Minggu, 27 Februari 2011

Sitok Srengenge: Puisi sebagai Pertaruhan Berbahasa

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Dia menulis dengan bahasa yang sangat puitis. Barangkali inilah modal utamanya sebagai penyair—belakangan juga mencatatkan diri sebagai penulis prosa yang liris dan puitis, yang hanya bisa ditandingi oleh kejernihan bahasa prosa Nukila Amal. Terus terang, saya iri dengan kemampuan bahasa Indonesia yang dimilikinya. Bahkan, saya tak bisa menyembunyikan keterpesonaan setiap kali memukan sajak-sajaknya. Selalu ada semacam godaan untuk mengikutinya, jadi epigonnya, atau mengambilalih, atau memiuhnya. Mungkin benar kata sebagian orang: tulisan yang bagus akan selalu menggoda orang untuk jadi pencuri.

Sang mualim itu bernama Sitok Srengenge. Sebuah nama keren alias beken. Mungkin orang tuanya pernah bermimpi diberi nama seindah dan secantik lenggak-lenggok permaisuri. Atau mendapat ilham, atau diberi seorang petualang, atau apa saja. Yang jelas orang tuanya pasti tidak pernah mengira kalau anaknya akan jadi penyair. Penyair yang punya modal kata dan bahasa. Bukan menyair asal menyair.

Sebagai penyair namanya memang telah tercatat, tapi tak begitu mendapat tempat sesuai dengan kadar dan kualitas sajak-sajaknya. Apresiasi dan kritik yang dialamatkan pada puisi-puisinya sayup-sayup sampai, bahkan nyaris tenggelam oleh kehadiran ratusan penyair yang lebih muda darinya. Padahal, bila dibandingkan—bisa juga dibaca dipertandingkan—dengan kadar puitik yang dimiliki sejumlah penyair generasi 1990-an yang terlanjur ditahbis sebagai penyair kuat, belumlah seberapa dengan kadar puitik yang dimiliki penyair kita yang satu ini. Kecerdasannya merangkai kata bahasa Indonesia jadi puisi menawan hati, terhitung amat langka. Setiap kali saya membaca puisi dan prosanya, saya seperti sedang berhadapan dengan seorang jenius di lapangan kata-kata. Pilihan kata amat diperhitungkan, imajinya menawan hati, ritmenya sangat terjaga.

Saya mengenal Sitok mula-mula lewat puisi Takbir para Penyair, yang belakangan saya anggap sebagai sajak kurang menggigit bila dibandingkan dengan sajak-sajaknya yang muncul kemudian. Sebagai sebuah takbir, sudah sewajarnya jika sajak ini dimulai dengan kata “Atas nama para penyair”, yang mirip dengan bunyi slogan para demonstran: “Atas nama rakyat!”

Kekuatan Sitok rupanya bukan di situ; bukan pada kata-kata yang membahana semacam itu, apalagi sampai berpanjang-panjang seperti sajak Takbir para Penyair yang meletihkan membacanya. Kekuatan Sitok ada pada kesederhanaan ungkapan, pada kejernihan kata-kata dan metafor yang ”nirpolitik” serta tidak dibuat-buat.

Kalau puisi Takbir para Penyair adalah kredo, maka Sitok salah memilih kredo. Seharusnya ia memilih kredo Osmosa Asal Mula yang bicara ihwal persenyawaan yang mantap, atau sajak Elegi Dorolegi. Sajak Obituari Bulan juga lumayan bagus. Sajak ini dibuka dengan kisahan atau sebuah penceritaan tentang seorang bocah di Jawa, entah biografis sifatnya, atau potret dari suasana kampung halaman. “Anakku tidur menduga-duga bulan/dan di kelas matanya masih menyimpan malam/ketika ibu guru mengajari matahari/anakku lalu menggambar cakrawala, lautan/perahu layar tanpa nakhoda, dan/rok ibu guru dipermainkan ombak pasang/Ibu gurunya dimakna ikan”.

Sajak ini sangat lucu, dan membuat saya ingin tertawa. Rupanya Sitok bisa juga menulis sajak humor yang kena. Tapi bukan macam ini juga sajak Sitok yang menurutku termasuk yang tercantik dan terindah. Namun sajak yang bagaimana, tunggu dulu dan bersabar, saya ingin mengutip sajak Teluh Lanang yang agak merayu dulu. “Ketika kuntum cinta rekah di hati perempuan/dan suara geliat kelopaknya menjadi kata-kata/meluncur ke arah lelaki/sesungguhnya telah dicipta telaga di rahimnya/ditumbuhi buluh-bulu sepi”.

***

Sitok mempesona saya karena kepiawaiannya menghadirkan gersik kata-kata yang bisa menggoda kediam-dirian. Sajak-sajaknya di bawah ini, semuanya menggunakan bahasa yang indah dan nyaris tak ada bahasa yang sia-sia, apalagi sampai cacat. Semuanya penuh perhitungan dan ketelitian. Kadang sangat hemat kata, tapi kadang pula mengurai panjang menyusuri kelokan, mirip aliran sungai yang menyusuri tebing dan bebatuan.

Taak banyak penyair yang lihai serta piawai menghadirkan frase puitik, seperti “penyair terlunta dikutuk kata” dalam sajak Sonet Situmorang. Kata-katanya khidmat dan jauh dari bahana. Iramanya tenang namun bisa menggelembung bagai aliran pasir yang dibawa bandang. Perhatikan susun larik-larinya, atau cerna alunan irama dan pilihan katanya yang cerdas.

Malam dingin yang kesepian turun berjingkat dari Eiffel,
seakan ingin cari teman dan menghayati hangat mantel
Seusai risau mondar-mandir di bawah gedung tua
dia dekap kau, penyair terlunta dikutuk kata

Lidahnya lembut
menelusup ke lekuk-lekuk kulit kisut
Jantungmu bagai diremas gairah,
gelembung masa lalu membuncah di sungai sejarah

Berkemaslah, sebelum maut
sembari kenang pohon renah berlumut
yang kau titi melintas jurang
di belantara rimba nenek moyang

Dari dulu Seine mengalir, mengairi akar anemun dan angkuli
Kau pun tahu, tanah air tak sekedar gurun dan melankoli

Sekalipun bicara soal mitologi, elegi dan tragedi, sajak-sajaknya tidak jatuh jadi klise. Sitok memang banyak menimba mitologi Jawa dan tembang pesisiran dan lagu dolanan anak kecil di Jawa. Tapi tidak hanya Jawa dunianya, terbukti ia juga menulis sajak dengan tokoh dunia.

Tapi saying Sitok tak selamanya terpesona pada hal-hal kecil yang remeh. Ada beberapa puisinya dengan judul besar dari tokoh besar. Bagaimana penyair ini menafsirkan sosok Prometheus hingga terasa tidak akrab bahkan bagi orang yang sudah lama tahu tentang tokoh ini. Prometheus dalam tafsiran Sitok tentu berbeda dengan tafsiran Wiratmo Soekito. Prometheus dalam puisi Sitok lebih sunyi dan tidak sok cerdas, mengalami nasib yang tidak bebas sehingga memunculkan solidaritas dari aku. Tokoh mitologi ini dilukiskan sebagai sosok yang menyeru zaman baru dengan pengorbanan yang berdarah-darah.

Prometheus

Dengan rasa sakit yang sama, Prometheus,
aku pun diberangus,
Ketika kugenggam api
kehangatan beranjak
dan buku-buku jari
yang gemetar meraut sajak Baca! Dan akan kudengar rintih
pra penghuni generi laut yang air matanya buih

Ini kali, kali-kali berhasrat merasai lagi
geletar arus dalam nadi,
berbukit menggigil dalam sepi
rindu hangat tubuh lelaki
Kelak, kata-kataku akan menetas
di tebing-tebing cadas
Baca! Dan barangkali kau tak lagi bertanya:
hati siapa diresapi cahaya

Langit berkelepak
mengirim jerit selaksa gagak
Amarah menderu bagai Guntur
jatuh tercurah hujan sangkur
melukai kalbu yang menyeru zaman baru
darahnya mengalir ke dalam sajakku

Bahasa yang digunakan Sitok sangat berbahaya karena sangat bagus, tapi pilihan judul itu memperlihatkan semangat intelektualisme. Pilihan kata dan diksi tidak asal-asalan, melainkan penuh perhitungan. Pada titik ini, atau dalam sajak tadi, Sitok menghadirkan kekayaan kosakata bahasa Indonesia yang telah jauh lebih maju dibandingkan jaman Pujangga Baru.

Cukup banyak pembaca yang mengakui keindahan bahasa yang digunakan Sitok dalam sajak-sajaknya. Ada sebuah cerita yang menyedihkan ketika novel Saman Ayu Utami terbit. Beberapa penyair di Lampung tidak percaya kalau novel indah itu ditulis oleh Ayu. Mereka meyakini Sitok-lah yang menulisnya mengingat bahasanya dekat sekali dengan puisi-puisi Sitok.

Tentu saja hal itu meremehkan Ayu, dan sampai sekarang saya berkeyakinan Ayu Utami-lah yang menulis novel itu. Bahwa kemudian Ayu menulis novel Bilangan Fu dengan bahasa yang jelek, tema yang sudah banyak digarap, isi yang terlampau dirayakan hingga nyaris jadi novel pemikir yang garing.

Sejak buku puisi pertamanya, sudah tampak bakat Sitok. Sekarang bukan lagi bakat, tapi terlatiih menulis sajak-sajak bagus. Beberapa tema sajaknya dekat dengan pengucapan puisi Rendra, seperti sajak Rangkasbitung menarik dibandingkan dengan Orang-orang Rangkasbitung, sajak Elegi Dorolegi juga dekat dengan Rendra. Bedanya terletak pada sajak-sajak Sitor yang tidak realis, atau tidak berambisi untuk menjadi sajak sosial apalagi pamflet. Jadi kesimpulannya: kedaunya beda.

Sajak Peniup Angin juga sajak cantik yang hanya bisa lahir dari Sitok. Ingin saya kutip seluruhnya, sajak ini agak panjang dan menghabiskan ruangan saja. Tapi kalau dikutip sebagian sangat saying karena bisa jadi justru yang tidak dikutip adalah yang bagus. Marilah saya kutip seluruhnya saja agar pembaca bisa kembali menyedap-nyedapkan diri dengan sajak Sitor:

Peniup Angin

Peniup angin yang kaukisahkan padaku ketika sebelum subuh
terdengar lenguh menjauh
susut- di padang-padang rumput yang menggelepar
dirambahi birahi kuda liar
telah membekaliku sehimpun getun
ke stasiun
Maka kubayangkan sekuntum kembang
rekah pada sebuah rembang petang
yang belum tersusun
yang kelak akan kautemu begitu kau terperanjat bangun,
dan akan kaupandangi pintu yang lupa kaukunci:
seseorang yang lama kaulupa telah nyelinap ke dalam mimpi Namun
kereta keburu tiba
lalu berlalu membawamu, meninggalkan duka,
sepi menggumpal di pucuk-pucuk menara
Jalanan licin menggelincirkan jejakmu ke kanal,
aku tersesat dalam labirin angan yang banal

Di angkasa salju masih tertebar di antara halimun fajar
bagai sperma dan ovum memancar
Kesunyian
bangkit dari lengang taman,
beku bangku batu, tempatku dulu menunggu kau
turun dari trem lantas bergegas penuh pukau
ke arah harum tembakau
Dari balik pohon oak,
gadis cilik berambut perak menangisi
kupu mati

Angin menghampar, menghantar
suatu senja suaramu samar, kata-kata gemetar:
Cinta bukan padang-padang yang menunggu,
melainkan kincir yang berporos di pusar kalbu,
berderak karena angin,
bergerak karena angin,
Dan kincir yang mengulirkan putting beliung lantaran kaupelintir dengan
lengking dan ruang
ketika malam padang rumput menggelepar
dan lenguh birahi kuda liar,
merekahkan sekuntum kembang
Dan sedentum kenang
Namun telah ditinggalkan bangku batu itu,
barangkali padang-padang tetap menunggu
Dari jauh kupandang kau turun dari trem, penuh pukau
coba menangkap kupu yang terbang ke harum tembakauku

Dahsyat. Cantik. Bagus. Entah istilah apalagi. Sitok memukau kita dengan sajak-sajak lirik yang berprosa, bercerita dengan warna-warni kehidupan yang mempesona. Dari mana Sitok memperoleh ilham ketika menulis puisi itu? Mungkinkah dari diskusi soal seks yang sejak 1990-an kembali bergemuruh di negeri ini? Melihat tahun sajak itu ditulis, ia sama dengan enam sajak seks Goenawan Mohamad yang cantik dan rupawan.

Masih banyak sajak Sitok yang menggoda kita untuk menjamahnya. Bila perlu bersetubuh dengan intim sebelum subuh menjelang dan fajar singkat melambai di kejauhan sebagai tanda perpisahan. Sajak yang paling mencekam saya, selain yang sudah dikutip, adalah sajak Elegi Dorologi. Agaknya saya perlu kutipkan secara utuh sajak indah yang dekat dengan dolanan anak-anak dalam sajak-sajak Rendra ini:

Di pelataran, di bawah benderang bulan,
ia bimbing anak-anak dengan dolanan dan nyanyian:
Gobak sodor, jamuran, pencari ubi, ayam hilang,
berkejaran, berjalin dengan melingkar, bergamit bahu memanjang
Di hamparan tanah lapang, di atas rerumputan,
di bawah curah cahaya bulan!

Para orang tua duduk bersila di gelaran tikar pandan,
khusuk berbincang tentang musim, hama, tanaman:
cara berdamai dengan alam yang setiap nyari
dijagai para peri,
berkarib dengan nasib, kekuatan akbar
yang bertahta di luar nalar,
demi tahu
bagaimana menggembalakan waktu,
membaca rahasia semesta
jagat kecil dan jagat besarnya,
menyatukan diri
dengan langit dan bumi
Mengurangi tidur dengan tapa, berjaga hingga malam larut:
bencana bagi yang lena, keberuntungan bagi yang siaga
menyambut

Berhadapan dengan sajak Sitok saya agak gugup. Jangan-jangan sajak itu bukannya memperjelas, malah jadi gelap karena sangat privat. Saya kekurangan bahan pengalaman untuk bisa menyelam di kedalaman irama kata-katanya, sehingga saya khawatir jangan-jangan yang akan hanyut dibuai oleh imaji-imajinya. Apalagi ketika berhadapan dengan sajak Osmosa Asal Mula, sungguh tak mudah dan bisa bercumbu dengan maknanya—karena memang ada segurat makna yang masih rahasia dan meminta untuk dikuak.

Osmosa Asal Mula

Aku bertanya kepada angin,
dari mana asalnya angan
angin menggoyangkan pucuk-pucuk daun
dan kusaksikan pohon-pohon melukis lingkaran tahun

Aku bertanya kepada pohon,
dari mana datangnya waktu,
pohon meekahkan kelopak bunga
dan kusaksikan lebah hinggap menghisap madu

Aku bertanya kepada lebah,
dari apa sel yang tumbuh jadi tubuhku,
lebah menggumam terbang ke dalam gua
dan kusaksikan kelelawar menangkap kuping di
dinding batu

Aku bertanya kepada kelelawar,
dari mana awalnya suara,
kelelawar mengepak sayap ke langit malam
dan kusaksikan embun bergulir serupa sungai

Aku bertanya kepada sungai,
dari mana sumber ai susu
sungai menjulangkan gunung
dan kusaksikan lembah bergaun kabut

Aku bertanya kepada lembah,
dari mana mulanya tabu,
lembah menyingkapkan gaun
dan kusaksikan bumi bugil menggeliat anggun

Aku bertanya kepada bumi,
siapa yang melahirkan Ibu,
bumi tersipu, tapi kudengar laut menyahut,
“Ia bersaksi atas fakta, namun tak berdaya untuk
bicara!”

Aku bertanya kepada laut,
siapa yang menampungnya,
laut menggelora, tapi kerontang
sebelum usai membilang Nama

Ingin saya berhenti sampai di sini. Menyerah. Kalah. Sebab saya kehilangan kata untuk memaknai sajak-sajak Sitok yang gaya dan bentuknya belum pernah aku temukan. Tapi sajak “Sonet, Sonya, dan Nannet” melambai-lambai memanggilku untuk menghidupinya, atau malah menikamnya sampai mampus.

Kalau ada lomba penulisan kata-kata yang indah dalam bahasa Indonesia, mungkin yang juara pertama adalah Sitok dan juara kedua Nukila Amal. Bahasa Sitok lebih menjanjikan ketimbang bahasa prosa Nukila yang membuat banyak pembaca terkesima dan takjub tak percaya. Tapi ada satu hal kekuarangan Nukila: kedalaman kata-kata. Walau pun kedalaman adalah bahasa ruang, tapi sajak-sajak Sitok tidak cetek dan dangkal. Ia tak terhalang oleh ruang, bahkan melampauinya dengan sangat berani.

Kadang saya tergoda untuk mencoba membandingkan larik-larik sajak Sitok dengan larik-larik puisi Sapardi, tapi saya urungkan karena keduanya sangat jauh berbeda. Kalau pun ada satu-dua kata dan gaya yang sama, itu lumrah saja. Bagaimana pun Sitok telah punya gaya sendiri, sudah mengantongi modal sebagai penyair, yaitu bahasa yang khusus yang tidak dipunyai penyair lain.

Bagaimana pun sebuah esai mampu menantang atau mengimbangi metafora dan personifikasi yang dihadirkan Sitok. Dan bagaimana pula mau menilai sajak Sitok jelek kalau saya terpesona, bahkan larut dalam pesona. Lalu dengan apa aku harus melanjutkan telisik yang tidak indah ini, atau yang dipaksa-paksakan agar jadi esai yang indah ini? Daripada suntuk melulu, baiklah saya kutipkan lagi satu sajak Sitok.

Engkau Ingin

Semula aku sangka kau gelombang
tapi setiap kali aku renangi
Engkau menggasing bagai angin
Peluh membuncah dan ruh dan tubuh gelisah
adalah ibadah bagi Cinta tak berjamah
Di situ, kunikmatkan teduhmu
sesekali sebelum kau berhembus pergi

Aku buru suara seruling di jauhan
yang kutemukan dedahan bergesekan
Aku termangu tertipu gerakmu
sehening batu di kedalaman rinduku

Kini aku tahu, tak perlu memburumu
Engkau hidup di dalam dan di luar diriku
–tak berjarak namun teramat jauh
teramat dekat namun tak tersentuh

Jika benar engkaulah angin itu
semauku akan kuhirup kamu
Dalam jantung yang berdegup
engkau gairah baru bagi hidup
Mengalirlah darah, mengalir
dalam urat nadi Cintaku
krenamu, Kekasihku!

Benar kata orang, tidak semua sajak bisa diterjemahkan. Tidak semua sajak mengandung makna yang pekat. Ada kalanya kita cukup menikmati ritme dan aliran bahasanya, tapi kadang perlu juga menjelajah di kedalaman hidup di dalam dan di luar dirinya agar hidup tidak mampet.

Sajak-sajak Sitok bisa cidera di tangan pembaca seperti saya. Hanya karena ada larik berbunyi “Peluh membuncah dan ruh dan tubuh gelisah”, lalu semena-mena saya katakan ini sajak persetubuhan. Karena ada kata “sehening batu di kedalaman rinduku”, lalu saya tafsirkan ini sajak tentang kerinduan kepada kekasih. Lantaran ada bunyi “Engkau menggasing bagai angin”, lalu saya terbuai dan mengatakan ini metafor yang cantik, bahkan sangat cantik. Mentang-mentang ada bisikan “engkau gairah baru bagi hidup” lalu menyebut sajak ini sebagai sajak jatuh cinta.

Tapi, sebagai pembaca, sejauh diniatkan untuk sungguh-sungguh membaca, saya kira sah-sah saja untuk bebas menafsirkan. Bukankah seorang pembaca juga seorang yang bergelut dengan kata. Kalau penyair disebut si Tukang Syair, si penafsir bisa dipanggil “Tuan, Pembaca”, kata Sitor Situmorang. Hanya dengan membaca, sebagai pembaca, laku pribadi terasa lebih menggairahkan.

Dunia dan Strategi Baru Pesantren

Aguk Irawan M.N.
http://cetak.kompas.com/

Menjelang hajatan besar Nahdlatul Ulama, baik juga mendengar keluhan sejumlah selebriti. Mereka mengaku merasa resah dengan adanya beragam fatwa. Misalnya, fatwa soal hukum haramnya penggunaan jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter, melakukan rebonding, foto pre-wedding dan beberapa hal lain yang berkaitan dengan ”gaya hidup modern”.

Mereka berharap, pesantren bisa menghadapi dan memberikan solusi bijak mengenai persoalan ini.
Maklum saja, bila dirunut dari sejarahnya, pesantren adalah semacam ”rumah besar”, lembaga sosial tempat setiap anggota masyarakat—tanpa peduli jenis, kelas, ras, usia, atau penggolongan lainnya—dapat berkumpul untuk belajar dan mengajar, atau sekadar bersilaturahim. Bisa juga ”curhat” (curahan hati) tentang segala masalah hidup yang kian pelik belakangan hari. Meskipun demikian, lembaga tradisional itu sekarang ini seperti mendapat tantangan, bahkan ancaman tidak ringan yang mempertaruhkan tidak hanya peran, tetapi juga eksistensinya.

Sebagai sebuah lembaga tradisional, pesantren sebenarnya sudah ada jauh sebelum Islam masuk ke negeri ini. Sebagai sebuah tempat untuk ”berkumpul, berembuk dan mengaji” (Karel A Steenbrink, 1986).

Mengapa kemudian pesantren dapat bertahan sampai hari ini, di saat banyak lembaga pendidikan Islam tradisional di dunia lain berguguran? Hal ini tidak lain karena wataknya yang akomodatif dan apresiatif terhadap (ekspresi) budaya lokal. Tidak mengherankan jika pesantren segera diterima secara luas.

Tembang lokal

Karakter dasar pesantren itu dibangun oleh sebuah kemampuannya dalam membangun relasi yang empatik dan mutualistik, antara Islam dengan adab dan adat lokal (Nusantara). Sebuah relasi atau perkawinan yang akhirnya melahirkan semacam larutan baru: Nusantara yang Islam atau Islam yang Nusantara. Hal itu, antara lain, ditandai oleh banyaknya nadzaman dan tembang-tembang yang menggunakan bahasa lokal dan biasa dilantunkan di pesantren atau majelis taklim di masjid-masjid. Demikian juga sebaliknya, tidak sedikit nadzaman dan tembang-tembang lokal yang bertemakan Islam.

Meskipun demikian, munculnya beragam fatwa oleh satu atau dua pesantren menimbulkan pertanyaan, apakah muncul ”wajah baru” pesantren? Apakah pesantren kehilangan kemampuan adaptif dan apresiatifnya pada perkembangan sosial di sekitarnya? Apakah pesantren sudah tidak lagi memiliki kemampuan yang adekuat untuk berdialog dengan zaman, menyerap kenyataan mutakhir yang sedang berkembang di sekitar masyarakatnya? Padahal, karakter dasar itulah yang selama ini menjadi kebanggaan kaum tradisionalis.

Karakter dasar itu, oleh Martin van Bruinessen, dilihat karena didasari oleh self-consciousness traditionalism, tradisionalisme yang sadar diri. Khususnya karena kaum sarungan ini memiliki kesadaran tinggi pada pelestarian tradisi.

Dalam tradisi terdapat tiga hal yang fundamental dalam meneguhkan eksistensi, sebagai pribadi maupun kelompok, yakni nilai, simbol, dan strategi kebudayaan. Nilai yang membuat manusia memiliki makna hidup. Makna itu kemudian disimpan oleh tradisi di dalam sebuah simbol, tempat nilai pun direproduksi, didaur ulang, dan diwariskan.

Strategi kebudayaan

Bagaimana sebuah tradisi berkembang dan bertahan, tidak bisa tidak, membutuhkan apa yang disebut dengan sebuah strategi kebudayaan.

Pesantren menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang di atas struktur. Pada posisi inilah pesantren memiliki watak yang toleran, pluralis, populis, dan independen. Bila pun ia berfatwa, fatwa itu segera dapat diterima, karena ia mengakomodasi kehendak, pikiran dan mimpi konstituennya. Bahkan, lebih dari itu, ia mampu menjadi semacam karantina atau benteng pertahanan pada saat negara menjadi otoriter dan represif.

Untuk itu, sebagai bagian dari penguatan tradisi, pesantren harus punya strategi kebudayaan. Pemahaman akan dinamisme kebudayaan yang berubah-ubah itulah yang mestinya dipahami oleh kalangan pesantren sehingga dengan sendirinya pesantren turut mengawal dan mengikuti perubahan dari waktu ke waktu. Dan, tentu saja, perubahan ke yang lebih baik harus sama ditonjolkan dengan mempertahankan budaya lama yang baik.

Diktum klasik Sunni yang sering dijadikan pedoman pesantren, ”menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik,” mesti dipraktikkan bukan semata berhenti pada upaya konservasi (al-muhafadzah ala qadim as-shalih), melainkan juga pada ”kreasi dan inovasi baru” (al-akhdzu bil jadid al-ashlah).

Fleksibilitas yang membuat negeri dan bangsa ini lentur, bertahan, bahkan jauh berkembang, setidaknya sebelum ia dicengkeram dan dibius oleh kapitalisme yang kasar belakangan ini. Sayang, bila hanya karena nafsu material (dari kapitalisme) dan akhirnya ambisi kekuasaan dipakai sebagai landasannya, harus membuat pesantren tiba-tiba menjadi polisi moral yang kesiangan.

Maka Islam-Nusantara itu akan layu dan gugur karenanya. Karena kita.

AGUK IRAWAN MN Pemimpin Redaksi Jurnal Budaya Kalimah-Lesbumi, Yogyakarta.

“Tuk”, Menziarahi (Legenda) Sastra Jawa

Ardus M Sawega, Sonya Helen Sinombor
http://cetak.kompas.com/

”Ana tangis layung-layung/Tangise wong wedi mati/Gedongana, kuncenana/Wong mati mangsa wurunga….”

Sepenggal Ketawang Soyung yang dilagukan dengan nada pilu di bagian awal pementasan lakon ”Tuk” —sebuah repertoar berbahasa Jawa yang dipentaskan pada 26-28 Juni 2008 di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo—itu seakan mengentak setiap penghayat yang memahami filsafat yang terkandung di dalamnya.

Terjemahan tembang di atas: Ada tangis terdengar samar/Tangis orang yang takut mati/Meski dikepung gedung, meski digembok serapat apa pun/Maut mustahil dicegah…. Tembang ageng serupa requiem atau nyanyian kematian itu hanya pembuka, nyaris tak ada kaitan langsung dengan adegan-adegan berikutnya yang penuh gebrakan dan cerocos caci-maki ala Jawa.

Lakon ”Tuk” yang selama tiga malam dipentaskan oleh Teater Lungid Solo tak lain adalah lakon sama yang beberapa kali dipentaskan oleh kelompok Teater Gapit, sekitar tahun 1980-1990. Bahkan, sebagian besar personel pemainnya pun adalah pemain Teater Gapit: Pelok Sutrisno, Budi Bayek, Wahyu Cunong, Djarot B Santoso, Cempluk Lestari, dan lain-lain.

”Teman-teman pendukung Teater Gapit ingin lepas dari bayang-bayang Kenthut (Bambang Widoyo SP, pendiri, penulis naskah, dan sutradara Teater Gapit). Mereka ingin membuat produksi baru, bukan dengan lakon-lakon yang ditulis Kenthut. Biarlah nama Gapit menyatu dengan Kenthut, tetapi kami akan memulai debut baru dalam pementasan teater berbahasa Jawa pada masa mendatang,” papar Budi Bayek, pimpinan Teater Lungid.

Pernyataan Budi Bayek itu bisa memancing debat panjang, tetapi tulisan kali ini hanya mau membuat refleksi tentang keberadaan Teater Gapit atau lebih tepat repertoar-repertoar karya mendiang Bambang Widoyo SP alias Kenthut (1957-1996). Setidaknya ada tujuh lakon telah ditulis Kenthut sejak 1982, yaitu ”Suksukpeng”, ”Brug”, ”Rol”, ”Leng”, ”Tuk”, ”Dom”, dan ”Reh”. Lakon terakhir, ”Luh”, tak sempat dia selesaikan karena Kenthut keburu menghadap Sang Pencipta akibat sakit yang bertahun ia derita.

Ode kaum miskin

Pementasan ”Tuk” di Taman Buadaya Jawa Tengah lalu memang bukan pentas pertama, melainkan sebuah repetisi—hanya dengan nama kelompok berbeda. Tak ada perubahan sedikit pun dari lakon yang ditulis Kenthut pada tahun 1992. Setelah 10 tahun absen, para pemain (lama) masih menunjukkan stamina yang sama. Dialog-dialognya masih terasa segar dan mengundang gelak tawa, berikut pisuhan (makian) spontan khas masyarakat marginal.

Dari tujuh lakon karya Kenthut, ”Tuk” mungkin bisa disebut sebagai masterpiece. Lakon yang berdurasi sekitar 2 jam 15 menit ini bercerita tentang nasib wong cilik dan kaum miskin yang tinggal dalam lingkungan magersaren. Magersaren adalah permukiman rumah-rumah sempit sewaan yang berjejalan dalam satu areal.

Para penghuni magersaren itu antara lain terdiri atas tukang jahit, bakul pasar, preman, pengangguran, tukang kerok, tukang tambal ban, dan pedagang kelontong keliling. Mereka disatukan oleh nasib sebagai orang kecil, marginal, menghadapi kekuasaan pemilik magersari dan pemilik modal besar yang konon hendak menggusur areal magersaren tersebut untuk dijadikan pertokoan modern. Sebuah tema yang akan tetap ”abadi” dalam persoalan perkotaan kita.

Kelompok marginal ini oleh Kenthut diletakkan dalam latar dunia pikir atau world view Jawa yang sedikit banyak diwarnai oleh mistikisme dan mitologi wayang yang hidup hingga sekarang. Salah satunya adalah pandangan—diwakili tokoh perempuan tua Mbah Kawit—tentang sumur atau tuk sebagai sumber kehidupan, yang kebetulan berada di tengah lingkungan magersaren.

Ketika sumber kehidupan itu ternoda lantaran dikencingi oleh tokoh preman Soleman alias Lisman Lempit dan jadi lokasi perselingkuhan Menik (anak pemilik magersari), penunggu sumur pun murka. Magersaren itu diamuk api dan terbakar habis. Bersamaan dengan itu, Mbak Kawit, janda tua tanpa anak yang menjadi panutan komunitas ini, mengembuskan napas terakhir. Pementasan panjang yang menghabiskan napas itu pun berakhir.

Selain ”Tuk”, repertoar-repertoar Gapit umumnya menyuarakan nasib orang-orang kecil yang tertindas, sebuah ode atau nyanyian sedih bagi kaum miskin. ”Suksukpeng” misalnya bercerita tentang masa senja seorang juragan kesenian, ”Rol” bercerita tentang kecemasan para preman dan gali akan ancaman penembakan misterius atau ”petrus” yang dilakukan aparat keamanan, ”Leng” cerita tentang pembangunan pabrik yang menjadi simbol kapitalisme yang menindas, atau ”Dom” cerita tentang nasib masyarakat yang terbuang oleh stigma yang dilakukan pemerintah.

Karena itu, tak heran bila ”ideologi” Bambang Widoyo itu terekspresikan lewat ”orasi” para tokoh dalam lakonnya. Ekspresi orang tertindas yang marah dan tak berdaya sehingga sering terkesan bertele-tele.

Legenda

Nilai lebih Teater Gapit dengan lakon-lakon yang ditulis Bambang Widoyo SP justru karena ia ditulis dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa, sebagaimana bahasa daerah atau bahasa ibu lain yang dalam konteks kebudayaan Indonesia, dilaporkan mengalami penggerusan alias terancam tidak populer di tengah masyarakat penuturnya sendiri.

Pilihan penggunaan media bahasa Jawa jelas bukan sekadar romantisme. Dalam pementasan Teater Gapit yang melibatkan para pendukung—pada tahun 1980-an terdiri atas mahasiswa Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta—yang amat akrab dengan elemen-elemen seni budaya tradisi Jawa, betul-betul telah memperkaya seluruh pementasan. Mereka bukan hanya sebagai pemain, melainkan juga sebagai kontributor yang konkret sejak proses penulisan naskah hingga pemanggungan karena masing-masing memiliki latar keterampilan yang memadai, seperti karawitan, pedalangan, dan tari.

Oleh karena itu, pementasan Teater Gapit terasa utuh dan memperlihatkan kekompakan dari setiap unsur pemanggungannya. Ini mungkin yang membedakannya dengan pementasan kelompok teater lain. Sering kali, pada lakon-lakon Gapit kita menemukan dunia pikir Jawa yang mistik, seperti pada Ketawang Soyung yang dikutip di awal tulisan. Ini memperlihatkan kedalaman Bambang Widoyo pada ajaran spiritual ala Kejawen.

Pilihan Teater Gapit menggunakan media bahasa Jawa lisan atau sehari-hari yang kadang vulgar bagi telinga priayi, pasti bukan sekadar berangkat dari romantisme. Ini sebuah pilihan akan sebuah genre yang berpretensi bahwa sastra Jawa (modern) akan bisa diterima di tengah masyarakat (Jawa) yang selalu berubah. Inilah yang membedakannya dengan bentuk sandiwara berbahasa Jawa lainnya, baik di panggung maupun radio.

Dalam konteks perjalanan dan perkembangan sastra Jawa, Teater Gapit dan lakon-lakonnya bisa disebut sebagai ”metamorfosis” tradisi kapujanggan yang pernah hidup di Surakarta. Seperti kita tahu, pada kurun pertengahan abad ke-19, Surakarta menjadi mercusuar sastra Jawa, yang adiluhung lewat sejumlah pujangga, seperti RNg Ronggowarsito dan KGPAA Mangkunegara IV. Namun, tradisi itu telah lama ”putus” dan kini tinggal legenda.

Sejak lebih dari 10 tahun, sebagian kalangan pemerhati memprihatinkan perkembangan sastra Jawa yang dewasa ini bisa dibilang ”mati suri” atau antara ada dan tiada. Namun, anehnya, fenomena Teater Gapit dengan lakon-lakon yang ditulis oleh Bambang Widoyo tidak pernah menjadi bahan telaah di tengah masyarakat sastra dan bahasa Jawa. Teater Gapit berhenti semenjak meninggalnya Bambang pada tahun 1996.

Lalu, Gapit seolah menjadi legenda dan tinggal sebagai kenangan. Maka, jangan-jangan pementasan ”Tuk” di TBJT yang lalu menjadi semacam ”peziarahan” belaka. Entah ziarah pada Gapit (Bambang Widoyo) atau pada sastra Jawa.…

SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI; DALAM SUATU PENCARIAN

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

PENGANTAR

Seluruh dari kita, pastinya sepakat kalau saya mengatakan kehidupan manusia ini selayaknya perjalanan dari suatu tempat menuju suatu tempat yang lain. Dalam perjalanan itu, kita akan menemukan berbagai persoalan, entah persoalan yang menyenangkan maupun yang tidak kita senangi. Pun, selayaknya dalam perjalanan juga, dapat dipastikan kita melewati suatu jalan yang kita pilih. Terdengar menyenangkan saat membayangkan keadaan ini, berjalan dalam suatu perjalanan yang kita ingini, di jalan sendiri yang kita pilih, dengan menggunakan kendaraan yang dipilih juga sendiri kemudian diusahakan, demi menuju ke suatu tempat juga yang sudah kita tentukan.

Dalam perjalanan itu, seringkali menemukan berbagai macam hal yang berbeda dari apa yang ada di dalam pikiran. Misalnya saja, kita bertemu dengan seseorang yang memiliki jalan lain dengan tujuan yang (mungkin saja) sama dengan kita. Namun, banyak sekali perbedaan yang akan kita temukan, entah itu jalan, kendaraan, atau sikap dan cara pandang seseorang tersebut di dalam menjalani perjalanan(hidup)nya.

Tulisan ini, adalah uraian mengenai aspek-aspek perjalanan yang termuat di dalam surat Sekuntum Bunga Revolusi, X : I-XCI dalam antologi puisi Kitab Para Malaikat (2007) karya Nurel Javissyarqi yang diterbitkan oleh Pustaka Pujangga.

Perjalanan di dalam surat ini terekam, yang menurut saya merupakan pencerminan dari kehidupan sang penyair itu sendiri, tentang bagaimana dia menentukan sikap dalam hidup dan cara menjalani kehidupannya. Lebih jauh dari itu semua, si penyair yang terus saja menisbatkan diri sebagai “pengelana” secara tidak langsung mengumpulkan berbagai pengalaman perjalanan yang (semoga) dapat memberikan manfaat untuk kita yang membacanya. Bukan suatu hal yang baru, ketika kita membaca perjalanan orang lain dan menemukan pengalaman di sana sebagai guru untuk mendidik jiwa kita sendiri.
Dari sini, kita bisa mengambil manfaat dari ungkapan “belajar dari pengalaman orang lain” yang mana, sastra merupakan pencerminan sosio-budaya masyarakat (Teuuw, 1990: 11) yang terekam oleh seorang sastrawan. Dalam analisis ini, untuk mengetahui pengalaman yang terdapat di dalamnya, menurut saya, lebih tepat jika kita mendekati menggunakan skema Fenomenologi yang memandang objek sebagai kesatuan dengan bertumpu pada pengalaman intuitif (Eagleton, 1983: 87). Nilai pengalaman yang diracik Nurel Javissyarqi coba kita pahami dalam konteksnya sebagai seorang pengelana. Walau tidak setiap kita ingin menjadi pengelana, namun mari kita mengikuti sang Nurel Javissyarqi dalam menskema dan menorehkan pengalaman.

JALAN

Hal pertama yang ingin saya uraikan, tidak pada tujuannya akantetapi lebih pada jalan mana yang akan kita pilih. Sebab, tujuan sudah ada di dalam gambaran, jikalau manusia hidup tujuannya beraneka ragam, dan berhenti dengan mati. Karena itu, sebelum kita sampai pada mati, alangkah lebih baiknya kita menentukan jalan terlebih dahulu. Seperti yang juga diungkapkan NJ di bait pertama Sekuntum Bunga Revolusi, yaitu:

Sebelum jauh tulisan ini melangkah, ingin menyapamu terlebih dulu;
apakah mimpi perlahan mulai sirna oleh sorot matahari realita menempa jiwa,
entah masih ada, malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa (X: I) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)

Sebelum tulisan ini jauh melangkah, begitu NJ membuka tulisan ini dengan bahasa yang teramat sederhana namun sudah memberikan kita patokan. Ini menyoal langkah, berarti ini menyoal perjalanan. Pada tahap ini, NJ sama sekali tidak menanyakan mengenai kabar, tapi jauh pada penggerak langkah manusia, yaitu mimpi. Manusia melangkah dalam suatu perjalanan perjuangan karena dorongan mimpi atau keinginan. Pergerakan manusia tidak terjadi begitu saja, melainkan dikarenakan adanya stimulus atau rangsangan (Woodworth dan Schlosberg dalam Walgito, 2002: 9). Stimulus atau rangsangan dapat berupa apa saja, salah satunya adalah gerak yang dilakukan karena mimpi (atau cita-cita/ keinginan).

Untuk membawa seseorang di dalam suatu perjalanan, maka pertanyaan mengenai mimpi yang diusahakan cukup realistis, mengingat mimpi itu yang menjadi rangsangan sekaligus menjadi bahan bakar. Keberadaan dari mimpi ini, bisa saja hilang atau berganti karena berbagai faktor, salah satunya keadaan yang tidak mendukung. Misalnya saja, saya ingin menjadi seorang polisi namun karena saya tidak begitu baik (tidak tahan) berlari, maka otomatis saya gagal. Tapi tunggu sebentar, karena ini mimpi, saya pun berniat mengusahakan sampai pada titik-titik tertentu agar cukup terhormat ketika menyerah. Lalu, saya mendengar adanya isu (katakan saja sebagai gosip murahan) bahwa dengan uang pelicin, yang tadinya saya payah dalam berlari, ya tentu saja karena jalannya sudah licin.

Taraf untuk mencapai mimpi itu sudah berada di depan mata, ibarat tinggal melangkah sejengkal dan mimpi akan segera terwujud. Namun dasar apes juga nasib manusia, uang yang dipersyaratkan untuk melicinkan jalan agar bisa berlari dengan baik jumlahnya banyak. Katakan saja, lima puluh juta sedangkan saya hanya memiliki lima puluh ribu. Kontan, mimpi itu pun gagal dan sirna begitu saja mengingat berbagai kelemahan yang tidak sanggup saya tutup dan perbaiki. Karena itu, cukup masuk akal saat NJ mengatakan: “mimpi perlahan mulai sirna oleh sorot matahari realita menempa jiwa”.

“Sorot matahari realita menempa jiwa” suatu ungkapan yang kali ini memang terkesan lebih komunikatif. Dari kalimat ini, membawa kita untuk merenung arti dari sebuah matahari yang telah menghanguskan mimpi. Matahari sebagai guru, sekaligus tantangan bagi seseorang untuk memperkuat dirinya. Mimpi atau cita-cita ini, walau mungkin saja gagal diraih, manusia hendaknya tidak boleh menyerah begitu saja. Karena, kehilangan mimpi berarti dia kehilangan rangsangan untuk bergerak. Akantetapi, diketika kegagalan itu menjadi penghalang dalam perjalanan, kita mesti mengubah cara pandang mengenai kegagalan itu sendiri. Nurel Javissyarqi sudah menjawabnya, dengan menyatakan kalau kita terus gagal, maka: “matahari realita menempa jiwa”.

Kegagalan sebagai penyemangat, medan untuk terus berlatih dalam memupuk mimpi-mimpi manusia. Tidak ada kegagalan dalam konteks ini, melainkan kita diarahkan untuk menempuh cara lain. Cita-cita tetap harus terwujud, akantetapi hal yang paling penting adalah hakekat dari cita-cita itu sendiri. Misalnya, kembali pada cita-cita menjadi polisi. Polisi dengan seragam hanya semacam wadah yang membawa manusia pada hakekat dari polisi itu sendiri. Sedangkan cita-cita tidak berbatas pada wadah itu sendiri, tidak terbatasi pada bentuk karena lebih mementingkan pada hakekat serta nilai yang ada di dalamnya. Hakekat (nilai) dari polisi adalah semangat untuk mengabdi pada masyarakat dengan memberikan ketenangan, dan pengayoman pada masyarakat demi tegaknya keadilan.

Suatu kasus yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan realitas, bahwa adanya keberadaan polisi di sekitar mereka justru tidak mendatangkan ketenangan, pengayoman maupun penegakkan keadilan. Polisi justru menjadi suatu kondisi yang ditakuti oleh masyarakat. Hal ini, dikarenakan para polisi yang ada di dalam kasus tersebut tidak memiliki cita-cita menjadi polisi, yang sehingga penyelewenangan dari wadah (simbol) itu terus terjadi. Bagaimana bisa menjalanka hakekat kalau individu tersebut tidak mengerti dengan hakekatnya. Jabatan yang diemban pun sebatas pada profesi yang sering diselewengkan bukan sebagai jati diri yang mesti ditegakkan. Kalau saja polisi tidak hanya sebagai profesi namun juga sebagai jati diri maka hakekat polisi itu akan tercipta.

Mimpi yang tidak tercapai kemudian menjadikan setiap kegagalan menjadi tempaan namun manusia tidak kehilangan hakekat dari mimpi-mimpinya itu, maka si individu yang bermimpi menjadi polisi itu akan mencari jalan lain. Jalan yang tentu saja dimana dia mampu menjalankan sifat mengabdi, memberikan rasa aman, pengayoman dan keadilan pada masyarakatnya, tanpa harus menjadi polisi. Katakan, M.D. Atmaja gagal menjadi polisi namun tidak kehilangan hakekat, maka saya pun akan berusaha lebih baik lagi. Bukan lagi menjadi polisi, tapi bagaimana menjadi Bupati, Menteri, bahkan Presiden RI.

Dalam lingkup perubahan wadah (simbol) tentang menjadi yang tidak kehilangan hakekat dapat terlaksana di sini. Menjadi Bupati, pengayoman, perlindungan itu dapat saya lakukan tanpa harus berlari. Tentu saja, saya tidak mesti capek berlari kalau saya tidak korupsi dan kepergok orang-orang yang iri. Jadi, selama manusia masih memegang esensi maupun hakekat dari mimpinya, maka dia patut untuk terus memelihara dan mencari jalan lain demi pelaksanaan dari nilai yang menjadi tujuan kehidupannya. Hal ini, yang NJ ketengahkan dan seminimal mungkin terbaca: “malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa”.

“Alunan sejati rasa” itulah yang disebut dengan hakekat dari suatu tujuan (mimpi) manusia. Saya ini ingin menjadi apa? Lalu bagaimana? Caranya seperti apa? Selama “malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa” terus terjaga, manusia tidak akan lelah dalam pergerakannya. Dia masih memiliki ruh dari mimpi yang sirna karena matahari realitas, atau setiap tembok kegagalan yang menutup jalan.

Seseorang yang telah memilih jalan hidupnya, akan dengan setia melangkah untuk mewujudkan mimpi yang dia tuju. Di sana, kita akan menemui perjuangan berat yang terkadang begitu berat di dalam pikiran, jikalau kita tidak melangkah. Berat itu karena hanya ada di dalam pikiran, namun ketika telah melangkah maka jalan itu terlewati seiring dengan proses, seperti yang diungkapkan Nurel Javissyarqi dalam ayat berikut:

Ia berkata; wujud tintaku darah kematian dan setiap torehan kata,
usiaku dikurangi serupa tercerabutnya nyawa di medan perang suci (X: X)

Adakah kesia-siaan pada ruang belum terisi sekalipun?,
ia berucap; inilah keindahan, ketinggian seni bagimu (X: XI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)

Saya menemukan makna esensial dari jalan yang ditempuh oleh seseorang dalam perjalanan hidupnya, yaitu dalam kalimat “wujud tintaku darah kematian” yang merujuk pada nasib manusia. Hal ini dilihat dari nasib manusia yang sudah ditulis dalam Kitab Langit, yang di sana dikatakan bahwa nasib manusia sudah diciptakan sebelum manusia itu diciptakan. Ungkapan “darah kematian” sebagai goresan akhir yang mau tidak mau mesti kita terima dengan seabrek perangkat yang ada, diantaranya kesabaran dan keikhlasan.

Dengan melaksanakan apa yang namanya kepasrahan manusia pada takdir kehidupan, manusia itu secara tidak langsung sudah menjalani fase kehidupan yang tinggi. Bentuk dari penyerahan dan cinta yang dalam ungkapan manusia Jawa dijabarkan melalui kebijaksanaan: urip mung sakdermo nglakoni (Hidup hanya sekedar menjalani suatu hal yang sudah Tuhan tentukan). Jikalau manusia sudah mampu melaksanakan nilai kebijaksanaan hidup itu, maka manusia akan lebih mampu untuk menjalankan aspek nrimo atas apa yang Tuhan kehendaki.

Sikap nrimo dalam masyarakat Jawa seringkali diucapkan dalam menghadapi suatu kondisi, yang dibarengi dengan permasalahan nasib sebagai pandhum (pembagian). Manusia Jawa cenderung menilai yang terjadi bukan suatu persoalan besar dan menyerahkan semua kejadian pada kebaikan dan kebijaksanaan Tuhan dengan mengatakan nrimo ing pandhum yaitu menerima pembagian nasib dari Tuhan dengan sebaik-baiknya kesabaran dan keikhlasan.

Masyarakat Jawa, dalam menjalani kehidupannya mengacu tiga aspek utama yaitu rila (rela atau ikhlas), nrimo (menerima) dan sabar (kesabaran) yang hanya bisa dicapai dengan tapa atau mau melaksanakan laku (jalan hidup) yang sudah diniatkan atau dapat dikatakan sebagai kewajiban manusia itu sendiri (Mulder, 1984: 41). Aspek-aspek kehidupan di atas sebagai laku hidup yang menjadi idaman setiap manusia Jawa, sehingga dalam kehidupan mereka akan mendapatkan puncak dari jalan spiritual yang namanya slamet. Kita perlu mengingat bahwa slamet dalam budaya Jawa tidak hanya merujuk pada sistem dunia (mikro kosmos) melainkan pada sistem ketuhanan (makro-kosmos).

Ketika kita, manusia, mampu menjalankan tiga hal mendasar, maka bagi kita sudah cukup untuk mencari kebahagiaan dunia, dan akhirat. Karena itu, tidak suatu hal yang mengada-ada ketika Nurel Javissyarqi lalu mengatakan: “usiaku dikurangi serupa tercerabutnya nyawa di medan perang suci”. Bahwa, tahapan-tahapan dari rela (ikhlas), menerima, dan sabar dapat membawa manusia pada tingkatan tinggi dalam perjalanan spiritualitas. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya “Madarijus Salikin” (2009) mengenai persinggahan-persinggahan dalam menuju keesaan Allah menyatakan bahwa ikhlas, menerima (yang juga disebut dengan ridha) dan sabar merupakan persinggahan tertinggi yang dapat dicapai manusia.

Jalan, yang diniatkan untuk menggapai suatu tujuan, apalagi itu menyangkut dala persoalan spiritualitas, maka kita akan dituntut untuk menuju pada kekosongan. Yang saya maksudkan dengan kekosongan ialah, mengenai satu tujuan yang dibarengi dengan ikhlas, ridha, dan sabar untuk mensatukan tujuan hidup. Saya membacanya dalam “ruang belum terisi” yang memberikan saya pemahaman akan ruang kosong dan di sana hanya ada keheningan untuk melangkah di jalan spiritualitas. “Ruang belum terisi” sekali lagi bukan tanpa tujuan, namun di sana adalah ruang hidup manusia yang dapat dikatakan sebagai ruang tanpa pamrih atau keinginan selain menuju kepada-Nya.

Dan Nurel Javissyarqi pun menyatakan: “inilah keindahan, ketinggian seni bagimu” yang mengisyaratkan pada peletakan dasar dan tujuan dari suatu perjalanan. Saya mengatakan, ruang kosong sebagai jalan tanpa pamrih yang menuju pada-Nya, sehingga dalam konteks ini, saya pun kembali menegaskan, apabila perjalanan hidup manusia diyakini hanya menuju pada-Nya, bukan pada keduniawian, maka manusia itu akan mendapatkan keindahan yang tidak terkira. Tampat yang di dalanya terkandung “ketinggian seni” karena seni sebagai ruh di dalam kehidupan.

Seni sebagai ruh dari kehidupan, yang mana para pemikir lama mengatakan kalau seni (di dalamnya adalah sastra) sebagai media yang dapat dijadikan, atau berfungsi untuk mensucikan jiwa manusia (Aristoteles dalam Ratna, 2007: 70). Hal ini senada dengan ungkapan Imam Al-Ghazali (Abdul Hadi W.M., 2004: 34) yang menyatakan bahwa efek yang ditimbulkan karya seni terhadap jiwa manusia sangat besar, dan karenanya menentukan pembentukan moral dan penghayatan keagamaannya. Di sini lah, bagaimana seni menjadi ruh dari kehidupan, kalau seni bernilai buruk maka kehidupan manusia di dalam masyarakat pun akan ikut buruk, dan sebaliknya kalau nilai seni yang ada di kehidupan masyarakat baik, maka masyarakat itu akan menjadi baik. Dia (seni) sebagai ruh, guru, dan pensuci jiwa manusia.

Seni adalah ruh, yang lahir dari kedekatannya dengan Tuhan, yang mengacu pada keselarasan dan kebenaran. T.S. Eliot (dalam Abdul Hadi W.M., 2004: 4) menyatakan bahwa kebudayaan (baca: tingkah laku masyarakat) tidak akan bisa mengalami masa cerah tanpa dilandasi nilai-nilai keagamaan. Budaya, saya tekankan sebagai tingkah laku masyarakat, dan tingkah laku secara pribadi, yang mana di dalamnya pun perlu dilandasi dengan nilai keagamaan. Nilai keagamaan akan membawa manusia pada tujuan yang tidak mengarah pada duniawi, akantetapi mengarah kepada hakekat dari kehidupan, yaitu Tuhan itu sendiri.

Tuhan, dalam tradisi Jawa dapat kita temui tidak di Mekah, tapi di dalam hati sanubari setiap manusia dan hidup manusia sendiri harus menjadi doa terus menerus kepada Yang Mahakuasa (Mulder, 1984: 11). Karena Tuhan ada di dalam hati, maka manusia harus lebih memperhatikan pertimbangan hati dalam penempuhan jalan, sehingga hati sebagai penunjuk sekaligus peneterjemah atas perjalanan hidup manusia yang panjang. Oleh karena itu, mari kita cermati bagaimana Nurel Javissyarqi mengetengahkan suara hati di dalam perjalanannya:

Inilah nyanyian kalbu mendaki ke pebukitan seribu
takkan habis walau jutaan kaki merayap di punggung malam (X: XVI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)

“Nyanyian kalbu mendaki ke pebukitan seribu” begitu Nurel Javissyarqi melukiskan suatu perjalanan manusia. Kita masih berada di tahap jalan hidup, jadi ini masih membicarakan masalah jalan yang seharusnya lebih mengedepankan hati untuk menjadi pentunjuk arah dan penterjemah atas setiap persoalan. Perjalanan hidup manusia yang menempuh jalan untuk menuju pada-Nya, seperti perjalanan berat untuk mendaki “pebukitan seribu” yang mana bertemu dengan seribu keinginan manusia yang terkadang mengecoh tujuan awal.

KEBIJAKSANAAN

Menjalani babak kehidupan yang berada di jalan mengusahakan mimpi, hal lain yang perlu diperhatikan adalah nilai kebijaksanaan. Nilai ini menentukan bagaimana kita memandang dunia dan sekaligus bagaimana dunia memandang kita sebagai diri yang berdiri merdeka. Kenapa saya mengatakan merdeka, karena mereka yang berjalan di jalan untuk mengukir impian adalah orang yang merdeka, melangkah sekehendak hati. Kemerdekaan hidup yang paling mendasar adalah kemerdekaan dari kemauan, yang di dalamnya bisa meraup aspek hati dan pikiran. Bersebab itulah, seringkali kita mendengar ungkapan: “bisa saja kalian penjarakan tubuhku, tapi tidak pikiran dan jiwa”.

Kebijaksanaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kemerdekaan pikiran dan jiwa. Gerakan untuk mencapai bijaksana dibutuhkan adanya kekuatan dari dalam diri untuk menghadapi realitas yang berbeda dari apa yang namanya bijak dan ideal. Realitas kadangkala jauh dari apa yang namanya ideal, begitu juga realitas jauh dari apa yang namanya bijak. Dan kebijaksanaan di sini, adalah mengenai bagaimana kita berjalan dengan selaras dengan realitas itu sendiri. Pada diri manusia, ada keidealan yang diidamkan dan kebijaksanaan yang diyakini, yang musti diselaraskan. Selaras tidak merujuk pada pengekoran atas realitas, namun berjalan seiring tanpa harus berkonflik atau menciptakan penyakit-penyakit yang dibaca kebencian.

Saya menemukan, bagaimana Nurel Javissyarqi mengajak kita untuk menjalani laku hidup yang dipenuhi dengan kebijaksanaan. Tidak perlu memandang buruk orang lain, atau menyalahkan pihak lain atas suatu realitas yang tidak ideal. Hal ini nampak dalam:

Yang datang terlambat tak seharusnya menghakimi sebelumnya
dengan ketentuan membuta, ingatlah bunga-bunga rontok sebelum mekar,
nalar mentah keluar terlalu dini, reranting menunggu lebat sayapnya (X: II) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)

Kebijaksanaan itu perlu bagi manusia, baik secara pribadi maupun kolektif. Ia (kebijaksanaan) sebagai nilai moral yang mengatur hubungan manusia dengan sesama, lingkungan, dan secara lebih khusus pada Tuhannya. Kebijaksanaan dan juga moral menyangkut permasalahan kepatutan, hal yang tidak patut dan dilaksanakan menjadi gerakan yang tidak bijaksana dan sekaligus tidak etis. Karena penyimpangan itu tidak patut dilakukan oleh seseorang, meskipun itu adalah benar namun ada etika kolektif yang harus individu hormati.

Sehingga dengan demikian, kebijaksanaan bersinggungan erat dengan apa yang namanya moral (akhlak) untuk mencapai keselarasan sehingga terlaksananya etika manusia. Moral (akhlak) sebagai bagian dari jiwa manusia yang tertanam, yang dapat menciptakan gerakan tanpa pertimbangan dari pemikiran dan pertimbangan (Al-Ghazali dalam Tafsir et al, 2002: 14). Dalam pelaksanaan hidup, manusia tidak berdiri seorang diri namun sebagai makhluk sosial yang dalam proses kehidupan membutuhkan interaksi. Untuk melangsungkan kehidupan yang baik, diperlukan kebijaksanaan untuk menuju keselarasan sosial agar nilai dari masyarakat (maksud saya adalah kerukunan atau keselamatan hidup) dapat terjaga.

Kebijaksanaan melahirkan keselarasan, yang di dalamnya dibangun dengan apa yang bernama etika. Secara lebih jauh, ini akan menciptakan adanya keselarasan sosial yang berangkat dari etika kebijaksanaan. Dalam khasanah masyarakat Jawa, etika kebijaksanaan dianggap sebagai nilai untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat dan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh lingkungan itu (Magnis-Suseno SJ, 1985: 214). Lebih jauh lagi menyoal etika, menurut Franz Magnis-Suseno (Tafsir et al, 2002: 15-16) sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan untuk mengetahui bagaimana seseorang menjalani hidup; mengenai bagaimana individu membawa diri, bersikap, dan tindakan dalam mencapai tujuan hidup.

Nilai dari etika yang diketengahkan oleh Nurel Javissyarqi dapat diketahui dalam kalimat: “Yang datang terlambat tak seharusnya menghakimi sebelumnya dengan ketentuan membuta”. Lebih dahulu kita melihat pada sisi ideal, kemudian pada realitas dan dengan kebijaksanaan, kita menafsirkan suatu realitas untuk melakukan suatu gerakan. Tentu saja, suatu gerakan yang bijak, karena bagaimana pun juga kita “datang terlambat”. Ucapan “datang terlambat” dapat ditafsir sebagai segolongan generasi muda yang menemukan dunia hasil dari pembentukan generasi tua. Kita ini, yang muda, sebagai generasi terlambat yang tidak seharusnya dengan sikap sok pintar (mungkin karena sudah merasa modern dengan pendidikan barat) kemudian menggurui generasi tua dengan kasar.

Bukan berarti kita tidak boleh melakukan kritik, akantetapi kita harus melihat keadaan yang melatar-belakangi dari proses pembentukan budaya dari generasi terdahulu. Melihat proses, kalau tidak sesuai dengan keidealan yang dapat dilihat dalam: “ketentuan membuta” untuk mencari tahu aspek apa yang kurang sampai pembentukan budaya atau kondisi masyarakat tidak bisa mendekati ideal. Jadi, tidak langsung menyalahkan, melainkan menenggok sebab akibat, karena bagaimana pun juga hal ini masuk ke dalam etika, keselarasan sosial.

Apabila dilihat lebih jauh di aspek yang juga bersinggungan, kita akan memasuki pada suatu nilai penting yang disebut dengan hormat untuk mencapai kerukunan yang sekaligus keselarasan sosial. Geertz (dalam Magnis-Suseno SJ, 1985: 38) mengemukakan dua pola yang menetukan dalam pergaulan masyarakat Jawa, yaitu kaidah kerukunan yang memfokuskan manusia dalam setiap situasi agar bersikap sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan konflik dan kaidah hormat yang menuntut manusia untuk membawa diri, menunjukkan sikap hormat sesuai dengan derajat kedudukannya.

Dua kaidah ini, oleh Franz Magnis Suseno (1985: 38) disebut dengan Prinsip Rukun dan Prinsip Hormat yang merupakan kerangka normatif dalam bentuk konkret semua interaksi. Hubungan dua prinsip kehidupan yang saling mendukung, saat kita memposisikan untuk menghormati generasi tua karena kita ini sebagai generasi yang “datang terlambat”, maka secara tidak langsung kita sudah melaksanakan prinsip hormat dan kerukunan secara bersamaan. Dua prinsip ini, membawa pada keselarasan sosial yang memberikan keselamatan pada kita. Sebab, selain karena ketidak-tahuan kondisi-situasi pada masa dimana generasi tua melakukan proses pembentukan tersebut, falsafah Jawa membawa pada pengertian yang lebih hakekat. Mulder (1984: 17) mengungkapkan bahwa, “Bila seseorang menghormati saudara tua, orang tua, guru dan rajanya, maka orang itu menghormati Tuhan”.

Jadi, Nurel Javissyarqi pun berpesan: “tak seharusnya menghakimi” karena, “ingatlah bunga-bunga rontok sebelum mekar”. Dengan tidak terburu-buru menghakimi suatu generasi atas suatu kondisi, kita diajak Nurel Javissyarqi untuk menilik lebih jauh ke masa itu. Hakekat dan belajar dari alam, bahwa tidak setiap bunga menjadi buah, hendaknya memberikan pendeskripsian lebih jauh. Melihat untuk mengetahui kemudian memahami situasi serta kondisi menjadi hal yang lebih baik, ketimbang menghakimi karena suatu realitas. Dalam petikan kalimat tersebut, kita dapat mengambil berbagai kebijaksanaan yang Nurel Javissyarqi sematkan di surat ke X ayat II ini.

Jikalau di sana ada akibat, tentu saja ada sebab. Suatu kejadian atau fenomena merupakan pembentukan dari fenomena yang ada sebelumnya. Memahami suatu keadaan yang menjadi pendorong atas lahirnya suatu ketidak-patutan. Sikap seperti ini, akan membuat kita tidak dengan mudah menghakimi suatu persoalan. Karena kita sudah memahami latar-belakang pembentukannya, sampai kondisi yang tidak kita inginkan terjadi dalam kehidupan realitas. Mungkin saja, yang menurut Nurel Javissyarqi katakan sebagai: “nalar mentah keluar terlalu dini” atau “reranting menunggu lebat sayapnya”. Sehingga tidak bijak kalau kita menilai sesuatu dengan tidak melihat latar belakang dari permasalahan atau kondisi yang ada.

Kebijaksanaan yang dimiliki seseorang tidak hanya mengarah pada perilaku dalam kehidupan kolektif seseorang, akantetapi juga merasuk ke dalam diri dan menjadi jati diri bagi seseorang tersebut untuk bersikap. Inilah yang dikatakan sebagai kebijaksanaan diri, yang dalam Sekuntum Bunga Revolusi, Nurel Javissyarqi mengungkapkannya dengan bahasa berikut:

Jika sayap-sayap bertumpuk memberatkan kepakan, cabuti bulu-bulunya,
barangkali compang-campingmu sanggup menggedor kemampuan semu (X: VI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).

Manusia yang memiliki kebijaksanaan diri akan mengarahkan perilaku diri untuk lebih realistis, tanpa harus menyiksa diri. Hal ini membawa dirinya untuk mengekang pamrih serta meninggalkan segala sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu penting. Kalaimat “sayap-sayap bertumpuk” dapat kita pandang sebagai suatu keadaan yang di sana terlihat mengenai kemegahan atau suatu kebanggaan ketika memutuskan untuk menumpuk sayap. Seperti burung, sebut saja Cenderawasih yang memiliki sayap-sayap indah, membuatnya mempesona dan terlihat agung. Suatu keindahan yang dari “sayap-sayap bertumpuk” itu tadi.

Hal yang Nurel Javissyarqi tekankan pada aspek fungsional dari keberadaan sayap tersebut. Ingin mengatakan pada kita semua, untuk apa memiliki sayap yang bagus, indah, bertumpuk dan nampak anggun kalau justru sayap (kemegahan) itu memberati diri saat kita ingin terbang? Salah satu nilai yang dikandungi burung adalah bagaimana cara hidup dia dengan sayap tersebut, yaitu terbang di angkasa raya dengan penuh kemerdekaan. Burung yang terbang di angkasa dapat dinisbatkan sebagai simbol dari kebebasan (dan kemerdekaan).

Menjadi burung, sama halnya menjadi manusia yang merdeka. Kehidupannya hanya dipengaruhi oleh angin, begitu saya seringkali mendengar kebebasan dari Nurel Javissyarqi. Burung yang terbang memiliki kebebasan, angin sebagai salah satu kawan yang dapat dikatakan sebagai penunjuk arah, sedangkan angin sendiri sebagai khas dari kemerdekaan itu sendiri. Jika manusia yang memiliki keagungan, namun tidak mampu terbang dengan kebebasan, berarti manusia tersebut seperti burung yang dipenjarakan ke dalam sangkar. Keindahannya hanya mendatangkan bencana untuk dirinya sendiri, kehilangan kebebasan yang menjadi ruh bagi kehidupannya.

Terkadang, kebanyakan diantara kita yang lebih memilih untuk hidup di dalam kemewahan dengan menukar dari kebebasan, entah itu kebebasan secara badaniah maupun kebebasan dalam hal ruh (akal dan hati). Kemewahan yang saya maksudkan di sini tidak berkisar pada material, tetapi juga termasuk di dalamnya pola pikir. Kemewahan dari segi materi sudah menjadi kejelasan yang akan mengangkat prestise, namun ada hal lain yang dari segi pola pikir. Misalkan saya, dalam suatu diskusi kita sering menemukan berbagai macam istilah yang luar biasa, namun terkadang dengan menggunakan istilah-istilah tersebut, kita justru kehilangan makna yang seharusnya kita pahami.

Karena itu, Nurel Javissyarqi mengatakan, “cabuti bulu-bulunya” kalau kemewahan tidak mendatangkan apa-apa bagi individu tersebut. Sikap untuk mau membuang beberapa aspek yang tidak terlalu penting, akan membuat diri kita semakin ringan untuk melangkahkan kaki menuju kebebasan.

Hal lain, yang dapat saya dapatkan dalam kalimat ini: “Jika sayap-sayap bertumpuk memberatkan kepakan, cabuti bulu-bulunya” adalah mengenai kesederhanaan. Baik kesederhanaan secara fisik, gerakan, maupun di dalamnya pola pikir. Tidak perlu, kita menggunakan istilah yang tinggi-tinggi untuk mengatakan mengenai sesuatu hal, tapi katakan dengan sederhana. Sebab, misal di dalam suatu pembicaraan, ketika kita menggunakan istilah yang tinggi, bisa saja orang yang kita ajak bicara tidak paham dengan istilah kita sehingga maksud dari pembicaraan tidak tersampaikan.

Kesederhanaan di dalam hidup, seperti singkatnya yang akan membentuk kebebasan dan keanggunan tersendiri, yang tentu saja lebih mampu merasuk ke dalam isi ketimbang pada keindahan bentuk. Untuk itu, saya sangat sepakat ketika Nurel Javissyarqi mengatakan: “compang-campingmu sanggup menggedor kemampuan semu”. Indah itu bukan terletak pada bentuknya, melainkan pada isi yang ada di dalamnya sehingga tidak ada lagi, “kemampuan semu” tersebut. Jangan bangga ketika orang melihat kita intelek ketika kita menggunakan bahasa yang super rumit namun kita tidak memahami apa yang sebenarnya kita katakan. Lebih baik, berbicara dengan sederhana sehingga kita dan orang lain paham dengan apa yang ingin kita sampaikan.

Nilai kebijaksanaan yang lain, juga kita temukan mengenai hakekat dari kesadaran manusia dalam melakukan sesuatu. Semisal di ayat berikut:

Kesadaran pejuang mengikuti awan-gemawan gerilya,
aliran sungai menyusuri lekuk seluruh tubuhnya mencari makna,
menggelinjak bertemu akar pohon dari batin kutub kekuatan (X: XII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).

Manusia yang bijak adalah manusia yang sadar dengan apa yang dia lakukan, untuk mempelajari sesuatu dari alam. Manusia (yang modern) yang mengembalikan diri pada alam raya, menjadikan alam sebagai guru, dan sekaligus kawan dalam perjalanan. “Mengikuti awan-gemawan gerilya” merupakan pengungkapan untuk hidup dalam kebebasan, dimana seperti awan yang tidak bergantung pada apa pun selain angin. Kemana angin berhembus, di sana awan akan melaju. “Mengikuti awan-gemawan gerilya” tidak mengisyaratkan pada kekosongan tujuan, melainkan lebih pada keinginan yang ada di dalam diri. Keinginan itu diselaraskan dengan angin, yang mana mengalir sesuai dengan kodratnya.

Menjalani hidup dengan mengalir, seperti angin, pun juga demikian seperti layaknya air. Angin dan air, lebih kurangnya memiliki sifat yang sama. Bersatu dan membentuk wadah (tempat) dan ketika keduanya bertemu halangan, maka mereka tidak akan menghancurkan jikalau kekuatan yang dikandungi sedikit. Mereka (air dan angin) akan mencari jalan lain, membelok. Lain halnya ketika, angin dan air mengandungi kekuatan yang besar, maka segala sesuatu yang menghalangi perjalanan mereka akan dihancurkan.

Sikap hidup untuk mau mengalir seperti angin dan air merupakan bagian dari kepasrahan diri terhadap takdir yang Tuhan Yang Mahakuasa. Selain itu, manusia tersebut juga mampu untuk menimbang kekuatannya sendiri, untuk terus melangkah dengan menghancurkan penghalang atau membelok dan mencari jalan lain ketika dirinya dirasa tidak mampu mengatasi rintangan yang ada. Kemampuan untuk menakar kekuatan diri sendiri, kemudian mengakuinya merupakan kebijaksanaan hidup. Menjadikan hidup manusia tidak ngongso atau memburu napsu tanpa perduli dengan keadaannya sendiri membuat hidup menjadi lebih tenang dan bahagia.

Semisalnya dalam peperangan, ketika seorang tentara merasa mampu untuk mengalahkan lawannya, maka dia akan terus menggempur untuk mengalahkan musuh. Akantetapi, diketika dirinya merasa tidak mampu dia akan mundur untuk mengatur strategi lain agar bisa menang, atau setidaknya mencari jalan lain agar tidak perlu berhadapan dengan musuh. Sikap untuk mau menakar kemampuan diri adalah sikap para Pandawa yang diketika mengalami kekalahan biasanya mundur sejenak untuk mencari strategi yang biasanya muncul dari sosok Semar kemudian maju kembali. Sedangkan, seseorang yang tidak mampu mengenal kemampuan diri akan menjadi seperi Buta Cakil yang terus berperang walau menyadari akan kalah. Dan Buta Cakil sebagai satria yang tidak pernah mundur itu selalu saja kalah ketika berhadapan dengan Pandawa. Manusia yang berperang dengan tanpa memperhitungkan kekuatan sendiri, entah akan mengalami kemenangan atau kekalahan maka manusia tersebut dapat dikatakan sebagai manusia yang konyol.

“Mengikuti awan-gemawan gerilya” dapat diungkap sebagai jalan hidup yang mengalir bersama angin untuk mencapai keselamatan serta kebijaksanaan. Lalu “aliran sungai menyusuri lekuk seluruh tubuhnya mencari makna” sebagai pengungkapan diri dalam perjalanan mengenal diri sendiri dalam usaha mencari pengetahuan terdalam. Guru yang paling baik bagi manusia adalah pengalaman yang mana pengalaman tersebut muncul dari dirinya sendiri. Dalam ilmu mengenai jalan hidup manusia Jawa, mereka memandang kalau guru sejati satu-satunya adalah diri sendiri (Beatty, 2001: 267).

Dengan demikian, ketika manusia sudah menelusur dirinya sendiri, bahwa manusia Jawa pun seringkali mengungkapkan kalau Kitab Suci Quran itu sebagai kitab yang kering yang artinya sebagai tulisan, sementara Tuhan juga menurunkan kitab yang basah yang di sana menyimpan ilmu pengetahuan yang luas. Masyarakat muslim Jawa yang tradisional menganggap Quran sebagai objek yang suci tetapi, sejauh mengenai rincian pesan-pesannya, ia adalah buku yang tertutub (Beatty, 2001: 172). Dalam kepercayaan Islam Kejawen memandang dunia sehari-hari sebagai teks kuncinya dan tubuh manusia sebagai kitab sucinya (Beatty, 2001: 219). Sehingga, cukup relevan kalau Nurel Javissyarqi mengungkapkan “menyusuri seluruh lekuk tubuhnya mencari makna” karena di sana kita akan menemukan “akar pohon dari batin kutub kekuatan”.

Dengan memahami kehidupan dan tubuh manusia sendiri sebagai kunci dan guru bagi manusia, maka manusia tersebut akan menemukan hakekat dari kekuatan spiritual. Jawa memandang lebih dari sekedar teks yang dibaca dengan alunan merdu tanpa mengetahui apa hakekat dari isi teks tersebut. Quran membawa suatu pengetahuan, namun lebih banyak dari kita yang mengetahui huruf Arabnya tanpa mengetahui maksud yang ingin Allah sampaikan pada manusia. Dengan mempelajari diri, berguru pada kehidupan dan memahami Quran sebagai pesan yang harus dilaksanakan, manusia akan mendapatkan kebijaksanaan.

BERTAHAN DALAM JATI DIRI

Kita tidak mungkin hidup sendiri dengan meninggalkan orang lain. Bukan suatu pilihan bijak ketika kita kemudian memilih untuk lari ke suatu perbukitan yang sunyi, menutup diri dengan manusia yang lain. Manusia bijak adalah manusia yang mampu berada di tengah masyarakatnya, berkomunikasi untuk belajar dari manusia lain, alam raya dan lebih jauh pada Tuhan. Ilmu sosiologi memandang manusia sebagai makhluk sosial yang keberadaannya saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain. Keadaan ini membawa manusia untuk berada di tengah-tengah masyarakat yang di dalamnya terdapat adanya jati diri kolektif.

Manusia dalam kerangka sebagai mahluk sosial harus bersinggungan dengan suatu keadaan yang mana disebut sebagai proses sosial dan interaksi sosial. Proses sosial memandang bagaimana individu di dalam kelompok sosial dalam rangka melahirkan interaksi sosial. Selanjutnya, Kimbal Young dan W.Mack Raymond (Soekanto, 1990: 67) mengatakan bahwa interaksi sosial sebagai kunci kehidupan sosial. Interaksi sosial inilah yang pada akhirnya akan melahirkan suatu bentuk identitas sosial (kolektif). Di dalam interaksi sosial, hendaknya, seseorang tidak kehilangan identitas diri sendiri, yang berperan sebagai jati diri perseorangan. Walau pun di dalam suatu interaksi sosial, terkadang manusia kehilangan jati diri karena melebur ke dalam identitas kelompak, namun identitas diri perlu dipertahankan.

Identitas diri seseorang ini yang pada nantinya akan disebut dengan kepribadian, yang mana dia sebagai organisasi biologis, psikologis dan faktor sosiologis yang menjadi dasar bagi tingkah laku seorang individu (Roucek dan Warren, 1984: 31). Identitas diri yang dimiliki oleh seseorang harus tetap dipertahankan, karena identitas ini yang digunakan untuk membedakan dirinya dengan kelompok sosial tempat dimana manusia hidup.

Seperti halnya di dalam suatu karya sastra, seorang penulis dia berada di dua dimensi edentitas, yaitu identitas diri dan identitas kelompok. Ungkapan yang menyatakan, kalau sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (Teeuw, 1990: 11). Kekosongan budaya di sini dapat dipandang sebagai interaksi sosial yang dilakukan oleh seorang penulis. Akantetapi, dalam interaksi sosial, dalam suatu penciptaan karya sastra dapat dipastikan kalau seorang sastrawan masih memegang identitas diri. Sebab, karya itu dimulai dari identitas diri yang mana berperan sebagai tolok ukur atas suatu penilaian yang akhirnya melahirkan karya.

Identitas diri, adalah mengenai siapa diri kita, berdiri dalam lingkup golongan yang mana, dan bagaimana ide atau pemikiran kita mengenai suatu keadaan masyarakat. Identitas diri ini yang menjadi semacam ciri khas bagi seseorang di dalam menanggapi kondisi lingkungan sekitar. Walau terkadang, keadaan lingkungan berusaha mempengaruhi, sebab jika kita mengumpamakan kehidupan ini dengan sungai, identitas kolektif sebagai arus. Apabila kita tidak sekuat tenaga (dengan serius) mempertahankan identitas diri maka kita pasti akan terseret arus kolektif yang biasanya kuat menarik.

Sudahkah diawali pergesekan ini serasa salju tambah memikat panasnya
saat daging jari-jemari mengepal sekali dalam genggaman keyakinan (X: VII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).

Dalam ayat ini, saya menemukan adanya penekanan untuk memiliki identitas diri dalam kehidupan bermasyarakat. Meskipun, dia berada di dalam arus identitas kolektif, seseorang individu mesti memiliki identitas diri yang kuat demi keberadaan dan eksistensi dirinya sebagai anggota masyarakat. Hal penting untuk terus berpegang pada identitas diri adalah keberanian yang terbaca dalam: “Sudahkah diawali pergesekan ini serasa salju tambah memikat panasnya” karena dengan terus berpegang pada identitasnya sendiri, seseorang akan mendapatkan tekanan, entah dari dirinya sendiri yang merasa terkucil atau dari kelompoknya.

Bahkan, hal yang menarik dari keberanian untuk terus bertahan dalam identitasnya sendiri, Nurel Javissyarqi ungkapkan dalam simbolisme “salju” yang justru terasa “panas”. Bukankah menjadi hal yang aneh ketika merasakan salju sebagai sesuatu yang memiliki sifat panas? Kita pasti akan menolak hal ini, sebab sifat dari salju secara faktanya memiliki sifat dingin. Akantetapi, penyimbolan yang dilakukan Nurel Javissyarqi dalam ayat ini untuk memberikan penekanan, bahwa ketika kita ingin berada pada taraf menjalani identitas pribadi, kita akan menemukan hal-hal yang tidak terduga. Bisa dibilang sebagai keajaiban dari hikmah yang memberikan kita pelajaran mengenai hidup, atau sebagai tantangan yang musti dijalani dengan “jari-jemari mengepal sekali dalam genggaman keyakinan”.

Keberanian dari sikap ini, karena memang sudah didasari dengan keyakinan yang kuat. Seseorang berani untuk mempertahankan pemikirannya (ideas) karena dia yakin dengan apa yang sedang ditempuh (atau diperjuangkan). Kata “genggaman keyakinan” mengisyaratkan pada kebulatan tekat yang tidak mudah diusik oleh resiko ketika si individu melawan identitas kolektif. Sebenarnya bukan melawan, melainkan hanya lebih memperlihatkan karakter pribadi sebagai seorang manusia.

Kemudian, Nurel Javissyarqi mengungkapkan suatu kelebihan lain yang dimiliki seseroang yang memiliki identitas diri di tengah identitas kolektif dalam ayat:

Kenanglah ikan-ikan Bethik bertubuh daging gurih
tersebab hidupnya melawan arus terus menerus (X: VIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).

Penyimbolan yang perlu di dasari dengan pemahaman akan kehidupan seekor ikan. Dalam hal ini adalah ikan Bethik, yang memiliki tubuh yang kuat, keras sisiknya, kemudian memiliki duri yang kuat dan juga tajam. Saya secara pribadi tidak terlalu memahami bagaimana kehidupan ikan ini, namun saya cukup merasa familir karena sedari kecil saya hidup di pedesaan dan saat kecil terkenal ngglidik di sepanjang sungai. Ikan Bethik yang dagingnya gurih karena ia melawan arus, saya mencoba memahami, apakah ada hubungannya saat hidup melawan arus maka daging kita akan menjadi gurih?

Ya, tentu saja, ini hanya bangunan simbolisme yang mengacu kepada jati diri seseorang. Kalau kita membuat perbandingan, misalnya dalam peribahasa “Gajah mati meninggalkan gadingnya, macan mati meninggalkan kulitnya” yang mana merupakan suatu penggambaran mengenai jati-diri yang menjadi spesial di mata orang lain. Yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya, adalah karakter. Hal tersebut (karakter maksud saya) yang akan paling dikenang ketika kita jauh atau bahkan mati. Sehingga, Nurel Javissyarqi berpesan pada kita untuk memiliki karakter tersendiri sebagai manusia, sebagai jati diri yang membuat kita berbeda dari orang lain.

Mempertahankan jati diri di tengah identitas kolektif memang sangat berat, seperti melawan arus terus menerus, akantetapi di akhirnya nanti, kita sendiri yang akan merasakan. Bagaimana kita menjalani hidup, atau bagaimana kita menghadapi realitas yang serba pelik dan tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada di dalam pemikiran kita. “Melawan arus terus menerus” menjadi simbol bagi perjuangan, pelajaran dan guru yang tidak terkira manfaatnya. Karena, Nurel Javissyarqi menyadari, akan tiba saat dimana kita manusia, akan menggunakan kekuatan kita sendiri. Hal ini diungkapkan dalam ayat:

Di sini bergejolak birahi sejati, menenggelamkan jiwa di lumpur semesta,
karamnya kapal ditakdirkan, warisan pemberontak menantang (X: XXXVIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 58)

DALAM HENING, MEMETIK BUNGA REVOLUSI

Revolusi di sini bukan pergerakan sosial yang terjadi di suatu masyarakat dalam perubahan besar yang disertai kekacauan sosial, ekonomi maupun kekacauan politik. Itu, sebutan revolusi untuk sebuah tatanan yang buruk, dipenuhi dengan pembusukan jati diri dan penyelewenangan kekuasaan oleh mereka yang tidak tahu dengan caranya berterima kasih. Akantetapi, revolusi yang saya tangkap dari Nurel Javissyarqi adalah perubahan yang besar dari perjalanan panjang kehidupan manusia.

Manusia yang sudah dengan ketatnya ritual melaksanakan laku perjalanan batin, akan menemui perubahan besar di dalam dirinya. Perubahan ini lebih merujuk pada aspek batin, ketimbang pada badaniah yang tidak mengartikan apa-apa dalam perjalanan hidup manusia. Ketika, perjalanan telah terlewati, kita (manusia) akan menemukan suatu babak yang mana merasuki hening, hidup hanya ada dirinya sendiri sehingga:

Mengambili kelopak-kelopak sunyi akar-akaran terdalam,
tiada kehidupan selain nafas dicukupkan baginya seorang (X : LIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 59)

Permainan bahasa yang cukup indah, ketika Nurel Javissyarqi mengatakan: “mengambili kelopak-kelopak sunyi akar-akaran terdalam” dimana kita diajak untuk memojokkan diri dalam kesunyian. Sunyi, tidak berarti kosong atau senyap, namun Sunyi, kalimat ini mengingatkan saya pada ungkapan bijak Ibu Theresa (Jejak Tanah, 2002: 143) yang mengatakan kalau buah dari sunyi itu doa. Kebijaksanaan yang memberikan saya batu pijakan untuk menulis beberapa kata dalam subbab ini. Sunyi, yang bagi saya memberikan pengertian mengenai suatu ruang renungan, ruang ketiadaan yang disana saya bisa memikirkan sesuatu mengenai kehidupan yang serba kompleks ini. Sunyi adalah ruang kosong, di suatu tempat yang tidak harus kosong. Di dalam keramaian, apakah kita bisa menemukan ruang kosong yang dimaksud? Tentu saja bisa, karena ruang kosong ini mampu kita dapatkan di ruang yang penuh sesak dengan berbagai kepentingan. Biasanya, menurut pendapat saya, ruang kosong ini sebagai celah hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Dalam tradisi Jawa, ada pohon bernama Kemuning, yang menyimbolkan mengenai keheningan, atau kebeningan. Keberadaan heneng, wening, dan bening menjadi kesempatan bagi manusia untuk lebih banyak diam dan belajar dari tanda-tanda. “Kelopak sunyi” itu yang memuat tanda-tanda yang akan membawa kita manusia ke “akar-akaran terdalam”. Apabila kehidupan selayaknya pohon, maka akar dapat dianggap sebagai suatu kesejatian, awal mula dari kehidupan manusia yang mana sebagai tempat berdiri dan sebagai jalan dalam memperoleh sumber kehidupan.

Akar, apabila dalam skema Pohon Filsafat (2007) yang dikemukakan Dr. Stephen Palmquis, akar sebagai bagian dari metafisika. Di dunia Jawa, pandangan mengenai metafisika seringkali disebut sebagai dunia Numinus, yaitu alam kehidupan sehari-hari. Numinus sebagai hakekat dan cahaya ketuhana, yang membawa manusia pada kehidupan yang lebih baik.

Konteks “akar-akaran terdalam” yang diungkapkan Nurel Javissyarqi dapat dikatakan sebagai kebenaran hakiki yang berada di dalam mitos. Esensial dari kebenaran yang ada, sehingga manusia yang sudah mencapai pemahaman akan kebenaran ini tidak lagi membutuhkan barang lain dalam pencukupan kehidupannya. Seperti para pertapa yang hanya napas, tanpa makan atau minum untuk meluangkan waktu lebih banyak dalam usaha pendekatan diri pada Hidup (Tuhan).

Ketika pemahaman dan jalan hidup sudah sampai ke sini, maka manusia akan mengalami puncak, kenikmatan ketika manusia bisa melihat cahaya biru (ndaru):

Jiwa-jiwa merdeka bertarian dalam selubung ketinggian biruanya cahaya
sematang malam dipanjatkan asap kemenyan mewangi doa-doa berterbangan,
kelepak sayap lembutnya menarik maksud perjuangan perdamaian abadi (X : XCI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 61).

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 26 Februari 2011

Gaun yang Kusimpan

S.W. Teofani
http://www.lampungpost.com/

INI gaun terindah yang kumiliki. Kutisik dengan peniti hati, kusulam dengan benang jiwa. Setiap rendanya adalah tembang hatiku saat membayangkan malam yang agung bersamamu. Setiap rajutannya adalah senandung doa tentang masa yang akan kita jaga.

Kekasih, kau adalah lelaki pertama yang kupercaya menghantarkanku ke pesta. Padamu kupercayakan sebentuk hati yang kelak harus kau jaga.

Kubiarkan setiap mata mengejamu sebagai paro nyawaku. Sukma yang kelak memanjakan pada setiap keluh.

Engkau datang tepat saat gaun itu sempurna membalut tubuhku. Aku berkaca, keindahan bagai diturunkan dari ketinggian nirwana. Bukan karena gaun itu putih sempurna, tapi kilau hatiku yang melampaui awan tanpa mega. Bukan karena selendang keemasan yang melengkapi warnanya, tapi cahaya bahagia yang hanya bisa dirasai Kamaratih kala berjumpa Kamajaya.

Aku mengangguk takzim di hadapanmu. Ungkapan terima kasih atas kesabaranmu menungguku merapikan diri. Menata hati atas kegugupan saat hendak melangkah di sisimu. Di depan ribuan tatap mata di pesta itu. Tapi, tatap lembutmu menenangkanku. Dengan santun kau jaga aku meniti tapak demi tapak ke altar agung. Aku merasa nyaman, umpama tangkai tersemat di dahan. Aku bermantel damai, melebihi kedamaian yang dijanjikan puncak ketenangan.

Di antara jiwa-jiwa yang ria, aku merasa paling bahagia. Di antara gegap gempita pesta, aku hening, memaknai seluruhmu yang nyata di sampingku. Hingga pesta usai, hati kita tak masai.

Malam itu kita melangkah di atas nada jiwa. Suara menjadi kersik yang mengurangi makna. Kata menjadi penanda yang tak kita pilih untuk menyampaikan seluruh denting rasa. Diam menjadi lebih agung dari segala racikan doa. Tarikan napas menjadi ketuk dawai yang lebih lembut dari gamelan Jawa. Malam kita tutup tanpa pesan. Karena perpisahan menjadi hantu paling menakutkan bagi jiwa yang menabur pengharapan.

Esok adalah janji hati untuk semakin mengukuhkan panji. Kau hadapkan aku pada wanita agung yang membuatmu mengada di dunia. Kau kenalkan aku pada laki-laki yang kau sebut bapak. Kau sambangkan aku pada kerabatmu sebagai wanita pilihan yang akan kau satukan dengan empu kehidupanmu. Tak ada kata yang mewakili ungkapan bahagia, tak ada bahasa yang melampaui suka. Aku menunggu, di mana hari menjadi batas bagi jalan-jalan yang kita lempangkan. Aku tak meragukanmu!

Kemudian kita saling memanai waktu. Menghitung yang lalu dan tiba. Menjuntai yang mungkin dan yang musykil. Aku mendapatimu bagai petarung yang terluka. Aku ingin membalut setiap sayatan di tubuhmu, tapi carikku tak pernah sampai. Aku ingin mengeringkan setiap tetes darahmu, tapi tanganku telah lunglai. Kau diam laksana patung Brahmana tanpa dosa. Kau acuhkan aku yang menggapai hingga masai. Terbentur pada seluruh angkuh yang kau cipta.

Aku mengingatkanmu tentang jalan kita. Kau diam. Aku melangkah sendirian, mengungkai seluruh kenang yang memungkinkan kau kembali ke jalan itu. Tapi aku semakin limbung. Kutarik bongkahan masa lalu yang memberatkan seluruhku. Engkau diam di entah. Hingga aku hempaskan segala beban.

“Kekasih, akankan kita lanjutkan perjalanan. Atau kuhapus setiap tapak yang pernah kita jejak?”

Kau diam bagai gitar tanpa temali. Hatiku merasai beban batinmu.

“Jika kau tak sanggup lanjutkan, mari istirahat. Pohon rindang akan memulihkan tenagamu. Jika kau terluka, aku yang akan mengobati. Jika kau takut dengan masa depan, lihatlah, aku punya selaksa pengharapan untuk menegarkanmu. Aku siap memapahmu sampai di menara-menara suci. Apa yang kau ragukan pada seluruhku?”

Kau tetap diam menyamai kesunyian siksa.

“Kekasih, aku tak kan meminta yang tak kau beri. Aku tak kan mengharap yang tak kau punya. Aku ikhlas pada yang ada.”

“Ada yang tak kau ketahui.” Aku terkesima, suara itu seperti telah berabad kunantikan.

“Aku tak sebaik yang kau kira, aku tak sesuci yang kau sangka.”

“Adakah aku ingin dikhitbah malaikat. Apakah aku mendamba menikah dengan nabi? Aku juga manusia biasa. Aku tak menengok masa yang telah binasa. Esok adalah masa yang akan menyucikan kita. Menyepuh setiap dosa, sebelum kembali pada ridho-Nya. Apa lagi yang kau ragukan?”

Kembali kau diam, melebihi tapa gunung-gunung. Kulihat bimbang pada seluruhmu. Untuk pertama kali aku meragukanmu.

“Ada yang lain?”

Engkau tertunduk, melampaui kedalaman ceruk.

Kata-kataku habis. Hatiku lebih hening dari gugusan batu. Kita biarkan ombak mengamuk, halilintar bergemuruh, angin menggoyahkan semesta. Kabut turun, alam mulai menampakkan kengerian. Dalam getar kerapuhan, lirih aku mengeja….

“Kekasih……jika karena luka, aku masih sedia. Jika karena dosa, aku bisa terima. Tapi karena yang lain…aku tak punya kata.”

Kau menunduk tanpa daya.

“Jangan pergi,” ketakutanmu sebanding bayi merah kehilangan ibunya.

“Apa yang kau beratkan dariku?”

“Kau satu-satunya wanita yang pernah kuhadapkan pada empu kehidupanku.”

“Karena itu aku percaya, karena itu aku tak ragu. Tapi… pengkhianatan melebihi belati tajam yang mengoyak jantungku.”

“Bertahanlah.”

“Untuk apa?”

Tundukmu menembus pusat bumi. Terpekur pada geming sempurna.

“Aku bisa pahami kekhilafan, tapi aku tak bisa menyakiti hati lain, hati perempuanmu.”

Hening… tetes-tetes bening mewakili denting.

***

Sahara menuntunku merindukan oasis. Aku sisir hamparan pasir bersama kengerian angin gurun. Entah di mana tepi, di mana ujung. Kaki terus melangkah. Tapak-tapaknya dibimbing oleh arah yang belum pernah kujamah. Aku memandang sekeliling. Dari seluruh penjuru, tak kudapati penanda kehidupan. Hanya tebaran pasir diterpa percik-percik terik.

Aku menghela, kadang Tuhan menghendaki manusia benar-benar dalam kesendirian mengarungi padang hidup yang tepinya entah di mana. Tapi di sanalah kita benar-benar bersama-Nya. Keyakinan itu mengukuhkan kalbu untuk melanjutkan apa yang seharusnya. Aku bersimpuh, ingin menanggalkan apa-apa yang harus kutinggalkan.

Tundukku sebanding takzim para sufi.

“Roby…..aku bukan Siti Hajar. Yang begitu tulus melepas suami tercintanya dengan hati lain. Tapi beri aku kebesaran hati seperti yang Kau anugerahkan kepadanya.

Aku bukan Ibrahim, yang ikhlas menyerahkan kepada-Mu anak semata wayangnya. Tapi, beri aku keikhlasan serupa ketika Kau ambil apa-apa yang tak harus kujaga.

Aku bukan Nabi Isa, yang menyerahkan pipi kanannya ketika ditampar pipi kirinya. Tapi berikan aku percikan pemaafnya, untuk menerima setiap duka yang tak kuduga.

Kudongakkan kepala, menatap jauh cakrawala. Kudapati bersih sempurna, petanda hujan tak kan tiba. Kuteringat sehelai gaun pesta. Putih serupa. Kan kulipat dengan jemari jiwa. Kusimpan pada lemari hati yang mungkin tak kan kukenakan lagi.

Bandar Lampung, Ujung 2009
- Happy birthday my best friend Eli D., 25 Desember 2009
- Kado untuk telaga hatiku, 28 Desember 2009

Percakapan di Serat Lontar

Muhammad Amin
Suara Merdeka 27 Feb 2011

Halimun menipis. Air laut menyurut memperlihatkan bebatuan karang yang mendatar di sepanjang tepian pantai. Sinar keemasan jatuh pada ujung dedaun. Berpendar pada riak-riak jernih air yang tenang.

Hijau dan biru, paduan yang menyimpan tiap yang rahasia tiap yang misteri, seperti juga dedaun yang tersibak angin dan langit yang merentang tenang.

Embun sebentar saja habis. Jilatan lidah ombak pada pasir, memantulkan kilau keemasan, berdesir rendah sekali seperti tak ingin mengganggu tidur seorang perempuan berwajah setenang air muara yang sedang nyaman di atas dahan ketapang. Tapi sinar matahari yang menyelinap celah-celah daun ketapang telah lancang membuyarkan niat baik ombak.

Perempuan yang berambut seperti ombak, selalu dihiasi lukuk lada. Kulit kerang berjejar di antara jenjang lehernya. Warna kulitnya tak pernah melukiskannya sebagai perempuan laut. Orang-orang mungkin mengira ia perempuan istana dengan segala keindahannya.

Perempuan laut itu tercenung. Tafakur mengeja tanda-tanda. Duduk di sampingnya seekor harimau dengan nafas hangat, bulu-bulu halus yang hangat–warna lempeng emas dengan garis-garis hitam pekat yang menjalari tubuh besarnya.

Perempuan pemahat batu dan Nawa, harimau yang selalu mendampinginya, kini hanya menikmati cahaya hangat pagi. Tidak seperti hari-hari sebelumnya.

***

Serat Lontar yang Pertama.

Nawa, harimauku yang setia, tak mengerti aku mengapa perasaanku sedemikian rupa. Seakan tak bisa aku menyelami palung hati sendiri. Pagi ini aku seperti kehilangan seluruh kekuatan untuk memahat dinding batu dengan kedua tanganku. Maka tolong bawalah aku dari sini.

Malam itu, Nawa, setelah kau memberitahuku bahwa ada sekelompok orang membuka tempat pemukiman tak jauh dari tempat kita, tiba-tiba aku mendengarkan suara. Sebuah suara yang mengalun, bermain bersama angin. Bersidekap dengan senyap. Begitu indah melahirkan nada-nada dari rahim semesta. Kulihat pucuk-pucuk daun menggeletar.

Tubuhku terseret oleh iramanya. Pikiranku limbung dan terbang seperti kapas. Melayang-layang seperti seekor burung. Seakan pikiranku ikut mengembara ke atas awan. Berputar-putar di suatu tempat yang tak jelas di mana. Suara yang indah itu seperti rintik jarum-jarum hujan di tengah daratan yang kerontang. Tak terasa aku telah berada di tempat pemukiman baru itu. Kukira, mereka orang-orang pengembara atau mungkin sekelompok penyamun (perompak) yang sengaja singgah di pulau ini? Atau para pelaut yang terdampar akibat badai?

Tapi malam itu tak kutemukan mereka di sana, Nawa. Hanya seorang—ya, seorang saja, duduk di atas onggokan batu di depan gubuk yang baru didirikan. Jemarinya bermain-main di atas sepotong bambu kecil yang menempel pada bibirnya. Dia tampak tenang sekali, seolah aku bisa merasakan nyanyian itu. Semakin meninggi semakin bergetar hati. Gurat wajahnya jelas terpantul cahaya unggunan api dan bulan sepotong di langit jernih. Angin terasa menghinggap. Senyap. Burung-burung yang bertengger di pepokok dahan pun menyimak.

Lalu suara keretak reranting dan dedaun kering yang tak sengaja terinjak olehku telah membuyarkan penghayatannya. Membuatnya tiba-tiba berhenti memainkan lagu. Dia menangkap keberadaanku. Kami bersitatap. Aku terhenyak. Mendadak aku tak dapat bergerak.

Mata itu, Nawa, mata yang berkilat kelebat menusukku. Mata itu yang telah menghilangkan seluruh kekuatanku. Karena ketakutanku, segera aku berlari untuk menghindar darinya, melesat secepat yang aku bisa. Sempat kudengar engkau mengaum keras sekali. Ada amarah yang sempat kutangkap dari aumanmu yang tak biasa itu.

Beberapa hari setelah itu, rupanya kau telah merobek dada lelaki pemilik mata itu. Kau telah memendam dendam tak jelas. Dia terkapar di bawah pohon maja, dengan tubuh kaku tak berdaya. Aku kebingungan tak tahu harus berbuat apa.

Kukira engkau telah menghilangkan nyawanya. Tapi dadanya masih bergerak, dada koyak berlumur darah itu perlahan bergerak mengikuti irama nafasnya. Segera aku mencari ramuan dari rumputan dan semak untuk menyembuhkan lukanya.

Beberapa hari ia tak sadarkan diri. Aku merawatnya hingga luka itu mengering, hingga benar-benar sembuh seperti sediakala.

Lalu bisakah kaubayangkan bagaimana hatiku saat memandang wajah penuh gurat kecemasan dengan cambang lebat itu. Dan bibir merah kecoklatan yang indah kala meniup sepotong bambu. Seperti sebuah kerinduan. Selama ini aku hanya mendengar ceritamu tentang pangeran dari negeri angin. Adakah dia pangeran yang kauceritakan itu?

Ketika mata itu mulai terbuka, kembali diriku diliputi resah. Perasaanku kalut, bercampur aduk antara senang dan takut. Seperti hujan batu.

Karena mata itu, mata yang seolah memberiku sesuatu rahasia tentang kecemasan. Aku yang seketika menjadi demikian lemah di hadapan lelaki yang tak pernah kukenal –namanya sekalipun. Dia seolah menjelma angin puyuh yang menerjang pohon-pohon kita, menggolakkan ombak yang memecahkan karang.

Aku ingin kekuatanku kembali. Aku ingin menikmati setiap lekuk batu yang kupahat dengan kedua tanganku seperti hari-hari sebelumnya. Namun, suatu waktu, terkadang aku masih saja merindukan lagu-lagu indah yang ia mainkan di malam-malam kelam.

Nawa, mungkin hanya kau yang tahu riwayatku selama ini, kau yang telah merawatku sejak bayi. Aku terlahir oleh ombak yang berdesir tenang itu, katamu. Ombaklah ibuku. Ombak dengan segala perangai dan muslihatnya, selama beberapa kurun waktu, telah melahirkan dan mengasuhku.

Dan bapakku, batu karang yang telah kausuruh aku memahatnya dengan tanganku selama bertahun-tahun. Batu yang kokoh dan hitam menjulang itu telah menanamkan benih kehidupan kepada buih-buih ibu.

Aku memang tak pernah mengerti semua ini. Tak pernah aku bertanya siapa dan bagaimana aku dilahirkan. Seperti burungkah? Seperti ikankah? Seperti kura-kura muara? Kau sendiri yang bercerita tanpa aku meminta.

Seperti katamu, ibuku sang ombak yang tak tertebak perangainya, kadang cemas bergelora kadang tenang menyaingi muara. Dan tubuh bapak yang hitam menjulang itu, aku yang memahat tubuhnya sehingga tampak seperti seekor naga yang menganga.

Seluruh waktu kuhabiskan untuk memahat batu, memahat tubuh bapak, dengan tanganku. Lalu tubuh ibu menghempas kami, menaburkan buih-buih sewarna putih awan. Lihatlah tubuh bapak menganga, aku yang telah mengukirnya, seolah menyemburkan kepulan asap yang mengabut dan membubung ke udara saat tubuh ibu menghempasnya. Menakjubkan. Mereka terlihat bahagia.

***

Serat Lontar yang Kedua.

Sebagaimana yang telah terterakan dalam kitab, yang aku tak pernah tahu namanya, berupa kulit lontar yang tebal, berisikan empat puluh sembilan helai lontar yang bertuliskan ketetapan takdir keturunan kita, Anakku, Eyangmu si pertapa itu yang menyimpan kitab Lontar memberikan sebuah petunjuk kepadaku. Petunjuk dari ketetapan Sang Semesta. Petunjuk yang sangat tidak aku harapkan.

Dari sana dapat kutangkap maksud pesan Eyangmu bahwasanya aku akan mengandung benih calon bayi perempuan di dalam rahimku, yaitu janinmu. Demikian ketetapan yang harus kuterima. Bagaimana aku bisa mengandung janin bayi jika tak ada lelaki yang pernah menyentuhku?

Janin itu akan tetap ada di dalam rahimku, kata Eyangmu, karena itu adalah keputusan Sang Semesta, yang tak bisa kita merubahnya. Di rahimku akan tetap tertanam janin bayi perempuan meski tak ada seorangpun lelaki yang menjamah dan menyemai benihnya di selangkanganku yang ranum dan harum susu. Lalu hari demi hari yang kulalui mulai tampak berubah. Mulai muncul tanda-tanda yang menunjukkan bahwa aku benar-benar sedang mengandungmu. Dan aku, meski dengan berat hati, harus mampu menerima. Aku merawatmu dalam kandunganku hingga tiba sembilan bulan. Bertepatan saat aku akan melahirkanmu, Eyangmu datang dengan wajah seperti digayuti awan mendung. Seharusnya beliau bahagia menyambut kelahiran cucu pertamanya.

Dan tak kusangka, kesedihannya itu ditanggungnya selama berbulan-bulan dan memendamnya sendiri. Tapi sebagai manusia biasa, beliau merasa tak kuat dan harus menyampaikannya kepadaku meski dengan sangat berat hati. Kemudian beliau menyampaikan sebuah petunjuk lagi yang tak lebih memerihkan ulu hati. Seperti luka ngaga yang tersiram racikan garam. Lagi-lagi aku harus memikul beban berat. Perasaanku tercabik-cabik.

Eyangmu keluar dan menangis tersedu-sedu. Tak pernah aku melihat lelaki tegar dan kokoh itu tak mampu membendung kesedihannya. Setelah itu, beliau merasa menjadi manusia paling menyesal di dunia. Kemudian beliau pergi dan tak pernah kembali, hidup menyendiri di puncak gunung.

Aku menghanyutkanmu ke tengah samudera. Di bawah bentangan langit berbintang, tengah malam yang tenang. Kau tertidur pulas di dalam keranjang dan kuselimuti dengan daun-daun ketapang. Sementara, dalam beberapa kurun waktu, ombak akan mengasuhmu. Membuaimu dalam nyanyian angin dan gelombang. Kelak ombak akan mendamparkanmu di sebuah pulau yang nyaman untuk ditinggali.. Di sana, seekor harimau yang baik hati akan mengasuhmu hingga dewasa. Ia akan menjaga dan melindungimu lebih dari dirinya sendiri.

Dua puluh tahun berlalu, kini aku terbaring dalam penantian dan penyesalan, menyimpan rindu yang tak berkesudahan. Rindu yang kuperam dan hampir matang. Rindu yang membuat dadaku ingin pecah.

Sebelum aku pergi dalam pembaringan terakhir ini, sesungguhnya ingin aku memelukmu, meski hanya sekali saja seumur hidupku, wahai anak perempuanku yang hilang. Kelak, ibu tetap akan menyimpan rindu ini hingga engkau tiba di taman surga.

***

Serat Lontar yang Ketiga.

Perempuan pemahat batu, kusimpulkan begitu karena sering kulihat sosokmu memahat dinding batu di tetebing tepian pantai itu. Aku tak pernah tahu namamu.

Demikianlah malam itu. Sesungguhnya aku hanya ingin bercerita tentang keresahanku kepada malam, bulan yang lindap dan pada senyap.

Tak pernah aku bercerita meski pada kawan-kawanku sendiri, orang-orang yang sudah sejak lama mendampingiku sampai ke tempat ini. Bukannya aku tak percaya, tapi hati manusia cepat sekali berubah secepat mata mengerjap, secepat jantung berdegup. Aku hanya ingin berbagi pada malam, pada warnanya yang hitam.

Kulihat daun-daun bergoyang seakan mengerti irama. Sendu serulingku merambat ke udara, menggetarkan hati, mengingatkanku pada sosok yang terlalu kucintai: ibuku.

Suatu hari diembankannya kepadaku sebuah amanat. Amanat yang, menurutku saat itu, tak terlalu berat. Aku akan merasa sangat berdosa bila tak bisa memenuhinya. Aku harus mencari bayi perempuannya yang dulu hilang ketika baru dilahirkannya.

Ibu meyakini ia masih hidup. Ada sebuah tanda lahir seperti tulisan, menurut ibu seperti rajah, tepat dibawah tengkuknya. Konon tanda lahir itu sengaja diberikan oleh para dewa agar di kemudian hari mudah dikenali.

Namun akhirnya aku benar-benar merasa berdosa dan putus asa karena tak jua kutemukan adik perempuanku itu hingga kini. Hingga kudengar kabar maut telah menjemput ibu yang terkapar dalam ranjang penantiannya. Ibuku mati dijerat rindu terhadap anak perempuannya.

Nyanyianku buyar saat suara keretak reranting patah mengusik telingaku. Kulihat kau berdiri di sudut bawah pohon, begitu ketakutan saat menatapku, seolah tak pernah kau melihat manusia sebelumnya. Sebuah tatapan dan ketakutan yang tak biasa. Dan ronamu seakan pernah kutemui dalam lagu. Ya, lagu-lagu yang kerap kulafalkan lewat sepotong bambu.

Lalu, tanpa kuduga, kau melesat pergi begitu saja. Entah karena apa. Aku ingin mengejarmu, tapi langkahku tercekat saat seekor harimau mengaum keras sekali. Aku tahu kau selalu didampingi seekor harimau yang lamat-lamat mencium keberadaanku. Dia menerjang saat aku lengah. Sekejap telah berhasil dia merobek dadaku dengan cakar emasnya. Aumannya seperti halilintar yang merobek udara. Menggelegar.

Aku tak tahu apa yang terjadi kemudian. Yang jelas, sempat aku bertemu ibuku. Beliau tersenyum beku dan dingin seperti batu, yang membuatku selalu dihantui rasa bersalah atas ketidakberdayaan. Rasa menyesal yang tak kunjung usai.

Mataku perlahan terbuka, samar kulihat bayanganmu di sampingku, mengusap luka di dadaku yang mulai mengering dengan tangan halusmu, wahai perempuan pemahat batu. Ketulusanmu seperti ketulusan ibuku.

Sesuatu yang tak pernah pernah kuduga. Kau seolah sangat ketakutan saat aku mulai sadarkan diri. Sosokmu yang penuh rahasia dan misteri tanpa sengaja memintaku untuk menelusuri. Aku memandangmu, tatapanmu redup. Tiba-tiba kau segera berlari ke arah laut, menyatu bersama ombak. Aku tak bisa lagi membedakan. Kau menghilang dari pandangan. Menghilang dalam arti yang nyata. Badai pun datang. Suara gemuruh di langit dan keretap kilat menyambar.

Untuk kedua kalinya hujan mengiringi kehilangan.

Setelah itu, aku tak pernah lagi menemukan sosokmu di antara mainan ombak dan pahatan batu yang belum sempat kauselesaikan.

Aku heran, juga terpesona, batu yang telah kaupahat itu menyemburkan buih-buih yang kadang membentuk rupa harimau, kadang rupa naga yang menganga.

Suatu hari (hanya) kutemukan beberapa kelupas kulit harimau, kulit-kulit kerang, dan lukuk lada di bawah pohon ketapang. Rupanya kau telah benar-benar menghilang, perempuan pemahat batu. Adakah kau telah terbang ke kayangan?

Padahal, telah lama aku mencari….

Suatu saat akan kucuri selendang bidadari yang sedang mandi di Telaga Suci. Mungkin kau ada di antara mereka.(*)

Kotaagung, 2008-2010

Catatan:
Lukuk lada: rumput laut berbentuk biji-biji lada.

MUHAMMAD AMIN, lahir di Kotaagung, 31 Juli 1990. Mulai menulis sejak 2008. Karya berupa cerpen dan puisi dimuat beberapa media. Kini tinggal di Bandar Lampung.

(cerpen ini kutulis waktu masih duduk di kelas XII SMA dengan judul “Perempuan yang Memahat Batu denan Tangannya”, mendapat juara Lomba Cerpen tingkat Nasional Festival Bulan Bahasa 2008 yang ditaja oleh Universitas Indonesia)

Barka

Siti Sa’adah
http://sastra-indonesia.com/

Jika hatimu pernah dipalu godam oleh seseorang, dengan beringas dan dia sama sekali tidak peduli kondisimu saat itu apakah kamu tidak akan merintih perih? Kemudian dengan susah payah kau lap air mata yang tak berkesudahan dan akhirnya lelah. Lelah merasa merana. Lantas hanya tekad yang mencuat: tidak akan ada lagi tentang lelaki itu dihidupmu.
***

Dia kembali setelah menebas habis segala rasa bahagia dihatiku. Menyeretnya dengan kasar kemudian menimbunnya ke dalam bumi masa lalu seperti mengubur bangkai anjing, menginjak-injak dengan jijik. Setelah puas dia enyah di pelabuhan harapan yang entah.

Kawan-kawanku menjelma ranting yang berusaha menjeratku kembali dengannya. Rupanya mereka menyayangkan kisah yang punah. Dan ingin menemaniku bermesrah lagi, tentu saja dengan lelaki itu. Lelaki yang membongkar percintaan yang lanjur dikremasi. Dia merajuk mengusung bangkai kemesrahan, gunungan sesal dan memintaku untuk menerimanya. Bagaimana jadinya, luangan yang tersisa sekarang hanyalah lorong tanpa namanya. Bagaimana pula aku kuat membawa gunungan yang jadi bara itu?! Tolong bawakan pecahan laut saja kawan-kawanku, biar luruh api ini.

Dia mematung bermaksud mengerami telur-telur penyesalannya, berharap aku akan menetaskan kemudian lebur aku membuka pelukan. Tubuhnya tidak sehangat dulu pasti. Aku yakin benar dia adalah gumpalan bara yang bisa menjadikanku arang. Tidak, aku tidak rela. Aku masih punya mimpi keindahan.

Kuharap mulutnya bungkam, namun terus saja dia meluberkan ratap setelah melumat hatiku. Sekarang dia menirukan tangisanku yang dulu saat dia pergi dan acuh kepadaku. Tangisku yang meraung perih seperti angsa hidup yang dicabuti bulu di sekujur badannya. Ahai, begitu rapuh lelaki ini.

Rupanya aku menikmati posisi dimintai.
Dia telah binasa oleh harapan mencari penggantiku. Dia kalah. Sungguh mati aku tidak peduli. Biarkan kuberanjak dari kubang tangisan.

“Kau seperti mengerat nyawaku, Nila.” Tatapannya mengunciku.
“Apakah kau ingin mati sekalian?” Aku menantang kekalutannya. Aku tidak boleh luluh.

“Katamu dulu jika kita mulai membenci, ingatlah saat berkasih.” Dia berusaha mengumpanku dengan masa lalu. Tatapan matanya menyiratkan keinginan untuk menguasaiku.

“Bukan mulai, tetapi benciku sudah mengerak Barka!” Kubanting kenyataan.

Sungguh jahanam. Dia menyodorkan rekam perkasihan dulu. Dimunculkannya slide-slide hangat dekapan, panas ciuman dan kobar percintaan. Semua itu terakit dan melingkar mengepungku.

“Sejak kapan kau tuli Barka!” Aku lelah dan malu mengenang itu semua.

“Pesonamu yang menulikanku.” Datar dan dingin, matanya seperti lubang yang memintaku merasuk kedalamnya. Hampa.

“Ha ha ha…” Hanya tawa getir yang keluar dari mulutku, selanjutnya menjelma ngungu.
***

Maghrib berteriak dari micropon mushola. Menyeret gelap kemudian menyelimuti kengerian yang serentak menikamku. Senja masih tersisa, saat dia berkabar hendak menjalin tali yang terberai. Hendak menggenggam hatiku yang telah laju.

Bukan untukmu lagi, tetapi mengapa kau menghantui? Wujudmu benar-benar hantu yang aku tak mau berjajar. Muak aku sudah. Enyah kau dari hidupku. Harapan kemarin sudah jadi remah dari bingkai kaca yang indah, kau yang lantakkan! Dan kini tanganmu hendak menggenggam untuk mengutuhkannya kembali? Kau mau bersamaku dengan cara terus mengejar dan menikam dengan luka masa lalu? Aku harus memakai bahasa apa untuk mengungkapkan aku sudah tidak mau. Mengertilah. Berapa kali kita mengecap nikmat bersama. Namun itu tidak menjamin keabadian benar nyata. Bukankah kita adalah dua kayu kering yang terus bergesek dan mampu membakar hutan kemarau yang terus kita tangisi: kapan hujan rahmat sanggup dirasa?
***

Sekarang, aku harus memaklumi ketuliannya atau harus rela buta kenyataan? Tidak, aku tidak buta kenyataan. Kenyataan bahwa aku telah disakit-kulitinya. Sakit yang mencacatkan perasaan. Sakit yang mengoyak kebahagiaanku. Aku tidak buta, tetapi aku tidak sanggup lagi untuk bertahan…

Bentengku retak.
Airmatanya terus menggerus. Menggenang dan membandang. Lantak.
Dipuncak petang yang disambut terang pagi, Barka mendatangiku lagi, tidak banyak cakap,
“Bukankah kelaminku masih tertinggal di rahimmu?!”

Kalimatnya menyambar ketegaranku. Menelikung lantas dengan kuat menghujam. Kemudian dia berlalu. Barka masih sempat melihat tubuhku yang kaku dan keringat dingin yang menyumber dari kulitku.
***

Dia datang untuk mengusik dan membangunkan kisah yang kulelapkan. Mengail perasaan yang telah kularungkan. Dia mengunciku didekapnya saat ini. Dan aku tidak berdaya. Bentengku retak. Airmatanya terus menggerus. Menggenang dan membandang. Lantak.

Sekarang aku belajar untuk mengikis ingatan dengan mengerami kelaminnya yang bersemayam di rahimku. Meski aku bisa menjalaninya, aku jelas tidak bisa menikmati penyiksaan semacam ini. Aku lebih keras dari kayu, membatu. Kuturuti semua kemauan Barka namun sungguh aku tidak terima. Hari-hari bersamanya saat ini adalah pengepulan dendam. Keinginan untuk membuatnya menangis, mengemis lagi kepadaku, bahkan kalau perlu dia harus bunuh diri karena menyerah. Tetapi aku yang kalah. Dia meninggalkan kelaminnya di rahimku. Sebagai wanita aku tak sanggup mengeluarkannya…

“Barka, tolonglah lepaskan aku dari hujam cengkerammu!” di tengah payah aku meradang. “Bukankah kau dulu telah mantap untuk meninggalkanku. Biarkan aku pergi…”

Sebenarnya aku ingin meraung dan berteriak keras, tetapi tenggorokanku seperti digorok. Suaraku tercekat. “Ada penantian untukku diluar sana Barka… tolong lepaskan aku kesana…” Suaraku seperti igauan saja. Pelan dan tertelan.

Tidak kusangka, mendengar kalimatku yang terakhir dia terhenyak. Amarahnya terlibas. Darah mengumpul diwajahnya yang kasar. Dia mencengkeram bahuku, begitu kencang sampai aku tidak bisa bergerak. Aku tidak takut, kemarahannya justru menantangku.

“Ada apa Barka? Kau ingin tahu siapa lelaki yang membawa hatiku saat ini?!” dengan suara parau kupancing dia. Mulutnya tidak bergerak, hanya tatapannya yang menghujamku. Penuh amarah dan api cemburu.

“Madun, Barka.” Kusebut nama lelaki yang kerap menyita waktuku selama Barka pergi.

“Tidak mungkin! Bagaimana bisa?! Gila!” Barka menceracau. Diguncang-guncangkannya bahuku.

“Kau tidak terima?” Barka tidak menyahuti. Pelan cengkeramannya merenggang, kemudian kedua tangannya lemas terjatuh. Ini adalah kesempatan berharga bagiku untuk melumpuhkannya lagi.

“Dia yang mempertemukan kita. Membuat kita lebih dekat. Saat dia abai kau memaksaku melekat dalam dekapmu! Dan kau menghujamkan kelamin bangsatmu itu Barka! Laknat kau Barka!” Tangisku pecah mengingat guncangan kenyataan yang pernah menderaku. Kenyataan yang kukutuki sebagai pintu kemudahan untuk kerap menyesap kenikmatan yang sebenarnya amat suram. Slide-slide hangat dekapan, panas ciuman dan kobar percintaan. Semua itu terakit dan melingkar mengepungku. Berselang-seling antara Barka dan Madun.

“Bagaimanapun juga kita telah sama-sama takluk Nila.” Suaranya datar.

“Kebangsatanmu telah memangkas semua harapanku. Aku jatuh tak berani menapaki waktu dan kau dengan segala bujuk menggamitku yang kosong…” Sebenarnya aku tidak sanggup mengurai kenangan kelam. Tapi ini adalah peradilan bagiku.

“Kita sama-sama menikmati.”

“Jangan lancang kau berucap seperti itu Barka! Kau menyeretku! Kau telah membunuhku!” Aku tidak bisa menerima kelitnya. Meskipun aku berusaha menambal nganga magma dengan keberadaan Madun.

“Semua orang tahu, kau telah menyimpan kelaminku. Mau apalagi?! Marilah kita kembali bersenang-senang.”

Kurang ajar! Keberaniannya bangkit.
***

Kuseret kisahku pergi. Aku ingin mendinginkan segala bara luka. Kenyataan yang tidak ramah dan membuatku lunyah. Dosa yang kugulung terhampar lagi. Terdedah bergelimang resah. Aku tidak sanggup menamati sekedar untuk berguling di atasnya. Sesekali tubuhku hendak tertarik kedalam gulungannya, tetapi jalan lurus yang masih remang menyangkal keabadian dosa. Titik putih dalam hitam masa lalu berpendar, meski kawan-kawanku belum bisa melihatnya. Agh… mengapa harapan kugantungkan kepada mereka? Bukankah aku bisa mencari jalanku sendiri, melepas gelimang lalai.

Kuputuskan tidak untuk Barka, juga Madun. Atau lelaki lain yang hanya bisa menyesap atau bergelayut memanja. Kulenyapkan Barka yang tidak berdaya dengan cara yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.

“Bagaimana kau sanggup mengalahkannya Nila?!” di senja yang dibalut rinai hujan, Madun bertanya kepadaku.

“Kau ingin tahu Madun?” Aku mencoba untuk menegaskan.
“Tentu saja.”

Kubiarkan beberapa waktu pertanyaannya tidak kujawab. Dia nampak begitu penasaran. Dia mendekat dan hendak menyesap, namun aku lebih sigap memalingkan muka.

“Kau benar-benar ingin tahu Madun?” Kuulangi pertanyaanku dengan tetap menjaga jarak.
“Tetapi jika tidak kau beritahu pun tidak menjadi bebanku.” Rupanya dia menyerah. Pasti dia heran dengan penolakanku atas hasratnya untuk menyesapku baru saja.

“Kelaminnya mati tanpa daya. Kusumpal jalan rahimku. Aliran kehidupan untuk kelaminnya yang seharusnya membesar di rahimku, putus.”

Madun diam. Menyadari keberadaannya yang terguncang. Tetapi kulihat dia berusaha menenangkan diri.

“Lupakan Barka. Mari merentas jalan bersamaku.”
“Ha ha ha… Mengapa kau tidak menyadari sekaratmu Madun?!” Kutantang matanya.

“Apa maksudmu?” Mimik mukanya tampak bingung.

“Tidak ada jalan lagi ke rahimku. untuk Barka, juga kau Madun. Atau lelaki lain yang hanya bisa menyesap atau bergelayut memanja.” Ku hirup nafas dalam-dalam, kupejamkan mata,
“Bahkan untuk nafsuku sendiri.”

Madun layu, kejantanan yang sering dipamerkannya dihadapanku luluh. Sejak saat itu dia pergi. Ku melesat kepada titik putih yang berpendar, meski sulit ku mencari. Meski payah tak lelah mengikuti bersamaan kelamin yang terus membusuk di dalam rahimku.
***

*) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati