dunia Barat tapi juga belahan dunia lainnya, misalnya India, Filipina, Muangthai, Kenya, dan negara Dunia ketiga lainnya misalnya negara Amerika Tengah dan Selatan. Tapi itu tak berarti saya tak menghargai sastra Indonesia. Saya menyukai karyakarya Ramadhan KH karena ia sangat memperhatikan persoalan sosial. Novelnya Kemelut Hidup dan Keluarga Permana sangat menyentuh perasaan saya.

Saya juga menyukai karya Achdiat Kartamihardja dan Rendra. Saya juga menyukai Sutardji Calzoum Bachri karena ia berhasil membuat inovasi baru dalam dunia kepenyairan Indonesia. Tapi yang saya kenal betul sebagai seorang penyair dan secara pribadi adalah nama Chairil Anwar. Pertemuan pertama saya di rumah seorang teman. Lantas, saya juga sering bertemu di rumah Bung Syahrir. Saya tertarik dengan semangatnya yang selalu berapi-api, matanya selalu merah, dan badannya ceking seperti kekurangan makan. Mungkin karena itu dia selalu datang ke rumah saya tepat jam makan siang, ha,ha,ha…

Chairil pernah juga menyumbang perpustakaan saya dengan buku-buku curiannya. Ha,ha,ha. Ceritanya begini. Setiap hari saya menuju kantor majalah Mutiara, kantor saya sebelum mendirikan Indonesia Raya, saya selalu melalui sebuah toko buku besar yang terkenal, Van Dorp. Saya tahu betul, Chairil sangat ahli mencuri buku di situ. Pernah saya iseng-iseng bilang, “Ril, saya ingin deh sebuah buku.” Chairil mencatat nama buku itu, lalu katanya: “Beres. Kau bonceng aku ke toko buku itu, Tar.”Setengah jam kemudian dia datang, dan melempar buku itu ke atas meja saya.

Dia juga sering meminjam buku milik perpustakaan USIS (United States Information Service) untuk saya dan tidak mengembalikannya. Gila nggak!! Ha,ha,ha… Bicara tentang Chairil berarti bicara soal wanita-wanita impiannya. Pacar Chairil banyak betul. Kelihatannya waktu Chairil hanya habis digunakan untuk pacar-pacar dan puisinya. Kami selalu prihatin melihat cara Chairil menggunakan waktunya. “Ril, kau ini jangan seperti lilin, terbakar di ujung atas dan bawah. Kau punya bakat begitu bagus. Jaga dong kesehatanmu.” Dia selalu menjawab dengan matanya yang merah dan suara parau, “Ah, itu kan prinsip hidup kalian yang borjuis. Aku ini seniman murni.”

Seringkali kini jika kita berdebat soal sastra dan kebudayaan, saya teringat Chairil karena pemikiran Chairil tentang budaya sangat tajam. Memang benar, sekarang banyak sekali seniman-seniman muda yang potensial dan banyak pula forum-forum yang tumbuh. Tapi saya tidak yakin diskusi-diskusi atau forum yang terjadi kini mengekspresikan keadaan di masyarakat. Saya ikut dalam Forum Kebudayaan yang diorganisasi oleh Fuad Hassan. Banyak rekan-rekan, antara lain Sutan Takdir Alisyahbana, Umar Kayam, yang duduk di dalam forum ini yang bertugas mempersiapkan ide-ide masalah kebudayaan yang harus masuk dalam Kongres Kebudayaan. Tapi nyatanya, yang dilontarkan oleh anggota forum tak ada yang diperhatikan sama sekali.

Salah satu contoh saja, saya diminta menulis peranan seniman dalam masyarakat. Lalu saya bilang, “Saya tidak suka tema ini. Ini sudah sering dibicarakan dan tak ada gunanya diulang-ulang. Saya ingin memfokuskan persoalan kebudayaan hari ini dan mendatang.” Lalu surat saya tidak dibalas lagi. Ya sudahlah, saya tak perlu datang. Bagi saya, uang satu milyar rupiah ongkos Kongres Kebudayaan itu buang-buang uang saja. Saya merindukan perdebatan-perdebatan kebudayaan yang mampu membuat kita berpikir lebih mendalam tentang problem-problem kebudayaan yang sedang dan akan kita hadapi.

Saya teringat terjadinya perdebatan panas tentang apakah sastra bisa menggerakkan masyarakat untuk menjadi revolusi. Tentu saja saya tak percaya sebuah karya sastra secara langsung bisa meletupkan revolusi besar. Jika kita menulis sastra dengan mengungkapkan nurani, dengan sendirinya sastra itu sudah menyentuh perasaan manusia, dan mendorong manusia untuk berpikir. Jadi saya lebih percaya bahwa sastra bisa menggerakkan manusia untuk berpikir.

MASA ORDE BARU

Ketika Orde Baru, harapan saya mulai tumbuh. Tapi harapan dan kegembiraan saya hanya berusia beberapa tahun pertama. Saya mulai kecewa ketika Orde Baru tidak cukup rasional dalam menangani soal Taman Mini Indonesia Indah. Ketika mahasiswa protes dan Arief Budiman sampai digiring ke atas truk, saya sedih dan mulai ragu terhadap keadilan Orde Baru.

Rekan-rekan di Indonesia Raya mulai menganggap ada sesuatu yang terulang kembali di dalam Orde Baru. Ketika Ibu Tien mulai tampil dengan usulnya mendirikan Taman Mini Indonesia, sikap kami menentang karena kami anggap TMII bukanlah sebuah prioritas untuk saat itu.

Banyak ahli ekonomi maupun rekan wartawan yang menganggap bahwa prioritas pertama adalah menaikkan taraf hidup rakyat. Tidak ada yang bermimpi setiap rakyat harus mampu tinggal di rumah mewah, tapi paling tidak rakyat harus bisa menikmati taraf hidup yang paling minimum, dan kebutuhan dasar sehari-hari sudah harus bisa dicapai. Tapi, masih ada sekitar 20 sampai 30 juta rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Ketika Indonesia Raya menulis kritik terhadap TMII melalui pemberitaan dan tajuk rencana, pers Indonesia belum mengalami belenggu yang ketat seperti masa kini. Buktinya kami masih bisa memuat tulisan-tulisan orang yang mengkritik berdirinya Taman Mini. Saya kira, Orde Baru masih mengalami masa balita sehingga mereka masih mentoleransi kritik-kritik. Jadi kami tidak dibreidel, tidak ditegur, bahkan tidak ditelepon sama sekali.

Di masa Orde Baru pun saya pernah ditahan tanpa melalui pengadilan, tanpa kesalahan, dan hingga sekarang tak pernah ada penjelasan apa pun. Semua bermula ketika tanggal 15 Januari 1974 saya berangkat ke Paris untuk memenuhi undangan UNESCO. Di sepanjang jalan dari Matraman ke Senen, saya lihat betapa ramainya anak-anak muda bergerombol. Saya tidak mendengar apa-apa tentang Malari atau Peristiwa Lima Belas Januari sebelumnya. Yang saya tahu adalah, ketika pulang dari Paris, harian Indonesia Raya bersama berbagai media lainnya telah ditutup. Dan saya ditahan tanpa alasan yang jelas.

Dalam sebuah wawancara majalah TEMPO dengan Jenderal Yoga Soegama, ia mengungkapkan sesuatu yang menggelikan. Ia menganggap bahwa saya adalah PSI atau paling tidak simpatisan PSI. Dan saya dengar saya dituduh pernah mengadakan pertemuan dengan Hariman Siregar di kantor Indonesia Raya dalam rangka menggerakkan mahasiswa. Itu semua adalah tuduhan yang sungguh tidak bermutu!

Memang benar saya sering berdiskusi dengan anak-anak muda, karena mereka sering bertandang ke rumah saya, hingga sekarang. Diskusi itu memang ngalor-ngidul dari soal dunia, hingga kritik-kritik kebijakan pemerintahan Orde Baru. Tapi itu hanya diskusi biasa yang saya yakin dilakukan berjuta penduduk Indonesia di berbagai forum resmi maupun tak resmi. Jadi hingga hari ini, Indonesia Raya beserta Harian KAMI, Nusantara, Pedoman dan lain-lainnya sudah tinggal makam saja.

Indonesia Raya pasti dikhawatirkan karena kritik-kritiknya. Apalagi sekarang, ketika soal komisi Haji Thahir dan Pertamina ramai dipersoalkan. Maklum, kami mendapatkan bukti-bukti kasus korupsi Pertamina sampai satu koper banyaknya. Isi dokumen itu antara lain adalah laporan pengeluaran minyak yang kemudian dimanipulasi pada saat penjualan. Dan selisih beribu-ribu liter minyak itu tak jelas ke mana larinya. Headline harian Indonesia Raya terus menerus membicarakan masalah korupsi ini hingga berminggu-minggu lamanya karena saya anggap ini kasus yang harus diberantas.

Seingat saya, reaksi pemerintah kemudian membentuk Panitia Tujuh dengan ketua Wilopo. Waduh, berapa puluh ribu rupiah ongkos yang dikeluarkan Indonesia Raya untuk memfotokopikan dokumen-dokumen itu, padahal kami tidak terlalu kaya. Tapi, kami pikir, ini demi pemberantasan korupsi dan karena pemerintah yang meminta, maka kami berikan. Satu kopor fotokopi dokumen kami berikan kepada Panitia Tujuh, dan satu kopor gede lagi buat Kejaksaan Agung. Toh sampai hari ini tak pernah terdengar hasilnya. Padahal Adam Malik sudah bilang, pemerintah akan menyediakan 80 orang akuntan untuk memeriksa keuangan Pertamina.

Setahun setelah kami mengekspos kasus Pertamina, saya ikut menyelenggarakan International Association Cultural Freedom di Bali yang dihadiri berbagai intelektual asing dan Indonesia. Ternyata, Ibnu Sutowo mengadakan resepsi untuk para peserta pertemuan itu di sebuah gedung di jalan Merdeka Barat. Karena saya yang mengantar beberapa tamu asing itu, maka mau tak mau saya juga ikut ke resepsi itu. Untuk pertamakali, setelah ekspos Pertamina itu, saya bertemu dengan Ibnu. Dan saya kagum, betapa correctnya sikap Ibnu kepada saya. Dengan sopan dia mempersilahkan kami dan mengatakan senang sekali bisa menjamu kami. Dia tidak menyentuh apa pun soal pemberitaan kami.

Sebenarnya kami pernah mendapatkan tanda-tanda optimisme dari pihak pemerintah untuk menerbitkan Indonesia Raya kembali. Tapi syaratnya adalah: nama korannya harus diganti jika pemimpim redaksinya saya, atau namanya tetap Indonesia Raya dengan pemimpin redaksi berbeda. Saya menolak persyaratan ini. Karena jika saya menerima salah satu persyaratan itu, berarti seolah-olah yang dituduhkan kepada saya itu memang benar.

Saya ingat, ketika saya baru dilepaskan dari tahanan setelah beberapa bulan. Pagi itu, saya masih melukis dan tiba-tiba saja seorang petugas penjara terengah-engah menceritakan bahwa saya dipanggil oleh Jaksa Agung Ali Said. “Biasanya kabar baik, Pak…” kata petugas. “Wah, nanti dulu deh, saya masih mau melukis,” jawab saya. Pagi itu, saya memang sedang dalam mood ingin melukis. Tapi petugas itu memaksa. Akhirnya, saya setuju dan dibawa mobil menuju kantor Jaksa Agung Ali Said.

Di dalam kantornya, Ali Said langsung menjabat saya dan mengatakan bahwa ada kabar baik, “Anda dibebaskan!” “Dibebaskan? Saya boleh ke mana saja?” tanya saya. “Ya, ke mana saja!” Ali Said menceritakan pertemuannya dengan pak Harto bahwa investigasi tentang saya menghasilkan kesimpulan bahwa saya tak bersalah dan tak ada bukti saya ikut menggerakkan Malari. Dan menurut Ali Said, Pak Harto mengatakan, “Sudah saya bilang pada Yoga, memang tak mungkin Mochtar Lubis melakukan hal yang bodoh seperti itu.” Cerita Ali Said ini kemudian saya tuliskan langsung di buku harian saya. Dan buku harian itu kini sudah diterbitkan sebagai sebuah buku dalam bahasa Belanda.

Saya mengerti jika pers masa kini sulit untuk memberitakan soal nepotisme dengan telanjang, misalnya. Saya merasa simpati dan sedih. Begitu banyak wartawan muda yang sangat potensial, mampu berbahasa Inggris dan berwawasan luas, tapi geraknya terbatas karena adanya SIUPP. Saya mengerti betul jika wartawan muda menjadi frustrasi karena mereka pasti sudah membongkar berbagai skandal, tapi demi kelangsungan hidup penerbitan maka masalah-masalah korupsi dan nepotisme itu tak bisa ditulis secara blak-blakan.

Orang memakai alasan bahwa kebebasan pers hanya bisa hidup di Barat. Saya sama sekali tak setuju dengan pandangan yang begitu simplistik ini. Ketika saya diwawancarai sebuah harian tentang Hari Pers Nasional, saya jawab bahwa itu adalah hari berkabung untuk pers Indonesia. Wartawan muda itu kaget dan mengajukan argumennya bahwa kini industri pers sudah lebih maju. Tentu saja industri pers sudah lebih maju. Tapi kalau ada wartawan yang menganggap bahwa SIUPP itu wajar dan menganggap bahwa kebebasan pers itu hanya hidup di negara-negara Barat, alangkah sedihnya saya.

Hal lain yang perlu ditulis saat ini, menurut saya adalah soal harkat wanita Indonesia. Menurut saya, meski sekarang sudah banyak wanita kota yang berpendidikan tinggi dan berpikiran maju, lelaki Indonesia masih tetap patriarkis, tetap chauvinis dan egois. Secara kultural, mereka masih lebih dinomorsatukan hingga dalam soal sosial dan politik, perempuan masih selalu didiskriminasi.

Pernah saya ke pantai Selatan Ujung Kulon (Binuangen) saya bertemu seorang perempuan usia 14 tahun. Setelah kami bercakap-cakap, saya menjadi sedih dan sakit hati. Ketika berusia 11 tahun dia sudah dipaksa kawin. Laki-laki itu meninggalkannya setelah empat bulan. Dikawinkan lagi, ditinggal lagi setelah dua bulan. Sekarang dia sudah dipaksa kawin lagi untuk ketiga lagi.

Saya heran, bagaimana undang-undang perkawinan bisa melindungi perempuan di desa seperti ini. Di kota pun sebenarnya persamaan hak wanita dan pria Indonesia masih terbatas di atas kertas saja. Salah satunya adalah tragedi Dharma Wanita. Buat saya sungguh menggelikan melihat seorang wanita menjadi Ketua Dharma Wanita hanya karena suaminya adalah seorang menteri. Padahal bisa saja isteri dari salah satu anak buahnya jauh lebih mampu memimpin. Bagi saya, Dharma Wanita adalah sebuah konsep dan pemikiran yang maha feodal.

Saya pernah membuat penelitian untuk sebuah organisasi internasional tentang PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) ke pulau Alor. Organisasi ini pernah mendengar bahwa bantuan yang diberikan kepada PKK tidak digunakan secara efisien. Saya bertemu dengan isteri lurah dan menanyakan efektifitas PKK. Ibu lurah mengatakan bahwa saya hanya boleh melempar pertanyaan pada perempuan yang mendampinginya. Selama dua jam ibu-ibu itu tak (berani) mengeluarkan sepatah kata pun. Bagi saya, ini sangat mencemaskan. Kemudian saya dengar bahwa Ibu lurah itu buta huruf, karena itu pendampingnya yang harus bicara atas nama dia.

Pernah juga saya menyaksikan ibu-ibu dibawa ke pusat PKK untuk mendapat makanan sehat, susu, dan kacang-kacangan. Ketika saya tanyakan salah seorang ibu apakah di rumah mereka mendapat makanan yang sama, maka ibu itu menjawab tidak. Mereka hanya bisa memakan seadanya. Padahal, laporan-laporan PKK yang diberikan kepada pihak donor adalah keadaan dan situasi yang bagus, timbangan bayi sehat, makan setiap hari bergizi dan laporan-laporan indah lainnya. Perhatian saya terhadap perempuan saya ekspresikan dalam kumpulan cerita pendek yang saya beri judul Perempuan.

APA YANG SAYA INGINKAN KINI

Kini saya adalah seorang Bapak dari tiga anak dan kakek dari 10 cucu-cucu yang manis. Tak ada satu pun anak saya yang menjadi wartawan maupun penulis. Mungkin mereka kenyang melihat bapaknya dipenjara melulu, ha,ha,ha…

Saya merasa beruntung selalu berbadan sehat dan tidak dibebani penyakit yang serius. Saya hanya pernah sakit kena malaria di Srilanka. Saya menjaga kesehatan saya dengan rajin beryoga. Ini salah satu oleh-oleh saya dari penjara selain keahlian mendongkel pintu dan mencopet dompet, ha,ha,ha…

Saya juga rajin berlatih kungfu dari seorang guru yang sudah sangat tua. Selain itu saya main tenis seminggu dua kali setiap jam enam pagi. Itu saya lakukan sejak usia 16 tahun. Olah raga saya yang lain adalah naik gunung. Saya sering naik gunung sendirian saja, menikmati hutan sendirian. Indah sekali. Karena keranjingan olah raga itu, maka ketika saya checkup di Singapura, sang dokter kagum mengatakan, “You have a fine machine, Mr.Lubis” katanya tertawa.

Meski saya punya kiritik besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia saat ini, saya selalu berpandangan optimistis. Saya tidak ingin bersikap pahit, karena itu tidak akan membantu memperbaiki keadaan. Pahlawan saya adalah Mahatma Gandhi. Saya merasa sangat beruntung pernah bertemu dengannya.

Waktu itu saya harus menghadiri Konperensi Asia pertama. Untuk menerobos blokade Belanda, kami mengendarai pesawat milik Patnaik, seorang pengusaha India yang sangat simpati dengan perjuangan Indonesia. Ia segera menyediakan beberapa kapal terbang buat menjemput kami di Maguwo. Sampai di Singapura, baru kami naik pesawat lain ke India.

Gandhi mendatangi delegasi kami. Ia begitu sederhana dengan mengenakan selembar kain putih dan sandal. Melihat mukanya saja, saya sudah jatuh sayang kepadanya begitu bening, begitu halus dan lembut. Tingkah lakunya persis seperti yang sering digambarkan media dan buku-buku tentang dirinya. Dengan membaca pemikiran Gandhi, saya selalu percaya akan perjuangan tanpa kekerasan.

Saya tak percaya bedil dan saya tak ingin aliran darah. Saat ini, banyak yang menganggap keberhasilan Orde Baru adalah stabilitas. Tapi untuk saya, stabilitas yang tercipta sangat semu karena berbagai hal dilakukan dengan paksaan. Tapi, seperti biasa, saya masih percaya, masyarakat Indonesia akan terus menerus menuntut haknya untuk berpartisipasi. Saya percaya, kita semua adalah orang-orang yang pandai…

14 Maret 1992

Sumber: http://202.158.52.214/id/arsip/1992/03/14/MEM/mbm.19920314.MEM7774.id.html

Rabu, 20 Juli 2011

Meruntuhkan Mitos Sutardji

(sebuah catatan dari bincang buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan SCB”)
Noval Jubbek*
http://sastra-indonesia.com/

Ketika beranjak remaja masa-masa SMA saya mulai tertarik menulis, lebih tepatnya merangkai kata-kata untuk sekedar memuji sosok perempuan yang saya suka. Dan serius mencari-cari tulisan indah (puisi) melalui buku-buku pelajaran. Ada beberapa nama yang puisinya sudah berakar (tak saya sadari nyata terdapat di buku tingkatan SD, SMP) salah satunya Sutardji Calzoum Bachri (SCB), yang terus terang rata-rata puisinya tak saya pahami maknanya. Ketika itu pula saya berpikir, apa mungkin puisi yang aneh bisa masuk ke dalam buku pelajaran anak sekolah?

Setelah belakangan saya mulai banyak acuan untuk menanyakan hal itu, lalu meraba-raba bahwa puisi yang tidak kita pahami, bisa jadi sangat bagus dan kuat. Karena jawabannya dari seorang yang saya anggap mengerti, rata-rata mengatakan: “makin sulit puisi kita pahami, kian bagus sekaligus kuat yang terkandung di dalamnya”.

Saya terkaget, ketika ada yang mengatakan Sutardji adalah presiden penyair negeri kita tercinta Indonesia ini. Sejak itu saya menjadi (mencoba) suka membaca karya-karya beliau, meski sebenarnya saya semakin tak paham apa maksud puisinya yang berjenis mantra. Sampai suatu ketika saya mendapatkan buku berjudul “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Coulzom Bachri”. Akan tetapi rasa tak paham saya kian menjadi-jadi terhadap puisi yang diusung Tardji, terutama berkredo mantra.

Tibalah saat bincang buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Coulsom Bachri” karya Nurel Javissyarqi yang diselenggarakan Pelangi Sastra Malang (PSM), bertempat di Kedai Sinau depan pasar buku Jalan Wilis Kota Malang dengan menghadirkan penulisnya dan pembandingnya Wawan Eko Yulianto. Tentu ini sangat menarik bagi saya, yang akan menemukan jawaban dari kegalauan diri saya mengenai puisi Tardji.

Acara pun mulai dimoderatori Denny Mizhar. Dia memberikan kesempatan Wawan Eko Yulianto berbicara terlebih dulu. Wawan menyebutkan bahwa penulis kritik tersebut (Nurel), gaya penulisannya -blogger, tak sama dengan esai-esai yang sering ditulis para pengkritik. Itu membuat Wawan merasa sedikit kesulitan memahami yang harus diperbandingkan. Setelah menyebutkan (hanya) meraba-raba maksud dari penulis, Wawan menjelaskan rabaannya tentang gugatan Nurel terhadap Tardji. Salah satunya mengkritik isi esai Tardji; bahwa Tuhan mencipta dari imajinasi-Nya, adalah sebuah kesembronoan Tardji dalam memaknai salah satu pemikiran Ibnu Arabi.

Ketika Nurel berkesempatan mempertanggungjawabkan karyanya, kami sebagai audiens merasakan semangat luar biasa dari seorang Nurel. Bagaimana dia mengungkapkan secara detail alasan-alasan dia berani mengkritik Tardji yang sudah presiden itu. Menurut Nurel (di antaranya) SCB menjadi hebat karena ada kekuatan “perkoncoan”. Sehingga terciptalah mitos bagi para pemula dalam sastra terutama puisi, bahwa Tardji benar-benar serupa dewa di bidangnya.

Setiap statement dia keluarkan (SCB), menjadi keharusan bagi pemula untuk mengikutinya, jadi konvensi tak dapat diganggu gugat oleh kaum muda. Padahal jika ditelisik lebih dalam, nampak trik-trik “perdukunannya,” semisal Tardji mengangkat teks Sumpah Pemuda sebagai contoh puisi berhasil, yang tentu menurut Nurel -hanyalah pengalihan demi memantapkan “puisi mantra” yang diusungnya.

Pada sesi tanya jawab menambah suasana seru. Terungkap bahwa pertanggungjawaban Tardji harus benar-benar dipertanyakan, terutama dalam dua esainya yang menurut salah seorang penanya Hasnan Bachtiar, dia tak sungguh yakin kalau Tardji memahami Ibnu Arabi -terutama Islam, dimana esainya Tardji mengutip ayat, surat Asy-Syu’ara. Menurut Hasnan, terjadi banyak loncatan ontologis dalam esai tersebut.

Membutuhkan waktu amat panjang untuk membongkar gunung yang terlanjur mencadas. Di akhir acara Bincang Buku Pelangi Sastra Malang [On Stage] # 12 telah usai, Denny Mizhar selaku moderator tak banyak menyimpulkan hasil diskusi. Yang jelas menurut dia masih kurang pantas menyimpulkan sekarang, apakah Nurel telah meruntuhkan mitos Tardji? Karena karya Nurel ini akan beranak-pinak mendewasa, ketika ada yang mengkritiknya secara serius.

Kemudian saya beranggapan; kita membutuhkan seorang Nurel lebih banyak lagi untuk menjadikan Sastra Indonesia tidak sekedar membuntut. Setidaknya ada yang memiliki keberanian merobohkan tembok samar itu, tentunya dengan karya yang bisa dipertanggungjawabkan.

Malang.2011

*Penjual Pulsa dan Anggota Pelangi Sastra Malang.
Sumber: http://www.facebook.com/notes/pelangi-sastra-malang/meruntuhkan-mitos-sutardji/238169576212034

Individual dan Manifes

Beni Setia
Lampung Post, 27 Maret 2010

TONGGAK individualitas sastra Indonesia dipancangkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dengan Kredo Puisi yang fenomenal. Dengan kredo itu, seluruh parameter penciptaan dan apresiasi puisi yang ditulis SCB bertolak dari konsep yang dirumuskan SCB. Dengan kredo itu, SCB tidak sekadar bilang kata adalah realitas itu sendiri dan bukan sekadar media buat mengomunikasi realitas itu, tapi juga menuntut agar ”tidak menilai puisi yang kutulis dengan ukuran yang tak sesuai.”

Di titik ini, individualitas SCB dengan Kredo Puisi-nya telah mencapai tingkat altar bagi alter ego kreatif individu SCB. Level lebih tinggi dari Surat Kepercayaan Gelanggang Chairil Anwar, dkk., yang hanya menyatakan diri mereka sebagai pewaris kebudayaan dunia, karenanya bebas buat melepaskan diri dari tradisi berkesusastraan lokal-nasional–puncak dari ide keberanian untuk mendunia yang dirintis Sutan Takdir Alisjahbana dengan gerakan kebudayaan Pujangga Baru itu. Situasi cogito ergo sum di konteks estetika dan ekspresi puisi serta sastra di latar belakang.

Sekaligus kredo individualistik mengukuhkan alter ego kreatif individualistik itu berbeda dengan gerakan Goenawan Mohammad, dkk., cq Manifes Kebudayaan. Yang meskipun bertekad akan mengukuhkan eksistensi sastra yang lepas dari dominasi dan pesan ideologi, tetapi lebih merupakan kesepakatan untuk melawan dominasi politik. Seluruh ide tersirat seni untuk seni yang mereka nyatakan tidak mengusung semacam altar bagi kebebasan ego kreatif, sekadar katup dengan selentik harap di keterjepitan ketika ideologi tak hanya berkehendak mendominasi wacana sosial-politik tapi juga potensi budaya.

Selentik asa saat seseorang diinjak kakinya dan si penginjak tak bisa diingatkan dengan teriak sakit dan protes–sebuah wacana peringatan santun khas Solo. Sebuah manifes yang mendekati kepasrahan di level Gusti Allah ora sare–Tuhan tidak pernah tidur, atau Tuhan sedang menangguhkan satu kebenaran hakiki. Meski begitu, seluruh manifestasi tadi sokong-menyokong dukung-mendukung, bahkan itu jadi fondasi bagi kredo SCB dan akhirnya kehadiran estetika khas puisi Afrizal Malna.

Kata dipreteli SCB jadi huruf yang merupakan tanda dalam komposisi rupa yang menyarankan realitas imajiner sugestif, serta bunyi yang merupakan aspek pendukung suasana hingga tersarankan kehadiran tersirat sesuatu yang misterius. Atau Afrizal Malna yang menghadirkan realitas benda dan fakta keseharian sebagai benda dan fakta keseharian yang berlimpah dan terus memberondong dalam keberserentakan, sehingga semua hanya setengah disadari tanpa sempat dimaknai. Jadi fakta khazanah bawah sadar yang menteror lantaran tak ada ditempatkan secara rasional proporsional. Situasi senewen ambang bawah sadar yang bisa meledak jadi guncangan kebudayaan dan guncangan masa depan–seperti kata Alvin Toffler.

Dan, setelah menghasilkan banyak si penelad yang bermain di puisi mantra, yang total bermain bunyi, atau menata sugesti rupa di satu sisi, dan puisi berkeriuhan aneka benda tanpa ada trauma diberondongi oleh benda-benda dan fakta-fakta keseharian di bawah sadar di sisi lain, tercetus tanya: ego kreatif individualistik apa lagi yang akan muncul di khazanah sastra Indonesia? Saya pikir pertanyaan itu keliru, sebab dengan mengutamakan ego kreatif individualistik yang akan memerankan estafet pencapaian sastra baru, asumsi pertanyaan itu malah memutlakan satu corak ego kreatif.

Hegemonik. Dan bahaya dari kultus ego kreatif yang individualistik adalah bias yang bermula dari kekaguman pada satu terobosan estetika dan ekspresi seni. Pesona yang menafikan keberadaan dan fenomena teks (hasil) ego kreatif individualistik lain. Sesuatu yang masa kini terasakan dan dilawan–misalnya, genre estetika dan ekspresi seni Boemipoetra, meski cuma di tahap verbal tak resap ke manifestasi karya. Padahal hakikat individualisme itu perayaan kemajemukan, pengakuan akan beragamnya ego kreatif dan bukan berkukuh pada satu ego kreatif individualistik.

Ekses preferensi dari redaktur yang sepakat dan sesuai selera sehingga satu trend jadi menonjol dominan dengan membuat banyak trend lain tereliminasi–cuma dengan mengatasnamakan kultus ekperimen orsinil. Kini kesehatan sastra Indonesia sedang dipertaruhkan karena dibelokkan bias, oleh ode kultus ego kreatif individualistik yang disetumpukan di satu model esatetika dan ekspresi seni, sehingga banyak penjelajahan estetika dan ekspresi seni lain diabaikan, bukti ego kreatif individu dimainkan di jalur berbeda diabaikan.

Dan, orang-orang menandai semua itu sebagai keseragaman hasil penyeragaman, meski (sebenarnya): individualisme yang mengeras jadi hegemoni otoritarian karena kehilangan kesantunan dan toleransi pluralitasnya. Dan karenanya kita butuh manifes kebudayaan baru. n

* Beni Setia, Pengarang
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/03/individual-dan-manifes.html

Sastra Indonesia harus Melahirkan Ide-Ide Dunia

Chavchay Saifullah
Media Indonesia, 13 Mei 2007

LINTAS pergaulan dunia sastra kita, sering kali terjebak pada lintas pergaulan sektoral. Ia hanya berbicara pada tataran domestik dan mengabaikan wilayah global sebagai sarana untuk memprovokasi sastra Indonesia ke dalam jangkar sastra dunia.

Masuknya sastra Indonesia ke lintas pergaulan sastra dunia, mau tak mau, harus dijadikan tolak ukur dan titik pijak akan keberhasilan sastra Indonesia.

Pikiran di atas dilansir Nugroho Suksmanto, pengusaha dan penulis buku cerita pendek Petulangan Celana Dalam dalam diskusi terbatas di University of Southern California, pekan silam. Nugroho Suksmanto yang didampingi sastrawan Triyanto Triwikromo, novelis Eka Kurniawan, dan penyair Edy A Effendi yang juga wartawan Media Indonesia, melihat realitas sastra sebagai sebuah industri, yang mau tak mau harus berkompromi dengan pasar dunia.

”Perspektif pergaulan sastra dunia ini, jika kita ingin berdiri sejajar dengan sastra dunia, para sastrawan Indonesia harus mempromosikan karya-karyanya ke dalam lajur sastra dunia. Tentu saja cara berpikir seperti ini, untuk keluar dari sangkar sastra Indonesia yang hanya berkutat pada isu-isu domestik tanpa mau menyentuh isu universal,” tegas Nugroho.

Nurgroho juga mengharapkan para sastrawan Indonesia harus melihat subjektivitas pembaca. Selama ini, ungkap Nugroho, para sastrawan melihat subjektivitas pribadi tanpa mau menjenguk keinginan pembaca. Pola seperti itu seolah-olah sastrawan tidak mau kompromi dengan pembaca. ”Padahal, pembaca sastra adalah bagian dari proses kreatif sastrawan.”

Acuan yang ingin digulirkan Nugroho, yaitu karya-karya sastra juga harus mampu membidik pasar dunia sebagai risiko agar karya-karya sastra Indonesia bisa berdiri sejajar dengan sastra negara lain. Pada titik itu para sastrawan harus berkompromi dengan ide-ide besar, ide universal, dan tidak masuk perangkap ide-ide sektoral.

Pikiran Nugroho dalam konteks yang lain, diamini sastrawan Triyanto Triwikromo. Triyanto yang juga wartawan Suara Merdeka membenarkan pikiran-pikiran yang digulirkan Nugroho Suksmanto.

Bagi Triyanto, sastrawan Indonesia harus melihat otonomi kreativitas tidak hanya kebebasan berekspresi secara individual, tapi ia juga harus mampu berkompromi dengan sektor lain, yakni sektor bisnis.

”Jika ada ide dari pengusaha agar sastra kita bisa masuk pasar dunia, ini tidak serta-merta membelenggu kreativitas sastrawan. Justru ide masuk pasar dunia itu perlu direspons sebagai bagian dari upaya penyebaran wilayah bacaan,” ungkap Triyanto.

Triyanto menganggap para sastrawan sudah seharusnya membidik pasar dunia jika karya-karya yang tercipta ingin masuk lintas pergaulan dunia. Dan tentu saja, jangan selalu melihat sumir, jika ada para pebisnis masuk dunia sastra.

”Kita harus melihat niat baik pengusaha atau pebisnis. Saya yakin, toh mereka tidak akan mengerangkeng ide-ide kreatif kita. Para pengusaha itu sekadar memberi ruang lain dalam peta sastra Indonesia, agar masuk pasar sastra dunia,” tegas Triyanto.

Menjemput isu

Gagasan Nugroho dan Triyanto juga didukung novelis Eka Kurniawan. Eka melihat para sastrawan memang harus membuka banyak kemungkinan masuk sastra dunia. Dan, salah satu cara masuk sastra dunia, yaitu dengan mencoba membuka pasar sastra ke dalam jantung sastra dunia. Upaya membuka pasar dunia itu, menurut Eka, salah satu caranya dengan mencoba menjemput isu-isu dunia dengan mengusung gagasan besar yang tidak terpaku dalam wilayah domestik semata.

”Gagasan-gagasan besar itu berkaitan erat dengan persoalan-persoalan universal, yang memiliki tata nilai dunia, bukan tata nilai lokal. Dan, jika ada tata nilai lokal, sebaiknya dijadikan pendamping untuk masuk tata nilai dunia,” papar Eka.

Penulis novel Lelaki Harimau itu melihat perjalanan para sastrawan ke Los Angeles, Las Vegas, California, dan San Fransisco itu, sebagai upaya untuk melihat lebih dekat realitas pasar sastra dunia. Sebuah pasar yang harus dijadikan pembanding untuk melahirkan karya-karya berkelas dunia.

Di sisi lain, menurut Edy A Effendi, realitas pasar sastra, mau tak mau, harus dijadikan poros utama dalam menembus realitas pasar dunia. Selama ini, para sastrawan Indonesia terjebak dalam lingkar pergaulan domestik dan tidak mau melihat realitas pergaulan dunia.

”Salah satu hambatannya adalah kemampuan bahasa. Harus diakui kemampuan bahasa untuk melihat realitas karya-karya dunia, memang menjadi satu persoalan. Sementara itu, ada beberapa kawan yang sudah masuk lintas pergaulan sastra dunia, tapi tidak mampu menciptakan ruang-ruang baru bagi sastrawan yang lain,” tegas Edy.

Dari sudut itulah, Edy melihat harus ada cara baru untuk membongkar kebekuan sastra Indonesia. Sebuah cara melihat sastra tidak hanya pada isu-isu lokal, tapi ia juga mampu menyeret isu-isu global dalam kerja kreatifnya. ”Sastrawan harus melahirkan ide-ide besar, ide-ide dunia,” tegas Edy.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/05/kreativitas-sastra-indonesia-harus.html

Sastra TKI dan Ciri-cirinya

JJ. Kusni
http://wachyu.depsos.org/

Mengikuti kehidupan perpuisian di dunia maya dan media cetak tanahair, sampai sekarang nampak bahwa sanjak cinta tetap merupakan arus kuat dan gelombang besar yang menggemuruh dan berdebur. Yang saya maksudkan dengan sanjak cinta, tidak lain daripada sanjak-sanjak yang mengambil cinta sebagai tema olahan. Barangkali keadaan demikian berkaitan dengan usia relatif muda para penulis karya-karya puisi tersebut, di samping asal strata sosial mereka yang bisa dikelompokkan pada lapisan kelas menengah, lulusan “tiga pintu” [pintu keluarga, sekolah dan kantor] dan masih asing dari badai topan perjuangan mayoritas penduduk yang bersifat hidup-mati serta kalah-menang. Bersumber dari basis sosial-ekonomi demikian maka sastra-seni yang dilahirkan pun mencerminkan keadaan lapisan kelas-menengah dari mana para pendukungnya berasal. Wajah sastra-seni yang agak kelimis, wangi parfum dan salon yang asyik dengan keasyikan dunia tersendiri di mana tidak jarang soal-soal buruh, tani, politik dilirik sekilas atau dipandang dengan menyipitkan mata keheranan seperti orang tercengang ketika tiba-tiba berhadapan dengan seekor kijang tersesat ke halaman rumah pusat kota. Apalagi selama hampir tiga dasawarsa, rezim Orde Baru Soeharto melakukan depolitisasi yang sangat sistematik.Di tengah-tengah syarat politik, sosial-ekonomi dan budaya dominan yang demikian, maka munculnya manusia penyair yang sekaligus sebagai aktivis gerakan demokratisasi seperti Wiji Thukul yang berasal dari lapisan bawah masyarakat, tidaklah merupakan hal yang jamak. Sekalipun memang dari sisi lain juga bisa dilihat bahwa Wiji Thukul dengan begitu dilahirkan oleh zamannya seperti halnya Mas Marco atau Cak Durasim dilahirkan oleh zaman masing-masing. Perbedaan asal strata-sosial serta jauh dekatnya, terlibat tidaknya para penyair dengan kehidupan mayoritas dan gerakan sosial-politik, memperlihatkan diri kembali pada karya, pada sikap para seniman [dalam hal ini, penyair] ketika menempatkan puisi di tengah kehidupan dan masyarakat. Bahkan pada di mana mereka menempatkan diri sendiri dalam kehidupan dan masyarakat yang tentu saja bersesuaian dengan pandangan hidup yang banyak ditentukan oleh kondisi sosial.

Hal lain yang menarik perhatian saya adalah gejala yang diperlihatkan oleh warga masyarakat Tenaga Kerja Indonesia [TKI], yaitu orang-orang Indonesia yang mencari pekerjaan dan bekerja di luarnegeri. Seperti umum diketahui bahwa jumlah TKI tidaklah kecil dan mereka tersebar di lima benua, mulai dari Amerika melalui Eropa, Afrika dan Asia sampai ke Australia. Gejala yang saya maksudkan adalah terutama gejala yang berkaitan dengan bidang sastra-seni. Walaupun masih dalam jumlah yang belum menonjol agaknya warga masyarakat TKI sudah mulai mengungkapkan diri, menuturkan pahit-getir serta permasalahan mereka dalam bentuk karya sastra-seni seperti: puisi, laporan, esai, cerpen, lukisan dan drama. Dalam bidang puisi, misalnya nama Mega Vristian [Hong Kong] nampak paling menonjol, sedangkan bidang esai mulai menampilkan dua nama: Jelitheng [Eropa Barat] dan Erine Endri [Beijing], lalu di bidang reportase atau laporan telah muncul nama Suraiya Kamaruzzaman [Hong Kong]. Karya-karya mereka muncul dan disiarkan selain melalui internet juga disiarkan di penerbitan-penerbitan buruh migran di luar negeri serta majalah dan suratkabar di Indonesia.

Karya-karya mereka memperlihatkan ciri yang berbeda dari karya-karya dominan atau arus umum dalam sastra-seni yang berkembang di Indonesia dewasa ini. Sekalipun para penulisnya hidup di luarnegeri mereka tidak mengesankan tenggelam oleh glamour konsumerisme, tidak silau oleh kemerlap kehidupan negeri orang. Melalui tulisan-tulisan mereka yang tidak lain dari warga masyarakat TKI itu sendiri atau aktivis organisasi buruh migran, kita mengenal pahit-getir, persoalan dan harapan para TKI. Keberpihakan kepada pihak yang lemah, tuntutan akan keadilan dan kemanusiaan merupakan ciri utama karya-karya warga masyarakat TKI ini. Sastra-seni bagi warga masyarakat TKI seperti halnya Wiji Thukul dengan puisi-puisinya, merupakan alat memanusiawikan diri dan kehidupan. Sikap ini nampak jelas dari sanjak-sanjak Mega yang belakangan disiarkan seperti: “Megatruh Purwanti”, “Satiyem: Ibu Indonesia”, “Amien Fahlan”, “Elegi TKW”, “Dari Taman Victoria”, “Mariska”, dan lain-lain… bahkan pada sanjak tiga barisnya berikut:

“MALAM MINGGU”

malam mingu
cuma kuintip dari jendela kamar
ada darah menetes di wajah rembulan

Hong Kong, 27 Maret 2004.”

“Darah [yang] menetes di wajah rembulan” itu adalah darah buruh migran, terutama di Hong Kong di mana Mega hidup dan bekerja sebagai TKI. Mengapa fisik dan jiwa warga masyarakat TKI di Hong Kong sampai berdarah? Penyair memancing dan mengundang kritikus dan pembaca untuk mengenal permasalahan lebih jauh.

Melalui sanjak-sanjaknya yang belakangan, nampak Mega sudah memasuki tahap baru dalam berpuisi. Keberpihakannya makin nyata dan jelas. Mega sudah meninggalkan tema cinta dan memasuki wilayah perjuangan politik, sosial dan ekonomi, hak azasi, keadilan. Mega, seperti halnya juga Erine Endri, Jelitheng dan Suraiya menempatkan karya-karya mereka dalam kontek perjuangan TKI dan kemanusiaan. Keberpihakan dan di mana puisi serta karya-karya ditempatkan oleh para penulis warga masyarakat TKI, diungkapkan dengan tandas oleh Mega dalam sepucuk suratnya [29 Maret 2004] kepada Mawi, penyair yang tinggal di Amsterdam, di mana antara lain dikatakannya:

“Entah abang apakah masih menyediakan waktu untuk membaca puisi saya, yang ada di beberapa milis sastra.Dari situ abang bisa memahami betapa hati dan nurani saya merasa terbantai melihat penderitaan, penindasan dan ketidak adilan yang di alami beberapa rekan TKI lainnya.

Saya ingin melakukan sesuatu untuk mereka, walaupun mungkin apa yang saya lakukan belum bisa menolong banyak terhadap mereka. Lewat puisi, saya berbicara pada dunia, lewat puisi saya mengurai penderitaan mereka pada bunda pertiwi, karena mereka adalah anak negeri yang perlu perhatian, belai sayang dan pertolongan dari bunda pertiwi. Entah apakah bunda pertiwi akan tega membiarkan lima anaknya saat ini meregang takut menanti keputusan hukuman mati dari pemerintah Singapura?”

Keberpihakan para penulis TKI ini tidak berhenti pada kata-kata, tapi mereka ujudkan ke dalam kenyataan dengan terjun langsung sebagai aktivis. Mega dan Suraiya misalnya aktif di Indonesia Migrant Worker Union [IMWU], Jelitheng aktif dalam berbagai kegiatan humaniter di Eropa Barat, Erine yang tadinya di Xiamen melanjutkan kegiatan serupa di Beijing. Kata dan praktek disatukan oleh para penulis TKI karena kata dan praktek adalah kehidupan mereka sendiri. Dituntut oleh kehidupan sebagai TKI, karya, juga puisi di tangan mereka bukan menjadi lagu ninabobok tapi untuk memanusiawikan diri dan kehidupan. Kehidupan jugalah yang mendesak mereka untuk menjadi penyair, menjadi penulis tapi sekaligus sebagai aktivis praktis yang menerjuni langsung kancah pertarungan yang membuat “rembulan” pun terpercik “darah”. Di kancah pertarungan berdarah [yang jauh dari wangi salon dan kelimis wajah fisik dan kekenesan jiwa kelas menengah] inilah mereka menempa, mengobah dan mematangkan diri dan karya-karya mereka. Dengan latarbelakang kehidupan begini maka tokoh yang lahir dari karya-karya penulis TKI bukanlah noni-noni dan sinyo kota serta salon yang suka bingung dan stress.

Dua jenis sastra-seni lahir dari dua sastra sosial berbeda. Keduanya lahir dan hidup di dunia sastra Indonesia sekalipun sastra dan karya yang ditulis diciptakan oleh lapisan bawah sering tidak dipandang sebelah mata, dipandang tidak bernilai seni, kurang bobot universal dan penuh demagogi oleh penulis dan seniman salon. Sikap beginipun memperlihatkan bahwa di dunia sastra-seni terdapat paling tidak dua standar dan norma. Standar salon dan standar populer di kalangan bawah.Yang menggelikan bahwa kehidupan sering mempertontonkan pertunjukan dimainkan para seniman dan manusia salon yang bicara tentang universalisme, tentang kemanusiaan, demokratisasi atau keadilan, sementara pada detik yang sama tindakan mereka menyangkal ucapan mereka sendiri. Sehingga kita dipaksa merenung apakah universalisme tidakkah sama dengan kepentingan kelompok dan golongan; kemanusiaan sinonim dari perbudakan, demokratisasi sama dengan otokorasi dan diktatur; sedangkan keadilan berupa penindasan terhadap yang lain.

Jika demikian, apakah tidak perlu sejarah sastra ditulis kembali atau sejarah sastra lapisan bawah yang tidak dindahkan atau kurang diperhatikan, memang sudah selayaknya ditulis? Jika kelak ia ditulis, saya kira sastra TKI, sastra bawah tanah, sastra-eksil, karya-karya di tahanan dan penjara serta yang selama ini tidak diperhatikan, akan mendapat tempat yang patut.

Catatan belajar ini hanyalah suatu usaha awal memahami ciri-ciri sastra-seni TKI yang sekarang memperlihatkan tanda-tanda keberadaannya di dunia sastra Indonesia. Pernahkah gejala ini sejenak berkelebat di mata perhatian para pengamat sastra dan kalangan akademisi negeri kita? Ataukah karya yang dihasilkan warga TKI akan senasib dengan TKI itu sendiri di kalangan bangsanya. Boleh jadi begini: Warga TKI dan penulis-penulis TKI pertama-tama dan terlebih dahulu, layak pandai dan bisa menghargai serta menghormati diri sendiri. Dalam hal ini organisasi buruh migran seperti IMWU bisa memainkan peranan penting. Siapapun tidak akan menghormati dan menghargai diri kita kalau kita tidak pertama-tama menghormati dan menghargai diri sendiri. Mengapa tidak misalnya ILWU menerbitkan karya-karya tentang TKI dalam dua bahasa: Inggris dan Indonesia? Saya melihat bahwa sastra TKI mempunyai ciri dan watak tersendiri yang hanya membuatmenambah pelangi sastra tanahair bertambah warna.

“Pengorbanan berat membulatkan tekad
yang kuasa menempa surya dan candra
bercahya di cakrawala baru”

demikian seorang penyair Tiongkok menulis ketika Tiongkok menghadapi kesulitan demi kesulitan beruntun. Barangkali kata-kata penyair Tiongkok inipun bisa diterapkan dalam usaha warga TKI termasuk para penulisnya, guna menghormati dan menghargai diri sendiri. Banyak yang bisa dilakukan ketika prakarsa tersulut dan marak.

Paris, Maret 2004.
—————–
sumber:
1) http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/message/10935
2) http://wachyu.depsos.org/2010/06/02/sastra-tki-dan-ciri-cirinya/

BURUH MIGRAN INDONESIA DAN SASTRA MENYIMPAN BANYAK PERTANYAAN

Mega Vristian
http://komunitassastra.wordpress.com/

Sastra BMI?

Jujur saya memang tidak bisa berhenti menulis, karena adanya semangat yang tidak pernah pudar. Terlebih lagi adanya faktor keberuntungan. Beruntung karena selama bekerja di Hong Kong menjadi BMI alias babu walau berganti-ganti majikan, menggunakan komputer tidak pernah dilarang. Tentu saja harus tahu aturannya.

Nah hari ini setelah pekerjaan siang beres, saya segera membuka komputer dan mulai menulis untuk milis dengan tema “Sastra Buruh” yang telah lama menjadi PR saya. Menurut yang saya tangkap, dalam tulisan ini saya harus berbagi cerita mengenai kegitan tulis menulis di kalangan teman-teman saya sesama BMI di Hong Kong.

Tetapi sebelumnya, saya dan hampir seluruh teman BMI yang gemar menulis tidaklah begitu sreg dengan istilah “Sastra Buruh”, “Sastra BMI” ataulah “Sastra Babu”. Sebab mengapa? Ini adalah upaya pengkotakan atau istilah pemberangusan profesi yang seakan-akan seorang BMI hanya akan dibicarakan bila bisa menulis apalagi dengan tulisan yang berbau sastra dan konyolnya tempatnya atau kotaknya itu adalah “Sastra Buruh”. Lantas bagaimana bila BMI ini sudah tidak menjadi buruh lagi di Hong Kong karena pulang ke Tanah Air menjadi ibu rumah tangga, aktivis buruh pada salah satu LSM atau menjadi seorang isteri Dokter bahkan Insinyur? Apakah tulisan mantan BMI ini nantinya akan dikelompokkan ke dalam genre baru lainnya yaitu “Sastra Mantan BMI”?

Sebutlah BMI

Belum juga tuntas mengenai pengkotakan ini, kami ini sebetulnya sedang berjuang keras guna memasyarakatkan kata “BMI” ke seluruh pelosok Nusantara. Sekilas seperti masalah yang sepele, tetapi bagi kami tidak. Mempopulerkan kata BMI sama saja susahnya untuk melawan praktek pembayaran gaji di bawah standar (underpayment).

Masyarakat tanah air sudah terbiasa menyebut kami ini sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita) dan pihak Konsulat Jenderal RI di Hong Kong dengan Nakerwan. Ada juga beberapa pihak yang memandang sinis, mengatakan kami sebagai JLN (Jongos Luar Negeri). Untuk itulah dalam melawan sebutan yang cenderung merendahkan profesi ini, teman-teman yang memiliki hobi menulis telah membiasakan dengan kata BMI. Alhasil semua media berbahasa Indonesia yang diterbitkan di Hong Kong sudah terbiasa menulis kami sebagai BMI. Bila pun ada yang kelolosan menggunakan kata TKW dalam media tersebut, kami hanya menganggapnya wartawan penulisnya masih kurang bergaul.

Tema Sastra

Maraknya kegemaran menulis di kalangan BMI sebetulnya seiring dengan diterbitkannya media cetak berbahasa Indonesia. Juga munculnya kelompok gemar menulis di Hong Kong seperti Kopernus (Komunitas perantau Nusantara) dan Forum Lingkar Pena pada tahun 2004 membuat BMI di Hong Kong seperti memiliki rumah untuk menampung bakatnya di dunia tulis menulis.

BMI Hong Hong Berseri lewat Sastra dan Seni

Dalam pandangan umum, buruh migran Indonesia (BMI) adalah sosok pekerja kasar yang hanya bisa mengerjakan tugas-tugas sepele rumah tangga. Pembantu rumah tangga (PRT) atau babu adalah pekerjaan yang dipandang dengan sebelah mata dan babu dianggap bukanlah pekerjaan ideal yang memberikan penghasilan besar sekaligus mendatangkan kebanggan, karena bekerja modal otot bukan otak.

Untuk diketahui, bekerja menjadi BMI, di Hong Kong tidaklah semudah yang dibayangkan. Masyarakat Hong Kong, khususnya para Majikan sangat tidak menyukai BMI, yang lamban kerjanya dan lamban berpikir. Karena hampir 75% anak-anak mereka dipercayakan pada BMI, sampai kemasalah mendampingi anak-anak mereka mengerjakan tugas sekolah.Anak-anak Hong Kong sangatlah cerdas dan kritis, karena mereka mendapatkan pendidikan dan kesejehteraan nyaris sempurna. Nah jika BMI mereka tidak rajin mengasah otak, selalau manyun ketika, anak majikan bertanya tentang suatu hal, jelas si anak akan protes ke orang tuanya, akibatnya bisa fatal si BMI akan diberhentikan. Sejujurnya syarat untuk bisa menjadi BMI ke HOng Kong, harus lulusan SMA, tapi praktiknya PJTKI bisa menyulap dari SD, menjadi SMA.

Kembali ketema, sejauh ini media massa lebih banyak memberitakan kemalangan dan petaka yang menimpa BMI. Media lebih suka mengekspose berita duka berkisar pemerkosaan, penyiksaan, perampokan, dan kematian BMI dinegeri orang. Kenyataannya BMI memang rawan bahaya. Dan, tampaknya media massa percaya “dagangan yang laku” dan disukai pembaca adalah berita-berita semacam itu.

Jarang media komersial yang menulis kiprah dan sosok BMI sebagai manusia utuh yang penuh harga diri dan menjunjung nilai kemanusiaannya. Ketimpangan berita itu mungkin karena keterbatasan pengetahuan dan ketergesaan (untuk tidak menyebut kemalasan) pewarta untuk menggali berita yang “bergizi” bagi pembaca sekaligus berguna bagi “obyek” berita. Bisa jadi karena organisasi-organisasi buruh migran kurang aktif memberikan materi berita. Atau, mungkinkah karena sosok ideal BMI yang tegar dan kreatif memang langka?

Penampilan buruh migran yang menjunjung martabat dan harkat kemanusiaannya serta liku-liku yang ditempuhnya dalam usaha ini perlu diangkat untuk menciptakan citra buruh migran utuh. Selain itu, juga kesanggupan mengungkap kekurangan sumber daya buruh migran untuk perbaikan. Dengan citra buruh migran Indonesia seperti itu, kegiatan sastra- seni buruh migran di Hong Kong barangkali tampak sebagai cerita ajaib dan langka.

Melalui sastra dan seni, BMI di Hong Kong menunjukkan citra selain hanya pekerja yang berkutat membereskan pekerjaan rumah tangga. Apalagi kondisi Hong Kong sangat menunjang untuk mengembangkan potensi diri. Majikan yang relatif baik serta berbagai komunitas buruh migran di Hongkong yang menawarkan program pendidikan membantu BMI untuk memanfaatkan waktu luang untuk mengekspresikan dan mengembangkan potensi diri. Di sini buruh migran lebih “dimanusiakan”. Pemerintah Hong Kong tidak terlalu diskriminatif terhadap buruh migran.

Kegiatan sastra dan seni BMI tersalurkan dan terwadahi media berbahasa Indonesia di Hong Kong, antara lain koran Suara, Berita Indonesia, Tabloid Apakabar, Roos Mawar, dan majalah Ekspresi. Berbagai komunitas buruh migran seperti Indonesian Migrant Workers Union (IMWU), Forum Lingkar Pena Hong Kong (FLP-HK), dan Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) juga bergiat menerbitkan buletin yang menampung luapan energi seni buruh migran. Karya buruh migran juga sering dimuat surat kabar dan majalah di tanah air.

Kemunculan beberapa BMI penulis di Hong Kong dengan karya-karyanya harus diakui antara lain karena pemerintah memasang aturan jelas yang melindungi hak dan kewajiban BMI. Terutama karena adanya hak libur empat hari dalam sebulan dan jam kerja yang jelas. Waktu yang cuku plapang tersebut memberikan kesempatan BMI untuk belajar berbagai hal, antara lain berorganisasi, menekuni pendidikan, dan berseni sastra.

Intensitas kepenulisan BMI di Hong Kong lumayan membanggakan. Dari tangan mereka telah lahir 16 buku. Antara lain Tertawa Ala Victoria Park, Indonesia Merdeka, dan Negeri Elok Nan Keras di Mana Kami Berjuang (Denok K Rokhmatika); Catatan Harian Seorang Pramuwisma (Rini Widyawati); Penari Naga Kecil (Tarini Sorita); Perempuan di Negeri Beton (Wina Karni); Badai Signal 8 (Swastika dan Shifa Auli); Anda Luar Biasa (Eny Kusuma); serta novel Ranting Sakura (Maria Boniok).

Selain itu, terbit kumpulan cerpen Hong Kong Namaku Peri Cinta (FLP/Publishing House Jakarta) yang merangkum karya anggota Forum Lingkar Pena Wina Karni, Shifa Aulia, S Aisyah Z, Andina Respati,Via Rosa, Rof, dan Ikrima Ghany. Antologi puisi Nubuat Labirin Luka terbitan Sayap Baru dan Aceh Working Grup memuat karya Aliyah Purwanti, Anan, Anik Sulistia, Widi Cahyani, dan Mega Vristian.

Sedang kumpulan cerpen Nyanyian Imigran (Dragon Family Publisher) merangkai karya Aliyah Purwanti, Ikrima Ghany, Lik Lismawati, Nining Indarti, Etik Juwita, Mega Vristian, Tarini Sorita, Anik Sulistia, Tanti, Imes Hisa, Swastika, Kris DS, dan Enny. Kemudian buku Galz Please Don’t Cry (PT Lingkar Pena Kreativa) memuat karya Wina Karni, Swastika M, dan Fia Rosa. Buku Selasar Kenangan (Akoer, Jakarta) memuat karya Mega Vristian dan Lik Kismawati. Juga buku Dian Sastro for President (On/Off Trilogy) dan antologi puisi–cerpen–esai Sastra Pembebasan karya Mega Vristian.Kabar gembira lagi pada bulan Agustus, tahun ini akan meluncur 16 buku kumcer karya BMI,yang diterbitkan Grasindo.

Kehidupan dan persoalan buruh migran mereka angkat melalui karya tulis, teater, dan pembacaan puisi sehingga sampai pada masyarakat luas. Dalam konteks ini, kiprah BMI Hong Kong merupakan kasus unik. Diharapkan aktivitas positif tersebut mengilhami dan merangsang buruh migran Indonesia di negera-negera lain untuk lebih manfaatkan waktu libur atau istirahat. Daripada bengong dan nelangsa sendiri dihajar rindu pada keluarga di kampung, tentu lebih baik memanfaatkan waktu barang sejenak untuk mengekspresikan dan aktualisasi diri.

Sastra dan seni bisa menjadi oase bagi jiwa raga untuk beristirahat barang sejenak dari rutinitas kerja. Kegundahan, kerinduan, kekecewaan, bahkan tuntutan atas perlakuan sewenang-wenang dapat disalurkan dan diteriakkan melalui cerpen atau puisi. Puisi bisa menjadi medium untuk membangkitkan semangat. Juga untuk melawan kekuasaan yang menindas.

Tentu kita masih ingat sebuah kalimat yang menggelorakan semangat mahasiswa, pelajar, pemuda, buruh, bahkan ibu-ibu di seluruh tanah air untuk menumbang rezim Orde Baru pada bulan Mei 1998. “Hanya satu kata: Lawan!” Kalimat lugas dan tandas itu merangkum dan mengkristalkan kekecewaan, kesumpekan, ketakutan, “horor” dahsyat selama 32 tahun di bawah kekuasaan Soeharto untuk bersatu padu melawan. Hasilnya, Soeharto lengser dari tampuk kekuasaan. Mungkin para pemuda yang meneriakkan, menuliskan kalimat itu di tembok- tembok di seluruh negeri tak tahu atau tak ambil pusing siapa yang melahirkan “mantera” lugas tandas tersebut.

Kalimat itu warisan Wiji Thukul, penyair yang dengan sangat berani berhadapan dengan kekuasaan Orde Baru yang sedang kalap kala itu. Wiji Thukul seorang penyair sederhana yang kurus lusuh, namun mempunyai kecintaan yang besar pada rakyat kecil. Dia berjuang bersama mahasiswa, aktifvis, dan buruh untuk merebut kemerdekaan di tanah air sendiri. Melalui gerakan dan puisi dia melawan lantang kekuasaan. Puisi-puisinya mengilhami dan membangkitkan semangat perlawanan pemuda, mahasiswa, dan buruh untuk menumbangkan kekuasaan yang sewenang-wenang dan mengembalikan pada bangsa dan rakyatnya.

Kegiatan menulis dan berkesenian BMI di Hongkong, bekerja sama dengan buruh migran dari negara-negara lain dan organisasi buruh setempat, merupakan perjuangan untuk menjunjung harkat dan martabat kemanusiaannya. Bukan sekadar untuk mengungkapkan uneg-uneg atau hanya bergumam. Sebab, harkat-martabat kemanusiaan wajib dibela dan dijunjung dalam pekerjaan apa pun. Melalui sastra dan seni BMI bisa berjuang dan memberikan sumbangan bagi usaha memanusiakan manusiadan diri sendiri. Melalui aktivitas dan eksistensi sebagai manusia utuh itu buruh migran akan tampil dengan wajah lebih berseri.

Sumber:
http://old.nabble.com/-sastra-pembebasan pada 9 Agustus 2008.
http://komunitassastra.wordpress.com/2010/04/29/buruh-migran-indonesia-dan-sastra-menyimpan-banyak-pertanyaan/

Rekonsiliasi Konflik lewat Sastra

N. Mursidi
Lampung Post, 10 Juli 2011

PASCAPECAH konflik Sambas 1999, berbagai upaya membangun konstelasi rekonsiliasi bisa dikatakan belum berjalan baik. Hubungan sosial kelompok antaretnis yang pernah bersitegang (Madura-Melayu) masih meninggalkan segregasi kuat untuk saling curiga, khawatir, bahkan diliputi kebencian. Warga Madura hingga kini masih tidak bisa kembali ke Bumi Sambas. Rekonsiliasi seperti berhadapan dengan jurang kebekuan. Dengan kondisi memprihatinkan itu, berbagai program digagas dan dicanangkan untuk membuka ruang pertikaian itu mencair kembali.

Namun, dari berbagai program kegiatan yang coba ditawarkan itu, belum pernah melibatkan media sastra untuk dijadikan alternatif atau terobosan. Padahal, sastra tidak bisa disangkal memiliki peranan dalam setiap perubahan sosial pada masyarakat.

Sastra berperan tak hanya sebagai refleksi, tapi sekaligus refraksi atas totalitas peristiwa sejarah dari perjalanan suatu bangsa. Dengan peran sastra sebagai ruang refleksi itu, sastra bisa memberi sumbangan pada proses transformasi: menanamkan kesadaran yang ujungnya berpotensi menjadi amunisi untuk jembaran rekonsiliasi.

Sastra dan Misi Perdamaian

Misi yang diemban pengarang melalui sastra itulah yang mendorong Sashi Tharoor—sastrawan India yang mengemban misi perdamaian PBB—tak ragu merangkul atau melibatkan sastra dibanding dengan melibatkan peran agama dan sains ilmiah demi menciptakan perdamaian dunia.

Karena—di mata Sashi Tharoor—sastra mampu melengkapi apa yang “hilang atau sengaja dihilangkan” dari agama dan sains. Itu tidak lain karena agama pada satu sisi justru bisa memunculkan konflik, sementara sains—tidak jarang—membuka ruang kosong yang mengurung manusia dalam ruang kehampaan jiwa dan spiritualitas.

Tak salah, kalau tak sedikit pengarang melahirkan karya sastra untuk mengetuk nurani dan kesadaran umat manusia demi menciptakan perdamaian. Dr. Ang Swee Chai, seorang dokter yang pernah terlibat dalam kamp pengungsian Palestina, melalui buku From Beirut to Jerussalem mengungkapkan kesaksian terhadap pembantaian warga Palestina.

Padahal, ia berdarah Yahudi dan beragama Kristen. Namun, kesaksian yang diberikan mampu mengetuk hati nurani dunia internasional.

Karya sastra lain yang mengembuskan semangat misi perdamaian dan mengutuk pertikaian itu juga didengungkan Tolstoy melalui novel War and Peace. Dengan karya itu, Tolstoy yang ikut terlibat perang dan menjadi saksi sejarah tak saja mengutuk perang, tetapi juga mengharapkan pintu perdamaian.

Misi Tolstoy itu juga diemban Mary Shelley, Wordsworth. Konon, karya-karya sastra itu mampu memberi suntikan dan semangat hidup bagi korban perang untuk bisa menatap kembali masa depan.

Dalam deretan sastrawan dalam negeri, dapat disebutkan nama seperti W.S. Rendra, Seno Gumira Adjidarma, Pramoedya Ananta Toer, dan beberapa sastrawan lain lagi. W.S. Rendra lewat puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang (1960), menggambarkan duka lara akibat perang. Seno, lewat buku kumpulan cerpen Saksi Mata, merekam kejahatan-kejahatan yang dilakukan TNI terhadap masyarakat Timur Leste pada masa transisi Timor Timur menjadi Timur Leste.

Bahkan, dengan tegas, Seno—lewat kumpulan esai—mengatakan “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Adapun Pramoedya mengisahkan banyak cerita tentang perang dan penjajahan. Dengan tema itu, ia ingin mengusung pesan perdamaian lewat karya yang ia tulis.

Pijar Kedalaman Empati

Karya sastra yang mengisahkan tema perang dan kejahatan—konflik dan tragedi pembantaian— haruslah diakui bukan hasil liputan di permukaan belaka atas peristiwa perang atau segala bentuk kejahatan.

Sastra yang mengibarkan bendera perdamaian dari cerita perang adalah pijar kedalaman empati tentang kehancuran tubuh, ceceran darah, rasa empati demi orang-orang yang kehilangan anggota keluarga (seperti anak, istri, orang tua), bahkan pantulan dari renik psikologis manusia dalam situasi konflik yang dapat menumbuhkan makna baru: memperkaya pemahaman atas kenyataan, berdasarkan sudut pandang, visi, perspektif, dan kesadaran baru.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya menjadikan terobosan terkait dengan apa yang dikatakan Friedrich Schiller (1993). Schiller berpendapat sastra itu memiliki peran dan fungsi yang sungguh menakjubkan. Sastra bisa tampil sebagai permainan penyeimbang bagi tatanan mental manusia terkait dengan adanya energi yang butuh diekspresikan. Energi itulah kemudian mendorong manusia untuk kreatif, mermiliki kepekaan dan human of interest terhadap sesama.

Meskipun harus diakui bahwa tidak semua karya sastra mengembuskan pesan dan misi perdamaian, karya-karya sastra yang digali dan terinspirasi dari kedalaman sukma untuk kemudian merefleksikan konflik, perang, dan penjajahan dapat menjadi “warta perdamaian dan kebenaran”. Ia mengusung pesan agung mengutuk perang, dan mengharapkan tatanan baru yang harmonis antarkehidupan umat manusia, di mana pun bahkan sampai kapan pun.

Dengan penjelasan di atas, tak ada salahnya jika progam kegiatan rekonsiliasi untuk perdamaian Sambas pascakonflik 1999 dicanangkan atau digagas dengan melibatkan media sastra sebagai sebuah terobosan—atau alternatif. Upaya itu tentu tidak saja demi mengenang atau sekadar ajang romantisme konflik pada masa lalu, tetapi lebih menekankan pada setiap pihak atau kelompok antaretnis untuk melakukan refleksi sekaligus refraksi atas peristiwa berdarah tersebut. Dengan demikian, akan bisa muncul kesadaran baru demi mencapai rekonsiliasi pascakonflik yang sampai sekarang mengalami kebekuan hingga akhirnya lahir perdamaian bersama.

N. Mursidi, aktivis Yayasan Anak Layang-Layang, Kini sedang melakukan riset perdamaian pascakonflik Sambas 1999 untuk novel
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/07/rekonsiliasi-konflik-lewat-sastra.html

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati