Kamis, 23 Juni 2011

BERKESENIAN HANYA DENGAN KATA-KATA

Muhammad Rain *
http://sastra-indonesia.com/

Kurun waktu kini, banyak hal yang menggelisahkan kehidupan kita, harga cabai, sesaknya antrian BBM subsidi, ketakutan ledakan kompor gas, kegelisahan yang kadang tanpa kita sadari seperti api dalam sekam. Saat seperti ini puisi lahir sebagai salah satu alat, kreasi dan cara berkesenian yang hanya mengandalkan kata-kata. Menarik memang menanggapi banyak soal yang muncul justru hanya lewat kata-kata. Peristiwa sehari-haripun tak luput dicerita-kisahkan dalam karya sastra jenis ini.

Bagaimana sikap kita ketika sastra puisi menjadi biasa dan kehilangan tenaga batinnya? Selaku salah satu pencinta sastra jenis ini, kita patut mengantungi kiat tentang kritik tajam bahwa dunia puisi hanya bakal jadi dunia penuh hayal, dunia yang kering dan jauh dari kenyataan. Wajar sekali sikap seperti ini muncul, tak perlu gelisah dan mencari-cari siapa salah. Di dalam bidang sastra, kritik sastra justru bertujuan mempertinggi nilai intrinsik karya puisi, ia mengkritisi sisi tema agar lebih menyegarkan mata batin pembaca puisi(nya), ia mengkritisi diksi(gaya bahasa) agar menempatkan makna baru dalam repetisi rutin pemunculan diksi sama, atau bahkan mengarahkan para penulis puisi agar mau membuka kreasi mencipta kata (diksi) baru. Sudah tentu, masing-masing cabang/bidang sastra itu sendiri memiliki potensi positif untuk membangun dunia seni sastra yang menjadi konsentrasi pekarya, pengkritik, esais dan bahkan apresiasi luas terhadap sejudul puisi sekalipun.

Keutamaan dalam berpuisi lahir pula dari kebijaksanaan dalam memandang kehidupan. Menitipkan bekal untuk masa depan maupun merefleksikan jauh sudah perjalanan hidup yang tercapaikan. Apa yang kita kenali dengan rasa syukur terhadap nikmat diberi hidup baik fisik maupun batin. Ternyata kita tak bisa melepaskan mimpi-mimpi kita dan bahkan banyak orang malah menjadikan mimpinya sebagai tujuan di dalam menjalani rutinitasnya sebagai manusia. Ketika orang berhenti mengajarkan dirinya dengan berefleksi misalkan lewat seni puisi, atau bernyanyi misalkan di seni musik, saat itu mereka merasa dirinya hidup tak lagi sempurna, merasa bahagia tak lagi sepenuhnya.

Kenihilan dalam karya seni sering sekali terjadi pada sikap manusia kamar, manusia pabrik, manusia perintah, manusia tukang gerak dengan mengandalkan rutinitas sebagai satu-satunya cara menikmati hidup mereka. Kebutuhan lahir banyak sekali terhidang di dalam jagat dunia kita, namun kebutuhan akan terpenuhinya kepuasan batin, jiwa, rasa perasaan, hilangnya kegelisahan, tercapainya rasa syukur ada juga tersedia meski tak sebanyak ragamnya pelayanan kebutuhan fisik itu antaranya adalah dengan adanya agama, tempat manusia membaktikan iktikad ruhnya dalam mencapai keridhaan Tuhan, negara, tempat manusia membaktikan perjuangan demi arti tugas dan tanggung jawabnya, seni, sebagai kantung-kantung penuh ragam demi mencurahkan segala cipta-rasa-karsa kreasi dalam pencapaian keindahan bahkan kebahagiaan, budaya, sebagai sikap patuh dan taat terhadap ketentuan bersama yang sama-sama digugu, diacu dan dibiasakan serta hal-hal lain yang menggerakkan mata batin juga nurani manusia agar terus dapat tumbuh seiring berkembangnya jaman.

Seni kata-kata yang menjadi modal utama mencapai keutamaan karya sastra puisi selanjutnya memerlukan pengarahan secara konvensional belaka. Paling tidak bahasa kata-kata itu harus komunikatif, mampu mensugesti sehingga bisa/dapat mengalirkan kesan-kesan tertentu dari apa yang dirasakan penulis puisi kepada pembacanya, mampu membuka corong sikap yang nonformalis yakni tidak ada pemaksaan kata-kata, mampu mencapai kodrat bahasa itu sendiri. Apakah kesulitan yang dialami penulis puisi dapat diatasi secara sederhana tanpa perlu mereka (para kreator kata-kata puisi) dicubit pipi oleh para kritikus sastra? Dan bagaimanakah kehendak kata-kata itu sendiri dalam melahirkan, menjadi induk penciptaan sastra puisi, pentingkah membela kata-kata itu meski padahal ia benda mati, benda sifat, benda huruf, benda dialektik, benda kontroversi?. Bahasa pada dasarnya datang seiring datangnya manusia ke dunia. Begitu ia lahir manusia ada, begitu seorang bayi manusia nongol ke dunia ia sudah dilengkapi sensor berbahasa. Dalam sejarah bahasa justru bahasa lahir sebagai pembeda antara kita (manusia) dengan makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Tanggung jawab mempergunakan juga mempermainkan bahasa (kata-kata) dalam kehidupan seperti melalui puisi menurut prinsip Islam sangat penting. Kita bisa cermati dari salah satu hadist nabi yang mengintruksikan bahwa jangan berkata “ahh!” pada ibumu, sebab itu adalah durhaka. Sumpah palsu juga sangat berbahaya, fitnah dapat mendatangkan malapetaka dan segala undang-undang ciptaan penguasa yang justru membunuh masyarakat negerinya dari kata merdeka, itupun sangat meresahkan dan membuat bahasa (kata-kata) menjadi menakutkan, tak lagi dapat mendatangkan kebahagiaan, kesejahteraan dan ketentraman jiwa.

Politisisasi bahasa pernah terjadi di negeri ini, dulu ada Manikebu, ada Lekra ada tuntutan potitisasi bahasa. Dalam ranah jurnalistik terdapat pula cengraman kata-kata lewat dibradelnya penerbit Tempo, demi atas nama kekuasaan Orba. Di masa reformasi saat ini masihkah kita temui kejanggalan dalam terbinanya kebijakan berbahasa kita? Sisi lemahnya sikap penghargaan terhadap kesejatian manusia yang sedari sononya sudah punya bahasa, penting sekali disikapi bijaksana. Padahal tidak setiap makhluk hidup memiliki anugerah seni berbahasa. Tulisan-tulisan bertebar di mulut dan kedalaman gua. Granit di Mesir, tulisan Jawa Kuna di candi-candi di pulau Jawa, kitab-kitab sejarah yang ditemukan dalam rentang jarak dan waktu tak henti, dan maha luasnya penempaan bahasa manusia sejak abad-abad lampau itu, tak lain ingin mengabarkan kepada kita makhluk manusia millenia, peliharalah kata (bahasa) itu, kabarkan yang baik-baik, nyatakan/kisahkan prahara, amarah sebijaknya. Mengutip apa yang disampaikan HB. Jassin bahwa jikapun penulis sastra hendak menceritakan emosi, ketegangan moral dalam karyanya maka sampaikan/tuliskan tanpa embel-embel emosi pribadi penulisnya.

Berkarya seni dengan hanya mengandalkan kata-kata akan dapat mencapai keutamaannya jika disikapi secara tepat. Unsur-unsur yang membidani kesenian berkata-kata seharusnya mendapat tempat. Kebablasan dalam berkesenian ini semestinya dapat sama-sama kita hindarkan. Sejak bahasa Melayu menjadi Lingua Franca di wilayah pesisir Asia Tenggara, konsep Melayu sebagai bahasa santun mencapai kejayaannya pada masa-masa kesusastraan lama. Di masa kini orang masih suka berpantun, para politikus pun masih mengandalkan kesantunan bahasanya meski sarat tujuan dan berpijalin dengan kehendak kekuasaan. Bahasa Indonesia yang punya akar dari bahasa Melayu tak pelak masih mencirikan ke-Melayu-an ini, kendati sikap Charil Anwar dalam berbagai karya sajak/puisinya mengemukakan perlawanan terhadap pola ucap, tenaga kata dan mungkin baginya Melayu sudah harus diperbaharui, namun keindahan, keselarasan bunyi ke-Melayu-an itu sesungguhnya terus saja membayangi puisi-puisi sastrawan, penyair, novelis Indonesia, sadar atau tidak sadar.

Sikap orang yang dewasa turut terlihat lewat bahasanya. Tulisan-tulisan yang bersebaran di serata media cetak, seperti majalah dan surat kabar sejatinya ingin memelihara karya seni sastra puisi itu. Fungsi bahasa sebagai alat ucap jamannya tentu mendatangkan tidak hanya manfaat namun juga muslihat. Kendaraan kata-kata demi tercapainya ketinggian mutu karya sastra puisi selalu diusahakan semakin maksimal, karena seni memang mengejar kepuasan dengan bermodalkan ketidakpuasan. Sebab ketika penyair, penulis puisi merasa sudah cukup puas, maka kata-kata akan berhenti dan menuju kejumpuannya, kejenuhannya yang tak lagi memurnikan sikap dini dalam menyikapi persoalan manusia yang justru tak ada habisnya. Nasib seni sastra puisi bisa menjadi lemah dan bersiap-siap hanya ditulis oleh dinding-dinding gua, seni puisi mati dan tamat.

Kata-kata terkadang datang bagai badai masuk menyelimuti kepala manusia jika yang ia tawarkan adalah kesesatan, prinsip hidup yang bimbang, kenyataan yang tak mampu ditafsir lewat jiwa apalagi akal manusia yang nyata-nyatanya terbatas. Hadirnya terjemahan-terjemahan dalam menyingkapi keadaan/peristiwa besar bahkan menjadi sejarah sebagai catatan ikhtibar. Dalam puisi sebagai salah satu cabang seni terasa sekali kemajemukan itu dapat terjadi. Riwayat yang terwarta bahkan dalam dunia imajinasi dapat ditoreh penulis puisi lewat kata-katanya dengan membingkiskan kata sebaik-baiknya, seindah-indahnya. Sikap dan sifat manusia pada dasarnya mencintai keindahan, sebab sebagai hasil ciptaan Tuhan yang mahasempurna lagi mahamengetahui faedah adanya jagat raya, seni dan etika , seni dan moralitas, seni dan agama, seni dan kebudayaan pada ajjalinya menjadi rapal hafalan bahwa manusia itu pencinta keindahan, tercipta indah dan menjadi rahmatan lil’alamin justru ketika bahasa (kata-kata) yang ia toreh lewat karya puisinya menjurus ke ranah ini, ranah indah yang memanusiakan manusia sepantasnya.

Semoga. Salam sastra dan budaya, tetap eling dan jangan bangga dengan sikap edan.

*) Muhammad Rain adalah seorang penulis, pemerhati puisi, pencinta manusia dan banyak menulis hal-hal sederhana di dunia maya (Facebook dan Blog juga Web Sastra).

Minggu, 19 Juni 2011

Cerita-cerita Pulau Buru: Sejarah dan Nyanyi Burung Kedasih

Ignas Kleden
http://majalah.tempointeraktif.com/

Pramoedya ist ein Begriff—Pramoedya bukan sekadar nama, tetapi sebuah pengertian, bahkan sebuah konsepsi. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang ibu yang amat simpatik, Prof. Irene Hilgers-Hesse, Ketua Jurusan Melayu di Universitas Koeln, ketika mengundang seorang mahasiswa filsafat di Muenchen tahun 1980, yang kebetulan saya sendiri, untuk membicarakan buku Bumi Manusia yang baru saja terbit.

Pramoedya memang telah membuat namanya menjadi sebuah pengertian jauh sebelum diasingkan selama 14 tahun. Namun rupanya belantara pengasingan itulah yang memberinya pengertian tentang sejarah Indonesia dan bahkan tentang manusia dalam sejarah. Membaca empat jilid roman sejarah Pulau Buru—Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca—adalah menelusuri riwayat hidup Minke, anak seorang bupati Jawa, yang menolak meneruskan jabatan bapaknya, bersekolah Belanda di HBS, kuliah kedokteran di STOVIA, dan menjadi orang pergerakan yang menciptakan reputasinya sebagai wartawan-pengarang yang sanggup menulis dengan pisau belati.

Akan tetapi membaca riwayat Minke adalah berhadapan dengan sebuah thick description tentang keadaan Hindia Belanda di Pulau Jawa pada saat pergantian abad, sementara dengan mengikuti lukisan serba rinci tentang struktur sosial dan kebudayaan kolonial pada masa itu, kita belajar tentang kesanggupan dan ketidaksanggupan manusia dalam berhadapan dengan sejarahnya.

Para ahli filsafat sejarah masih berdebat apakah sebetulnya sejarahlah yang membentuk manusia (sebagaimana diajarkan oleh Hegel dan Marx, misalnya), ataukah sebetulnya manusia sendirilah yang membentuk sejarahnya (sebagaimana dibela secara militan oleh Karl Popper).

Adalah unik bahwa Pramoedya sendiri telah melibatkan diri dalam teka-teki filsafat itu dengan caranya sendiri. Dalam pandangannya, sejarah adalah gelombang dahsyat yang siap menggulung siapa saja, tetapi manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah terombang-ambing dapat diempas ke daratan dan menjadi sampah di pantai.

Tokoh-tokoh Pramoedya memang kalah dilanda sejarahnya, tapi sekaligus juga sanggup mengalahkan kekalahannya sendiri dengan mengatasi baik ketakutan maupun kesombongan untuk tidak menang. “Kita kalah, Ma, bisikku.” “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”. Itulah kalimat penutup buku Bumi Manusia yang dengan keindahan yang getir menunjukkan persaingan abadi antara determinisme sejarah dan pilihan moral yang bebas.

Di tangan Pramoedya, sejarah selalu merupakan kisah tentang unggulnya kekuatan-kekuatan anonim dalam suatu zaman, yang penuh daya-dera yang menggilas, tetapi gagal menghentikan seseorang untuk mengatakan “tidak!” Weltanschuung pengarang ini mirip kombinasi antara keberanian dan kerendahan hati sekaligus: sejarah akan mendesakkan diri ke mana saja, tetapi manusia tetap tak terkalahkan.

Apakah karena itu perjuangan dan heroisme dalam roman-roman ini selalu berkibar di tangan perempuan? Apakah simpati pengarang kepada perempuan diakibatkan oleh nasib mereka yang sering terkungkung di bawah kekerasan patriarki sebagai sebuah kekuatan sejarah, dan karena itu perempuanlah yang menjadi kawan seperjuangan pengarang menghadapi kekerasan politik? Ataukah oleh hormat kepada tokoh-tokoh perempuan yang besar peranannya dalam biografi pengarang?

Apa pun sebabnya, Pramoedya telah menampilkan sebarisan srikandi, sebagai pendekar yang bertarung dengan kekuatan sejarah. Sanikem dijual oleh ayahnya kepada seorang administratur pabrik gula di Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Herman Mellema. Dia menerima dirinya sebagai seorang nyai dengan nama Nyai Ontosoroh karena tak kuasa melawan kehendak ayahnya yang ingin naik pangkat. Tapi ia tak mau menjadi nyai yang dungu. Dengan bimbingan tuannya, dia belajar membaca dan menulis, belajar bicara bahasa Belanda, dan membaca beberapa bahasa Barat, mahir menyusun pembukuan dan mengelola perusahaan susu dan perlahan-lahan mengumpulkan modal sendiri.

Sayang, kedudukannya sebagai nyai tidak dilindungi hukum mana pun, dan karena itu tidak mempunyai hak hukum apa pun. Setelah tuannya meninggal, seluruh hartanya, bahkan anak perempuannya, Annelies, harus diserahkan ke ahli waris Herman Mellema, berdasarkan keputusan pengadilan di Amsterdam. Demikian pun Bunda, ibu Minke. Dengan cara yang elegan Bunda memainkan peran agen-ganda antara Minke dan ayahnya, seorang bupati di kota B, yang gandrung jabatan dan silau oleh kekuasaan. Diperingatkannya Minke agar tahu memberi sembah kepada ayahnya, sementara di pihak lain dia dapat menerima bahwa anaknya menjadi bupati dan ingin jadi manusia merdeka selama dia tetap menjadi “kedasih yang bersambut”.

Perempuan lain adalah Ang San Mei, seorang gadis Tionghoa. Dia belajar pada sebuah sekolah menengah Katolik di Sanghai, ikut pergerakan kaum muda di Cina untuk untuk menggulingkan Kaisarina Ye Si, dan mengalami persekusi oleh kaum tua yang ingin mempertahankan politik tradisional. Mei meninggalkan Cina dan pergi ke selatan. Di Batavia dia bekerja (dan menyamar) sebagai guru bahasa Inggris. Minke menikah untuk kali kedua dengan Mei dalam suatu perkawinan yang aneh. Hidup bersama selama lima tahun, kesempatan berkumpul sangat jarang, karena tiap malam Mei—dengan izin suaminya—meninggalkan rumah untuk mengatur pergerakan kaum muda bersama kawan-kawannya yang ada di Batavia, sedangkan Minke sendiri cukup sibuk dengan kuliahnya di Stovia.

Kesehatan Mei melorot. Dia jatuh sakit dan meninggal dalam kesunyian setelah dirawat dua bulan di rumah sakit. Mei adalah representasi perjuangan melawan ancient regime dan memberi romantika yang indah kepada Jejak Langkah, yang sarat dengan gagasan politik. Sepeninggal Mei, Minke berkenalan dengan seorang gadis cantik berdarah biru, dari latar belakang Indonesia Timur. Gadis Maluku ini bernama Prinses van Kasiruta, dibuang bersama ayahnya ke daerah Priangan, karena gerakan politik. Dia berpendidikan MULO, mahir berbahasa Belanda, dapat berbahasa Melayu dan sedikit Sunda, dan karena itu diminta menjadi pembantu redaksi Medan, yang dipimpin Minke.

Sang Pemimpin Redaksi, Minke, kemudian meminang Prinses pada bapaknya, Tuan Raja, dalam pengasingan, dan mereka menikah. Dibesarkan dalam keluarga pergerakan, Prinses ternyata pandai menunggang kuda dan menggunakan senjata api berkat latihan sejak kecil. Dia menjadi pembela Minke terhadap musuh-musuh politiknya yang selalu mengancamnya secara fisik. Dalam suatu serangan diam-diam terhadap Minke, Prinses, yang menyamar tanpa diketahui suaminya, menghadapi seorang diri anggota geng tersebut, menembak tiga di antaranya, dua mati seketika, dan seorang dapat diselamatkan di rumah sakit.

Sebagai seorang terpelajar, dia tetap mempertahankan etos perempuan Kasiruta: “Dia akan membunuh suami durhaka. Dan dia akan membunuh pendurhaka suami yang dicintainya.” Karena “yang kuketahui hanya suamiku….” dan “yang ada hanya suamiku”. Bercinta, baginya, adalah saling melindungi. Apakah di sini pengarang telah bergulat dengan masalah gender equality bahkan jauh sebelum istilah itu muncul dalam wacana kaum feminis? Lalu Piah, pembantu rumah tangga yang melayani Minke dan Prinses. Di luar pengetahuan Minke, Prinses telah memberinya pendidikan politik. Ketika Minke dibuang ke luar Jawa tanpa dapat ditemani oleh istrinya (karena dilarang pemerintah), Piah dimintanya bersumpah setia untuk Prinses. Jawaban Piah sangat menggetarkan perasaan: “Sampai hati Juragan menuntut sumpah dari sahaya, sumpah untuk tuan sahaya, sumpah untuk pemimpin sahaya? Tidakkah cukup saya sebagai anggota Syarikat?”

Ketika Minke mengucapkan selamat tinggal dan menitipkan Prinses, jaminan Piah adalah: “Juragan tetap di hati kami.” Perempuan desa ini merepresentasikan orang kecil berjiwa besar. Perempuan yang paling berhasil tentulah Siti Soendari, anak teman sekolah Minke, yang tinggal di Pemalang. Ditinggal mati oleh ibu, Siti Soendari dibesarkan ayahnya dalam suasana terpelajar. Selepas sekolah, Soendari memilih menjadi perempuan merdeka yang bekerja untuk cita-citanya. Dengan sopan tetapi teguh dia menampik setiap bujukan ayahnya yang dipaksa oleh Belanda, agar segera menikahkan anaknya.

Dia berhasil mengatasi rasa takut kepada ayahnya demi mempertahankan cita-citanya, suatu hal yang masih tak dapat diwujudkan oleh R.A. Kartini sebelumnya. Kalau dia hidup tahun 1990-an tentulah Soendari juga akan mengucap: Women’s right: Human right. Sebaliknya, tokoh lelaki dalam roman-roman Pulau Buru adalah tawanan kekuatan sejarah. Bagi mereka sejarah menjadi captive history, yang membawa mereka turun naik bersama alunan gelombang.

Sastrotomo adalah prototip pribumi pegawai kolonial yang melihat jabatan sebagai tujuan hidup. Dia bersedia merendahkan diri, mempertaruhkan keluarga dan menjual anak perempuannya sendiri untuk membayar kenaikan pangkat sebagai juru bayar di pabrik gula. Anak gadisnya, Sanikem, diserahkan ke administratur Herman Mellema, yang kemudian menjadi pemilik perkebunan Boerderij Buitenzorg, tempat Sanikem mendapatkan namanya Nyai Ontosoroh.

Kisah yang sama berulang pada anak laki-laki Sastrotomo bernama Sastro Kassier, pemegang kas di pabrik gula Tulangan. Dia juga harus menyerahkan anak perempuannya, Surati, kepada penguasa pabrik gula yang baru, Frits Homerus Vlekkenbaaij, yang oleh penduduk setempat dipanggil Tuan Plikemboh. Sebelum menyerahkan diri ke Plikemboh, Surati sengaja menularkan dirinya dengan penyakit cacar, yang sedang mewabah. Plikemboh kena tular dan meninggal dunia, sedangkan Surati diambil kembali oleh keluarganya dan hidup dengan muka penuh bopeng.

Tipe laki-laki lainnya adalah si Darsam dan Trunodongso, dua pendekar yang selalu siap mati untuk tanah majikan dan tanahnya sendiri. Sayangnya, mereka tidak menyadari bahwa senjata parang yang mereka banggakan tak dapat menghadapi kekuatan politik yang tak mereka pahami, tetapi yang akibatnya mereka rasakan setiap hari. Demikian pula Marko, yang dengan semangat berkobar bekerja untuk Medan, terlalu sedikit pengetahuan politiknya, sehingga menurunkan berita yang dianggap menghina Gubernur Jenderal. Akibatnya, Minke sebagai Pemimpin Redaksi Medan harus menjalani hukum pembuangan ke luar Pulau Jawa.

Ada pula Pangemanann, seorang pribumi asal Minahasa yang beruntung mendapatkan pendidikan tinggi, dan bahkan sempat mengikuti kuliah beberapa tahun di Universitas Sorbonne. Dengan jabatan yang sangat tinggi sebagai komisaris polisi, dia kemudian menjadi pegawai Algemeene Secretarie pusat, yang mengatur kekuasaan kolonial di Hindia Belanda. Bergaji besar dan status sosial yang tinggi, dia praktis tidak mengalami tekanan ekonomi apa pun, menjadi anggota Kamar Bola, tempat orang dapat menemui pejabat-pejabat tinggi di Batavia pada waktu senggang. Anehnya, semua itu tidak sanggup menghilangkan kompleks inferioritasnya karena merasa tidak memiliki keberanian yang ada pada Minke.

Dia goyah di antara kekagumannya kepada tokoh pergerakan itu dan kewajibannya untuk menangkapnya. Di pihak orang Eropa, terlihat bahwa para penguasa pabrik gula, “orang dengan lidah api”, mempunyai moral yang dekaden. Mereka dapat menyuruh bunuh para petani dengan gerak jari tangannya, atau memaksakan seorang bawahannya menyerahkan anak gadisnya untuk dijadikan nyai. Ada pula orang Eropa pegawai tinggi yang bunuh diri dengan sublimat seperti Simon de Lange, seorang lulusan universitas di Belanda, bujangan muda yang dipuja banyak wanita.

Tipe lainnya adalah ahli hukum yang hanya bekerja untuk uang seperti halnya Mr. Deradera Lelliobuttocks, yang buruk rupa. Sebaliknya orang-orang Eropa yang mendukung perjuangan Minke biasanya gagal atau cacat. Pelukis Prancis Jean Marais, yang ikut berperang di Aceh untuk Belanda, terpaksa hidup dengan satu kaki. Atau Dr. Martinet, yang merawat Annelies dan sangat paham psikoanalisa, gagal merebut hati Nyai Ontosoroh. Ada juga Herbert de la Croix, asisten residen, tak sanggup membela perkara Minke, meletakkan jabatan dan kembali ke Eropa. Atau Henrik Frischboten, ahli hukum yang selalu membantu Minke dengan nasihat-nasihat hukumnya, menderita impotensi seksual dalam perkawinannya dengan Miriam de la Croix.

Sikap terhadap laki-laki dan perempuan ini rupanya berdampak pada komposisi dan teknik literer. Pembicaraan antara Minke dan perempuan selalu akrab dan menyenangkan. Terasa benar bahwa teks sendirilah yang menghasilkan dan mengharuskan munculnya percakapan-percakapan tersebut. Pada hemat saya, dialog yang terbagus selalu berlangsung antara Minke dan Bundanya. Ibu ini menjadi gabungan yang unik antara sikap naif dan kedalaman filosofis. Sebaliknya, percakapan dengan Nyai Ontosoroh menyajikan kecerdasan alamiah, kekerasan hati dan dendam yang tak teratasi yang justru menjadi energi untuk maju.

Percakapan Minke dengan Mei adalah lukisan cinta dua orang yang tak sepenuhnya saling memahami, tetapi penuh kepercayaan satu pada yang lainnya. Sebaliknya percakapan-percakapan dengan Annelies yang labil mengungkapkan saktinya cinta yang menyembuhkan. Di pihak lain dialog antara Minke dan laki-laki hampir selalu menjadi diskusi yang kering dan serebral.

Renungan-renungan Pangemanann lebih merupakan risalah filsafat. Pembicaraan Minke dengan Gubernur Jenderal Van Heutz sangat mirip notulen diskusi politik. Demikian pula uraian-uraian Tuan R., seperti Pangemanann, layak dijadikan makalah studi perbandingan kebudayaan Jawa dan Eropa. Tak kurang menjemukan pembicaraan Minke dengan ayahnya yang berputar sekitar kekuasaan dan pentingnya jabatan tinggi. Contoh seperti ini dapat diperbanyak dengan mudah dan dapat dipungut secara random dari keempat jilid yang dibicarakan di sini.

Pertanyaan yang menarik: Mengapa dalam hubungan dengan perempuan cerita menjadi tekstual dan pengarang menjadi story-teller yang mahir, sementara dalam hubungan dengan laki-laki cerita menjadi autorial, dan pengarang menjadi komentator ceritanya sendiri? Salah satu sebabnya, mungkin, karena dalam hubungan dengan perempuan dialog terjadi antara dua atau beberapa pribadi. Sebaliknya dalam dialog dengan laki-laki, pembicaraan berlangsung antara dua gagasan. Maka yang menentukan bukanlah apa yang dibicarakan, tetapi apakah ada suasana yang melahirkan pembicaraan itu secara wajar tanpa dipaksakan oleh sebuah rencana.

Bahkan pembicaraan tentang sejarah dan kebudayaan yang bersifat ilmiah pengetahuan hidup dan akrab, sebagaimana terjadi antara Minke dan dua gadis bersaudara De la Croix, Miriam, dan Sarah (Bumi Manusia: 133-141). Diskusi itu penuh senda-gurau dan sindir-menyindir khas siswa-siswa HBS, dan muncul sebagai hasil interaksi antara tiga pribadi dengan tiga watak. Sementara itu diskusi Pangemanann dengan Tuan R. dan Tuan L. (juga mengenai sejarah dan kebudayaan) tidak berhubungan dengan watak tertentu, dapat terjadi antara siapa saja, asal saja ada keahlian cukup pada para pembicara tentang sejarah kebudayaan (Rumah Kaca: 66-71; 113-116). Yang muncul adalah pertemuan dua atau tiga gagasan (dan bukan dua atau tiga pribadi) sekalipun diskusi itu mengandung kritik kebudayaan dan keterangan sosiologis yang bermutu tinggi.

Apakah ini berarti lelaki menjadi korban yang ditelan oleh kekuatan sejarah zamannya, sedangkan perempuan adalah representasi kehendak moral yang bebas? Seandainya pun tipologi ini benar, ini hanyalah sebuah kecenderungan, sebuah pola, yang ternyata tidak dimutlakkan oleh pengarangnya sendiri.

Annelies, anak gadis Nyai Ontosoroh, dan Herman Mellema, adalah gadis labil menjadi frigid karena pernah dicoba digagahi oleh abang kandungnya sendiri, Robert Mellema. Dia dinikahkan dengan Minke, sebentar menjadi “Bunga Akhir Abad” dengan semerbak yang merebak ke seantero Jawa, dipisahkan dari suaminya, dan meninggal dalam kesendirian di sebuah kota kecil di Belanda. Dia gugur sebagai korban pertarungan dua dunia (Belanda dan Jawa), dua hukum (Eropa dan Islam), dan dua moralitas (Belanda dan pribumi).

Demikian pula Nyai Ontosoroh, yang akhirnya dapat berbahagia dengan pelukis timpang, Jean Marais, setelah mereka meninggalkan Hindia Belanda dan mencoba peruntungan baru di Prancis. Hindia Belanda pada akhirnya menjadi representasi sempurna kekuatan sejarah yang tak terlawankan.

Orang dapat memilih mengikut ke mana pun arus sejarah akan membawanya. Orang dapat pula memilih menantangnya, sekalipun dengan kepastian tentang kekalahan yang akan dideritanya. Pilihan lain adalah meninggalkan sama sekali Hindia Belanda. Sebab, kematian, seperti juga kebahagiaan, bukanlah bahagian sejarah tetapi berada nun jauh di luar sana, entah di mana.

=============
Ignas Kleden lahir di Larantuka dan menamatkan sekolah menengah dan BA di Flores. Mendapatkan gelar Master dari Hochschule Fuer Philosophie, Munich, Jerman, 1979 -1982 dan meraih gelar doktor sosiologi pada University of Bielefeld, Jerman 1995. Saat ini mengajar di Universitas Indonesia dan STF Driyarkara, Jakarta. Sebagai anggota tetap The International House of Japan sejak 1997. Sebagai Outside Examiner, Jurusan Ilmu Politik Monash University, Australia sejak tahun 1989.

Kamis, 16 Juni 2011

AJAR KEJUJURAN MENULIS DARI NUKILA AMAL*

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Dalam jurnal Prosa4 ketika diangkat tema Sastrawangi, Nukila Amal, termasuk salah seorang yang tidak setuju dengan istilah sastrawangi. Sebagaimana wawancara dia di BBC London. Karya monumentalnya, Cala Ibi oleh beberapa pihak dinobatkan sebagai puncak karya sastra mutakhir. Hal itu paling tidak dikemukakan oleh Budi Darma dalam resensinya di Tempo bulan Juni 2003 dan Bambang Sugiharto, pengajar Pascasarjana Seni Rupa ITB yang menobatkannya sebagai karya yang tidak biasa, sebagai puncak sastra mutakhir (Prosa4, 2004:219).

Perempuan Ternate ini, dilahirkan pada bulan Desember 1971, dan menamatkan sekolahnya di Sekolah Tinggi Pariwisata di Bandung. Dia sempat berprofesi di industri perhotelan dan perusahaan keuangan. Apa yang menarik dari proses kreatif Nukila Amal, berikut merupakan refleksi dari surat tertulis yang dimuat Prosa4: (a) bahwa menulis itu bukan sesuatu yang mudah, (b) soal kualitas karya merupakan otoritas pembaca, dan (c) menaruh kekaguman pada orang yang terus bergelut dalam kepenulisan.

Dari akuan pendek itu, memang tidak begitu banyak yang dapat tergali. Namun, di balik kesederhanaan prinsip kepenulisan itu memancarkan lampu kuning bagi calon penulis. Bagaimana kualitas karya Nukila Amal? Budi Darma memberikan penilaian begini, “Bahwa bahasa metafora yang digunakan Nukila Amal serba menabrak logika. Karena mimpi dipuja, realitas ditabrak, realitas digempur, sebagai konsekuensinya filsafat diusung masuk. Maka suara eksistensialisme pun masuk.” Sebuah novel eksperimentalis, aku Budi Darma. Saya sendiri, melihat bagaimana kekuatan prosa Nukila adalah faktor bahasa yang puitis dan filosofis. Sebuah perpaduan yang mengingatkan pada ungkapan lampau dunia filsafat, aforisme. Penting disimak, bahwa karya Cala Ibi ini sempat masuk 5 nominator Kathulistiwa Award.”

Belajar dari akuan Nukila ini, maka ada pesan penting memang: menulis itu tidak mudah. Penghargaan yang diberikan, dan apa pun penilaian orang tehadap suatu karya, bagi Nukila memang syah saja. Namun sebagaimana penulis lainnya, berkarya itu saja sudah luar biasa, kalau ada yang menilainya negatif, misalnya, itu memang hak pembaca. Dengan demikian, ketika generasi Nukila dinilai sebagai sastrawangi, ia pun tidak setuju karena itu merupakan penamaan yang tidak dicocokinya. Untuk inilah yang penting kita petik, menulis tidaklah gampang. Menulis itu proses. Menulis itu butuh keterampilan berbahasa. Menulis itu butuh kemampuan berpikir. Menulis itu butuh kemampuan eksplorasi. Dan menulis itu butuh seperaangkat motivasi agar ulet, rajin, dan tidak patah arang.

Menulis memang tidak mudah. Begitulah, maka jika kita ingin menulis maka dibutuhkan seperangkat hal di atas agar bagaimana ke depan ketidakmudahan itu dapat berubah menjadi mudah. Arswendo Atmowiloto, meskipun berbalik dengan pernyataan Nukila ini, yakni dengan mengatakan “menulis itu gampang” sesungguhnya itu untuk menumbuhkan motivasi saja. Hakikatnya, menulis memang seperti yang diungkapkan Nukila.

Sebagai syarat awal, misalnya, ada yang mengatakan begini penulis itu butuh: (a) ketajaman hati (empati), (b) kemampuan impresi dan refleksi, (c) kemampuan meditasi (berenung), (d) kemampuan ekspresi, (e) motivasi tinggi, (f) ulet, (g) tidak pongah dan sombong, (h) jujur, (i) taqdim dan religius, (j) kreatif, dan (k) tak pernah puas. Bayangkanlah bagaimana sulitnya? Gak usah kuatir, hal itu lebih mengoreantasikan agar kualitas dan hasil penelusuran lorong kepenulisan tidak tersesat, tidak gagal. Sudah banyak kasus para penulis yang jatuh bangun, melambung seperti balon gas setelah itu sirna. Barangkali ini sedikit metaforik dari apa yang diungkapkan Nukila Amal, bahwa menulis itu tidak mudah.

Hal kedua, bagaimanapun karya tergantung pembaca. Dalam perjalanan teori sastra Indonesia kita kenal apa yang disebut dengan teori resepsi sastra. Artinya, kebermaknaan sebuah teks sastra sangat tergantung pada kemampuan pembacanya. Wawasan kesastraannya, wawasan kebudayaannya, dan wawasan kebahasaannya akan berperan penting dalam mendorong meningkatnya kemampuan apresiasi ini. Dengan begitu, maka semakin tinggi kemampuan seorang pembaca akan semakin dimensional, semakin luas pula pemahamannya atas sebuah teks sastra. Penilaian baik buruk tidak semudah bagaimana kita melihat permukaan teks, tetapi mencoba masuk ke ruh teks dengan berbagai kemungkiinannya.

Dalam pandangan Maman S Mahayana persoalan kualitas memang terbuka. Senantiasa dapat didiskusikan. Karena itu, seorang penulis tidak boleh surut oleh komentar, kritik, dan penilaian pembaca maupun kritikus. Mereka memang punya hak dan otoritas akan tetapi hakikat teks adalah ruang terbuka yang senantiasa mengundang siapapun orang untuk datang dan menilaiannya. Gak usah kuatir. Penulis alir dalam imajinasi dan kreasi berpuncak pada gunung religi dalam beragam wajah.

Sedangkan terakhir, bagaimana sikap positif seorang penulis pada penulis lainnya dengan memberikan acungan jempol kepada yang lain. Sebagaimana pesan pertama, bahwa menulis itu sulit, maka keberhasilan seseorang dalam melahirkan karya penting untuk dinilai positif. Sebuah keinginan membangun motivasi dan memberikan apresiasi yang tinggi pada mereka yang terus bergulat meningkatkan kreativitas, nyali, dan berbagai bentuk yang mendorong produktivitas berkarya.

Kekaguman pada orang yang bergelut dunia kepenulisan tentunya menjadi ruh religius karena agama menggalakkan profesi ini. Hanya dalam kultur masyarakat yang rendah yang belum memberikan apresiasi tinggi macam Indonesia. Sebuah kemunafikan dari mentalitas masyarakat yang lebih mengideologikan prestise dan status-status lainnya.

Dengan demikian, sebagai pemantik menarik direnungkan ulang. Seorang penulis yang jujur pasti akan mengakui karya orang lain, dan memberikan apresiasi positif, sebaliknya orang yang rendah pengalaman mereka akan menganggap rendah terhadap karya tulis orang lain. Jika mengikuti pesan Nukila, maka penghormatan pada penulis menjadi hal yang semestinya perlu dilakukan. Sekalipun, sekali lagi, bahwa semuanya tergantung pada pembaca. Teks, bagaimanapun indahnya sebagaimana maksud pengarang dan penulis tetapi tetap berpulang sejauh mana ia bermakna bagi pembaca. Mudah-mudahan ke depan kita semakin terdidik menjadi pembaca yang baik, penulis yang baik, dan mediator (kritikus) teks yang baik sehingga perkembangan ilmu pengetahuan, seni budaya, teknologi informasi, politik dan hukum, sosial kemasyarakatan, akan semakin mendapatkan tempat yang jujur sehingga melahirkan manusia yang berbudaya dan berkarya.
****

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos.

Kiai Kanjeng Melintasi Terowongan Budaya Barat

Muhammadun AS*
Media Indonesia, 27 Jan 2008

DARI berbagai grup musik di Indonesia, nama Kiai Kanjeng tidaklah asing. Kiai Kanjeng dianggap grup musik yang berbeda dari musik Indonesia pada umumnya. Kegiatan keliling Kiai Kanjeng merupakan bagian dari pekerjaan sosial Emha Ainun Nadjib langsung di masyarakat, terutama grassroot dan menengah bawah. Kegiatan itu multikonteks meliputi budaya, keagamaan, spiritual, social problem solving, dan pendidikan politik.

Eksplorasi musik Kiai Kanjeng hampir tidak membatasi diri pada jenis atau aliran musik. Karena secara musikal, alat Kiai Kanjeng memiliki berbagai kemungkinan. Untuk itu, pengembaraan cipta mereka sangat ragam. Dari eksplorasi musik tradisional Jawa, Sunda, Melayu, dan China, termasuk penggalian dari berbagai etnik lain seperti Madura, Mandar, dan Bugis (Kiai Kanjeng berulang kali tampil dalam Festival Gamelan Internasional) – Kiai Kanjeng juga tidak menutup diri untuk memainkan musik Barat modern, pop, blues, dan jazz (Kiai Kanjeng tampil juga dalam Festival Jak-Jazz).

Jangan lupa juga dangdut. Ketika tur ke enam kota di Mesir, Kiai Kanjeng mengkhususkan diri mengaransemen kembali lagu-lagu Si Bintang Timur Ummi Kultsum. Sebagai grup musik, Kiai Kanjeng telah melahirkan sejumlah album musik yakni Tombo Ati, Raja Diraja, Wirid Padang Bulan, Jaman Wis Akhir, Menyorong Rembulan, Perahu Nuh, Allah Merasa Heran, Cinta Sepanjang Jaman, Kepada-Mu Kekasihku, dan Maiyah Nusantara.

Tetapi, Kiai Kanjeng bukanlah kelompok musik sebagaimana biasanya kelompok musik. Terutama karena fokus utama kegiatannya bukanlah musik atau kesenian, melainkan proses dan komunikasi sosial yang komprehensif. Fenomena seperti itu tidak lazim sehingga Kiai Kanjeng hanya dikenal dari mulut ke mulut – namun relatif tidak dikenal di dalam konstelasi musik Indonesia, terutama konstelasi musik industri Indonesia. Kiai Kanjeng hadir sebagai salah satu strategi perjuangan Cak Nun dalam mendakwahkan nilai-nilai Islam dan nilai kemanusiaan. Kiai Kanjenglah yang menemani Cak Nun dalam berbagai forum, khususnya menemani acara maiyah setiap tanggal 17 setiap bulan di Kasihan. Juga, dalam acara Padhang Bulan di Jombang, Kenduri Cinta di Jakarta, dan berbagai wilayah lainnya.

Dengan ditemani Kiai Kanjeng, dalam berbagai forum pertunjukan Cak Nun selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah.

Dalam suatu maiyah di Kasihan, Cak Nun menyebut eksplorasi global Gamelan Kiai Kanjeng itu sebagai suatu bentuk sikap pascaglobalisme yang juga diterapkan di berbagai bidang kehidupan manusia dan masyarakat. Cak Nun dan Kiai Kanjeng tidak anti terhadap musik tradisional, namun tidak juga menolak musik modern dunia –tetapi tidak bersedia diperbudak oleh keduanya. Bertahan konservatif dalam budaya tradisi membuat manusia lenyap dari sejarah, tetapi menyediakan diri diseret oleh budaya globalisasi membuat manusia menjadi budak kebudayaan yang dipanglimai oleh kapitalisme industri. Melawan globalisasi tidak dengan puritanisme tradisional-lokal, tapi dengan memijakkan kaki di tanah tradisi sambil menelan tawaran globalisasi untuk diolah dengan kepribadian yang mandiri.

Bukan hanya dalam budaya musik saja Cak Nun dan Kiai Kanjeng mewujudkan sikap pascaglobalis, melainkan juga di segala bidang. Cak Nun dan Kiai Kanjeng bersentuhan terus menerus dengan berbagai segmen masyarakat dalam konteks budaya, keagamaan, teknologi, dan birokrasi – namun tidak terkooptasi oleh segmentasi itu. Bergaul terus-menerus dengan berbagai wilayah politik, namun tetap mempertahankan independensi, nasionalisme murni, dan nurani kemanusiaan sejati.

Spirit Kiai Kanjeng

Dihitung dari tahun keenam berdirinya, yakni sejak Juni 1998 hingga Desember 2005, Kiai Kanjeng telah mengunjungi lebih dari 21 provinsi, 376 kabupaten, 930 kecamatan, dan 1.300 desa di seluruh wilayah Nusantara. Tidak hanya itu, Kiai Kanjeng juga kerap kali diundang ke mancanegara, di antaranya adalah tur enam kota di Mesir, Malaysia, rangkaian ke Eropa yang meliputi Inggris, Jerman, Skotlandia, dan Italia. Maret 2006, Kiai Kanjeng kembali diundang Malaysia dan Brunei Darussalam. Akhir 2006, mereka melakukan serangkaian perjalanan ke Finlandia pada acara Amazing Asia dan Culture Forums atas undangan Union for Christian Culture.

Kesuksesan Kiai Kanjeng menembus terowongan budaya Barat dibuktikan dengan keikutsertaannya dalam festival musik kelas dunia di Mekah-nya musik kelas dunia

Konservatorio Napoli. Di Napoli itulah, pentas musik kelas wahid dunia diselenggarakan. Sudah barang tentu, nama grup musik yang ikut serta akan tercatat dalam cakrawala musik dunia yang mengharumkan nama bangsanya. Tak mengherankan kemudian kalau Kiai Kanjeng mendapatkan undangan mengalir dari berbagai negara Eropa, termasuk Kanada, Amerika Serikat, dan Australia.

Kesuksesan Kiai Kanjeng menembus budaya Barat tanpa harus kehilangan pijakan kebudayaan Nusantara merupakan catatan prestasi yang layak dicatat bangsa Indonesia. Kiai Kanjeng bisa membuat bangsa Indonesia bangga karena bisa sejajar dengan berbagai negara maju. Dengan khazanah kebudayaan Nusantara yang melimpah, Kiai Kanjeng bisa membawa Indonesia sejajar dengan Barat. Kiai Kanjeng bukan sekadar capaian sukses grup musik, lebih dari itu, Kiai Kanjeng merupakan capaian sukses sebuah kebudayaan dan peradaban Indonesia. Jejak-jejak spirit Kiai Kanjeng itulah yang selayaknya menjadi spirit generasi bangsa untuk menghadirkan Indonesia sebagai bangsa yang berkebudayaan dan dengan peradaban tinggi.

* Muhammadun AS, Pemerhati Budaya, Pengelola Perpustakaan Al-Hikmah Pati
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/01/khazanah-kiai-kanjeng-melintasi.html

Menanti Sastra yang Mencerdaskan

Mujtahid *
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/

SASTRA merupakan salah satu cara mengungkapkan ekpresi jiwa, perasaan, pikiran di tengah suasana yang hidup, bukan ruang kosong. Sastra bukan hanya mencitrakan nilai estetis, tetapi memiliki nilai pesan moral yang sangat dalam, mengena dan lugas. Tak hanya itu, sastra dipandang paling ampuh dalam melakukan kritik sosial, kekuasaan dan sebuah tatanan yang menyimpang dari kelaziman.

Relasi sastra dengan keadaan masyarakat merupakan hubungan dialektis, yang saling mempengaruhi perkembangannya. Posisi sastra harus menempatkan tema pesan sesuai dengan tingkat peradaban masyarakat.

Dalam sastra mengandung dimensi makna yang sangat luas, tergantung pelakunya. Seperti sastrawan atau budayaman Cak Nun, sapaan akrab Emha Ainun Nadjib, apa yang dikaryakan memantik pesan sosial dan religius. Sumber inspirasinya adalah bermula dari sikap, ide dan pandangan dia terhadap realitas yang mengitarinya.

Menurut Jabrohim, seorang sastrawan “akademis” menyatakan bahwa sebuah hasil karya sastra yang genuin (asli) adalah karya yang memiliki hubungan timbal balik antara sastrawan melalui karya sastranya dengan masyarakat.

Memang suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa seorang penyair senantiasa dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Setiap penyair pasti tidak hidup dalam ruang yang hampa, tetapi dinamis dan kompleks. Sehingga hasil sebuah sastra bukanlah berdiri sendiri (otonom), melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan.

Untuk menyelami siratan makna sastra, kata Jabrohim, dapat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan sosiologis dan religius. Dengan pendekatan sosiologis, maka akumulai dari konteks sosial sastrawan, cermin masyarakat dan fungsi sosialnya dapat terbaca secara komprehensif. Sedangkan dengan apendekatan religius, maka nilai-nilai sastra terlihat menyiratkan inti (core) kualitas hidup manusia, dan harus dimaknakan sebagai rasa rindu, rasa ingin bersatu, rasa ingin berada bersama dengan sesuatu yang abstrak (Tuhan).

Kalau kita mau baca kumpulan puisi-puisi yang ditulis oleh Cak Nun, misalnya, kita akan mendapatkan siratan makna yang bersifat sosio-religius. Siratan makna puisi tersebut berupa ekspresi dari kegelisahan, penderitaan, dan keprihatinan seorang penyair yang melihat berbagai ketimpangan sosial yang melingkupinya.

Selain itu, puisi semacam itu juga menampilkan kegelisahan religius penyairnya sebagai akibat interaksi sosial dan kerinduan kepada Tuhan serta sikap-sikap religius yang lain.

Lahirnya sebuah sastra tentu berangkat dari alam pikir yang cerdas dan hati yang lembut. Sebab sastra yang mencerdaskan merupakan sarat dengan nilai-nilai yang dihayati penyair atau sastrawan serta keyakinannya yang melandasi pikiran terhadap lingkungannya, hidup dan kehidupannya. Semua pengalaman menjadi ide karya untuk dikembangkan melalui kemampuan imajinasi, dengan pendalaman masalah, lewat wawasan pemikiran dan sebagainya, sehingga melahirkan suatu karya yang benar-benar utuh dan bulat.

Sastra yang mencerdaskan harus mengungkap segi-segi sosial yang bersifat etis, terapis, konseptualis, dan kritis yang memihak pada golongan yang lemah. Dengan demikian, sastra yang bernilai tinggi adalah cermin dari kultur masyarakat, bahkan bagian dari karakter masyarakat itu sendiri.

*) Mujtahid, lahir di Paciran Lamongan tahun 1975. Mengenyam pendidikan mulai Madrasah Ibtidaiyah(MI) hingga Madrasah Aliyah (MA) di Pondok Modern Muhammadiyah Paciran. Melanjutkan Studi S-1 & S-2 di Fakultas Agama Islam Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Sekarang dosen Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Aktif menulis artikel, resensi buku, dan karya ilmiah. Selain menjadi dosen, saat ini mendapat tugas tambahan, sebagai Sekretaris Eksekutif Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan editor pelaksana beberapa jurnal ilmiah di kampus.

Sumber: http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2009/09/menanti-sastra-yang-mencerdaskan.html

Korea Saja Bisa, Apalagi Indonesia

Koh Young Hun*
Kompas, 26 Jan 2008

TIGA puluh tahun yang lalu, saya mendengar dari profesor saya di ruang kelas bahwa Indonesia merupakan negara yang berpotensi tinggi, karena sumber daya alam dan manusianya begitu kaya. Tiga puluh tahun sudah lewat, dan saya sudah menjadi profesor. Saya masih juga mengatakan kepada murid-murid saya bahwa Indonesia negara besar dan berpotensi tinggi dengan alasan yang sama.

Tanggal 19 Desember 2007, rakyat Korea (Korsel) memilih presiden baru, yaitu Lee Myung-bak (biasa disebut MB) yang akan memulai lima tahun masa jabatannya pada 25 Februari mendatang. MB berjanji bahwa dalam masa jabatannya Korea akan lebih maju dengan wawasan 7-4-7, yang berisikan bahwa 7 persen pertumbuhan ekonomi per tahun, 40.000 dollar AS pendapatan per kapita, dan negara ke-7 terbesar dari segi ekonominya (sekarang ke-11 terbesar). Pada hemat saya, Indonesia juga bisa, karena negara ini punya kemampuan.

Ciri utama yang mewarnai negara berkembang, dan merupakan musuh utama yang harus kita kalahkan, ialah kebodohan dan kemalasan yang keduanya adalah cikal bakal yang melahirkan kemiskinan. Karena itu, siapa yang lebih dahulu mampu menghilangkan dua sifat buruk itu, maka dialah yang akan dengan cepat dapat meraih kemajuan dan kemakmuran bangsanya.

Dalam teori pembangunan, sebagaimana ditulis Steven J Rosen dalam bukunya, The Logic of International Relation, dikenal dua aliran pendapat tentang sebab-sebab keterbelakangan negara-negara berkembang, di mana kedua aliran pendapat itu secara prinsip sangat berbeda satu dengan yang lain. Dalam hal ini, Indonesia dan Korea memiliki pandangan yang sama, yakni menganut paham tradisional; menganggap bahwa proses pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di sebagian besar negara terhambat akibat rendahnya tingkat produktivitas yang berhubungan erat dengan tingginya kemubaziran dan ketidakefisiensian sosial. Aliran ini berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan mutlak disebabkan faktor-faktor internal. Istilah Jawa-nya karena salahe dewe.

Adapun aliran yang lain, ialah aliran radikal, memandang kemiskinan dan keterbelakangan suatu negara (terutama negara ketiga) disebabkan oleh kondisi internasional, yakni adanya eksploitasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Namun, dalam hal ini saya beranggapan bahwa teori ini cenderung selalu mencari kambing hitam. Pepatah Melayu-nya, karena awak tak bisa menari, lantai pula yang disalahkan.

Etos Korea

Kita semua tahu bahwa Korea dalam kurun waktu relatif singkat telah menjelma menjadi masyarakat modern, yaitu masyarakat yang telah mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada kehidupan agraris.

Kemajuan Korea ini telah membuat banyak orang berdecak, terpukau seperti melihat keajaiban sebuah mukjizat. Para pakar bertanya-tanya, resep apa gerangan yang telah membuat bangsa yang terubah menjadi negara dan bangsa yang makmur? Sejak awal tahun 1970-an pihak Pemerintah Korea dalam rangka semangat pembangunan nasional telah berusaha membentuk tipe manusia Korea yang memiliki empat kualitas. Pertama, ”sikap rajin bekerja”. Lebih menghargai bekerja secara tuntas betapa pun kecilnya pekerjaan itu, tinimbang pidato yang muluk-muluk tetapi tiada pelaksanaannya.

Kedua, ”sikap hemat”, yang tumbuh sebagai buah dari sikap rajin bekerja tadi. Ketiga, ”sikap self-help”, yang didefinisikan sebagai berusaha mengenali diri sendiri dengan perspektif yang lebih baik, lebih jujur, dan lebih tepat; berusaha mengembangkan sifat mandiri dan rasa percaya diri. Keempat, kooperasi atau kerja sama, cara untuk mencapai tujuan secara efektif dan rasional, dan mempersatukan individu serta masyarakatnya.

Inilah picu laras yang memacu jiwa kerja bangsa Korea. Bila kita perhatikan, keempat butir nilai itu sesungguhnya adalah nilai luhur bangsa Indonesia. ”Rajin pangkal pandai…” dan ”sedikit bicara banyak kerja” adalah pepatah yang telah mengakar dalam budaya Indonesia.

Adapun nilai self-help, mandiri, sudah lama melekat dalam nilai religi sebagian besar masyarakat Indonesia, karena Tuhan Yang Maha Esa dalam Al Quran menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu bangsa, kecuali bangsa itu mengubah nasibnya sendiri. Sedangkan setiap usaha mengubah nasib, baik itu membuahkan hasil ataupun tidak, Islam telah memberinya nilai tambah; digolongkan pada perbuatan ibadah. Sementara sifat yang terakhir, kooperasi, adalah sendi-sendi budaya Indonesia yang amat menonjol. Kooperasi atau gotong royong tetap dipelihara dan dilestarikan.

Burung garuda

Sebagai penutup, saya ingin sedikit mendongeng tentang seekor anak burung garuda yang tertangkap dan dipelihara oleh seorang pemburu. Dari hari ke hari dia hanya bermain di halaman rumah; bersama-sama ayam kampung. Lalu pada suatu hari lewatlah seorang ahli unggas. Sang zoologist itu terkejut.

”Ah!” pikir sang ahli unggas itu terheran-heran. ”Sungguh mengherankan burung garuda itu!” ujarnya kepada pemburu.

”Dia bukan burung garuda lagi. Nenek moyangnya mungkin garuda, tetapi dia kini tidak lebih dari ayam-ayam sayur!” balas sang pemburu mantap.

”Tidak! Menurutku dia burung garuda, dan memang burung garuda!” bantah si ahli unggas itu.

Burung garuda ditangkap, lalu diapungkan ke atas udara. Garuda mengepak, lalu terjatuh.

”Betul, kan?” ujar si pemburu. ”Dia bukan garuda lagi!”

Kembali si ahli unggas itu menangkap garuda, dan mengapungkannya lagi. Kembali garuda mengepak, lalu turun kembali. Si pemburu kembali mencemooh dan semakin yakin garuda telah berubah menjadi ayam.

Dengan penuh penasaran si ahli unggas memegang burung itu, lalu dengan lembut membelai punggungnya, seraya dengan tegas membisikkan: ”Garuda, dalam tubuhmu mengalir darah garuda yang perkasa. Kepakkanlah sayapmu, terbanglah membubung tinggi, lihatlah alam raya yang luas yang amat indah. Terbanglah! Membubunglah!” Burung dilepas, dia mengepak. Semula tampak kaku, kemudian tambah mantap, akhirnya garuda melesat membubung tinggi, karena dia memang garuda.

Nah, barangkali cerita ini ada persamaannya dengan bangsa Indonesia. Bukti kejayaan masa lampau telah membuat mata dunia takjub. Borobudur satu bukti karya perkasa. Kini camkanlah bahwa Anda sekalian mampu, Anda punya kemampuan. Korea saja bisa, apalagi Indonesia.

* Koh Young Hun, Profesor di Program Studi Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/01/korea-saja-bisa-apalagi-indonesia.html

Nurel Javissyarqi: Waktu di Sayap Malaikat

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Seperti jiwa manusia aku tak terikat
Pada lambang-lambang bilangan-
Aku tak terikat pada masa dan keluasan
Pada pergantian dan tahun kabisat

–Muhammad Iqbal, Nyanyian Waktu

Pada suatu hari seorang Pendeta Agung singgah di sebuah majelis pumpun sambil mengajukan teka-teki kepada hadirin: “Apakah di antara yang ada di dunia ini yang paling panjang namun sekaligus juga paling pendek, paling cepat namun paling lambat, paling terbagi-bagi tapi paling luas, paling disepelekan tapi paling disesalkan. Tanpa hal tersebut, tak satu pun bisa dilakukan. Dia melahap segala sesuatu yang kecil, tapi mengabadikan yang besar”.

Hadirin tampak berpikir untuk menemukan jawaban. Lalu seorang berdiri, dan dengan amat meyakinkan ia menjawab: Kekayaan. Si pendeta menggelengkan kepala. Lalu seorang lagi mengacungkan telunjuk sambil menyebut cahaya. Seorang lagi menjawab kabut. Ada juga yang menyebut asa. Tapi semua jawaban itu salah. Yang betul adalah jawaban Zadig: Waktu.

Dengan waktu, kata Zadig yang sedikit berfilsafat, maka tak ada yang dirasakan lebih panjang, sebab waktu adalah ukuran keabadian. Dengan waktu, tak ada yang lebih pendek karena selalu kurang untuk melaksanakan rencana-rencana kita; tak ada yang lebih lambat bagi mereka yang sedang menunggu; tak ada yang cepat berlalu untuk mereka yang sedang menikmati hidup. Waktu terbentang luas tak terkirakan, juga terbagi-bagi dalam satu ukuran sekecil-kecilnya. Semua orang menyepelekannya, namun menyesali kehilangannya. Tak ada yang dapat dilakukan tanpa waktu. Waktu membuat semua yang tak patut dikenang terlupakan, dan yang pantas dikenang menjadi abadi.

***

Teka-teki dan jawaban dengan sedikit retorika itu, saya kutip dari satu bab roman Voltaire dalam versi Indonesia: Suratan Takdir (judul aslinya Zadig). Apa sesungguhnya waktu? Zadig mungkin akan tetap menjawab: panjang. Kita hidup dalam waktu, dan sejak lama melahirkan persekutuan dan angkatan. Tapi apakah sebenarnya waktu di situ?

Kita tak tahu persis jawaban apa yang akan diberikan. Namun hampir tak ada penyair yang tak pernah menulis puisi tentang waktu. Minimal pernah sekali dalam hidupnya ia memikirkan waktu dan menuliskannya ke dalam bentuk sajak.

Dari sekian banyak penyair yang menulis tentang waktu, hanya sedikit sajak yang sungguh-sungguh menghadirkan pergulatan tentang waktu. Kalau Voltaire membayangkan waktu sebagai ukuran keabadian, sesuatu yang panjang, maka saya ingin menandaskan bahwa waktu dapat dijadikan bahan tes bagi otentisitas seseorang. Kalau dia penyair, maka keontentikan dirinya sebagai penyair akan terlihat ketika ia menggarap soal waktu. Otentik atau tidak puisi yang dihasilkannya, juga dapat dilihat dan dirasakan oleh pembaca ketika ia membicarakan soal waktu.

Salah satu penyair yang tak begitu dikenal, namun telah menghasilkan satu buku kumpulan sajak yang unik dan bentuk yang menyempal, adalah saudara Nurel Javissyarqi. Lewat analekta sajak bertajuk Kitab Para Malaikat (2007) Nurel menghadirkan tafsiran waktu dalam bingkai filsafat dan ajaran kebatinan Jawa yang tak mudah dicerna, namun dari segi tema, terasa otentik.

perihal bentuk, sajak-sajak Nurel cukup unik tapi sekaligus janggal. Setiap ujung larik sajaknya ditandai dengan huruf atau angka romawi. Tentu saja kita bisa berdebat tentang fungsi angka-angka romawi dalam baris larik sajaknya. Bisa jadi hal itu hanya sekadar tempelan, seni dekorasi, dan tak memiliki maksud dan makna apa-apa. Atau bisa juga sebuah kelatahan, sekadar pemenuh garis kalimat, sebagaimana kita bisa juga memperdebatkan tanda baca yang tumpangtindih dan sepintas mubajir dan menyalahi aturan seperti yang dimaui para penggiat bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kalau saya boleh berbaik sangka, tentu saja semua keanehan itu dikerjakan dengan perhitungan yang mengandung misi tertentu. Angka-angka itu mungkin tak lagi sekadar kenenesan atau keisengan serta sekadar pemenuh garis kalimat. Bisa jadi ia memiliki hubungan yang terencana dengan sesuatu yang kita sebut sebagai penanda waktu.

Secara tematik, selain persoalan waktu, Kitab Para Malaikat banyak menampilkan tema seputar eksistensi. Namun menyelam tema saja tak cukup untuk menegaskan hakikat keindahan sebuah puisi. Kita mesti juga berenang menyusuri arus bentuk dan wawasan estetik sang penyair. Dan sajak-sajak Nurel tampak memberikan kesan “menyempal” dilihat dari segi bentuk. Di dalamnya kita temukan campur-baur berbagai gaya dan pengucapan. Beberapa bagian tampak si penyair begitu asyik dengan aforisme, dengan saran dengan petuah, dengan perbalahan, dengan doa dan mantra.

Karena telisik ini lebih memfokuskan pada penyelaman karakter tema, dengan fokus pada persoalan waktu, maka jadilah telisik ini amat sempit dan picik. Keputusan menjadikan waktu sebagai lahan garapan di sini karena cukup banyak dijumpai isyarat tentang waktu. Ketika si aku sedang asyik melakukan tamasya bahasa ke berbagai lumbung, si aku merasakan kekaguman terhadap waktu. Ada waktu di mana ia mengagumi setiap mil yang pernah dijelajahinya, setiap makanan yang pernah dicicipinya, setiap pribadi yang pernah dikenalnya, atau “ditidurinya”. Semua itu menggodanya, lalu dicatatnya, kemudian menjelma sebuah sajak.

Sebagai (salah satu) bahan tes bagi otentisitas, waktu karena itu bukan hal sepele dan main-main dalam sajak-sajak Nurel. Bahkan banyak sekali urusan di muka bumi yang terpaut dengan waktu muncul di situ. Banyak hal yang bahkan begitu tergantung dengan detik, menit, hari atau tahun. Kita bisa saja tak memahami ucapan seorang tokoh dalam sajaknya ketika menyebut “waktu di sayap malaikat”, atau ketika ia menulis “waktu terselip di jemari, menyibak ilalang memeluk senjakala ”, namun karena kita merasakan penghayatan sang penyair terhadap waktu begitu intens dan syarat makna, maka layaklah kita memberi predikat otentik terhadap larik sajak tersebut.

Atau kita ambil contoh satu larik lagi, ketika Nurel bicara tentang perempuan dan waktu. Seorang perempuan dibayangkan sebagai gerbang menuju ke ketinggian, mendaki ke puncak pohon lotus terjauh. “Ia pembuka gerbang langit, ketika kitab waktu belum dipelajari”, tulis Nurel.

Apa yang dimaui sang penyair dengan larik semacam itu? Adakah ia hendak menegaskan bahwa puisinya memiliki hubungan tersembunyi dengan proses penciptaan makhluk perempuan?

Waktu di sana dibayangkan sebagai timbangan, mizan. Sebuah tinanda sekaligus isyarat tentang kejadian sesuatu. Waktu juga diandaikan sebagai ukuran terhadap hal-ikhwal. Ia bisa dinyatakan lewat bilangan, lewat angka, atau waktu kuantitas. Tapi ada juga waktu kualitas yang tak terkait dengan angka atau bilangan. Waktu psikologis atau waktu eksistensialis, atau waktu filosofis, adalah penanda waktu di luar urusan kuantitas, tapi bisa terpaut dengan sifat atau karakter.

Seorang filsuf pernah menulis begini: “Ada renungan yang panjang terutama ketika waktu diukur dan dibekukan dalam satuan-satuan menit. Seakan-akan ada rentetan statis yang lantas dianggap sebagai waktu”. Ini kata-kata Bambang Sugiharto ketika memahami waktu dari konteks filsafat. Di sini waktu bisa bermakna penantian, ibarat waktu di ruang tunggu. Waktu dibayangkan sebagai seutas tali kebisuan.

Sementara Nurel merasakan kesuntukan dan kegersangan yang nyaris tak terkatakan ketika hendak berenang terus-menerus dalam arus waktu kehidupan. Dalam sebuah halaman ia menulis:

“Wajah haru biru menerima pautan waktu, rintik menerobos gersang,
sesapu debu juga daun-daun bersegaran setelah muka kemarau memanggang,
inilah hangat asmara mencerna ufuk timur raya (XIII:LXXXIV)
Anak-anak sungai menggelinjak ke bebatuan,
Terpotong tanggul kakikaki mungilmu (XIII:LXXXV)
Selembut tanya harapan tersengal keputusasaan
Terlempar arus kesadaran berasal hempasan (XIII:LXXXVI)

Dalam larik itu, ada pautan waktu, juga tentang harapan atau obsesi. Apa harapan dan obsesi yang dimaui sang penyair? Mari dengarkan senandung jawaban dalam lembar berikutnya: ”Waktu tertinggal mengekalkan kebaikan, tertulis hasrat suci mendekatkan diri/Sebelum sayap-sayap kaku, ujung-ujung tenggorokan hampa, izinkan mengucap kalimah sakti, teguh menguliti nasib mengisi, demi membuka kilauan tabir penciptaan”.

Penyair sepenuh-penuhnya berpaling kepada waktu ketika kata mulai dirasakan kian tak berdaya menyalurkan hasrat dan rasa haus estetis yang telah menyembul di kerongkongan. ”Kata-kata tidaklagi memuaskan mereka, kau tahu ruang kejujuran, keheningan suci tiada bercak keangkuhan”, tulisnya.

Dengan waktu, si aku merasakan pedihnya kesendirian, kesepian, hingga ia menandaskan kepada lawan bicaranya. “rasakan diamnya di dalam dirimu tersebab pribadi tidak menentu, maka mustahil pecahkan guratan batu di kening sejarah waktu”. Memang, seperti sering dikatakan orang, kita hidup dalam pergulatan terus-menerus dengan sejarah waktu. Atau mungkin lebih tepatnya: dalam arus waktu yang kian tak menentu.

Nurel seakan hendak menggenapkan waktu dengan menghubungkannya dengan sejarah dan kata serta membayangkan waktu masih berupa potongan-potongan tahun cahaya. “di saat sejarah belum tercatat, siapa berbicara kata?/mewaktu masih berupa potongan-potongan cahaya,/siapa yang dahulu menempati lautan es cahaya?”

Di sana dimensi waktu terasa jauh lebih relevan ketimbang dimensi ruang. Sebab, seperti juga pernah dikatakan seorang penyair lirik terkemuka di negeri ini, puisi tak terikat oleh waktu, dan tidak dapat pula dibelenggu oleh waktu. Ia bisa melintasi waktu, melampaui dimensi waktu. Dan Malaikat, kita tahu, bukan makhluk sejenis manusia yang kasatmata yang terikat oleh ruang dan waktu manusiawi. Dan kita juga tahu peran Malaikat dalam penyebaran wahyu dan misi kenabian dalam agama-agama dunia.

Malaikat adalah makhluk yang sejajar dengan setan atau iblis. Dan kita tahu, seandainya tak ada malaikat di surga, apa arti wahyu bagi manusia dan kemanusiaan. Seandainya tak ada iblis di surga yang menggoda Adam, mungkin kita takkan mengenal kitab suci di dunia, dan mungkin juga dunia takkan pernah dihuni manusia.

Waktu menjadi bagian tak tepisahkan dari manusia, alam, dan Tuhan. Hampir semua kebudayaan yang ada di muka bumi memiliki pemahaman tentang waktu: baik waktu sebagai angka hari, bulan, dan tahun, maupun waktu sebagai sejarah atau waktu dalam arti makna dan pemahaman. “Aku sengaja melempar dadu“ untuk “mencari padanan waktu”, tegas Nurel.

Sanga penyair agaknya mulai merasakan kejengahan terhadap waktu. Maka ia pun mulai sedikit bermain-main dengan waktu untuk menuju dan menemu waktu di luar sejarah dan pemahaman. Atau barangkali itu hanya strategi untuk menaklukkan waktu. Sebab dalam sajak-sajaknya terdapat isyarat tentang waktu geometris, waktu kalenderis, waktu antropologis, waktu mistis, waktu abstrak, waktu simbolis, dan sebagainya.

Ketika terpaut dengan sejarah, makna waktu menjadi serangkaian kejadian atau peristiwa yang dalam pandangan tradisionalisme, waktu tak dapat berulang. Waktu lampau membeku dalam sejarah dan tak dapat kembali. Musim durian tahun 2010 hanya sekali walau tahun berikutnya berkali-kali terjadi musim, namun berbeda hari, bulan atau tahun. Dan waktu tak mungkin berputar mengikuti lingkaran siklus yang sama.

Makna waktu menjadi kian rumit ketika dilihat dari konteks makna dan pemahaman. Dengan kata lain, waktu kualiatif. Alexis Carrel pernah mengingatkan akan pentingnya waktu kualitatif, karena menurutnya: banyak sekali persoalan manusia dan alam raya yang tak terkait secara kuantitatif. Martin Heidegger lain lagi: ia memahami waktu sebagai yang sambung-menyambung antara masalalu, masakini, masadepan dan berputar-putar tanpa awal dan akhir.

Waktu ibarat komidi putar di taman ria yang mengelilingi lingkaran. Ratusan tahun lampau al-Hallaj sudah menyebut tofik waktu sebagai lingkaran titik-titik primordial yang berputar terus-menerus dalam kesatuan antara masalampau, masakini, dan masadepan. Manusia memahami luncuran waktu sebagai proses yang tak cuma mengenai masa lalu, melainkan masakini dan juga masa depan.

Kalangan fisika kuantum konon mampu kembali ke waktu 1 miliar tahun lampau. Seorang kritikus pernah menelusuri persoalan waktu dalam konteks ini melalui pertemuan dengan sajak Padamu Jua dari pujangga Amir Hamzah. puisi itu menurutnya memiliki hubungan dengan skala waktu geologi yang kini mencakup masa jutaan, bahkan miliaran tahun, karena Bumi sendiri, katanya, telah berumur sekitar 4,5 miliar tahun. “Bicara waktu untuk kosmos atau alam semesta malah lebih menggetarkan karena menjangkau sedikitnya 13 miliar tahun”.

Dalam kurun yang jauh melampaui rentang waktu hidup pujangga Amir Hamzah—demikian ia sering disebut—manusia yang cerdas dan terus mendedikasikan tenaga, waktu, dan pikiran untuk memahami rahasia alam, kini bisa kembali ke masa miliaran tahun silam. Bahkan, kalau umur kosmos disebut 13 miliar tahun, katanya yang tampak sangat matematis, maka dengan berbekal ilmu fisika kuantum, manusia dapat mereka ulang kejadian-kejadian di dekat masa 13 miliar tahun silam itu, bukan saja satu detik setelah alam semesta lahir, tetapi bahkan seperjuta-triliun-triliun-triliun detik.

Sementara pujangga Nurel Javissyarqi mencoba menafsirkan riwayat sang kala dengan imaji sepersekianjuta tetes cahaya kepak sayap Mailaikat. Di bagian akhir kitabnya ia mengutip satu pernyataan Imam Abdurrohim bin Ahmad Qodhi dalam ”Daqooiqul Akbar”: ”Malaikat Jibril as mempunyai seribu enam ratus sayap, mulai dari kepala sampai kedua telapak kakinya terbalut bulu-bulu dari zafaron. Matahari seakan berada di antara kedua matanya. Di atas setiap bulu-bulunya seperti rembulan dan gemintang. Setiap hari ia masuk ke dalam lautan cahaya tiga ratus tujuh puluh kali, tatkala keluar dari lautan tersebut, meneteslah dari setiap sayap sejuta tetes cahaya, dan Allah Subhanahu Wataallah menjadikan dari setiap tetes tersebut wujud Jibril as., mereka sama bertasbih kepada-Nya sampai hari kiamat, nama mereka Malaikat Ruhaniyyuun”.

Selanjutnya Nurel mengingatkan pembaca sambil meyakinkan lewat seruan: ”Saudara tentu tidak menyangka ketika kelepakan sayap malaikat menyentuh lapisan langit pertama, terciptalah kata, kata-kata itu dipungutinya sendiri bagi saudara-saudaranya, para Malaikat Ruhaniyyuun yang ditugaskan tuhan mengatur segala urusan dunia. Kata-kata tersebut bukan wahyu hendak disampaikan kepada para nabi, tapi murni pengalaman perjalanan bolak-balik. Hasil lawatannya itu diidentifikasi sendiri, bagaimana watak insan penghuni bumi. Ini catatan memahami sifat insan demi permudah malaikat menjalani perintah-Nya, menjaga ruh hayat lestari, juga demi insan mengerti cahaya malaikat berkreasi”.

Itulah kesaksian-kesaksian Nurel, atau goresan-goresan pengalaman kreatif yang melatari lahirnya antologi puisi yang penuh imaji kesufian yang liar ini. Ia tak puas jika tak menjelaskan apa dan bagaimana serta dimana sajak-sajak ini mengendap dan kemudian lahir sebagai sebuah kitab sajak yang jalin-menjalin antar berbagai tema dan pengalaman. Baik pengalaman luka maupun bahagia, baik pengalaman sakit maupun sehat, kekosongan maupun kepenuhan.

Kita, pembaca, diajaknya ikut merasakan, mengarungi, mengidentifikasi untuk kemudian mencoba mendekati seintim mungkin pengalaman-pengalaman puncak yang nyaris tak terkatakan itu. Bukan sekadar membaca, tentu saja, tapi membaca untuk bergulat ikut merasakan getar-getar pengalaman batin yang menggelora, juga mempesona. Sebagai penyair, tugasnya telah selesai, dan kini sajaknya berada di tangan pembaca, diambil-alih oleh pembaca melalui apa yang disebut kewenangan tafsir.

Sebagai penyair, Nurel tak seradikal Sutardji yang mengajak pembaca untuk memeras keringat hati dan otak dalam memahami isyarat-isyarat yang terdapat dalam sajak-sajaknya. Sebab soal paham dan tidakpaham, soal makna dan ketanpamaknaan sebuah sajak, bagi Nurel, adalah perkara lain lagi. Dengan bijak ia bersaran kepada pembaca untuk menemu tafsir yang bisa ditafsirkan lagi, memahami yang bisa terpahami saja lagi, atau—mengutip kata-katanya sendiri—”ambil yang saudara mengerti & selidiki yang belum terketahui”, lagi.

Tapi, sebagai pembaca, tak mudah lagi untuk mengambil bagian mana dari larik sajak yang dimengerti dan mana yang takdimengerti. Lagi pula kalau sudah dimengerti tak perlu lagi diselediki, atau masih ada gunanyakah menyelidiki sesuatu yang sudah telanjang kasatmata, atau yang sudah terang-benderang? Justru karena sifat sajak-sajak yang balam-balam itu, maka pembaca ditantang untuk berenang-renang ke tengah mengarungi tepi-tepi terakhir sebelum karam digulung ombak suak ujung sajak.

***

Walhasil, Kitab Para Malaikat adalah buku puisi yang mengambil bentuk prosa kefanaan: kehidupan dan kematian. Juga tentang doa dan waktu, serta waktu dan keabadian. Kitab ini tak mudah ditangkap hanya lewat pandangan saja, apalagi pandangan mata seorang kritikus yang tak siap untuk paham.

Bagi saya, hakikat waktu dalam sajak-sajak Nurel tak lengkap jika tak dilacak hingga ke akar-akar ”kebudayaan tradisional”. Sebab dalam ”masyarakat tradisi”, waktu tak terpisahkan dengan keseluruhan aktivitas sosial dan fenomena ekologis dan metereologis. Pencarian religius orang Hindu lama, misalnya, mengikuti jejak waktu spiritual. Mereka keluar dari siklus dan keterikatan waktu dari eksistensi untuk mencapai keadaan eksistensi yang abadi, imortal dan bahagia. Sementara ajaran Budha mirip dengan Hindu yang menggambarkan keadaan nirvana sebagai arus waktu melalui gagasan kelahiran kembali. Hanya saja, dalam kosmologi Budha, alam semesta adalah siklis, dan arus waktu kelahiran kembali itu ternyata melahirkan parinirwana—fase ketika tak ada lagi reinkarnasi atau terhentinya kelahiran kembali.

Dalam astronomi Babilonia yang digerakkan oleh ras Sumaeria dan Akkadia, misalnya, ruang dan waktu adalah bingkai kehidupan yang non-rasional yang berulang. Pemikiran astronomi dan matematis pada awalnya masih diliputi oleh suasana pemikiran magis-mistis. Ruang dan waktu dalam sistem astronomi awal tidak berupa ruang dan waktu teoritis yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis yang bisa diukur. Astronomi lebih dikenal sebagai astrologi. Karena astronomi tak mungkin lahir tanpa sosoknya yang mitis dan magis, yaitu sosok astrologi.

Selama berabad-abad sifat ini bertahan, bahkan menurut Ernest Cassirer dalam An Essay on Man, masih terdapat dalam kurun pertama abad ke-20. Namun, kesulitan-kesulitan mendasar untuk mengekspresikan ruang dan waktu abstrak dan simbolis akhirnya dialami juga oleh para filsuf. Fakta bahwa ada ruang abstrak merupakan penemuan terpenting dari pemikiran Yunani.

Namun para pemikir Yunani masih juga kesulitan menjelaskan corak pemikiran logisnya. Sama seperti aljabar simbolis Babilonia masih teramat elementer dan sederhana. Maka larilah para filsuf Yunani ke dalam pernyataan-pernyataan paradoksal. Demokritos menganggap ruang ”bukan hal ada”. Newton mengingatkan agar tak mencampur-adukkan ruang matematika murni dengan ruang pengalaman inderawi. Tugas filsafat justru mengabstraksikan data-data dari pengalaman inderawi ini.

Para pemikir Berkeley menampik gagasan Newton tentang ruang matematika murni sebagai yang tak lebih dari ruang imajiner juga; suatu khayalan dalam pikiran manusia. Weinz Werner menganalisa gagasan ruang dan waktu masyarakat primitif dan secara angkuh menganggap ruang dan waktu manusia primitif kurang objektif, kurang terukur, kurang abstrak, sifatnya yang egosentris atau antromorfis, yang fisiognomis-dinamis yang tak sesuai dengan teori ruang dan waktu ilmiah. Dengan ruang geometris, katanya, maka manusia mendiami ruang universal.

Sementara Descartes berangkat dari penemuan besar di bidang matematika yang melahirkan cita-cita ideal mathesis universalis yang bermetamorfosis menjadi cogito ergo sum. Kant memisahkan pengertian antara ruang dan waktu, di mana ruang adalah bentuk pengalaman luar manusiawi, sementara waktu adalah bentuk pengalaman dalam. Demikian pula Leibniz.

Pemikiran astronomi dan matematika yang semula masih berbau metaforis dan mistis, akhirnya berubah menjadi sangat rasionalis dan khaostis. Astronomi mengugusur astrologi. Kuantitatif dalam matematika telah menggusur kualitatif. Maka agama sedemikian jauh terpisah dari ilmu. Sebab itu, tak heran jika ’Alija ’Ali Izetbegovic—mantan presiden Bosnia—pernah tertarik untuk mengamati hubungan seni dan ilmu atau ilmu dan agama. Jika kita menyimak fenomena alam, katanya, maka di sana ada susunan yang terdapat dalam sebuah mesin, atau sebuah melodi. Keduanya, bukan dalam analisis terakhir, tak bisa direduksi menjadi satu sumber yang sama. Yang pertama adalah kombinasi hubungan dan bagian spasial atau kuantitatif yang sesuai dengan alam, logika dan matematika. Yang kedua mempertahankan kombinasi nada atau kata-kata dalam sebuah melodi atau puisi. Kedua susunan ini memiliki dua kategori yang beda—ilmu dan agama, atau dari sudut pandang ini, ilmu dan seni…Maka jika hanya ada satu dunia, maka seni tidak akan mungkin. Setiap karya seni merupakan kesan dunia yang bukan tempat tinggal atau asal kita, dan yang di dalamnya kita ’kehilangan tempat kita’.

Padahal para penemu pertama astronomi dan geometri tak bermaksud meretas selubung mistik dengan teori ilmiah. Baru kemudian ketika astronomi dan pemikiran matematis Babilonia yang mistis telah beralih ke Yunani dan Arab-muslim, maka ruang dan waktu yang mistis digusur oleh yang serba-rasionalis.

Pandangan Nurel tentang waktu dalam Kitab Para Malaikat mengikuti pandangan kosmologi Jawa klasik yang dikawinkan dengan pandangan Islam. Dalam pemikiran tradisional Jawa, memang terdapat keselarasan alamiah antara gerakan kehidupan manusia dan gerakan kosmos. Roda yang berputar adalah suatu gambaran gerak dan ketenangan, berangkat dan pulang kembali. Bentuk dari waktu universal adalah satu dari ciptaan dan destruksi, dan berulang lagi ciptaan dan destruksi lagi. Dan manusia dilahirkan dalam zaman yang fana, hidup seumur-umurnya dan kemudian kembali kepada zaman yang baka lagi. Perputaran berhenti dan generasi yang lain memulai putaran baru lagi.

Simak bunyi larik akhir buku Kitab Para Malaikat: sekalipun ”ada saatnya perjalanan musti dihentikan kala menemui pantai doa ibunda”, namun ”ini babak peleburan mengulum bibir rindumu, serupa kematian berulang/nikmatnya terus terberi, sedang energinya tak pernah habis selesai”.

Tak habis-selesai? Ya, sebab waktu adalah masa silam yang serempak mengada dengan masa depan dalam masa kini. Dalam gerak-diam waktu, kejadian tak pernah habis-selesai. Tak ada lagi pengulangan yang persis sama dalam arus gerak waktu. Nurel mengingatkan kita akan ketidakmungkinan manusia untuk berenang dua kali dalam sungai yang sama. Dengan menempatkan ”waktu di sayap malaikat”, Nurel tampak ingin menyarankan agar manusia membebaskan diri dari waham bernama politik lokasi tunggal. Waktu adalah kondisi umum kehidupan organis yang terdiri dari tiga modus yang telah disebutkan, dan ingin saya sebutkan lagi, yakni: waktu lampau, kini, dan nanti.

Nurel meletakkan waktu yang statis, beku, dan menunjukkan apresiasi terhadap tradisi Jawa sewaktu ia dituntut untuk tidak lagi hidup dengan tradisi kuna yang panjang umur itu. Berbeda misalnya dengan para penganut kemajuan, sebuah pemuja semangat progres, waktu ditempatkan sebagai gerak-maju yang dinamis dan lurus-liner. Spiritualitas waktu sebagai pertarungan hidup mati umat manusia. Masalah sastra—puisi khususnya—menyangkut masalah paling eksistensial tentang bagaimana mengolah ladang waktu, menguasai ladang waktu, dan manusia bisa jaya terhadap waktu.

Dalam kalender Jawa yang dipengaruhi Hindu, ada istilah Mahakala (waktu tanpa akhir), yang mengatasi waktu dan siklus perputaran kelahiran kembali. Dalam kerangka reinkarnasi ini, waktu dalam pemahaman Nurel merupakan roda perputaran yang menyedihkan dari eksistensi di dunia yang fenomenal, yang bukan dunia nyata, melainkan maya. Karena itu ia mencoba mengatasi apa yang imortal dan yang abadi dengan yang berubah dan tak selesai.

Dalam ajaran panca maha butha, semua makhluk hidup pada akhirnya akan terurai dan terberai atas unsur alam pembentuk kehidupan: air, api, logam dan eter. Kematian adalah siklus yang terputus. Satu hidup saja memang tidak abadi, karena hidup masih sering ditata dalam prasangka kefanaan, tetapi rangkaian siklus kehidupan dan reinkarnasi, itulah makna keabadian sejati, seperti yang pernah disinggung Voltaire dalam kitabnya yang saya kutip di awal telisik ini.

Tapi pemaknaan waktu semacam itu perlahan-lahan bergeser. Dan ini mulai dirasakan sebagai kecemasan oleh Nurel. Sebagai seorang ”titisan kebatinan Jawa”, Nurel merasakan kegelisahan tatkala waktu spiritual mulai bergeser menjadi ”waktu rasional”, atau antara ”metafora dan matematika”. Akar pergeseran ini bisa dilacak sejak kekuasaan raja-raja Jawa dihapus dan Islam menjadi patokan di segala bidang. Akibatnya, gejala-gejala sinkretisme dan mistisisme yang jadi falsafah hidup sebagian besar orang Jawa mulai tergusur. Penanggalan Jawa kuna yang memiliki pertalian dengan India, akhirnya berubah, terutama sejak Sultan Mataram berkuasa dan masuknya Islam ke bumi nusantara. Berbagai corak mistis dan magis serta misteri-misteri yang terkait dengan tradisi, ruang dan waktu, mengalami kodifikasi.

Lantaran itu, Kitab Para Malaikat sebetulnya tak hanya bicara soal waktu dalam konteks kebudayaan Jawa, tapi dunia. Di sana kita disuguhkan pula perbincangan filosofis tentang waktu dalam konteks kosmologi. Waktu dari alam bukan waktu arloji atau waktu kalender, melainkan hadirat atau waktu yang menyekarang. Dalam waktu arloji tidak ada perbedaan jam satu siang dengan jam satu malam, jarum arloji menunjuk pada angka yang sama. Waktu alam ialah mengalir. Karena itu, waktu bisa mandek, bisu, beku. Sementara ruang bisa tembus pandang dan menjelah bidang liputan.

Kalau pandangan ini dilanjutkan, maka corak alam tak lain adalah keseluruhan prinsip-prinsip dan pengaturan relasi sesuai dengan dorongan vital dari manusia yang mengkonstitusikan alam. Tendensi mengasimilasikan benda-benda dalam hampir semua sajak di buku ini, bukan menampilkan ekspansi difusi sebagaimana sering disinggung para kritis postmodernis, melainkan aliran vital yang berjalan teratur.

Tendensi puisi yang kembali ke alam tradisionil, dalam hal ini, berarti kembali menunjukkan persoalan ketidaksadaran. Semakin berkurang kesadaran seseorang, semakin ia kembali kepada tradisionalisme. (Sebagai contoh, buku Kitab Para Malaikat banyak menggunakan kata pujangga, bukan penyair, dan kitab ini dibuka dengan kalimat yang mengingatkan kita pada kitab-kitab lama yang berisi doa purba: ”Allahhumma shalli ’ala sayyidina Muhammad; ruh bersaksi sederaian gerimis mengantarkan rasa atmosfer semesta terkumpul di dasar laut di kedalaman rongga dada pujangga (I)”.

Dan itu diulangi secara ritmis. Semua titik peralihan menentukan batas relasi. Sampai batas itu, alam seakan membuka diri baginya. Seakan menjelma doa-doa. Sementara di luar dirinya, ia mencoba memilih posisi yang lain. Pengalaman berdasarkan relasi antara kita dan benda-benda, tetapi relasi itu tak bisa ditempel atas benda-benda itu. Dengan pengalaman saja, pengaruh dari benda-benda sudah selesai sehingga pengaruh dialami secara absolut.

Namun, sebagaimana terbaca dalam beberapa sajak, doa dan waktu dari alam itu kini mengalami perubahan seiring ditemukannya pengolahan yang serba-mesin. Di zaman sekularisasi yang menciptakan demistifikasi terhadap manusia dan desakralisasi terhadap hal-ikhwal yang disucikan ini, sebuah puisi memang tak sepenuhnya bisa diharapkan menjadi remedi bagi luka besar kemanusiaan. Sekalipun Nurel bertekad untuk “memindahkan rasa sakitmu dari tangan alam ke titian waktu”, toh, sajak-sajaknya memiliki keterbatasannya sendiri. Dan, sebagai pembaca, saya hanya bisa berdoa: semoga kau berhasil dan berbahagia terbang bersama para malaikat ruhaniyyuunmu.

Bandarlampung-Kota Agung, Maret 2011

PAKAIAN BAHASA

Muhammad Rain
http://sastra-indonesia.com/

Di antara banyaknya pengguna kata dalam dunia sastra puisi, pakaian kata tentu berganti-ganti dipakai oleh penyairnya. Tuntutan adanya variasi akibat keseringan menggunakan kata yang sama disokong oleh pengaruh yang ingin menjembatani penulis puisi (penyair kata-kata) agar bahasa yang diramunya dapat terus terasa segar saat dibaca. Harapan puisi dapat mengalir seiring berkembangnya mode kata-kata selalu ada di setiap even penulisan. Dekade setelah reformasi, lemari kata-kata makin ramai dipenuhi oleh rujukan modernitas pengucapan. Bahasa (kata) yang biasa disusun ulang itu selanjutnya mempertemukan kemungkinan-kemungkinan pemaknaan baru, pola susunan putar-balik, transendent dan revision dari kedua sisi yang melingkupinya, baik secara ejaan maupun semantiknya.

Konsep kata pada dasarnya berunsur konvensional. Penyair tidak menulis untuk kalangan biasa, selanjutnya pakaian umum kata ini (kata bermakna lugas) dibordir, digosok dalam lajurnya yang baru, ditambah personil asesorisnya guna mempertinggi nilai abstraksi hasil penafsiran prismatis yang kelak dikehendaki penulis jika puisinya diapresiasi secara maksimal kelak, baik oleh pembaca umum apalagi kritikus yang eseis pula. Marilah kita cermati beberapa tanda pengubahan pakaian kata yang berusaha dikreasikan oleh penulis-penulis puisi berikut ini.

Penyair Satu

Judul Puisi: aku, setan, dan tuhan
Judul Antologi: Putri Berkicau
Karya: Putri Sarinande
Penerbit: Pustaka Kemucen
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 26

ibuku pernah bilang bapaku sudah mati
ibuku juga bilang bapaku itu setan
padahal bapaku sedang main judi
padahal bapaku hanya dikelilingi perempuan dan minuman

bapaku pernah bilang ibuku adalah setan
bapaku juga bilang bahwa ibuku jalang
padahal ibuku hanya seorang perempuan
padahal ibuku hatinya sedang meradang

ibuku menangisi aku yang mati
bapaku menangisi aku yang mati
semua menangisi aku yang mati

tapi ada satu yang menertawai aku yang mati
apakah dia setan?

bukan, dia bukan setan.

lalu siapa jika dia bukan setan.
dia adalah tuhan.

Mencermati puisi beraroma posmo di atas, pembaca sudah meyakini bahwa ini dunianya puisi, bukan dunia sehari-hari yang biasa manusia jalani. Pakaian kata yang dipakai di puisi ini murni telanjang dan nyaris tanpa berandai-andai, alias terbuka, langsung pada pokok persoalan. Sindiran juga gugatan tentang tuhan disampaikan secara keras oleh pengguna pakaian bahasa puisi di atas. Tuhan dianggap setan. Terlepas unsur ekstrinsik di atas, si penulis puisi bukan lagi murtat sebenarnya dalam menyampaikan tema gugatannya ini, namun ia ingin kita yang membaca paham, seperti apakah keyakinan bertuhan yang kita miliki, pakaian dalam berketuhanan yang bagaimana idealnya bagi seseorang yang mengaku beragama? Apakah kita sudah bertuhan dan beribadah juga percaya teguh terhadap takdir dari tuhan tersebut.

Bandingkan dengan puisi berikut:

Penyair Dua

Judul Puisi: Arah Kiblat
Karya: Faradina Izdhihary
Penerbit: Nurul Haqqy Publishing
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 29

tuhan menjelma dalam sarang burung,
mengerami telur-telur,
menghangatkan kasih ibu dan anak.

nafsuku bergelut pada bibir yang saling kecup,
pada tangan yang saling mendekap,
pada birahi yang tak bertepi.

tuhan dan nafsuku adalah satu, berkejaran dalam darah.
memuncak gairah: ketika ajal merekah
seperti gunting yang memotong tali, pada busur-busur mimpi
yang melejit tanpa kendali

pada tuhan sungguh aku bernafsu,
pada nafsu aku bertuhan

ke mana menemu arah kiblat?

Sadar tidak sadar, penulis puisi kedua ini sedang menawarkan alamat kiblat bagi kita, yang bagi orang muslim kiblat dianggap sebagai arah menghadap dalam beribadah (salat, wudhu, mandi junub bahkan menyembelih hewan dsb.) Kiblat yang dikehendakinya di sini mengarah kepada fungsinya secara visioner yang berarti arah pencarian dirinya sebagai makhluk berkeinginan memenuhi nafsunya. Penulis mempertanyakan pakaian kata sebagai eksistensi yang bagaimana sebenarnya dalam mencari tuhan? Berbeda cara pandang oleh yang ditampilkan penyair satu “aku, setan, dan tuhan” yang lebih mengambil jahitan kata-kata untuk membentuk pakaian pemahaman menjahit pakaian kebertuhanannya secara original, murni mode sendiri, desain sendiri. Meskipun pembicaraan kedua tema puisi tersebut masih soal ketuhanan, masih berwujud ketauhidan, kepercayaan yang menjadi akar sikap manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia.

Dua penyair di atas dengan terang sedang memutar benang pencarian pakaian kata mereka, yang satu memakai benang nilon tebal dan jarumnyapun tergolong besar, yang satu dengan jemari lentik kata perlahan menjahit menggunakan jarum berukuran lebih kecil dan cenderung sentimentil meski ditutup juga dengan keterbukaan sebuah jahitan yang belum kelar. Tentu jika pembaca ingin melihat pakaian mereka kedua ini, model-modelnya bagaimana saja dalam selemari yang terkumpul harus membaca sendiri dan dengan bebas menafsirkan seperti apakah sesungguhnya pakaian bahasa (kata) yang mereka pakai dalam buku antologi puisi mereka.

Selanjutnya kita cermati dua penyair lagi berikut ini dengan pakaian yang lebih halus kainnya bagai sutra, dengan benang jahit yang lebih limit dalam menawarkan bidang-bidang modenya sesuai selera penyairnya dalam menciptakan pembalut badan puisi sebagai bahan pokok alias bakal yang terkesan kontras dengan dua puisi di atas.

Penyair Tiga

Judul Puisi: Tahajud Ilalang
Judul Antologi: Sajak Emas 200 Puisi Sexy
Karya: Dimas Arika Mihardja
Penerbit: Kosa Kata Kita
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 44

setiap pagi dan petang, ilalang bergoyang
inna shalati wa nusuki…
rakaat demi rekaat merayap
di dinding rumah:
alifku rebah

siang merajut sujud
malam merenda kalam
iqra bismirobikaladzi…
setiap saat kubacabaca 99 nama:
jemariku letih

ilalang di belakang rumah
tak lelah
ibadah

juga

Penyair Empat

Judul Puisi: Diruapi Malam Harum, VI:I-ILXXVII
Judul Antologi: Kitab Para Malaikat
Karya: Nurel Javissyarqi
Penerbit: Pustaka Pujangga
Tahun Terbit/Hlmn: 2007 : 36

Ruh yang diberkati menyatukan jiwa sedenyut kasih sekapas lembut bertiup
melepaskan ada-tiada dalam ruangan sesama, seturut kehendak melati (VI:XXIX).

Ia dekati dadamu atau kau pada gemuruh jiwanya, rasakan keterbangunan
beling dingin ratapan, dan khusyuk sayap-sayapmu menjemput niatan (VI: XXX).

Bulu-bulu bebas meninggalkan kekang mengikuti panggilan gemawan,
merindu-rindu cahaya pembuka di jemari tangan-tangan dedoa (VI: XXXI).

(…..)

Hadir berdemaman didekapnya kesembuhkan, masukilah sumsum iman,
lantas kembalikan cinta dari kubangan rindu, kubur kenangan ajal (VI: XXXIX).

Apa yang menjadi pakaian penyair tiga meski masih berbahan sutera namun jahitannya tetap berbeda dibandingkan pakaian bahasa (kata) yang dipakai penyair empat. Penyair tiga dengan rutinnya memperhatikan jahitan pakaian kebertuhanannya lewat 99 jahitan tersebut, saban hari, saban waktu sampai lelah jemarinya meletih. Mengambil simbol ilalang yang beribadat di belakang rumah dengan perbandingan taatnya si “aku” lirik dalam beribadah pula, menyebut nama (asma) tuhannya. Sebagai insan kamil, makhluk yang seharusnya memimpin dunia, penyair tiga menyampaikan poin kritiknya bahwa manusia harus berpakaian syukur, syukur sebab ia dicipta lebih sempurna maka sebab itu tak pantas melupakan ibadahnya pada khalik. Ilalang sujud, manusia yang memiliki perangai tak rutin sujud, tak yakini lagi arti penciptaannya. Keindahan pakaian sindiran penyair tiga dengan lembut berupaya mencapai kesadaran mata, hati dan kelembutan peribadatan yang wajib dimiliki setiap umat manusia yang mengaku bertuhan.

Penyair empat menggunakan metode pakaian bahasa justru berbeda dari kebanyakan penulis puisi lain. Seolah tidak sedang berpuisi jika kita lihat dari ketiadaannya bait dan larik. Kalimat-kalimat meluncur sebagaimana seorang petasbih yang berzikir dalam mabuknya doa dan kata-kata, barangkali penyair jenis empat ini sudah muak dengan pakaian bait dalam berpuisi, ia merombaknya mendesain sendiri tipografinya sehingga penampilan pakaian bahasa yang dikenakan dalam berpuisi dan bergaya di bidang kesusastraan semacam pengasingan diri, asing di tengah riuhnya ramai penulis-penulis puisi yang masih memakai jahitan model konvensional. Kain-kain perca bahasa ia satukan, setiap kalimat berlintasan berlepasan dan berbuih namun tetap mencirikan ombak penampilan puisinya.

Kalimat-kalimat berupa larik puisi menyusun jedanya masing-masing, keadaan yang menjadi fasilitas kebermaknaan puisi berupa bait dari berlarik-larik pakaian kata selanjutnya menemukan ceruk, mendapati lubang-lubang penuh buih. Pembaca yang penasaran dan terlihat jarang menemukan pakaian kata di dalam puisi sejenis selanjutnya mengajak dirinya untuk mau mengetuk. Sebab dasar dari tujuan membaca adalah memahami maksud yang disampaikan penulis, dalam hal ini penulis puisi bukan penulis umum yang sekedar mencaplok kata-kata dari kamus dan kebiasaan pemakaiannya di lingkungan dunia penulisan. Kerjanya sebagai penghimpun pakaian kata yang unik justru mengharuskan dirinya sebagai pekerja seni bahasa untuk bekerja serius memperbaharui tenaga kata, mempertinggi nilai kandungan bahasa, juga turut mewaspadai matinya kata-kata yang akhirnya justru jadi kain lap, pembersih debu di dapur atau kain perca sebagai alat rumah tangga sekedar untuk dipijaki kaki yang kotor oleh tamu maupun tuan rumahnya.

Lemahnya daya kreasi pendesain pakaian kata akan mempengaruhi nilai dan mutu karya yang diciptakannya. Pengunjung lemari puisinya (pembaca antologi puisinya) hanya melihat sekilas pintas belaka terhadap pajangan di dalam lemari kaca itu, tidak mau memegangnya, memilih-milihnya mana yang cocok sesuai jiwa dan selera dan bahkan seperti melihat pameran mode maju yang konon justru memasang diskon besar dan obralan murah meriah. Kesan bahwa penyair sebagai tukang loak kata-kata tak bisa tidak dengan miris akan dihadapi oleh kaum sastra, keadaan seperti ini tentu tak layak dibiarkan. Perlu ada pemerhati desain kata, perlu ada tukang ukur kat, tukang pasang kancing kata, tukang jahit pinggir kata. Misalnya editor buku puisi, illustrator sampul buku puisi, juga penerjemah warna lokal (pakaian lokal) dalam buku puisi yang dibutuhkan untuk membedah nilai secara mumpuni, nilai kekaryaan, nilai konstruktif yang ikut membangun tingginya mutu karya sastra puisi.

Korelasi dunia kata-kata dengan dunia berpakaian sesungguhnya seperti melihat sesosok manusia modern yang rapi berdasi namun kalimat-kalimat pidatonya sebagai seorang pemimpin justru tidak seideal pakaian (pembalut tubuh) yang dikenakannya. Banyak sudah contoh perilaku kemanusiaan bangsa kita yang tanpa disadari telah meninggalkan kebudayaan dalam berpakaian perilaku berupa kata-kata pantas. Orang bermobil tapi caciannya kepada pengemis seakan lebih rendah dari bahasa penjahat. Perkataan justru menjadi penggenap kurangnya penampilan seseorang, jika ia seorang yang sederhana namun kalimat-kalimat yang diutarakannya sungguh memikat hati, tak urung orang lain bisa menganggapnya guru yang berbudi bahasa. Tradisi kita sebagai orang timur memang suka sekali memperpanjang kata-kata, memutar-mutarkan kalimat sehingga meliuk tak berujung pangkal, nah di sinilah perlu kita sikapi bahwa roda jaman mengharapkan kita lebih hemat dalam berkata, layak mempertimbangkan kepraktisan namun pemugaran ini butuh etika dan kedinamisan yang bijaksana.

Penulis puisi tidak serta merta dapat membebaskan pemakaian bahasanya dengan segala alasan yang tidak konstruktif, yang justru tidak ada sangkut pautnya dengan meninggikan mutu/nilai pakaian katanya. Compang-camping dan meresahkan hati pembaca. Sikap dewasa dalam berpuisi menggunakan kata berhati, bernas dan tetap sederhana justru tak ada ukuran idealnya. Lain lubuk lain ikan, dengan ragam bahasa yang ribuan suku ini, bangsa kita membutuhkan sikap berbahasa yang berlandaskan rasa kebersamaan. Konsep pembinaan bahasa yang dilakukan oleh lembaga bahasa Indonesia di seluruh propinsi sudah selayaknya disikapi proporsional, ranah sastra tak luput pula dari perhatian lembaga tersebut, proyek-proyek kreatif kesusatraan turut pula diatur secara bersinergi dengan sekolah-sekolah, lembaga kesenian di tiap daerah, para penyair lokal juga pemerintahan yang punya tuntutan kerja di bidang ini, bidang mengatur pakaian bahasa yang sepantasnya.

Tradisi menulis terpengaruh pula dari lingkungan di tempat penyair puisi tumbuh, jika Anda orang Medan, tentu bahasa lugas, tuntas dan tegas ikut menjadi bumbu puisi yang ditulis, jika Anda berlatar belakang masyarakat sosial suku Jawa, maka tak ayal bahasa Anda penuh santun dan sangat mempertimbangkan bunyi, jika Anda berlatar Melayu, bahasa Anda menjadi semacam pantun yang melambai seperti pucuk-pucuk para, atau jika pun Anda seorang Aceh yang gemar bercerita, bahasa Anda sedikit banyak nantinya dalam menulis puisi akan tampil ketegasan, kesopanan dan sedikit intonasi meninggi yang menyerupai dialektika orang Batak, Padang bahkan Bali.

Rumah puisi yang kita ibaratkan tadi semacam lemari kaca buat meletakkan pakaian-pakaian bahasa tersebut, harus berhasil menunjukkan kemauannya untuk menyesuaikan mode/desain dan tuntutan atmosfer baru dalam kancah seni bersastra puisi. Kita tak mungkin menggunakan pakaian bahasa seorang Amir Hamzah yang sudah usang bukan? Namun bukan dengan demikian artinya kita tidak menghargai usaha seorang pujangga besar di dekade kesusastraan lama ini, sebab dengan demikian kita telah bekerja di luar batas-batas kedirian kita, orisionalitas bangunan dasar (foundament) kesusastraan kita. Perlu dengan dewasa mencermati, apa yang penyair-penyair besar itu tanam (termasuk seorang Chairil Anwar) dengan benih mutu yang baik pada akhirnya memunculkan batang tubuh kesusastraan Indonesia yang kekar dan tahan cuaca.

Namun adalagikah upaya kita selain memelihara apa yang sudah ada, yang sudah menjadi pakaian kesusastraan kita untuk selanjutnya berubah, berevolusi sesuai jamannya? Kebijaksanaan para kreator pakaian bahasa kita jangan sampailah melanggar etika ketimuran kita, lupa diri dan Salah Asuhan dalam modernitas yang justru menjadi Belenggu, sementara Layar Terkembang jangan lagi menjadikan bangsa sastra masuk jurang. Manifes ya Manifes , Lekra ya Lekra, tapi kini jaman Millenia, segala yang secuil dapat menjadi api, segala yang menggunung dapat menjadi cenung.

Manusia mencapai kodratnya sebagai makhluk bahasa dan menempati keindahan sebagai tanah untuk berpijak dan di sinilah ia melangkah dengan pakaian bahasa, bahasa sebagai fitnah jika tak dipakai semestinya, bahasa yang membunuh jika ia menjadi harimau bagi dirinya, tentu saja kebutuhan pakaian baru selalu ada, rasa ketidakpuasan menjadi hukum alam dunia manusia, apa yang sudah lewat tidak semuanya perlu diubah dan apa yang di hadapan justru membutuhkan esensi dari pencapaian kodrat manusia demi kemaslahatan dunia seni sastra secara umum dan keberlangsungan berkarya para penyair itu. Sebetulnya tidak semua sastra yang membawakan suara jamannya pasti sastra yang baik, seperti pendapat Budi Darma (dalam buku Sejumlah Esei Sastra, cetakan 1, 1984:15). Sebab, kalau sastra yang membawakan suara jamannya adalah sastra yang baik, maka sastra yang baik ini adalah sastra yang latah dan tidak mempunyai kepribadian. Setiap jaman memang membawakan mode tersendiri. Dan seseorang yang latah adalah hasil jamannya dan sekaligus membawakan suara jamannya.

Jaman pembredelan sudah lewat maka di depan kita akan melihat sebuah jaman di saat buku menumpuk tanpa pembaca, nilai dinamis menjadi raja, kebermaknaan menjadi harga dan kesetiaan kepada pakaian bahasa menemukan tantangan besar. Marilah kita hadapi bersama sebuah masa transisi di antara kendaraan seni sastra yang makin berlintasan, kawan dan lawan harus tetap sejalan jangan bugil jangan malas bercermin seperti apa sudah pakaian bahasa kita? Selamat berjuang.

Langsa-Indonesia, 14 Juni 2011.

Hakikat Bahasa, Mantra, dan Tanggung Jawab

(Tanggapan atas buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri)
Mahmud Jauhari Ali
http://sastra-indonesia.com/

Apakah yang terbayang di benak Anda ketika membaca judul saya di atas? Wujud bahasakah? Dukun yang sedang membaca mantra? Seorang lelaki yang sedang menunaikan tanggung jawabnya? Atau apa?

Hari itu, di sebuah ruang belajar, saya pernah menyimak sebuah pertanyaan singkat, “Apakah bahasa itu?” Mungkin Anda juga pernah mendengarnya. Mungkin juga tidak. Mengenai pertanyaan tersebut, banyak orang menjawabnya dengan kalimat sederhana, “Bahasa ialah alat komunikasi.” Pertanyaannya sekarang adalah, benarkah bahasa itu memang alat komunikasi?

Sebelum kita masuk ke wilayah yang lebih jauh menyangkut hakikat bahasa, dan juga menanggapi buku karangan Nurel Javissyarqi yang judulnya saya tuliskan di atas itu, saya katakan terlebih dahulu, bahwa saya bukanlah seorang linguis atau pun sastrawan hebat. Dalam hal ini saya hanyalah seorang penulis yang ingin menuliskan apa yang saya ketahui saja.

Baiklah, kembali ke pertanyaan apakah bahasa, sekilas tidak salah jika bahasa diartikan sebagai alat komunikasi. Mengapa? Sebab, fungsi utama bahasa memanglah sebagai alat penyampai pesan dari pembicara kepada penyimak, atau dari penulis kepada pembaca. Namun, apakah argumen itu sudah kuat dalam kajian yang mendalam untuk menjadi landasan dalam pendefinisian bahasa?

Saya yakin semuanya akan sepakat bahwa fungsi utama bahasa ialah sebagai alat komunikasi. Akan tetapi, fungsi tidaklah sama dengan batasan atau definisi, bukan? Jadi, jika ditanya apa salah satu fungsi bahasa, jawabannya yang benar ialah alat komunikasi. Dengan demikian, “alat komunikasi” bukanlah definisi bahasa, melainkan salah satu fungsi bahasa saja.

Nah sebenarnya pertanyaan apakah bahasa ini menyangkut hakikat bahasa itu sendiri. Ketika kita mendengar kata “bahasa”, yang muncul di dalam otak kita ialah “kata”, “frasa”, “klausa”, “kalimat”, dan seterusnya. Kata dan lainnya itulah bahasa di tiap-tiap tatarannya. Secara mudah, baik kata maupun yang lainnya itu sebenarnya ialah lambang bunyi. Dan, lambang bunyi tersebut merupakan wadah makna yang menghubungkan antara lambang seperti kata dengan rujukannya. Misalnya, kata mata merupakan wadah makna yang berbunyi ‘indra di tubuh makhluk hidup untuk melihat’. Makna ini menghubungkan kata mata dengan rujukannya berupa benda bulat yang melekat di bagian wajah tubuh makhluk hidup untuk melihat.

Jadi, ketika kita mendengarkan orang mengucapkan, “Selamat pagi!”, berarti kita mendengarkan orang mengucapkan bahasa. Atau, saat ada seorang anak kecil mengucapkan kata “Enak.”, dia telah mengucapkan bahasa, yakni bahasa Indonesia.

Jika kita cermati dengan saksama,“Selamat pagi!” dan “Enak.”, semuanya memiliki aturan atau bersistem. Perhatikan saja, “Selamat pagi!” tidak diucapkan dengan pagi selamat dan “Enak.” tidak diucapkan kane, anek, neak, atau kena. Ini membuktikan bahwa bahasa itu bersistem dan sistem itu berlaku secara konvensional oleh suatu kelompok manusia atau masyarakat bahasa. Sebut saja salah satu kelompok manusia yang saya maksud itu ialah warga Indonesia. Saya, Anda, dan lainnya termasuk di dalam kelompok manusia itu yang sepakat secara konvensional atas bahasa Indonesia, baik kata dan lainnya.

Dengan demikian, kiranya sudah dapat kita tangkap apakah bahasa yang sejatinya merupakan hakikat bahasa itu sendiri, yakni sistem lambang bunyi yang arbitrer (mana suka) dan secara konvensional digunakan untuk kepentingan manusia, seperti berkomunikasi, bekerja sama, dan membangun bangsa dalam suatu masyarakat bahasa.

Dalam kaitannya dengan masyarakat bahasa ini, dikenal istilah kreativitas linguistik. Contoh nyata dari kreativitas itu ialah, huruf-huruf latin yang jumlahnya tak sampai seratus buah, bisa dibuat kata, kalimat, paragraf, dan lainnya yang tak terhingga jumlahnya. Buku-buku berhuruf latin yang jumlahnya sangat banyak di dunia ini pun, sejatinya juga dibentuk dari huruf-huruf dengan jumlah yang tak terlalu banyak itu. Bayangkan saja, seorang penyair memanfaatkan huruf latin untuk dibentuk menjadi kata, larik, bait, hingga menjadi banyak puisi yang terhimpun dalam buku antologi puisi. Begitupun nenek moyang kita dulu, dari huruf-huruf, mereka membuat banyak mantra. Ya, mantra yang memiliki makna dan maksud untuk ditujukan kepada roh dan lainnya.

Tentunya agar bisa membuat karya semacam puisi mutahkhir atau pun mantra, dibutuhkan kompetensi bahasa termasuk mengerti makna dari kata yang digunakan pembuatnya untuk menghasilkan karya bermutu.

Nah, menghubungkan perihal bahasa di atas itu dengan buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri karangan Nurel Javissyarqi (terbitan Pustaka Pujangga, Mei, 2011), menurut saya sangat menarik. Sejauh mana kemenarikan itu? Silakan ikuti bahasan saya berikut ini.

Kata-Kata harus Bebas dari Pengertian

Dalam buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan SCB, Nurel Javissyarqi terkesan langsung menghubungkannya dengan mantra. Hal ini sesuai dengan SCB dalam kata-katanya yang ingin mengembalikan kata kepada mantra. Menurut SCB, mantra tak bermakna sebagai bagian dari pemikiranya untuk melepaskan kata dari pengertian. Dan, pada buku itu terlihat jelas Nurel menolak penyataan SCB bahwa kata harus bebas dari pengertian tersebut.

Nurel beropini bahwa mantra itu sendiri mengandung makna agung untuk ditujukan kepada roh dan lainnya. Dengan kata lain, mantra tanpa makna tidak akan mujarab. Lalu apakah persoalannya sekarang sudah tuntas sampai di situ? Ternyata tidak. Sebab, muncul pertanyaan baru, apakah benar mantra tanpa makna seperti kata SCB? Ataukah memang memiliki makna seperti yang dikatakan Nurel?

Untuk menjawab dua pertanyaan pilihan itu tentu kita selayaknya kembali kepada apa sebenarnya hakikat bahasa. Kata, sesuai dengan ilmu linguistik yang saya paparkan di atas, merupakan wadah makna. Tentunya, makna, maksud, dan pengertian tidak bisa dilepaskan dari kata itu sendiri. Mengapa?

Sebab, kata tanpa makna, maksud, atau pengetian, menjadikan kata itu kosong. Serupa dengan kaleng bekas wadah kue kering yang sudah habis kita makan. Misalnya kata pintu, jika dilepaskan dari maknanya, kata itu tidak akan berfungsi apa-apa. Itu sama saja dengan wujud-wujud seperti lopi, meka, juha, dan lainnya yang tanpa makna dan tanpa fungsi apa-apa. Coba renungkan, apakah lopi, meka, juha bisa kita gunakan untuk meyampaikan pesan? Tidak bukan? Sebaliknya, jika makna, maksud, atau pengertian yang dilepaskan dari kata, semuanya itu akan kehilangan wadahnya. Dan, ujung-ujungnya akan dicari wadah atau kata lain untuk mewadahi makna yang dilepaskan dari kata awalnya.

Wadah makna itu sangat penting sebagai penamaan dalam komunikasi. Sebagai gambaran singkat, dulu orang belum bisa membuat komputer sehingga orang-orang tidak mengenal kata computer. Kemudian dengan kegigihan orang, terciptalah benda baru yang bisa digunakan untuk mengetik, mendesain gambar dan sebagainya. Untuk mewadahi atau menamai ciptaan baru manusia itu, dicarilah dan dipilihlah secara artbirter (mana suka) dengan nama computer. Pertanyaannya, apa jadinya jika kata dan makna dipisahkan satu sama lainnya?

Nah, selain kata, sebenarnya sesuatu di luar lingual atau nonverbal pun memiliki makna. Tidak percaya? Perhatikan ilustrasi berikut.

Siang itu Fajar membujuk Hena makan di warung sederhana di ujung kampus. Fajar sudah berusaha keras membuat pacarnya yang super elit itu mau mengikuti kehendaknya. Tapi sayang, Hena diam saja. Beberapa waktu Hena masih diam dan tak lama kemudian Fajar menyerah. Ya, dia berhenti membujuk pacar kesayangannya yang cantik itu. Mereka pun akhirnya makan siang seperti biasanya di rumah makan yang mewah dengan harga selangit.

Dari ilustrasi itu kita bisa mengetahui makna dari diamnya Hena, yakni ‘tidak mau makan di warung makan sederhana di ujung kampus mereka’. Dengan diam itu, Fajar menyerah dalam bujuk rayunya. Diam termasuk nonverbal, tapi memiliki makna. Apalagi dengan bahasa verbal? Tentu memiliki makna, bukan.

Melihat fakta emperis dan pembahasan di atas, jelaslah bahwa kata tidak bisa dilepaskan dari makna, maksud, dan pengertian. Dengan kata lain, kata yang merupakan lambang selalu akan menjadi wadah dari makna, maksud, dan pengertian yang menghubungkan dengan rujukannya, baik benda maupun konsep. Jika demikian, kata-kata dalam mantra pun sebenarnya memiliki makna. Perhatikanlah mantra berikut ini.

Bahasa Arab dan Banjar …………………….Bahasa Indonesia

Bismilahirrahmanirahim……………Dengan nama Allah Tuhan
…………………………………………….Yang Maha Pengasih
…………………………………………….lagi Maha Penyayang
Kecuali pandira ini bagarak………Kecuali bendera ini bergerak
Maka maling kawa bagarak………Maka pencuri bisa bergerak
Barakat La ilahaillah………………..Berkat tiada Tuhan malainkan Allah
Muhammadarasulullah……………..Muhammad adalah utusan Allah

Tak ada satu kata pun yang tak bermakna dalam mantra di atas bukan? Dan, pembuatnya mampu membuat mantra itu dengan ditunjang kompetensi bahasanya termasuk dalam hal makna dari kata-kata yang digunakannya itu. Kalau pun ada kata-kata yang hanya bunyi saja di dalam mantra, itu mengandung maksud tertentu yang dimengerti oleh si pembuatnya untuk ditujukan kepada roh dan lainnya. Dan, pembuat mantra harus memiliki komptensi bahasa dulu baru bisa membuat mantra.

Intinya, antara kata dan makna tidak bisa dilepaskan. Dan, makna itu sangatlah penting. Karena itulah, ada ilmu semantik yang membahas soal makna dan wadahnya. Untuk kata-kata yang terkesan hanya bunyi tanpa makna dalam mantra, dikaji khusus dalam semantik maksud.

Kata Pertama adalah Mantra

Di bagian terdahulu dari tulisan ini sudah saya katakan bahwa dalam masyarakat bahasa ada istilah kreativitas linguistik. Seorang penyair misalnya, memanfaatkan huruf latin untuk dibentuk menjadi kata, larik, bait, hingga menjadi banyak puisi. Begitupun nenek moyang kita dulu, dari huruf-huruf, mereka membuat banyak mantra. Tentunya agar bisa membuat karya semacam puisi mutakhir atau pun mantra, dibutuhkan kompetensi bahasa termasuk mengerti makna dari kata yang dia gunakan untuk membuat karya bermutu.

Jadi, nenek moyang kita membuat mantra dengan berdasarkan kompetensi bahasa. Di sini jelas, sebelum membuat mantra, nenek moyang kita sudah mengenal kata dan mengetahui maknanya. Bisa dikatakan, sebelum mantra diciptakan, terlebih dahulu harus ada kata dengan kandungan maknanya. Atau dengan kata lain, kata dan makna lebih dahulu ada sebelum adanya mantra. Dengan demikian, tentunya tidak mungkin yang belakangan diciptakan—mantra—menjadi awal dari yang sebelumnya telah ada (kata dan makna).

Nah inilah yang dipersoalkan oleh Nurel dalam bukunya yang berkover warna dominan merah itu. Secara terang-terangan, Nurel menolak pernyataan SCB bahwa kata pertama ialah mantra. Saya pun secara objektif tidak sependapat dengan pernyataan SCB tersebut. Mengapa? Karena, sudah jelas bahwa mantra itu diciptakan setelah ada kata. Jadi, kata pertama bukanlah mantra. Kalau benar penyataan SCB itu bahwa kata pertama ialah mantra, lalu misalnya di dunia ini kata yang pertama ialah makan, apakah kata makan itu mantra? Tentunya kata makan bukanlah mantra. Melainkan, kata makan bisa menjadi kata untuk membuat mantra.

Penyair Tidak Bisa Dimintai Pertanggungjawabannya

Siapakah penyair itu?
Apakah dia wali Tuhan di bumi? Rasul yang membawa wahyu? Atau Tuhan itu sendiri?

Ada yang mengatakan bahwa penyair disebut juga sastrawan. Nah, kata sastrawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan lema yang tergolong nomina dengan beberapa makna di dalamnya. Makna-makna itu adalah ’ahli sastra’, ’pujangga’, ’pengarang prosa dan puisi’, ’(orang) pandai-pandai’, dan ’cerdik cendekia’.

Batasan itu secara umum memasukkan penyair ke dalam golongan sastrawan. Dan, setinggi apapun penyair hingga dia dimasukkan dalam kaum sastrawan, tidak serta merta membuatnya bebas dari tanggung jawab. Penyair tetaplah manusia. Dia tak bisa menjelma malaikat atau lainnya. Semua manusia, termasuk penyair akan mempertanggungjawabkan segala amalnya. Jika salah, dia dihukum dan jika benar dia akan mendapatkan ganjaran yang baik. Jangankan kata dalam bentuk puisi tertulis atau diujarkan di atas panggung, bisikan hati penyair yang belum menjelma kata-kata dan perbuatan lainnya pun dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan kelak.

Dalam tataran manusia saja, perkataan siapa pun selalu menimbulkan efek. Bisa negatif, bisa pula perkataan kita berdampak positif bagi orang lain. Jika berdampak negatif, bukan hanya di akhirat kita mempertanggungjawabkannya, tetapi di dunia kita juga harus mempertanggungjawabkan perkataan itu. Bahkan, bisa jadi pertanggung jawabannya dengan kehilangan nyawa atau kematian.

Sehubungan dengan dunia puisi, SCB menyatakan penyair tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Dan, pernyataannya itu ditolak oleh Nurel Javvisyarqi. Menurut Nurel, penyair tidak bisa disamakan dengan Tuhan. Saya pun secara objektif dan sesuai penjelasan di atas itu, menolak pernyataan SCB tersebut.

Berkaitan dengan efek, pernyataan SCB itu dapat menimbulkan kebebasan tingkat tinggi. Bayangkan saja, jika penyair tidak dimintai pertanggungjawabannya, tentu penyair akan sesukanya menggunakan kata. Kata-kata yang tak patut dikatakan semisal yang porno, kotor, dan lainnya pun akan menjadi halal dikatakan oleh penyair. Sebab, penyair tidak mempertanggungjawabkan kata-katanya. Ini kekebasan yang sangat tidak diharapkan. Apabila hal ini dikaitkan dengan Licentia peotica dalam sastra pun, kurang sejalan. Licentia poetica pun yang ideal memiliki batasan agar tidak melampaui batas kewajaran, termasuk memperhatikan aspek tanggung jawab dalam berkarya.

Penyair yang baik, selayaknya memperhatikan setiap kata yang digunakannya untuk membuat puisi sebelum dipublikasikan ke tengah masyarakat. Ini penting untuk menghindarkan tafsiran-tafsiran yang tidak diharapkan.

Nah, ketiga hal di atas itulah yang menurut saya merupakan inti dari buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri karangan Nurel Javissyarqi, sang pengelana dari bencah Tanah Jawa itu. Dan, hanya inilah secuil tulisan yang dapat saya sampaikan. Sejatinya kebenaran hanya milik Tuhan dan jika ada yang tak sejalan dengan pemikiran saya di atas, itu hal wajar. Salam takzim dari saya di Tanah Borneo!

Kalimantan Selatan, 8 Juni 2011
Sumber: http://tulisanbaru-mahmud.blogspot.com/2011/06/hakikat-bahasa-mantra-dan-tanggung.html

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati