Jumat, 29 Oktober 2010

Senyum Menyibab Ilalang

Teguh Winarsho AS
http://www.infoanda.com/Republika

Senja yang indah telah lama lewat disusul gelap merayap. Gelap yang selalu mengingatkanku pada seseorang yang pergi diam-diam kala gerimis turun pada suatu malam. Gerimis yang menyerupai jarum-jarum tajam berdenting di atas genting bagai petikan gitar seorang musafir di hamparan padang luas menyuguhkan kesunyian dan kekosongan. Membuat perasaanku cabik, ngilu dan perih, seperti ada luka lama yang kembali menganga, menjemput resah segenap kenangan.

Ketika malam bergetar di tangan anak-anak pulang mengaji. Membawa obor. Mendekap kitab suci. Berceloteh riang sembari sesekali mencuri pandang di antara semak ilalang, pohon-pohon tua dan temaram cahaya bulan. Tapi, ah, betapa cepat semua itu berlalu. Betapa cepat waktu melesat. Membuat hidup menjadi terasa singkat seperti laju pesawat.

Dan malam itu, mungkin empat tahun berlalu, untuk kesekian kalinya aku mimpi bertemu seorang gadis cantik yang senang menyembunyikan senyum di balik jilbab putihnya. Berjalan malu-malu menyibak rumput ilalang seperti menahan banyak keinginan dan harapan. Betapa sudah lama aku mendambakan dirinya menjadi pendamping hidupku, membangun keluarga sakinah, melahirkan anak-anak shaleh-shalehah. Aku kemudian kerap mengingau, memanggil-manggil namanya, meski saat terjaga yang kutemui hanya kesunyian belaka. Tanganku menggapai-gapai ruang hampa. Sementara tubuhku seolah terhempas jauh ke angkasa.

Lalu, aku termenung sendiri membuka jendela menyaksikan malam: bintang, bulan dan angin yang bisu. Dan begitulah, malam kembali mengalirkan kesunyian panjang seperti lorong penjara bawah tanah. Membuat diriku perlahan-lahan hanyut dalam keasingan purba yang terasa kian jauh tak terjamah. Sejauh mata memandang hanya kegelapan dan kesunyian. Hingga dunia di mataku mendadak menjadi hitam, pekat, seperti malam yang tua dan rapuh.

Ya, di kamar itu, aku selalu dicekam mimpi-mimpi menakutkan pada seorang gadis yang sangat kudamba. Seorang gadis yang diam-diam pergi pada suatu malam menorehkan kesedihan. Terlalu banyak kesedihan di hatiku hingga aku tidak yakin apakah kesedihan perlu dinamai?

Dan, malam itu, entah untuk ke berapa kalinya, aku kembali mimpi bertemu gadis cantik itu. Ia, gadis cantik yang senang menyembunyikan senyum di balik jilbab putihnya. Berjalan malu-malu mendekap kitab suci, seperti mendekap rindu dalam hati. Tapi, ah, ia terasa begitu jauh untuk bisa kurengkuh.

"Fatimah, untuk apa kamu mesti pergi ke Jakarta?"
"Tante Uli yang menyuruhku. Katanya ada pekerjaan buatku."
"Masih belum cukupkah setiap pagi dan sore kamu mengajar anak-anak
mengaji di surau dan madrasah?"
"Aku ingin bekerja. Aku ingin tahu Jakarta."
"Tapi bagaimana dengan anak-anak? Siapa nanti yang akan mengajar mereka mengaji?"
"Aku sudah janji sama Tante Uli. Aku harus berangkat ke Jakarta. Aku tak mungkin membatalkan rencana ini."
"Apakah kamu juga tega meninggalkan diriku?"
"Aku akan selalu menulis surat untukmu."
"Surat?"
"Ya. Aku akan selalu mengabarimu. Kamu tidak perlu mencemaskan diriku. Aku akan baik-baik saja."
"Aku tidak terlalu mencemaskan dirimu. Aku cemas dengan anak-anak yang
mengaji di surau dan madrasah? Kamu tega meninggalkan mereka?"
"Suatu saat aku akan kembali untuk mereka."
"Kapan?"
"Entahlah."

Ya, ya, sejak itu hampir setiap malam aku selalu mimpi bertemu gadis cantik itu. Seorang gadis cantik bersahaja yang senang menyembunyikan senyum di balik jilbab putihnya. Apalagi ketika hari-hari terus berlalu dan berlalu menyuguhkan rentetan kesunyian di hadapanku. Aku kembali seperti memasuki lorong panjang dan kelam. Di sana aku mencium keasingan demi keasingan. Membuat aku merasa takut setiap kali malam datang. Malam yang selalu melemparkanku pada kenangan masa silam tak berkesudahan. "Kami tidak mau mengaji lagi kalau bukan ibu guru Fatimah yang mengajar!" "Ya. Kami hanya mau dengan ibu guru Fatimah?"

"Kenapa?"
"Pak guru tak sepandai ibu guru Fatimah."
"Tapi bukankah ibu guru Fatimah ada di Jakarta?"
"Makanya, kami tak mau mengaji lagi."
"Jangan begitu, mau jadi apa kalian nanti?"
"Ah, masa bodoh! Kami hanya mau diajar ibu guru Fatimah."
"Kapan lagi kalian belajar mengaji kalau tidak sekarang?"
"Tapi kami ingin ibu guru fatimah yang mengajar. Bukan pak guru!"
"Besok ibu guru Fatimah akan datang ke sini. Sekarang kita belajar mengaji lagi. Ayo!"
"Bohong! Kemarin pak guru juga bilang begitu, tapi ternyata bu guru Fatimah tidak datang. Pak guru bohong!"

Kepalaku tiba-tiba berdengung dan berputar seperti ada baling-baling kipas angin yang perlahan-lahan tumbuh. Tubuhku kemudian terhempas pada sebuah ketinggian. Melayang-layang mengarungi kekelaman malam. Bumi semakin jauh kutinggalkan. Jauh sekali.

Dan, begitulah, surau dan madrasah sepi. Anak-anak mengaji di depan layar televisi. Menghitung iklan dan lagu. Menghafal sinetron dan film yang tak bosan-bosan menawarkan kemewahan semu. Juga kekerasaan dan kebohongan. Ya, ya, kemewahan semu dan kekerasan telah menjadi serentet narasi yang tak rampung-rampung dibacakan. Terus direkam dan tumbuh berbiak subur di kepala anak-anak, seperti jamur di musim hujan.

Empat tahun berlalu. Kini aku termangu di beranda surau. Menatap malam yang kian pekat, tua dan rapuh. Di langit kulihat sebuah bintang melayang tenang, cahayanya berkerlip sebentar. Saat itulah hatiku terbetik memanggil nama seseorang. Tapi sepi. Bahkan desah angin pun tak terdengar. Lalu, kuputuskan pulang.

Keesokan hari aku kembali ke surau. Ada banyak kenangan yang luruh di sana. Tentang suara anak-anak mengaji, senja, dan seraut wajah di balik ilalang. Ya, ya, kini aku telah duduk di beranda surau menunggu senja yang sebentar lagi bakal turun mengepakkan sayap keemasannya sambil membayangkan seorang gadis cantik yang senang menyembunyikan senyum di balik kerudung putihnya, ketika tiba-tiba di hadapanku benar-benar berdiri seorang gadis cantik mengenakan kaos dan celana jeans ketat. Rambutnya dibiarkan terurai panjang, sebagian dicat merah. Mungkin aku lupa. Tapi, ah, tidak. Tidak! Senyum gadis itu masih bisa sedikit kuingat.

"Kapan kamu pulang, Fatimah?"
"Kemarin. Dua hari yang lalu."
"Syukurlah. Bagaimana kabarmu?"
"Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja." Ada senyum tipis merekah di bibir Fatimah yang merah. Tapi tiba-tiba aku seperti berhadapan dengan orang asing.
"Kudengar sekarang sudah tak ada lagi anak-anak yang mengaji di surau dan madrasah. Kenapa?"
"Sejak kamu ke Jakarta, mereka tak mau mengaji lagi."
"Tapi bukankah kamu bisa mengajar mereka?"
"Anak-anak hanya ingin kamu yang mengajar. Mereka sangat mencintaimu, Fatimah."
"Aduh, sayang sekali. Aku hanya punya waktu beberapa hari di sini. Lusa aku harus kembali ke Jakarta. Aku tak mungkin meninggalkan pekerjaanku. Oya, ini ada oleh-oleh buatmu, sarung, kopiah dan sajadah. Terimalah."
"Terimakasih, Fatimah. Berikan saja pada orang lain. Mungkin ada yang lebih membutuhkan...."
"Kalau begitu aku pulang dulu. Hari sudah mulai gelap. Bapak dan Ibu tentu cemas menungguku."
"Kapan kamu akan kembali dan menetap di kampung ini lagi, Fatimah?" "Entahlah."

Senja benar-benar telah turun bersama cahaya keemasan. Sebentar lagi malam akan tiba. Malam yang selalu menorehkan kesedihan dan keperihan. Membuat aku selalu merasa gamang dan asing. Hingga kadang aku sering tidak yakin dengan apa yang kujalani. Termasuk pertemuan dengan Fatimah barusan. Apakah semua itu masih mimpi? Tapi, ah, tidak. Tidak! Kali ini aku tidak sedang tidur dan mimpi. Samar-samar aku masih dapat melihat kelebat bayangan punggung Fatimah berjalan tergesa-gesa kian menjauh. Menjauh. Dan, hilang di tikungan jalan.

Aku ingin mengejar Fatimah. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padanya. Tapi sayang, sebentar lagi waktu maghrib tiba. Aku harus mengumandangkan adzan. Aku berharap Fatimah datang ke surau, setidaknya kali ini saja.

Depok, 2005

VISI DAN MISI KESUSASTRAAN INDONESIA MEMASUKI ABAD XXI*

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Pembicaraan mengenai visi dan misi kesusastraan Indonesia, tentu saja kaitannya menyangkut prospek kesusastraan kita dan tugas yang diembannya di masa mendatang. Bagaimanakah kehidupan kesusastraan Indonesia abad ke-21? Apakah ia kembali akan terperangkap pada isu-isu kontemporer atau klise? Apakah persoalannya berskala lokal, regional atau global? Masihkah kesusastraan Indonesia berkutat, berjalan di tempat atau mengalami lompatan yang mengagumkan?

Meski diakui, masih banyak pihak yang pesimis menatap masa depan kesusastraan Indonesia. Tidak sedikit keluh-kesah dilontarkan yang memasalahkan keterpencilan kesusastraan Indonesia; kurangnya apresiasi para siswa terhadap khazanah sastra kita; dan gugatan terhadap mandulnya kritik sastra. Lalu, bagaimana pula kita menyikapinya?

Dalam konteks mengedepankan visi dan misi kesusastraan Indonesia memasuki abad ke-21, perlu kiranya kita mengevaluasi berbagai problem yang selama ini melanda kesusastraan Indonesia. Dengan cara demikian, kita mencoba melakukan semacam langkah-langkah antisipatif atas berbagai persoalan yang mungkin timbul di masa yang akan datang. Sebagai sebuah visi, ia mengandung perspektif tertentu, pandangan tertentu yang jauh ke depan. Dengan perspektif ini, maka problem kekinian perlu menjadi acuan. Ia juga menjadi semacam tempat berpijak untuk menengok ke belakang dan sekaligus juga sebagai titik berangkat menuju masa depan yang lebih cerah atau mungkin lebih suram. Dalam hal itulah, wacana visi kesusastraan Indonesia perlu ditempatkan.

Lalu bagaimana pula dengan misi yang diembannya? Ia niscaya menyangkut peran yang dimainkan untuk menanamkan sekaligus mencapai sesuatu yang diharapkan. Sangat mungkin ia menyuarakan kegelisahan kolektif atas berbagai persoalan sosio-kultural yang terjadi dewasa ini. Dengan demikian, problem kultural yang dihadapi bangsa ini menjadi sangat signifikan dalam wadah sastra. Dalam hal inilah, peranan sastra sebagai salah satu agen kebudayaan menjadi cukup strategis.

Beberapa Masalah

Sebelum kita memasuki pembicaraan visi dan misi kesusastraan Indonesia menjelang abad ke-21, ada baiknya kita coba mengidentifikasi berbagai persoalan yang terjadi dalam rumah tangga sastra Indonesia. Salah satu persoalan yang mendesak yang perlu penanganan menyangkut pelurusan sejarah sastra Indonesia; benarkah kesusastraan Indonesia modern lahir seputar berdirinya Balai Pustaka? Berikutnya berkaitan dengan sistem sastra yang melingkupi kehidupan sastra Indonesia sendiri.1 Dalam hal ini, pembicaraannya meliputi lingkaran budaya sastrawan, penerbit dan media massa sebagai lembaga yang melakukan reproduksi karya sastra, pelajaran sastra di sekolah sebagai ujung tombak pembudayaan apresiasi sastra bagi para siswa, dan yang terakhir menyangkut kritik sastra sebagai salah satu sarana penyehatan dan dinamisator kehidupan kesusastraan.

Melalui pembicaraan sejumlah persoalan tersebut, maka diharapkan, bakal ter-ungkap langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menghadapi abad ke-21, agar kesusastraan Indonesia tidak mengalami nasib yang sama sebagaimana yang terjadi beberapa waktu yang lalu.

Persoalan Sejarah Sastra Indonesia

Sejak kelahirannya sampai ke awal perkembangannya kemudian, kesusastraan Indonesia tidak lain dari kesusastraan etnik yang menggunakan bahasa Melayu sebagai mediumnya. Sebelum Balai Pustaka berdiri, surat-surat kabar seperti Bromartani (Soerakarta, 1855), Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (1856), Serat Chabar Betawie (Betawi, 1858), Selompret Malajoe (Batavia, 1860), Bintang Soerabaja (Soerabaja, 1860), Bientang Timoor (Soerabaja, 1865), Djoeroe Martani (Soerakarta, 1864), Bianglala (Batavia, 1867), Bintang Djohar (Betawi, 1873), Retno Dhoemilah (Jogjakarta, 1895) tidak jarang memuat sejumlah syair, pantun, sinom, feuilleton (cerita bersambung) atau cerpen.2

Berdirinya Balai Pustaka yang sesungguhnya dilatarbelakangi persoalan politis, dan bukan kultural, secara sistematik berusaha menafikan keberadaan sastra yang dimuat di majalah dan surat-surat kabar yang terbit waktu itu. Kemudian, Balai Pustaka mene-tapkan secara ketat kriteria atas karya-karya yang akan diterbitkan lembaga itu. Salah satunya adalah dengan memberlakukan bahasa Melayu yang sesuai dengan ejaan Van Ophuijsen. Akibatnya, unsur etnik lain, terutama unsur-unsur bahasa daerah non-Melayu, dibersihkan. Bahwa Balai Pustaka lebih gencar menerbitkan novel-novel yang berbahasa Melayu, pertimbangannya semata-mata lantaran bahasa Melayu sudah dikenal secara luas. Tetapi, tema-tema yang diangkatnya pada hakikatnya merupakan persoalan etnik, terutama Minangkabau.3

Akibat kebijaksanaan Balai Pustaka dalam memilih bahasa Melayu dan menerapkannya secara ketat, maka pemakaian bahasa Melayu dalam sastra Balai Pustaka sebelum perang sangat berbeda dengan karya-karya sastra yang diterbitkan penerbit swasta di luar Balai Pustaka. Tetapi apakah dengan demikian, dengan serta-merta pula kita lalu menye-but karya sastra di luar Balai Pustaka sebagai bukan karya sastra Indonesia? Jika Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial menafikan keberadaannya, pertimbangannya semata-mata lantaran faktor politis. Lalu, mengapa pula dalam banyak buku sejarah sastra Indo-nesia keberadaan sastra di luar Balai Pustaka, ikut-ikutan ditenggelamkan? Apakah kita menyetujui cara pandang kolonial (Nederlando centris) yang seperti itu?

Jika demikian, lahirnya sastra Indonesia yang menurut Ajip Rosidi sekitar tahun 1920,4 kiranya patut dipertanyakan kembali. Hal yang sama juga berlaku pada pendapat A. Teeuw,5 yang juga menunjuk angka tahun 1920 sebagai awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Catatan perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia selepas Balai Pustaka, cenderung berdasarkan sudut pandang yang seperti itu. Karya-karya yang diterbitkan di luar Balai Pustaka –kecuali karya-karya Hamka, Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Kabah,6 dan karya Armijn Pane, Belenggu,7 dan karya yang tidak diterbitkan sebagai buku, tetapi dimuat di suratkabar dan majalah, ditenggelamkan begitu saja. Pola ini pula yang terjadi dalam catatan sejarah sastra Indonesia selepas perang.

Sesungguhnya begitu banyak persoalan yang terjadi dalam pencatatan sejarah kesusastraan Indonesia. Ada banyak sastrawan yang ditenggelamkan atau dilalaikan, sehingga namanya –apalagi karyanya, ikut terkubur. Inilah tugas besar yang harus segera diselesaikan tuntas, agar tidak terjadi penyesatan, penggelapan, dan penghilangan fakta-fakta historis.

Sastrawan dan Intelektualisme

Sejak kelahirannya, sastra Indonesia adalah sastra elitis. Ia ditulis dan dibaca oleh kaum terpelajar dan golongan intelektual. Sementara mereka yang sekadar dapat membaca dan menulis, terpaksa meminggirkan diri dan tidak mempunyai kesempatan untuk menikmati karya sastra. Budi Darma menyatakan bahwa sastrawan Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan Angkatan 45 … tidak lain adalah cendekiawan-cendekiawan muda yang benar-benar haus ilmu. Mereka juga sangat menyadari pentingnya sastra. Di dalam diri mereka, ada kesadaran terhadap kebutuhan tradisi pemikiran, kecedekiawanan, dan ilmu. Lepas dari berbagai kesulitan yang harus mereka hadapi pada waktu itu, mereka cukup mempu-nyai waktu untuk bulat-bulat mengabdikan diri mereka pada sastra dan ilmu.8

Memasuki tahun 1950-an, ketika pendidikan terbuka lebar bagi semua lapisan masyarakat, makna golongan terpelajar dan kaum cendekiawan ini sebatas bagi sebagian golongan masyarakat menengah dan golongan atas, dan tidak termasuk golongan masya-rakat menengah bawah, meskipun mereka pandai baca-tulis. Kondisi ini lalu seolah-olah memperoleh pembenaran ketika harga buku sastra relatif mahal. Inilah salah satu kendala bagi golongan masyarakat menengah bawah tidak dapat (atau tidak mau) menikmati karya sastra. Mereka harus berhitung dahulu antara kebutuhan dapur dan keinginan membeli buku-buku sastra. Belakangan, kondisi demikian itu dimanfaatkan oleh sejumlah penerbit yang menjual buku terbitannya dengan harga murah. Dengan format buku yang tidak menarik, sangat sederhana, kertas dan cetakannya dengan kualitas rendah memungkinkan buku seperti itu dapat dijual murah. Buku-buku yang seperti itulah yang kemudian kita kenal sebagai roman picisan.9

Pada tahun 1950-an itu, buku-buku jenis ini banyak diterbitkan di Medan, meskipun sebelum perang, Surabaya dan Semarang, juga banyak menerbitkan buku sejenis itu. Para pengarangnya, umumnya cenderung mengandalkan bakat alam. Tidak ada usaha memasukkan segi intelektualitas dalam karya-karya seperti itu. Sesungguhnya, tidak sedikit pula sastrawan pada dekade itu yang juga cenderung mengandalkan bakal alam. Inilah sebabnya, Subagio Sastrowardojo10 menulis sebuah artikel berjudul “Bakal Alam dan Intelektualisme.” Menurutnya, sastrawan yang mengandalkan diri pada bakal alam saja ternyata tenggelam dalam kelupaan karena habisnya daya untuk memberikan kepada dunia intelektualitas pemikiran yang matang tentang dunia dan kehidupan.11

Kecenderungan yang terjadi dasawarsa tahun 1950-an itu, kini banyak pula kita jumpai pada karya sastrawan dekade 1990-an ini. Bahkan dari sastrawan Angkatan 66 pun, tidak sedikit yang sekadar mengandalkan bakal alam. Akibatnya, banyak yang kehabisan daya dan kreativitasnya mandek.

Memasuki abad ke-21 ini, Indonesia akan menjadi salah sebuah desa dunia. Arus globalisasi memutuskan sekat-sekat geografis. Di tingkat Asia Tenggara saja, sudah terjalin hubungan mesra para sastrawan antar-anggota ASEAN, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Mastera (Majlis Sastera Asia Tenggara).12 Dengan demikian, tuntutan intelektualitas bagi sastrawan Indonesia mendatang merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Tanpa usaha untuk mengembangkan intelektualitasnya, niscaya mereka tinggal menunggu saatnya saja terkubur. Sebaliknya, jika masih punya keinginan untuk berkiprah dalam tiga atau empat dasawarsa mendatang, mereka harus terus meluaskan wawasannya. Ia harus menjadi seorang cendekiawan yang mumpuni. Inilah visi yang mesti disadari benar oleh sastrawan kita.

Lalu dengan tingkat intelektualitas yang mumpuni, ia tinggal mengemas misi yang diembannya ke dalam karya sastra yang khas mengungkapkan masalah etnis atau masalah di sekitarnya, tetapi juga berdimensi universal mengingat ia juga hakikatnya mengangkat problem manusia dan kemanusiaan. Berbagai kerusuhan dan ketidakpuasan yang terjadi di pelosok tanah air ini sesungguhnya merupakan lahan subur untuk menjadi sebuah karya yang khas dan universal. Belum lagi yang menyangkut legenda atau tradisi sastra daerah yang tidak terhitung banyaknya. Jadi, bagi sastrawan kita, lahan garapannya masih terbuka seluas-luasnya. Tinggal apakah ia cukup piawai untuk mengolahnya menjadi sebuah karya monumental.

Peranan Media Massa

Bertebarannya majalah dan surat-surat kabar lokal dan nasional, sungguh merupakan wadah yang niscaya memberi kontribusi berarti bagi perkembangan kesusastraan Indonesia. Diberlakukannya otonomi daerah dan adanya kesadaran untuk tidak lagi sentralistik dalam sistem pemerintahan kita, jelas memberi peluang yang sangat lebar bagi pemberdayaan potensi di berbagai daerah. Kiblat sastra Indonesia yang semula sangat ditentukan Jakarta, dalam abad ke-21 itu tidak lagi demikian.13

Majalah Horison yang sejak awal penerbitannya merupakan salah satu majalah yang berwibawa di kalangan sastrawan, kini kondisinya tidak lagi demikian. Karya-karya sastra yang diterbitkan dalam surat-surat kabar minggu, nyatanya kualitasnya tidak berada di bawah karya-karya yang diterbitkan majalah Horison. Dengan begitu, media massa apa pun dan diterbitkan di kota mana pun, tidaklah menjadi halangan bagi penampungan kreativitas sastrawan-sastrawan kita.

Demikianlah, peranan media massa (surat kabar dan majalah) dan penerbit-penerbit yang berada di berbagai daerah, akan sangat menentukan maju-mundurkan kesusastraan Indonesia pada abad ke-21 ini. Mengingat sastra sebagai bagian dari kebudayaan, maka sudah saatnya sastra sekarang ini memperoleh ruang yang lebih luas sebagai salah satu usaha membangun kebudayaan bangsa yang sudah morat-marit ini. Sastra diharapkan dapat memberi penyadaran dan pencerahan, betapa penting dan bernilainya penghargaan manusia atas manusia dan pembelaan terhadap kemanusiaan, agar manusia itu sendiri dapat menjadi lebih beradab dan manusiawi. Inilah salah satu misi yang diemban sastra Indonesia di masa mendatang.

Pelajaran Sastra di Sekolah

Keluhan atas rendahnya apresiasi sastra para siswa, tentu saja kesalahannya tidak dapat ditimpukkan kepada para guru sastra di sekolah. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya “kesemrawutan” pola pengajaran sastra di sekolah. Salah satunya adalah pola pengajaran yang cenderung bersifat hapalan, dan bukan apresiatif. Para siswa disodorkan begitu banyak konsep, nama pengarang, dan judul buku. Tetapi hanya sesekali saja siswa diwajibkan membaca langsung karya sastranya. Akibatnya, pelajaran sastra nyaris sama dengan pelajaran ilmu sosial lainnya.14

Sudah kondisinya demikian, pelajaran sastra lebih merupakan “pelengkap” pelajaran bahasa Indonesia. Ia menjadi semacam tempelan. Keadaannya makin parah lantaran materi yang harus diberikan guru kepada para siswa begitu banyaknya. Ada pengetahuan mengenai sastra lama, majas dan gaya bahasa, sampai ke sejarah sastra Indonesia yang dimulai dari zaman Balai Pustaka sampai Angkatan 66.

Terlalu banyak beban materi dan cenderung diberikan sebagai hapalan merupakan salah satu faktor tidak efektifnya pelajaran sastra di sekolah. Sangat wajar jika sastrawan pasca-Angkatan 66, sama sekali tidak dikenal para guru, apalagi oleh para siswanya.

Apa yang dilakukan Taufiq Ismail, dkk. (Majalah Horison bekerja sama dengan Pusat Pengembangan Penataran Guru Bahasa) yang menyelenggarakan Pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra untuk guru-guru SMU se-Indonesia,15 merupakan salah satu cara untuk mengubah paradigma pengajaran sastra di sekolah (SMU). Diha-rapkan, pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMU dapat dilakukan para guru tanpa harus terbebani oleh sederet konsep dan bentuk hapalan lainnya.

Kritik Sastra

Adanya sejumlah kritik atas mandulnya fakultas sastra dalam melahirkan kritikus sebagaimana yang pernah dilakukan H.B. Jassin dan Aliran Rawamangun (M.S. Hutagalung, Lukman Ali, M. Saleh Saad, dan S. Effendi), sesungguhnya tidak cukup beralasan, meskipun ada juga benarnya. Skripsi-skripsi dan sejumlah tugas karya ilmiah mahasiswa yang menelaah karya sastra, di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (dulu: Fakultas Sastra UI, FSUI), sesungguhnya sudah menjadi bagian integral dari kewajiban mahasiswa. Ia menjadi salah satu syarat kelulusan mahasiswa bersangkutan dalam mata-mata kuliah tertentu.

Demikian juga, tesis (S-2), disertasi (S-3), dan penelitian-penelitian lainnya untuk bidang sastra, sudah sejak lama menjadi tradisi. Belum lagi adanya berbagai kegiatan seminar dan diskusi, tidak lain merupakan pengejawantahan dan implementasi kritik sastra. Bahwa publikasinya sangat kurang, persoalannya bukan terletak pada dugaan mandulnya kritik sastra (akademis), melainkan pada lembaga-lembaga penerbitan itu sendiri.

Meskipun demikian, kurangnya kerja sama antara kritikus dan sastrawan serta masyarakat peminat sastra lainnya, telah disadari sebagai salah satu penyebab adanya anggapan bahwa fakultas sastra cenderung eksklusif. Citra itu tentu saja kurang sehat. Oleh karena itu, citra ekskulsif demikian itu harus segera diubah. Dalam konteks inilah, FIB-UI khususnya, akan mendirikan sebuah laboratorium seni dan budaya yang membuka peluang bagi seniman –termasuk sastrawan– dalam dan luar negeri, lokal dan nasional, untuk mengadakan kegiatan atau pementasan di FIB-UI. Dengan langkah itu, diharapkan FIB-UI dapat menjadi salah satu pusat kegiatan seni dan budaya di kawasan Asia Tengga-ra, atau setidak-tidaknya di Indonesia. Inilah visi yang hendak dijalankan FIB-UI. Lalu apa pula misinya? Tentunya sebagai usaha mengangkat kesenian dan kebudayaan Indonesia lebih bermartabat di mata dunia.

Penutup

Demikianlah gambaran ringkas mengenai visi dan misi sastra Indonesia menjelang peralihan abad ini. Tujuan idealnya tentu saja menempatkan profesi kesastrawanan dan peran yang dimainkan sastra secara proporsional. Demikianlah!

Catatan Temu Sastra MPU V Siasat Sastra di Pusar Arus Global

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Sejalan de­ngan Maria Vargas Llosa, penulis kelahiran Peru yang menggondol Hadiah Nobel Sastra 2010, bagaimanapun, sastrawan membutuhkan kiat khusus untuk karyanya di tengah arus global.

Eksplorasi mulai dari tema adat istiadat, fenomena “keluarga” hingga teknik bercerita yang unik, sangat dibutuhkan. Selain itu, kendati sudah merancang teknik canggih, dari berbahasa, struktur hingga alur sekali pun, karya sastra tetap membutuhkan energi sosio-politik lokal.

Hal itu dinyatakan seorang peserta dalam seminar bertajuk “Lokal Global dalam Sastra Indonesia” di Taman Budaya Lampung, Sabtu (2/10) yang diamini salah satu pembicara, Triyanto Triwikromo yang juga dikenal sebagai editor sastra sebuah harian umum di Kota Semarang.

Dia melontarkan bahwa pembicaraan soal lokalitas dan globalitas karya sastra yang tak pelak menyinggung juga persoalan batas kebudayaan. Bila dulu, papar Triyanto, kita memahami kelokalitasan dan keglobalitasan adalah entitas yang beku, tak bergerak, statis maka kini identitas tak pernah mandek.

Triyanto kemudian mengatakan bahwa tak ada ruang, sekali pun dengan gagah disebut lokal yang steril dari pengaruh ruang-ruang lain. Ruang lain, menyusup sedemikian deras ke dalam kelokalan sebuah teks sastra, misalnya karena pengaruh globalisme, tumbuh seperti sebuah virus yang tak terbendung.

Triyanto mencontohkan dialektika lokal-global pada sebuah karya sastra terbaru, yang dicontohkannya ada pada karya Arundhati Roy “The God of Small Things”. Arundhati, ujar Triyanto, mampu menyiasati berkah sekaligus ancaman globalitas. Jhumpa Lahiri menurut Triyanto hidup di dua dunia namun tak serta-merta larut di jantung sastra global, malah memunculkan kisah imigran, menggarap dunia batas lokal dan global, lalu berhasil.

Jose Ortega, disitir oleh Anton Kurnia dan Triyanto, pernah mengatakan sastra Amerika Latin adalah respons imajinatif terhadap segala pandangan dunia, aturan norma dan tata sosial yang datang dari barat.

Hal yang sama, ketika di antara para novelis Amerika Latin, sebut saja penulis Chili Luis Sepulveda yang mengungkapkan “The Old Man Who Read Love Stories” dalam novel yang tipis, realis dan terang-benderang, Gabriel Garcia Marquez penulis asal Kolombia malah mengungkapkan dengan bahasa yang puitik dan berpanjang-panjang. Namun, di tengah orang-orang di Kota Mokondo yang mau menukarkan hasil kekayaan alamnya dengan kaca pembesar para Gipsi Marquez sesungguhnya tak hanya membawa metafora bahasa saja. Energi Marquez adalah energi kolektif dari sejarah sosial-politik bangsa-bangsa Amerika Latin.

Energi Sosial

Pertanyaannya, bagaimanakah perkembangan sastra Indonesia selepas zaman dan masa Amir Hamzah, Marah Rusli, lalu pencarian modernitas Sutan Takdir Alisjahbana hingga Idrus dan Chairil Anwar, memasuki masa global, di mana penulis sastra Indonesia tak mungkin lagi berada dalam kondisi membebaskan begitu saja karyanya ke arah global karena perkembangan ke globalan justru akan kembali mempertanyakan identitas lokalitas. Tak bisa dipungkiri, risiko globalitas akan mengarah pada bahaya lain, keseragaman dan totalitarian.

Bagaimanapun, keunikan karya Pramoedya Ananta Toer yang tak lekang di sejarah, kendati diklaim mengusung paham terbaru dari realisme sosial ataupun humanisme, misalnya, telah ikut membawa kisah lokal di Arok-Dedes, juga kosmologi wong ngetan Jawa Timur di Perburuan, kendati diungkapkan dalam bahasa Indonesia sekali pun.

Pramoedya dan Marquez, melalui cara berbahasa yang berbeda telah menangkap persoalan lokal, namun mampu menarik perhatian para penikmat sastra global. Sebuah strategi kalau tak disebut sebagai visi-misi atau pandangan dunia dari si penulis yang membawakan teks sesuai perkembangan zamannya. Tentu dengan berbagai risiko, seperti Marquez, seyakin apakah penulis ini bahwa caranya berbahasa dapat ditangkap dan dimengerti oleh sebagian besar rakyat Amerika Latin. Sebuah karya, bukan teks eksklusif, seperti seorang yang berteriak dari menara gading, di tengah padang pasir yang sunyi.

Secara umum, seminar di tengah acara Temu Sastra Nusantara Mitra Praja Utama (MPU) di Lampung, yang pada seminar sesi pertama menghadirkan pembicara selain Triyanto yaitu tokoh pers dan penyair Djadjat Sudradjat dan sastrawan Lampung Asarpin lalu pada seminar sesi kedua menghadirkan pembicara antara lain sastrawan Yanusa Nugroho, Jamal D Rahman, dan sastrawan Lampung Iswadi Pratama itu menarik perhatian untuk disimak.

Masing-masing pembicara secara umum juga mengungkapkan tegangan lokal dan global dari latar belakang masing-masing. Sebuah tema seminar yang sejak dulu terasa klise, tapi sesungguhnya sulit dan berat untuk dipraktikkan dalam sebuah teks, terutama bagi penulis Indonesia di masa sekarang yang merasa berada di antara gaya khas sastrawan besar di masa silam.

Berkarya = Tantangan yang Harus Dilewati [Remy Sylado]

Remy Sylado
Pewawancara: Lona Olavia
http://www.suarapembaruan.com/

Seni adalah ungkapan perasaan, demikianlah pernyataan yang sering kita dengar mengenai seni. Memang, jika kita renungkan sejenak, maka sesungguhnya ungkapan tersebut benar adanya. Sebab, seni itu sendiri memang merupakan ungkapan dari pengalaman-pengalaman batin seseorang yang kemudian dituangkan melalui berbagai medium seni, yang akhirnya dapat kita nikmati sebagai sebuah mahakarya.

Bagi seorang seniman, seperti Remy Sylado yang biasa juga ditulis dengan angka 23761 yang diambil dari chord pertama lirik lagu All My Loving karya The Beatles, berkarya adalah sebuah tantangan yang harus dilewati. Berkarya adalah menjawab tantangan dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul, baik permasalahan yang ada di dalam diri sendiri maupun berbagai permasalahan yang ada di luar diri.

Keinginan-keinginan untuk memecahkan permasalahan itulah yang mengakibatkan kan seorang seniman berkarya dan terlihatlah bahwa setiap bentuk karya seni memuat unsur-unsur budaya. Kemudian dengan menggunakan berbagai ungkapan yang dipilihnya, maka lahirlah sebuah potret tentang kebudayaan.

Kesenimanan Remy Sylado tak diragukan lagi. Budayawan yang berkecimpung dalam seni musik, seni rupa, sastra, dan teater ini membuat dirinya pantas menjadi salah satu seniman komplet yang digemari masyarakat Indonesia.

Pada tahun 2002, sosok budayawan populer seangkatan dengan WS Rendra ini mendapat penghargaan Sastra Khatulistiwa untuk karya novelnya. Kemudian, pada tahun 2003 mendapat penghargaan Festival Film Bandung (FFB) sebagai aktor terpuji untuk aktingnya di film. Pada tahun yang sama, Remy meraih Anugerah Indonesia untuk karya-karya teater musikalnya.

Tak hanya itu, pria kelahiran Makassar 12 Juli 1945 silam itu, tiga tahun kemudian (2006) juga berhasil memenangi anugerah sastra terbaik oleh Pusat Bahasa untuk novelnya. Serta, meraih penghargaan dari Istana Wakil Presiden sebagai satu-satunya kritikus musik dan Anugerah Satya Lencana Kebudayaan dari negara, karena kepeloporannya di bidang kesenian kontemporer.

Dalam kariernya yang serbabisa, Remy Sylado pun sering didaulat menjadi pembicara kunci bidang sastra dan bahasa, di universitas-universitas di dalam dan luar Indonesia.

Berikut, hasil wawancara seniman komplet yang bernama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong dengan SP, di kediamannya daerah Cipinang Muara, Jakarta, baru-baru ini.

Bagaimana pandangan Anda terhadap budaya bahasa yang diasimilasi?

Bahasa Indonesia sebenarnya jangan harus dicurigai dan diharuskan menjadi bahasa asli Nusantara. Sebab, bahasa Indonesia sesuai namanya Indo, artinya dapat menyerap segala macam kosakata dari lintasan budaya yang masuk ke Indonesia.

Jadi, harus selalu terbuka untuk menyerap, tapi sebelum menyerapnya harus disesuaikan dahulu dengan lafal kita. Lagi pula, itu hal biasa dalam sebuah bangsa yang modern. Namun, kita harus memiliki kesepakatan untuk menjaganya, supaya dapat mencapai tingkat yang mulia.

Bagaimana cara melestarikan bahasa Indonesia?

Bahasa Indonesia dapat kita lestarikan lewat karya sastra, karena gawang bahasa dilihat dari kemampuan sebuah bangsa dapat menciptakan karya sastra. Pasalnya, penggunaan bahasa dalam karya sastra dinilai sebagai peranti yang paling asasi.

Sejauh mana perkembangan karya sastra di kalangan anak muda?

Saya nilai sudah maju. Itu terlihat dari banyaknya karya sastra yang ditulis dengan latar remaja yang lazim disebut teenlit. Saat ini, peluang untuk menjadi penulis sangat terbuka lebar, tidak seperti pada tahun 60-an. Dulu, untuk menjadi pengarang, orang harus melalui sebuah persyaratan yang sulit, layaknya melamar menjadi wartawan di media cetak. Kalau, sekarang kan sudah tidak lagi.

Sekarang soal seni musik. Bagaimana menanggapi alat musik dan lagu tradisional yang diklaim milik bangsa lain?

Kita harus melihat persolan itu dengan sedikit arif. Sebab, sebagian besar orang yang mengklaim itu adalah orang Indonesia yang menjadi imigran lalu menjadi

warga negara sana. Mereka sudah tinggal di sana sejak tiga turunan dan sering dinyanyikan lagu Indonesia oleh neneknya, sehingga otomatis lagu ataupun alat musik itu menjadi satu kesatuan dengan bangsa tersebut. Jadi, janganlah kita terlalu panas melihat masalah itu.

Apa yang harus dilakukan untuk mencegahnya muncul lagi?

Pemerintah harus secepatnya memasukkan kekayaan bangsa Indonesia ke dalam Undang-Undang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

Mengenai seni rupa, apa pengaruh teknologi terhadap perkembangan seni rupa, khususnya seni lukis?

Semakin canggihnya teknologi yang mengakibatkan orang bisa mendesain dengan menggunakan komputer berdampak pada bermunculannya variasi-variasi baru dalam dunia lukis. Jadi, mau tidak mau, kita harus melihat itu sebagai perkembangan proses kebudayaan.

Contohnya, dahulu orang bikin animasi hanya dengan menggambar di secarik kertas, namun sekarang bisa tiga dimensi dengan menggunakan komputer. Maka dari itu, kita harus melihatnya sebagai penemuan bentuk seni rupa baru, yaitu seni rupa yang bisa bergerak.

Soal seni pertunjukan, kenapa dunia teater kita terkesan lambat berkembang?

Menurut saya, itu disebabkan empat hal. Pertama, pola berpikir kita tentang teater di Indonesia, pada umumnya masih terbatas pada model tahun 50-an dan 60-an. Jadi, melihat cara mengucapkan intonasinya dianggap harus mengeluarkan urat nadi. Kedua, teater kita tidak bisa memasuki dunia orang membutuhkan. Maksudnya, kurang bisa menghadirkan tontonan yang baik dan bermutu.

Ketiga, kurang ada kemauan dan juga keberanian dari para sineas teater untuk keluar dari model tahun 50-an dan 60-an, serta menyajikannya secara unik. Keempat, ada dilema yang muncul antara ingin menjadi teater Barat dan ke-indonesiaan.

Bagaimana cara menumbuhkan teater?

Sineas teater kita harus berusaha keras berpikir baru, supaya teater Indonesia dapat menjadi bagian yang dibutuhkan. Caranya, dengan menyajikan cara pertunjukan yang baru. Misalnya, seperti yang dilakukan sineas dalam menyajikan pertunjukannya di beberapa kafe di kota Paris atau disebut teater kafe.

Selain itu, kita juga harus bisa memahami secara betul istilah modern teater tahun 50-an yang berorientasi pada sastra dan 70-an antara gagasan barat dan pola tradisonal, yang hanya sebatas pengertian kontemporer.

Sementara di abad 21 ini. dengan hadirnya komputer, kita harus bisa memanfaatkannya secara optimal untuk mengembangkan pertunjukan teater moderen. Sehingga, pertunjukan itu mampu memberikan dua sisi hal yang menarik kepada penonton, yaitu sisi hiburan dan sisi kekayaan intelektual.

Danarto Terinspirasi Dunia Pewayangan dan Sufisme

Joanito De Saojoao
http://www.suarapembaruan.com/

Tiada hari tanpa menulis dan menggambar. Itulah sosok sastrawan sekaligus perupa Danarto (69) yang begitu mencintai karya seni. Kreativitasnya selalu saja mengalir tanpa henti meski sudah memasuki usia senja. Tak heran jika ia dikenal sebagai pelukis dan sastrawan yang produktif di Indonesia.

Sosoknya yang ramah dan rendah hati memberikan kontribusi tersendiri dalam perkembangan dunia sastra dan seni rupa di Tanah Air. Pasalnya, perintis seni kreatif ini selalu menciptakan karya-karya yang luar biasa.

Dalam karya sastra dan lukisnya, Danarto cenderung mengangkat kehidupan sehari-hari yang semuanya berasal dari cerita pewayangan dan kisah kesufian. Buah karya pemikirannya pun tidak lepas dari kisah Mahabarata, Ramayana, dan kitab suci.

Danarto menjelaskan, jika karyanya disebut berkisah tentang sufisme, ia menyerahkan penilaian itu kepada masyarakat. Ia tak bisa menjawabnya karena takut dikira menyanjung diri sendiri. Itulah salah satu sifatnya yang rendah hati.

“Dalam sastra, dasar penulisan saya adalah menggabungkan yang tampak ataupun tak tampak. Dengan begitu, tema bisa semakin luas. Sebuah penggabungan antara fisik dan sejarah,” ujarnya kepada SP baru-baru ini.

Pada usia 17 tahun, Danarto merasa bidangnya adalah sastra. Namun, ketika duduk di bangku SMA jurusan sastra, ada mata pelajaran aljabar yang ditakutinya. Ia pun kemudian memutuskan untuk hijrah dari dunia sastra ke dunia seni rupa.

Keputusannya itu diwujudkan dengan mendaftar ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, kini Institut Seni Indonesia, Red) di Yogyakarta. Selama tiga tahun, Danarto menuntut ilmu seni lukis dan menamatkan pendidikannya pada 1961. Menurutnya, seperti ada hikmah tersembunyi kala seorang sastrawan seperti dirinya mengetahui seluk-beluk dunia seni rupa. Ia pun kemudian berinisiatif mendirikan Sanggar Bambu pada 1 April 1959.

Dari sanalah lelaki separuh baya itu mulai melukis dengan identitasnya sendiri. Dengan mengombinasikan corak dekoratif dan seni kontemporer, makna yang terkandung di dalamnya semakin luas sehingga menghasilkan sesuatu yang baru.

“Seperti figur manusia dan wayang, Mahabarata dan Ramayana, ada di dalam sastra dan seni lukis yang saya ciptakan. Hal ini yang mengilhami karena temanya luas, luar biasa, dan sungguh dramatis,” ungkap pria yang menyukai seni rupa selaras ini.

Baginya, seni rupa sekarang amatlah luas. Semua media bisa masuk ke dalam seni rupa dengan segala penampilan dan terjemahan. Danarto bisa melukis dengan media apa saja yang ada, misalnya cat aklirik, cat minyak, pulpen, pensil, dan sebagainya. Ia tidak mau dibatasi oleh sesuatu hal, apa pun itu, termasuk tampilkan kanvas yang kosong dalam sebuah pameran.

Aliran Surealis

Seperti biasa, karyanya tak lepas dari aliran surealis. Dengan aliran tersebut, ia menghadirkan sebuah cerita yang tidak muncul di dalam gambarnya, seperti sosok supranatural malaikat yang akan dimasukkan ke dalam rahim. Danarto mencoba menghadirkan sebuah cerita dalam bahasa lukisan.

“Artinya, tafsir dari lahirnya sang bayi. Seorang seniman mempunyai daya tafsir. Salah satu tafsir yang bisa menjadi lukisan, misalnya seseorang yang didampingi oleh dua orang malaikat yang mencatat kejahatan dan kebaikan. Lalu, neraka yang bisa berkata-kata,” ujar sang pelukis yang tidak pernah memberikan pesan pada pelukis baru, karena akan menganggap dirinya tinggi.

Di dunia sastra sendiri, Danarto mengawali kariernya pada awal 1960-an. Saat itu, ia sudah menulis cerita anak-anak di majalah Si Kuntjung. Namanya mulai dikenal luas lewat cerita-cerita pendek yang dimuat di majalah sastra Horison sejak 1967. Selain itu, karya Danarto juga dipublikasikan dalam buku-buku yang berisi cerita pendek, yakni Godlob (1974), Adam Ma’rifat (1982), Berhala (1987), Gergasi (1993), Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001), dan Kacapiring (2008) serta novel Asmaraloka (1999).

Salah satu karyanya yang cukup dikenal masyarakat luas adalah buku Orang Jawa Naik Haji, yang merupakan catatan hariannya saat menunaikan ibadah haji. Selain dunia sastra, Danarto juga menerbitkan buku kumpulan esai sosial dan politiknya yang berjudul Begitu ya Begitu tapi Mbok Jangan Begitu (1996) dan Cahaya Rasul (1999).

Saat ini, kondisi Danarto masih lemah pascaoperasi pemasangan alat pacu jantung permanen awal Maret lalu. Namun, semangatnya untuk berkarya pun masih berkobar. Di saat tubuhnya sakit dan harus beristirahat, pria kelahiran di Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940 itu tetap menulis dan melukis di sela-sela perawatannya. Ia mengaku harus menyelesaikan novel terbarunya yang tidak lama lagi akan segera diterbitkan. [H-15]

Main Mata dengan Kekuasaan

WARS WITHIN
Penulis: Janet Steele, @2005
Penerbit: EQUINOX dan ISEAS, xxxiv + 328 halaman
Peresensi: Martin Aleida*
http://www.gatra.com/

Menelisik seluruh halaman buku ini, versi Indonesia diluncurkan akhir bulan lalu, kelihatanlah batang tubuh Tempo pekat berbalur kompromi, untuk tidak mengatakan berserah diri kepada kekuasaan. Ketika akan menurunkan laporan mengenai peristiwa Tanjung Priok, September 1984, misalnya, penulis masalah nasional, Susanto Pudjomartono (SP), yang punya hubungan erat dengan L.B. Moerdani (LBM), ternyata lebih dulu minta izin kepada Panglima ABRI itu. Kedekatan dengan penguasa seperti itu bisa menimbulkan polarisasi sikap politik di kandang wartawan sendiri. Semacam “perang” kepentingan muncul dalam “episode Priok”.

Reporter (ketika itu), Bambang Harymurti (BH), memiliki rekaman pidato Amir Biki, yang jadi pemicu demonstrasi dan pertumpahan darah selepas salat subuh itu, tidak serta-merta menyerahkan tape kepada SP. Sebab ada kecemasan “kemungkinan SP akan menunjukkannya kepada LBM”. Sikap kompromistis, supaya bisa bertahan hidup, ini dipaparkan dalam kisah panjang yang ditulis Janet Steele dari George Washington University bahwa Tempo adalah “an independent magazine in Soeharto’s Indonesia” ternyata tak lebih dari sebuah sinisme yang tidak disengaja.

Setelah menikmati kehidupan pers yang relatif bebas sejak terbit pada awal Maret 1971, Tempo pertama kali dibredel tahun 1982. Pemimpin Redaksi Goenawan Mohamad (GM), dalam rapat yang diliputi suasana resah, dengan muka tegang menyerukan: “Tiarap…!” Strategi kelangsungan hidup dirancang, dan wartawan dianjurkan melobi para pejabat pemerintah. GM sendiri, bagaikan penyair-pertapa turun gunung, mendekati Menteri Sekneg Moerdiono. Mereka acapkali terlihat main tenis. Sikap menenggang penguasa menyebabkan banyak berita yang diketahui wartawan harus ditelan sendiri. Kata SP, “Hanya lima atau 10 persen yang bisa kami laporkan. Memantau berita (jadi) lebih penting dibandingkan menulis.”

Mengagumkan, juga bikin tercengang, untuk apa dan dikemanakan berita-berita itu kalau memang tak bisa dimuat? Disimpan di dalam file? Dioper ke wartawan-wartawan asing yang beroperasi di sini? Dijadikan bahan tawar-menawar? Atau mau ditulis kelak di suatu masa? Tak ada jawaban. Karena Janet yang sedang jatuh hati rupanya tidak tergoda bertanya mengenai cacat yang satu ini.

Tanpa pesaing yang berarti, Tempo bergelimang kemakmuran. Tahun 1993, GM mengumumkan niat mundur sebagai pemimpin redaksi, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang nomor dua, wartawan flamboyan Fikri Jufri (FJ). Penulis masalah ekonomi dan bisnis yang tajam dan memikat ini adalah kutub yang lain. Dia tak punya pengikut, apalagi pengagum, sebagaimana GM. Niat GM untuk “lengser” menimbulkan guncangan pada biduk yang sedang berlayar laju. “Kalau ini adalah bagian dari strategi, maka orang yang berada di atas seharusnya tidak berdiri di pihak siapa pun. Goenawan adalah orang yang semacam itu. Tetapi Fikri tidak. Jadi, inilah yang telah menggoyang keseimbangan,” urai BH.

Kata-kata bersayap GM tentang “cita-cita kita yang sama mengenai jurnalistik”, yang dia ucapkan dalam rapat persiapan 15 Januari 1971, kurang dari dua bulan sebelum Tempo terbit (6 Maret 1971), telah terbang disapu angin lalu. Para wartawan yang dianjurkan melobi kanan-kiri ternyata telah lupa pulang ke rumah sendiri. Yang menuntun mereka bukan lagi “cita-cita kita yang sama”, melainkan Paduka Tuan yang menjadi teman dekat sekaligus sumber berita dan gantungan hidup di masa depan yang tidak pasti. Para wartawan terperangkap dalam kutub-kutub lobi mereka. Masing-masing wartawan tambah merapat dengan lobi dan kian mendurhakai tuan mereka.

Adapun di luar, laut gonjang-ganjing. Tahun 1988, Soeharto menggeser LBM dari Panglima ABRI menjadi Menteri Hankam. Tahun 1993, jabatan yang kurang penting itu dicopot pula. Walaupun tak terbuka, LBM dikabarkan telah memihak suara publik “di bawah tanah” dan bersikap kritis terhadap Soeharto. “Pembangkangan” tokoh militer ini mendorong Soeharto cari dukungan kalangan muslim, dengan Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), B.J. Habibie, sebagai perlambang.

Pada 11 Juni 1994, Tempo menurunkan laporan utama tentang pertikaian di pemerintahan seputar pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur. Harga belinya dianggap tidak pantas serta konflik Menteri Ristek B.J. Habibie dengan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad. Beberapa perwira tinggi, terutama dari Angkatan Laut, tidak setuju pembelian armada kapal bekas itu dan menganggap Habibie menggerogoti wewenang mereka.

Menurut FJ kepada penulis tinjauan buku ini, Tempo memutuskan laporan itu karena “uang rakyat yang tidak kecil telah disalahgunakan”. Itulah, katanya, pertimbangan rapat redaksi memilih, bukan kemauannya sendiri. Tetapi wartawan Tempo Agus Basri, penulis laporan utama mengenai Habibie dan ICMI, beberapa pekan sebelumnya kepada Janet Steele menyebutkan, dipilihnya topik kapal perang rongsokan dari Jerman Timur itu “punya maksud tertentu”.

Menurut Agus lagi, ketika tersiar kabar, satu dari kapal perang butut itu tenggelam dalam pelayaran ke Indonesia, FJ jingkrak-jingkrak bersyukur dan berteriak sinis, “Alhamdulillah!” Kelihatannya tak ada lagi yang lebih menyakitkan FJ daripada tuduhan kedekatannya pada LBM sebagai penyebab bencana pembredelan. Penyair yang dia kagumi, kawan seperjuangannya sendiri, GM, ikut meningkahi suara gendang yang menggiring Fikri hingga terpojok.

Agus Basri memoleskan warna yang buruk pada wajah teman sejawatnya sendiri, dengan menceritakan bahwa Max Wangkar, yang menulis laporan utama, “punya masalah dengan Habibie”. Max, katanya, Kristen, lulusan sekolah teologi. Dengan “analisis” pandir seperti itu, menurut Janet, jelaslah suasana dalam majalah itu sungguh telah dipenuhi racun dan bisa.

***

Wars Within hanya terpikat pada penggalan kedua dan terakhir dari sejarah Tempo. Sumbernya, selain GM, terlalu terpusat pada BH, yang sebenarnya baru tampil di babak kedua dari perjalanan hidup majalah itu. Memang, sebelum 1980-an, benturan dengan kekuasaan tidak begitu sengit. Tetapi peperangan melawan birokrasi internal cukup seru. “Raksasa” seperti Christianto Wibisono dan Usamah (karena kasus pemberitaan dan keuangan) sampai terjungkal. Dan di atas segalanya, orang setangguh sastrawan-wartawan Bur Rasuanto pun tak cukup kuat untuk bertahan.

Edisi pertama Tempo dicetak 12.500. Terjual habis. Terbitan kedua dilipatduakan. Habis! Awal 1980-an, tirasnya berkisar 160.000. Kemajuan pesat ini tidak diikuti manajemen yang baik. Jadwal terbit selalu telat. Bur, yang memimpin majalah itu ke dalam, kelimpungan menghadapinya. Berbagai kiat dilakukannya. Pernah ada “hadiah” sebulan gaji untuk yang paling produktif. Tapi, karena protes dari wartawan yang kalah, permainan itu distop.

Bur yang berdarah Komering itu tak tahan melihat naskah-naskah yang menumpuk. Di kantor cikal-bakal Tempo, Jalan Senen Raya, di seberang pegadaian sekarang, suatu hari yang nahas, Bur menyambar naskah yang menganggur. Dia memang penulis cepat. Tulisan yang dirampungkannya itu dia turunkan. Redaktur bersangkutan melapor kepada GM bahwa Bur menabrak prosedur. GM “ngalemin” si tukang protes.

Bur jadi naik darah. “Ah, kau juga…,” katanya berang, seraya melayangkan segelas kopi ke muka GM. Tapi luput, gelas itu pecah membentur dinding! GM tak tepercik setetes pun. Seminggu setelah “gelas terbang” itu, rapat besar digelar di Gedung Pembangunan Jaya, Jalan Thamrin, Jakarta. Eric Samola, pemimpin umum, menegaskan “tak ada harta milik perusahaan, sekecil apa pun, yang boleh dirusak”. Esoknya, dan untuk selamanya, Bur Rasuanto sudah tidak bersama majalah itu lagi.

Janet juga tidak menyinggung “idealisme” Tempo yang begitu memikat pada mulanya. Laporan-laporannya sering tidak ditemukan di koran atau media lain. Bahkan sempat jadi sumber berita bagi koran terpandang: Kompas, Sinar Harapan, The Straits Times Singapura, kantor berita AFP dan Reuters. Namun, melalui satu rapat di Wisma Tempo, Sirnagalih, dekat Puncak Pass, “bendera” kebanggaan itu diturunkan. Tak seperti biasa, GM membuka rapat dengan naskah di tangan. Intinya, perubahan orientasi, dari majalah yang dinanti-nanti karena beritanya eksklusif menjadi majalah yang “mengekor”. Beberapa wartawan menentang pembalikan haluan itu. Dengan segelintir oposisi dan floor yang mengamini GM, maka tumbanglah sudah “bendera” Tempo. Dia tinggal hanya sedikit lebih berharga dari rangkuman kliping koran.

Enam tahun Janet melakukan penelitian untuk proyeknya ini. Mungkin masih ada kesalahan yang kurang berarti dalam kisahnya tentang sepenggal sejarah pers dari satu negeri yang jauh. Dan dia menulisnya dengan empati, sementara orang lokal, terutama orang Tempo sendiri, belum sempat berpikir menuliskan riwayatnya sendiri yang begitu kaya dan sarat dengan ironi.

*) Wartawan Tempo 1971-1984
[Buku, Gatra Nomor 43 Beredar Kamis, 6 Septemberi 2007]

Debat Ekskul dan Seni Kontemporer

Danarto
http://www.infoanda.com/Republika

Alhamdulillah, akhirnya kita punya film yang bisa dijadikan bahan perdebatan yang asyik, Ekskul, karya Natayo Fio Nuala. Berkali-kali saya memutar ulang adegan perakitan pestol oleh Joshua (dimainkan oleh Ramon Y Tungka) dari vcd yang saya pinjam dari rental. Tak ada dialog, tak pula kedumelan, cukup dengan bahasa gambar.

Adegan itulah satu di antara sejumlah bagian dalam film itu yang ditelusuri oleh para juri Festival Film Indonesia 2006 yang memilih Ekskul sebagai film terbaik, dan para sineas yang menentang keputusan juri itu.

Setelah perakitan pestol selesai, tampak Joshua menatap sebutir peluru yang lalu memasukkannya ke magasin pestol. Bagi para juri, itulah peluru baru hasil rakitan Joshua. Sedang para sineas meyakini, itulah satu-satunya peluru yang menyertai pestol ketika Joshua membelinya dari pedagang senjata.

Yang jadi masalah bagi para sineas, memiliki satu peluru, namun Joshua meletuskan pestolnya dua kali. Ini janggal. Sedang bagi juri, terjadi dua kali letusan karena Joshua memang punya dua butir peluru. Sementara itu, bagi saya sebagai penggemar film, tak masalah Joshua punya satu atau dua peluru, seperti saya juga tidak menuntut Peter Jackson, sutradara film King Kong, untuk melukiskan adegan pemboyongan binatang raksasa itu dari Kepulauan Indonesia ke New York.

Dalam pernyataan sikap, Masyarakat Film Indonesia (MFI) memprotes film Ekskul yang memenangi piala Citra FFI 2006 sebagai film terbaik. Film itu dianggap melakukan pelanggaran hak cipta dalam penggunaan ilustrasi musik film. Namun, pelanggaran musik film yang mana dan dari film apa, tak disebut dalam pernyataan sikap itu. Desas-desus yang saya dengar, kabarnya Ekskul mencomot, tanpa izin, ilustrasi musik dari film Taegukgi (Korea Selatan), Gladiator, dan Munich.

Jika demikian persoalannya, sebenarnya kelalaian penyantuman sumber musik film oleh pihak produser film Ekskul, Indika Entertainment, tidak mengurangi kebagusan film Ekskul yang telah dipilih oleh para juri. (Walau Gunther Grass pernah menjadi anggota Nazi, kemenangannya atas Hadiah Nobel Sastra tidak dicabut). Kabar terakhir, pihak Universal Music pemilik musik Gladiator sudah menggugat pihak Indika dan membawanya ke pengadilan.

Jika sudah begini, saya mengimbau kepada pihak Indika Entertainment untuk menggugat film Once Upon a Time in America karya Sergio Leone (1983) yang tidak mencantumkan sumber ilustrasi gamelan wayang kulit (hamper lima menit) dan nama Rahayu Supanggah (dari Solo), komponis papan atas kita yang membantu sebuah adegan dalam film itu. Padahal nama petugas pengadaan properti saja ditulis dalam credit-titles film itu.

Juga film Satyricon karya Federico Fellini yang tidak mencantumkan sumber ilustrasi suara ‘cak’ dari Tari Kecak Bali. Yang mengerikan adalah tertipunya para penari Jawa ketika syuting menari di Candi Prambanan dengan bintang Barat, yang janjinya untuk film pariwisata, tidak tahunya setelah beredar di sini, menjadi film soft-core, Emmanuelle.

Rendra sendiri pernah marah menanggapi protes Bob Geldof terhadap pembajakan musik We are the World di Indonesia. Menurut Rendra, Barat itu jagonya membajakan. Sebenarnya tidak itu saja, Barat adalah perampok kekayaan kita.

Undang-undang menyatakan bahwa pemakaian kekayaan warisan kebudayaan dunia itu tidak memerlukan izin. Semisal Beatles yang mencomot lagu kebangsaan Prancis. Namun demikian, Mira Lesmana pernah menerima surat peringatan untuk mengurus perizinan atas penggunaan sepotong lagu Padamu Negeri yang dinyanyikan para mahasiswa dalam film Gie padahal sebenarnya pemakaian lagu pusaka itu tidak memerlukan izin.

Begitu bebasnya penggunaan kekayaan warisan kebudayaan dunia namun tidak dengan sendirinya bebas pula untuk tidak mencantumkan sumbernya. Nayato, tanpa disadarinya telah melakukan perlawanan terhadap struktur hirarki kemapanan yang hegemonik atas kreativitas, orijinalitas, dan hak cipta. Tidakan Nayato (yang boleh jadi merasa kecil, tidak berarti, dan pasti tidak dikenal di Barat) telah membangunkan kita dari tidur lelap atas hak cipta kekayaan intelektualitas kita. Mengapa kita begitu menghormati Barat, sedang Barat menganggap kita tai kucing.

Juri menyatakan bahwa Nayato tentu tak bodoh untuk lalai terhadap jumlah peluru yang dimiliki Joshua. Agaknya Nayato dengan nakal melemparkan teka-teki peluru itu supaya kita meributkannya. Ketika kita berdebat, ia terkikik-kikik di belakang punggung kita. Ini gaya khas seniman kontemporer. Penyutradaraan Nayato atas Ekskul, brilian. Seluruh pemain yang berusia belasan tahun itu bermain memikat. Aktingnya meyakinkan. Tokoh Joshua dengan keluarga, sekolah, dan teman-temannya satu kelas, menyatu benar. Tata lampu yang sempat diributkan karena dianggap tidak jelas penggambaran siang-malamnya, sudah tidak relevan lagi mengingat ekspresi kreativ Ekskul begitu solid.

Kameranya energetik. Editingnya mulus. Lensa kamera yang selalu bergetar itu, menggambarkan ketegangan yang terjaga iramanya dengan orang-orang yang lalu-lalang yang rentan terhadap konflik, ciamik banget. Ekskul bercerita tentang remaja yang menderita oleh tindakan kekerasan di rumah maupun di sekolah. Akhirnya remaja itu membalas dendam dengan melakukan tindak kekerasan pula, menyandera teman-temannya, siswa maupun siswi.

Dalam khazanah seni kontemporer, sikap Nayato yang tak menyantumkan sumber ilustrasi musik filmnya itu merupakan suatu sikap “reforimpuls” yang menghadapi karya (orang lain) sebagai harta karun yang bebas diperebutkan. Sikap itu berarti pula bahwa seniman yang telah menggulirkan karyanya ke masyarakat, dianggap sudah tidak penting lagi, alias sudah mati.

Noorca Massardi dan Yudhistira Massardi, sastrawan kembar, pernah membuat puisi-puisi humor berdasar puisi-puisi papan atas dari para penyair jawara. Bahkan para penyair yang puisinya dibuat lelucon itu, tertawa-tawa, merasa mendapat hiburan. Saya pernah menggabungkan puisi Chairil Anwar dengan puisi Sapardi Djoko Damono, yang saya aku-kan sebagai karya saya karena saya sudah berhasil melakukan editing.

Saya pernah membuat story-board yang tokohnya menjelajahi dari film terkenal ke film ternama lainnya. Tokoh itu, ambil misal Zaenal Abidin Domba, muncul dari dalam air setelah Martin Sheen muncul dari dalam air dalam film Apocalipse Now. Lalu Si Domba menghambur ke pasangan Marlon Brando dan Romy Schneider dalam Last Tango in Paris untuk membebaskan Feby Febiola yang terperangkap di dalam tubuh Schneider. Begitu selanjutnya, adegan demi adegan penuh kejutan. Story-board ini saya beri judul Lintas Tanpa Batas.

Seni kontemporar yang meliputi seluruh bidang seni, memang sangat liberal. Bisa sekali antara bidang yang satu ke bidang yang lain terkait sehidup semati. Antara seni rupa dengan teater. Antara film dengan tari. Antara musik dengan sastra. Di Barat pernah seorang seniman menghancurkan piano, ada pula seorang professor memamerkan mayat-mayat dalam suatu instalasi seni rupa.

Debus Banten sebenarnya merupakan pameran instalasi seni rupa dengan teater. Di Jakarta pada 1973, seorang pelukis memamerkan kanvas-kanvas kosong. Pelukis itu pula pernah dalam pementasan teaternya, menyuguhkan empat adegan sekaligus, supaya penonton bisa memilih adegan mana yang disukainya.

Sardono mementaskan pertunjukan teater tari yang panggung para pemainnya adalah kubangan lumpur. Lukisan Monalisa berkumis karya Marcel Duchamp termasuk karya yang penting. Seorang pelukis Peru, Herman Braun -Vega, menyontek ke dalam lukisannya (1984), karya Vermeer, Goya, dan Picasso, yang ia beri judul Fame, after Vermeer, with Goya and Picasso. Karya ini termasuk yang menandai dengan tajam karya abad 20.

Secara penampilan dan tindakan, seni kontemporer seolah mengajak mati rame-rame. Tapi hakekatnya tidak. Justru mengajak hidup rame-rame. Jika ada aktor yang bergelut dalam lumpur, jika pemain debus mengiris lidahnya sampai berdarah-darah, jika pelukis menganggap kanvas kosong adalah lukisan, jika seorang profesor memamerkan mayat-mayat, itu tandanya seniman menghayati benar penderitaan dunia. Para seniman ingin hidup abadi.

*) Sastrawan dan pengamat budaya

Seratus tentang jawa, BUNGA RAMPAI SASTRA JAWA MUTAKHIR

BUNGA RAMPAI SASTRA JAWA MUTAKHIR
Oleh: J.J. Ras
Penerbit: PT Grafiti Pers, 1985, 441 halaman
JUDUL asli buku ini adalah Javanese Literature since Independence,
diterbitkan di Negeri Belanda pada 1979.
Peresensi: Sapardi Djoko Damono
http://majalah.tempointeraktif.com/

Bunga rampai ini diawali dengan pendahuluan sepanjang 30 halaman - di dalamnya penyusun mencoba memberi gambaran mengenai peran sastra dalam masyarakat Jawa dan perkembangan sastra Jawa modern. Dan, pada buku ini, pengertian “mutakhir” dibatasi “since Independence”. “Pengantar” dan “Pendahuluan”, yang aslinya disusun dalam bahasa Inggris, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan seperti juga dalam edisi aslinya, karya sastra yang dikumpulkan dibiarkan tetap dalam bahasa Jawa tanpa terjemahan.

Yang mendasari pengumpulan karya sastra modern ini adalah pendapat penyusun bahwa sebuah karya sastra adalah “karya seni dalam kata-kata”. Dari pendapat itu bisa diharapkan pengertian sastra yang longgar. Dan kenyataannya memang bunga rampai ini mencakup “genre-genre modern, seperti novel, cerita pendek, puisi, drama, dan juga genre-genre yang lebih tradisional, baik tertulis maupun lisan, misalnya puisi dalam tembang macapat, dan naskah-naskah wayang kulit, wayang wong, ketoprak, ludruk, dan kentrung.”

Demikianlah, dalam buku ini kita bisa mendapatkan lirik lagu Suwe Ora Jamu, cuplikan novel Hardjowirogo, cerita pendek Arswendo Atmowiloto, sajak Poer Adhie Prawoto, lirik keroncong Lela Ledhung, teks ludruk, teks ketoprak, saduran bebas drama Ibsen Hedda Gabler, dan teks wayang kulit. Bahkan berdampingan dengan karya rekaan itu terdapat juga artikel tentang perkembangan ketoprak di Yogyakarta.

Luasnya isi bunga rampai ini tentunya sesuai dengan pandangan Ras, yang tersurat dalam pengantarnya, yakni bahwa bunga rampai yang benar-benar reprensentatif adalah yang dengan cermat mencerminkan setiap segi kehidupan sastra. Karena beberapa hal, ia mengakui hal itu sukar dilaksanakan. Kesukaran itu, terutama disebabkan longgarnya pengertian sastra yang diyakininya.

Di dalam “Pendahuluan”, Ras berusaha memberi gambaran mengenai tempat dan peran sastra (Jawa) dalam masyarakat Jawa. Sambil menekankan pentingnya sosiologi sastra sebagai bidang penelitian tersendiri, Ras menjelaskan bahwa sastra adalah gejala yang bersisi ganda - di dalamnya konsumen harus juga diberi perhatian yang layak. Ras berpendapat, “Kita tidak akan bisa sepenuhnya memahami seorang pengarang bila tidak mau ikut menjadi anggota sidang pembacanya, artinya bersatu dengan masyarakat yang diarah oleh pengarang itu.”

Dalam konteks produsen-konsumen itulah sastra Jawa modern merupakan obyek telaah yang menarik. Peningkatan jumlah penduduk, dan semakin banyaknya orang Jawa yang melek huruf, merupakan dua faktor yang telah mengakibatkan adanya perubahan masyarakat yang sangat besar. Ras berpendapat, pengaruh Barat telah memunculkan genre-genre baru yang bentuk dan isinya sangat berbeda dari karya-karya sebelumnya, dan hasil pengaruh itu merupakan sastra tulis.

Sementara itu, bentuk-bentuk sastra lisan ternyata masih hidup di tengah masyarakat - bentuk-bentuk itu sejak dahulu menjadi milik kalangan tak-terpelajar. Menurut Ras, akibatnya di Jawa, sastra bagi kebanyakan orang masih merupakan sesuatu yang dimaksudkan untuk didengarkan, dan bukan untuk dibaca. Meluasnya pendidikan bagi rakyat banyak menyebabkan meluasnya pengertian bahwa membaca berkaitan dengan belajar atau mencari informasi dan tidak berkaitan dengan hiburan.

Bacaan, terutama yang prosa, cenderung dianggap berurusan dengan pendidikan karena sastra selalu diartikan karya klasik, yang adiluhung. Ras juga berpendapat bahwa sesudah kemerdekaan, terasa semakin kuat gelombang sastra jenis baru, yakni yang ditulis dalam bahasa Indonesia - di antara penulisnya tentu terdapat orang-orang Jawa. Sastra ini ditujukan bagi suatu elite, jumlahnya relatif kecil, yang terutama tinggal di kota-kota besar. Sedangkan sebagian besar orang Jawa kebetulan tinggal di pedesaan dan bagian-bagian kota yang bukan elite.

Secara tersirat dikatakannya bahwa sastra bagi yang bukan elite itu adalah sastra lisan, seperti yang dikisahkan semalam suntuk di desa-desa dalam bentuk kentrung, ludruk, wayang kulit, dan ketoprak. Sampai kini bentuk-bentuk tersebut belum mendapat perhatian semestinya dari pengamat sastra modern.

Juga, dalam pengantarnya, penyusun melukiskan kebangkitan sastra Jawa modern, dan boleh dikatakan pandangannya sama sekali bertumpu pada Balai Pustaka. Ia menandaskan bahwa kecenderungan didaktif dan moral penerbit pemerintah kolonial telah merusakkan kebanyakan buku, yang diterbitkannya sebelum 1920, yakni tahun terbitnya Serat Riyanta, sebuah novel Jawa karya R. Soelardi. Sejak itu, jelas sekali sumbangan Balai Pustaka dalam perkembangan sastra Jawa modern.

Dalam penjelasannya mengenai sastra Jawa mutakhir, yakni yang melatar-belakangi bunga rampai ini, Ras bersandar pada beberapa sumber terutama penelitian Suripan Sadi Hutomo dan Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada - lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Bunga rampai ini, yang memuat lebih dari seratus karangan pelbagai genre, setidaknya menunjukkan bahwa sastra Jawa modern itu ada, dan masih ditulis dan dilisankan sampai kini. Tapi ada beberapa catatan perlu disampaikan, yang mungkin bisa dipertimbangkan untuk penerbitan selanjutnya. Terutama mengenai ejaan bahasa Jawa.

Dalam sepatah sambutannya, Soedarsono, kepala lembaga Javanologi, menyinggung manfaat bunga rampai ini untuk “menambah bahan bacaan bagi murid-murid sekolah menengah”. Sebaiknya, pada edisi kedua ejaannya sama sekali disesuaikan dengan EYD bahasa Jawa.

Selain itu, ada beberapa hal yang kurang akurat. Penyebutan Penyair Toto Sudarto Bachtiar sebagai pendukung sastra Indonesia-Jawa rasanya kurang tepat karena Toto lebih dekat ke Sunda. Pemuatan cerpen Soebagijo I.N., berjudul Nyuwun Pamit Kyai, pantas dipertimbangkan kembali mengingat pemuatan pertamanya pada Maret 1945, jadi sebelum Independence.

Dalam pengantarnya, penyusun menekankan pentingnya sosiologi sastra, sedangkan pada beberapa teks tidak dicantumkan waktu terbitan pertama secara jelas. Sajak Aku Paragane karya Rachmadi K., misalnya diberi catatan “terbitan pertama antara 1954 dan 1967″. Meskipun jarak waktunya hanya 13 tahun, masa itu mencakup dua suasana sosial politik yang berbeda, yang bisa saja menentukan penafsiran pembaca atas sajak tersebut.

Pilihan dalam bunga rampai ini tentu bergantung pada “selera” penyusun, tapi setidaknya ada satu hal yang boleh ditanyakan. Kalau ketoprak, ludruk, wayang purwa, dan saduran drama Ibsen disertakan, mengapa dagelan Mataram dan Srimulat tidak? Ditinjau dari pelbagai segi, keduanya sangat pantas diikutsertakan.

Ras, yang dalam pendahuluannya menyayangkan kecil-nya perhatian terhadap sastra lisan, ternyata juga menekankan perhatiannya pada sastra tulis. Patut pula dipertanyakan pernyataan tentang sekian puluh juta orang Jawa yang tinggal di pedesaan dan bagian-bagian kota yang nonelite dalam hubungannya dengan sastra Indonesia (dalam arti luas) dan sastra Jawa. Apakah sastra Indonesia belum menjadi milik sebagian mereka itu? Apakah sastra Jawa benar-benar masih bisa dihayatinya?

Kendati demikian, bunga rampai ini merupakan usaha baik untuk menunjang usaha-usaha penelitian mengenai perkembangan dan kedudukan sastra Jawa dalam masyarakat, di samping, sesuai dengan sambutan Soedarsono, “merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi pengajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah-sekolah menengah sampai di perguruan tinggi”.

Hanya saja, pertanyaan bisa timbul: mengapa pendahuluan buku ini di terjemahkan ke bahasa Indonesia, dan bukan bahasa Jawa? Toh pembacanya harus sudah memahami bahasa Jawa dengan baik.

28 September 1985

Kamis, 14 Oktober 2010

Keyakinan tidak Perlu Bukti

”Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yohanes 20: 29)

Judul: Larutan Senja
Penulis : Ratih Kumala
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2006
Peresensi: Mikael Johani
http://www.ruangbaca.com/

Ada kecenderungan nihilistis dalam tulisantulisan Ratih Kumala. Tabula Rasa-nya diisi penuh karakter-karakter yang gagal hidupnya: drug addicts, dosen yang satu cintanya mati satunya lagi tak berbalas, lesbian yang wanita pujaannya (salah satu drug addicts tadi) mati OD, etc. Kecapan Budi Darma di belakang buku ini cukup akurat: ”kalau perkembangan zaman menuntut kehidupan orang-orang modern menjadi kosong dan tidak bermakna, maka cinta kasih manusia modern pun menjadi kosong dan tidak bermakna.”

[Kecenderungan nihilistis, sinisisme, ini, kalau dilihat dalam konteks sejarah sastra Indonesia, bisa juga merupakan reaksi Ratih terhadap ke”lugu” an (v. esei Intan Soewandi di Jurnal Perempuan edisi ”Perempuan dalam Seni dan Sastra”) dan ”pretensi” (v. esei Katrin Bandel, ”Vagina yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami”, sudah dikumpulkan di bukunya Sastra, Perempuan, Seks) pengarang-pengarang (perempuan) lain di jamannya. Bandingkan dua penggalan dari Saman dan Tabula Rasa berikut ini: ”... garis-garis cahanya memanasi birahi hingga tanak seperti nasi.” (Saman, hlm. 2), ”... hatiku tidak lagi bergelora cintanya seperti nasi yang telah tanak.” (Tabula Rasa, hlm. 68.) Alusi. Sindiran. Parodi.]

Satu novel lagi, Genesis, dan 14 cerpen kemudian yang dikumpulkan dalam Larutan Senja, apakah Ratih masih senihilis ini?

Pertama kali membaca, kelihatannya, ya. Ini daftar karakter- karakter Larutan Senja urut berdasar susunan ceritanya: dukun bayi yang (hampir) dibakar hidup-hidup, pasien rumah sakit jiwa, pekerja proyek di hutan Kalimantan, pencipta ”larutan senja” yang ciptaannya dibajak Tuhan, wanita yang ditinggalkan suami karena me-laser tahi lalat di punggungnya— klangenan suaminya, penggesek biola yang dituduh jadi anggota Lekra, hantu yang menghadiri upacara pengabenannya sendiri, penduduk Berlin Timur yang mati berusaha menyeberang ke Berlin Barat (saat Tembok Berlin masih berdiri tentu), ”Wanita Berwajah Penyok”, perempuan hamil tiga bulan yang bunuh diri di kos-annya yang sempit, Yesus (dan Maria si pencerita kisahnya), kakek-kakek yang ditembak mati Belanda karena radio gerilyanya, pengusaha peti mati yang tak laku-laku dan terpaksa mengobral mereka, dan seorang tattooist yang mengaku pernah melihat Muhammad dan buroqnya (dan tentu saja, tidak ada yang percaya). Semuanya orang-orang yang tersingkirkan, mereka yang dilumpuhkan oleh dunia sekitarnya atau mereka sendiri.

Di akhir Tabula Rasa, Raras (si lesbian tadi) berkata pada Violet (cintanya yang terlanjur dikremasi), ”Aku dilahirkan sebagai batu tulis kosong. Aku tabula rasa, aku adalah dogma dari aliran empiris dan aku terbentuk dari jalannya hidup.” (Tabula Rasa, hlm. 183) ”Terbentuk.” Bukan ”membentuk”. Manusia dalam Tabula Rasa tak punya daya cipta, terserah Tuhan mau mencoreti batu tulis-batu tulis kosong itu dengan apa, menghapus yang sudah dicoreti, atau menimpanya dengan garis-garis nasib baru sementara yang lama pun masih samar-samar terlihat di baliknya. Arti hidup tokoh-tokoh dalam Tabula Rasa (kalaupun ada artinya) disusun satu-satu dari pengalaman mereka, dari apa yang mereka alami di dunia ini, yang kasat mata. Ini memang terdengar seperti aliran empiris, versi sebelum Kristus, Aristotelian, bukan versi Locke, misalnya, yang memberikan hak alami pada manusia untuk mengarang hidupnya sendiri.

Tabula Rasa berakhir dengan Raras memohon, ”Temani aku, sebab sebenarnya aku takut sendiri.” Ini konsekuensi logis dari epistemologi novel ini, tentu Raras akan, sudah seharusnya, begitu takut sendiri, karena tanpa orang lain betapa sepi nanti jalan hidupnya, dan dengan begitu betapa sedikit makna yang bisa ia punguti sepanjang perjalanannya!

Nah, perbedaan pertama yang saya lihat antara Larutan Senja dan Tabula Rasa adalah bahwa karakter-karakter dalam 14 cerita pendek ini lebih berani daripada Raras & Co. Si penemu ”larutan senja” di akhir cerita berjudul sama mengancam bahwa kalau tuhan (ya, dengan t kecil) tidak mau mengakui bahwa ”sebagian ‘dunia’-mu adalah ciptaanku”, ia akan meneteskan ”Larutan yang akan membuat dunia tak sempurna, tak lagi indah!” ke dunia tuhan, dunia yang baru saja disempurnakan dengan ”larutan senja” yang dicuri tuhan dari si penemu itu. Karena tuhan tidak mau juga mengakui hak cipta si penemu, cerita ini tamat dengan ”dua orang anak manusia” yang ”menangis ketakutan” karena dunia mereka, yang tadinya sempurna, ditelan ”awan-awan bergulung, suasana … hitam,” hasil ramuan si penemu. Dua orang ini berdoa, ”Ya Tuhan (ya, dengan T besar—mereka berdoa kepada si penemu yang telah mengalahkan tuhan dengan t kecil!) apa salah kami hingga Kau (ya, dengan K besar) ciptakan bencana alam?” (Semuanya Larutan Senja, hlm. 43.) Manusia di sini bukan lagi tabula rasa ex nihilo yang baru akan ”terbentuk” kemudian. Ia ”membentuk”, ”mencipta”, Ia Tuhan itu sendiri. Lengkap dengan (paling tidak dua) umat yang mengakui kebesaran-Nya.

Saya tidak tahu apakah ini agenda Ratih Kumala secara sadar untuk menjungkirbalikkan tatanan dunianya sendiri. Saya rasa itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa tatanan itu memang berubah.

Satu cerita lagi yang bagi saya akhirnya mengurai benang merah kumpulan cerpen ini adalah ”Anakku Terbang Laksana Burung”, cerpen yang ”diadaptasi dari Injil Mathius, Kitab Perjanjian Baru.” Ratih Kumala mengakhiri versi gospelnya, yang diceritakan oleh Perawan Maria (jadi The Gospel According to Mary the Virgin, bukan Mary Magdalene the Whore), di bagian pas kedua Maria itu mengunjungi kubur Yesus yang ternyata kosong. Malaikat yang turun dari langit menjelaskan (seperti yang dia lakukan dalam Mathius, Markus, Lukas, dan Yohanes), ”Dia telah bangkit,” dan Perawan Maria pun menurut, mengulangi kata-katanya pada Maria Magdalena, ”Ia telah bangkit.” Sebagai narator cerita ini kemudian ia melanjutkan, ”Saat itu aku tahu, anakku telah terbang.” (Semuanya Larutan Senja, hlm. 113.) Tahu. Maria tahu bahwa anaknya telah bangkit.

Saya tidak ingin membahas konsep ”bangkit” Ratih Kumala yang di sini kelihatannya campuran antara ”terbang” laksana burung dan ”moksa” laksana dewa (cf. Yohanes 20: 17, ”Kata Yesus kepadanya [Maria Magdalena], ‘Janganlah engkau memegang Aku terus, sebab Aku belum naik kepada Bapa …’”), tapi konsep ”tahu” Maria tadi sangat penting. Perbedaan paling mendasar antara cerpen ini dan The Gospel According to Matthew adalah bahwa dalam versi cerpen ini, according to Mary/-rk- (begitu Ratih Kumala menulis inisialnya di akhir cerita), Yesus tidak perlu membuktikan kebangkitannya. Tidak perlu marah-marah (”Ia mencela ketidakpercayaan dan keheranan hati mereka, oleh karena mereka tidak percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia sesudah kebangkitan- Nya.” (Markus 16: 14)), tidak perlu merasa tidak diperhatikan muridnya nama-Nya pun mereka lupa (”… datanglah Yesus sendiri mendekati mereka …Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia.” (Lukas 24: 15-16)), tidak perlu meyakinkan seorang pun skeptis seperti Tomas (”Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yohanes 20: 29)).

Saya sering berpikir bahwa The Gospel According to Jesus Christ, novel Saramago itu, adalah sebuah apokrifa, sebuah gospel sekuler, yang membuat kita percaya. Nah, ”Anakku Terbang Laksana Burung” ini rasanya bagi saya seperti apokrifa (mungkin harus ditulis di antara [kurung tegak] seperti teksteks Alkitab yang ”tidak terdapat dalam naskah-naskah yang dinilai paling baik atau kuno”) yang justru ultra-religius, sebuah gospel yang menuntut kita untuk percaya.

[Saya ingin tahu apakah -rksengaja memilih mengadaptasi Matius dan bukan Markus, Lukas, atau Yohanes karena di antara gospel-gospel itu Matius jugalah yang paling tidak peduli tentang keaslian, kemurnian cerita- ceritanya. Seperti ditulis dalam buku Pastur Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, terbitan Kanisius: ”Dalam Mat tidak ada bekasnya bahwa penulis menjadi saksi mata (telinga) tentang apa yang diceriterakannya. Sebaliknya, ia menggantungkan diri pada tradisi sebelumnya (mrk, Q, dll.). Seorang saksi mata pasti tidak berbuat demikian. ... mrk dan Luk kadang-kadang nampaknya lebih asli dan murni daripada Mat. Ternyata Mat menyusun, mengatur dan mengartikan ucapan-ucapan Yesus dengan bebas sekali.” (Hlm. 87.)

Juga apakah dengan begitu arah pandangan -rk- dalam menulis cerita ini sama dengan arah pandangan Matius & Co. yang ”persis terbalik dari arah pandangan seorang sejarawan ... yang tidak mempunyai minat ‘historis’ [sehingga tidak perlu bukti] … [yang tidak ingin membawa pembaca] kepada Yesus dahulu, tetapi sebaliknya: Yesus dahulu dibawa kepada jemaat sekarang … [yang] berupa pewartaan yang mau membina, memperteguh dan menjernihkan iman kepercayaan yang diandaikan saja.” (Masih buku Groenen, hlm. 77.)

Apakah ”Anakku Terbang Laksana Burung” ingin membawa Yesus yang telah bangkit/ terbang entah ke mana kepada kita sekarang?]

Kedua perbedaan ini sangat penting karena dalam cerita-cerita yang lain di Larutan Senja kita pun ditantang untuk percaya tanpa ada bukti, ataupun kalau ada bukti, itu pun berupa bukti-bukti mistis yang membutuhkan kepercayaan tersendiri, ekstra, untuk percaya bahwa mereka memang bukti, bukan kebetulan-kebetulan saja, juga untuk tahu apa itu yang mau dibuktikan.

Dalam ”Gin Gin dari Singaraja” misalnya, si pencerita yang ”antara percaya tidak percaya” bahwa Gin Gin yang baru saja berkenalan dengannya di bus sebenarnya sudah meninggal tiga tahun lalu akhirnya percaya juga setelah kartu nama yang ia berikan ke Gin Gin waktu itu suatu pagi ia temukan ”tergeletak di bantal sebelah”. (Larutan Senja, hlm. 72.)

Untuk mempercayai logika sebuah cerita hantu kita dituntut untuk percaya hantu itu ada, bahwa Gin Gin yang tiga tahun lalu mati mendaki gunung sekarang sudah siap untuk turun gunung ke Singaraja untuk dingabenkan (akhirnya). Bagaimana kita harus percaya? Bukan dengan bukti tentu, karena kalau begitu kita akan selama- lamanya terombang-ambing antara percaya tidak percaya. Kita harus yakin saja.

Sistem kepercayaan ini juga pembalikan dari sistem yang dulu ada di Tabula Rasa. Tokoh- tokoh di situ mencoba untuk memperbaiki hidup (walau gagal terus) dengan prinsip: ”Tak pernah lagi kugubris suara hatiku, terlalu cengeng. Itu tidak membuatku kuat. Maka, aku mulai menggunakan otakku. Logikaku ternyata lebih bisa membawaku ke tahap hidup yang lebih baik.” (Tabula Rasa, hlm. 135.)

Destination: sebuah utopia Lockean? Bisa saja. Yang jelas trayek rute maskapai Tabula Rasa akhirnya tak pernah sampai ke situ.

Karena skeptisisme Ratih Kumala pada daya otak membahagiakan manusia itu sudah ada waktu itu pun. Contohnya waktu Galih pertama kali ketemu Krasnaya di Mausoleum Lenin: ”Sedetik kemudian hati —dan bukan akal—mendorongku untuk tak melepaskan pandangan dari dia. Tiba-tiba akalku memanggilku kembali, mengingatkanku akan pemenuhan rasa ingin tahu pada Lenin … Di jalan keluar baru aku sadar—dan ini saat—[sic] saat penuh di mana aku menggunakan akalku kembali [—] bahwa aku tak dapatkan keduanya: Lenin dan gadis itu.” (Tabula Rasa, hlm. 14)

Saya tidak tahu apakah sekarang ini hati yang digubris lagi, yang dituntut untuk percaya, supaya dunia dalam ceritacerita di Larutan Senja berputar; tapi paling tidak cerita-cerita itu kelihatannya memang berusaha menunjukkan, dengan serentetan kejadian, bahwa untuk membuat manusia jadi lebih kuat, diperlukan lebih daripada hanya otak.

Cerita terakhir di Larutan Senja juga tentang keyakinan (dan mereka yang tidak yakin). Qatrun/Cimeng setelah dewasa bermimpi melihat Nabi Muhammad yang ”penuh wibawa berdiri di atas buroq.” Wajah Muhammad tidak terlihat jelas (cf. Lukas 24: 16 tadi) tapi Qatrun melihat jelas buroq seperti apa, ”Seperti sampan yang panjang.” Waktu ditanya ustaznya, ”… bagaimana kau tahu Muhammad naik buroq, bukan naik sampan?” Qatrun menjawab, ”Tahu! Aku tahu, Ustaz! Itu buroq, bukan sampan.”

Sekali lagi, Cimeng, seperti Maria, seperti teman baru Gin Gin, tahu. Mereka yakin, sehingga tidak perlu bukti. Mereka bisa melihat, karena mereka percaya.

[Bahwa keyakinan saat ini sedang di atas angin dalam pertarungannya melawan otak/akal bukan hal yang terjadi tiba-tiba dalam fiksi Ratih Kumala. Kemungkinan bahwa mungkin keyakinanlah senjata pamungkas melawan otak/akal yang (mungkin—kita belum tahu sebenarnya untuk yakin itu kita perlu apa, hati? rasa?, tapi kelihatannya memang bukan otak/akal) berkongsi dengan nihilitas, kekosongan, ketabularasaan, mulai ditulisnya dalam Genesis, novel keduanya—yang nyaris nihil ada di pasaran. Pertarungan ini dalam Genesis diumpamakan sebagai perang batin Pawestri/Suster Maria Faustina untuk percaya atau tidak percaya. Dan, waktu ia pergi ke Ambon untuk menjadi biarawati di tengah-tengah konflik Acang vs. Obet, Suster Maria berpikir, “Perang di depan mataku adalah gambaran nyata perang batinku selama ini. Manusia dan manusia dan setan dan Tuhan?” (masih T besar). (Genesis, hlm. 124.)

Di sinilah, dalam kitab Kejadian versinya ini, dunia -rkyang dulunya hanya batu tulis kosong, nihil, mulai diisi. Pertama dengan keyakinan. Kemudian dengan Tuhan: ”Manusia tidak bisa melihat Allah, tetapi dia ada.” (Genesis, hlm. 43.)—yang mulai disetip lagi di halaman kedua dari terakhir: ”There is no God.” (Genesis, hlm. 201), dan kembali lagi di kalimat terakhirnya, ”Tuhan telah memberi, Tuhan telah mengambil.” (Genesis, hlm. 202.) Pekerjaan untuk mengisi hidup (dengan makna) di dunia -rkmemang kelihatannya begitu susah payah, penuh keraguan, sikap mendua, (ada atau tiada makna itu? Bisakah manusia menciptakannya? Bisa, tidak, ah bisa, ah, tidak.), tidak bisa tujuh hari langsung jadi, sudah tiga buku dan bertahun-tahun belum selesai juga, harus dengan perang!

Sekarang, dalam cerita-cerita di Larutan Senja ini, keyakinan (sedang) menang. Manusia bisa melakukan apa saja, asal ia percaya. Ia tidak hanya mampu menciptakan Tuhan, ia mampu mengecilkan(t-)nya, kemudian menggantikannya. Setelah itu terserah dia (Dia) hidup ini punya arti atau tidak.]

MIKAEL JOHANI disajikan dalam Meja Budaya, PDS HB Jassin, 1 September 2006.

MOMENTUM SASTRA MONUMENTAL

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Sastra tidak datang dari langit. Tidak juga diturunkan para malaikat. Sastra lahir dari proses yang kompleks. Ke belakang, ada kegelisahan sastrawan dalam menyikapi situasi sosial di sekitarnya. Ke depan, ada visi tertentu yang menjadi tujuan. Pada saat karya itu terbit, ada momentum. Momentum inilah yang sering kali justru membawa karya itu menjadi monumen. Sejarah telah berbicara banyak mengenai itu.

Puisi Muhammad Yamin, “Indonesia Tumpah Darahku” (1928) muncul dengan momentum Sumpah Pemuda. Ia menjadi monumental lantaran terbit pada saat dan peristiwa yang tepat. Padahal, dilihat dari semangat keindonesiaan, Yamin mengawalinya lewat antologi puisi “Tanah Airku” (1922) yang dari perspektif estetika dan tema Indonesia yang diusungnya, punya kualitas yang tak jauh berbeda. Keadaan yang sama terjadi pada naskah drama Bebasari (1926) Rustam Effendi. Sesunguhnya, ditinjau dari berbagai aspek, Bebasari sangat pantas ditempatkan sebagai perintis, tetapi tokh ia tetap tenggelam dan orang lebih banyak membicarakan antologi puisinya, Percikan Permenungan (1926).

Novel Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar juga sebenarnya perintis untuk novel terbitan Balai Pustaka. Tetapi yang menonjol kemudian Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli yang lebih dramatis dan Salah Asuhan 1928) karya Abdoel Moeis yang ketika itu, masalah persamaan hak sedang menjadi isu aktual. Bahkan, pada cetakan ke-9 (1990), cetakan pertama karya Merari Siregar tertulis tarikh 1927 yang mengesankan adanya pemanipulasian sejarah. Sementara itu, novel lain karya Adinegoro, Muhammad Kasim, Tulis Sutan Sati, Hamka, dan Suman Hs, jadinya sekadar pelengkap tema sejenis.

Begitulah, sejumlah karya sastra Indonesia seperti punya nasibnya sendiri. Karya-karya itu bagai bayi yang dilahirkan prematur, lewat operasi caesar, atau secara normal. Tetapi, masing-masing akan menggelinding, membawa garis peruntungannya sendiri, dan melemparkan atau melambungkan pengarangnya entah ke mana: tenggelam atau cemerlang.

Nasib novel Belenggu (1940) karya Armij Pane, lain lagi. Redaktur Balai Pustaka menilai novel itu lucah dan tidak senonoh. Bukankah perselingkuhan dokter (Tono) dengan pelacur (Yah) dapat menjatuhkan reputasi dokter? Balai Pustaka pun tak mau menerbitkan. Tetapi, Sutan Takdir Alisjahbana menilainya lain. Novel itu bagus, banyak menyodorkan hal baru. Penerbit Dian Rakyat, milik Alisjahbana, serta-merta menerbitkannya. Belakangan novel itu menghebohkan dan menjadi salah satu monumen perjalanan novel Indonesia.

Keadaannya berbeda dengan yang terjadi pada Suwarsih Djojopuspito atas novelnya Manusia Bebas (1975). Novel ini selesai ditulis tahun 1937 dalam bahasa Sunda. Setelah diindonesiakan, naskahnya dikirim ke penerbit Balai Pustaka, namun ditolak karena isinya menyuarakan semangat nasionalisme. Tahun 1940, novel ini terbit dalam bahasa Belanda di Utrecht, Belanda, berjudul Buiten het Gareel (Di Luar Garis) dengan kata pendahuluan diberikan E. D. Perron. Jika saja novel itu diterbitkan Balai Pustaka akhir tahun 1930-an, boleh jadi ia akan menjadi monumen mengingat penggambaran tokoh wanita dan temanya mengangkat persoalan nasionalisme. Ketika novel itu terbit dalam bahasa Indonesia tahun 1975, ia sudah kehilangan momentum.

Chairil Anwar lain lagi ceritanya. Sutan Takdir Alisjahbana yang waktu itu menjadi redaktur Balai Pustaka, menolak puisi-puisi “Binatang Jalang” itu, karena semangatnya yang aneh dan tak sesuai dengan estetika Pujangga Baru. Redaktur Balai Pustaka yang lebih muda, H.B. Jassin, menyimpan naskah puisi itu di laci kerja dan tak mengembalikan pada penyairnya. Setelah Alisjahbana tak lagi duduk di jajaran redaktur penerbit itu dan Jassin punya kewenangan, diterbitkanlah puisi-puisi Chairil Anwar. Lalu, apa yang terjadi setelah itu? Nama Chairil Anwar justru menjadi monumen perpuisian Indonesia.
***

Perjalanan nasib sebuah karya memang penuh misteri. Novel Pulang (1958) karya Toha Mohtar dianggap sebagai salah satu novel psikologis terbaik. Pada awalnya, ia lahir dari proses keterpaksaan. Sebagai redaktur majalah Ria (1952—1953), Toha Mohtar kerap dipusingkan oleh ketiadaan naskah. Untuk mengisi kekosongan itu, diusulkan pemuatan cerita bersambung. Usul itu diterima. Tetapi, celakanya, sampai menjelang majalah itu terbit, naskah yang ditunggu belum juga datang. Tak ada pilihan, Toha Mohtar sendiri yang harus mengisinya. Mulailah ditulis bagian pertama cerita bersambung itu dengan nama pena Badarijah UP. Setelah rampung seluruhnya, baru diterbitkan penerbit Pembangunan. Dua tahun kemudian novel itu memperoleh Hadiah Sastra BMKN tahun 1960.

Momentum sering menentukan nasib sebuah karya. Tak jarang justru menjadi faktor utama yang mengangkat reputasi. Itulah yang dialami Iwan Simatupang. Banyak pengamat sastra Indonesia menempatkan Merahnya Merah (1968) sebagai novel pertamanya, karena ia terbit lebih awal. Padahal, Ziarah (1969) selesai ditulis Iwan tak lama setelah kematian istrinya, Cornelia Astrid van Geem tahun 1960, dan Merahnya Merah rampung setahun kemudian (1961). Karya pertamanya drama Bulan Bujur Sangkar ditulis di Eropa (1957) dipublikasikan tahun 1960, dan nyaris tak mendapat tanggapan apa pun. Tahun 1966, terbit dua drama berikutnya, RT Nol/RW Nol dan Petang di Taman, tetapi juga tak ada sambutan.

Karya Iwan Simatupang mulai menghebohkan, bahkan memunculkan polemik, justru setelah terbit Merahnya Merah dan terutama Ziarah. Tampak di sini, tanggapan atas novel Iwan Simatupang begitu semarak, bersifat polemis, dan penting bagi perkembangan kritik sastra. Sangat mungkin tanggapan pembaca akan berbeda jika novel itu terbit tahun 1960-an ketika politik menjadi panglima. Jadi, terbitnya novel Iwan Simatupang selepas tragedi 1965, seperti memperoleh momentum. Sejak itu berlahiran karya sejenis dari sastrawan lain yang memperlihatkan semangat eksperimentasi. Iwan Simatupang menjadi tokoh penting. Betapa ramai tanggapan pembaca, dapat dilihat dari semua tulisan tentang Iwan Simatupang yang mencapai lebih dari 300-an, mulai resensi, esai sampai disertasi.

Sementara itu, Taufiq Ismail nyaris kehilangan momentum. Di sela-sela aksi demonstrasi yang merebak selepas tragedi 1965, ia membacakan sejumlah puisinya yang masih berceceran. Sebagian dibawa rekannya, Soe Hok Djin (Arief Budiman), sebagian yang lain berdesakan dalam tas ranselnya yang dibawa terus ke mana pun. Musibah terjadi. Di stasiun Gambir, tas ransel itu raib. Tirani dan Benteng yang terbit dalam bentuk stensilan itulah sejumlah puisi Taufiq Ismail yang dibawa Soe Hok Djin. Belakangan, H.B. Jassin menempatkan antologi puisi itu sebagai ikon sastrawan Angkatan 66.

Nasib novel Cermin Merah (2004) Nano Riantiarno, lebih unik lagi. Tahun 1973, naskah novel ini rampung dan segera ditawarkan ke sejumlah penerbit. Namun, semua menolak karena temanya “berbahaya”. Tak putus asa, Nano mendatangi suratkabar dan majalah agar memuat novel itu sebagai cerita bersambung. Hasilnya sama: menolak karena isinya menyinggung peristiwa 1965 dan persoalan homoseksual. Selama hampir 20 tahun naskah itu tersimpan rapi, meski semangat untuk menerbitkannya sudah berantakan.

Ketika Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan Sayembara Menulis Novel 2003, di antara keputusasaan dan semangat yang redup, Nano Riantiarno mengirimkannya ke Panitia sayembara itu. Dewan Juri, Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, dan Maman S. Mahayana, sepakat memilih Cermin Merah masuk 10 besar. Belakangan setelah diputuskan para pemenangnya, baru diketahui, Cermin Merah adalah karya Nano Riantiarno, yang juga menjadi Juri Sayembara Penulisan Naskah Drama DKJ 2003. Bahwa Cermin Merah masuk 10 besar, pertimbangannya, selain narasinya yang lancar mengalir dan begitu filmis, secara tematik, menyodorkan hal baru berkenaan dengan kehidupan homoseks yang digambarkan lewat sentuhan kuat aspek psikologis dan sosiologis. Begitu juga, teknik berceritanya yang mempermainkan flashback dan di beberapa bagian menyelusup imaji-imaji liar yang agak surealis, menjadikan novel itu kaya style.

Setelah Grasindo menerbitkan novel itu, sambutan pembaca cukup mencengangkan. Selain masuk nomine Khatulistiwa Award (2004), juga sedikitnya ada ratusan komentar mengenai novel itu, termasuk polemik yang terjadi di Millis Pasar Buku. Bagus juga novel itu terbit setelah tumbang rezim Orde Baru, jika tidak, tentu Nano Riantiarno akan menghadapi serangkaian pencekalan.
***

Momentum yang membawa karya tertentu jadi monumen, tentu saja yang terutama lantaran kualitasnya. Tetapi, penerbitan pada momen, peristiwa, zaman, dan penerbit yang tepat, tidak jarang ikut berpengaruh. Keluarga Gerilya (1948) Pramoedya Ananta Toer, adalah salah satu novel Indonesia terbaik. Tetapi, ia seperti tenggelam ketika tetralogi Bumi Manusia (1980) terbit pada saat rezim Orde Baru berada di puncak kekuasaan.

Saman (1998) Ayu Utami, di samping kualitasnya kuat, terbit pada momen yang tepat. Ia bagai memberi inspirasi bagi penulis perempuan lain sejalan dengan perubahan zaman. Secara tematis, Namaku Teweraut (2000) Ani Sekarningsih, Tarian Bumi (2000) Oka Rusmini, Supernova (2001) Dewi Lestari, Jendela-Jendela (2001) Fira Basuki, Cala Ibi (2003) Nukila Amal, Dadaisme (2004) Dewi Sartika, Geni Jora (2004) Abidah el Khalieqy, Tabularasa (2004) Ratih Kumala, sesungguhnya berpotensi menghebohkan jika saja novel-novel itu terbit sebelum Saman.

Dalam persoalan seks yang menjadi tema cerita, novelis perempuan yang kemudian tampak seperti berlomba menelanjangi diri sendiri. Tentu akan sangat menghebohkan jika karya-karya itu terbit sebelum Saman. Sebut saja, Ode untuk Leopold von Sacher—Masoch (2002) Dinar Rahayu, Nayla (2005) dan sejumlah cerpen Djenar Maesa Ayu, Mahadewa Mahadewi (2003) Nova Riyanti Yusuf atau Swastika (2004) Maya Wulan. Kehebohan Saman sesungguhnya juga tidak terlepas dari faktor momentum.
***

Begitulah, kisah di balik sukses karya-karya monumental, menegaskan, bahwa karya sastra lahir dari sebuah proses yang rumit, penuh misteri. Ia tidak dapat melepaskan diri dari berbagai faktor yang mengelilinginya: pengarang, penerbit—temasuk di dalamnya redaktur dan editor, pembaca, masyarakat, dan pemerintah. Di antara kepungan berbagai faktor itulah karya sastra menggelinding membawa nasibnya, mencari dan menemukan momentumnya sendiri.

(Maman S. Mahayana, Pengajar FIB-UI, Depok)

Kritik Sastra Indonesia dari Australia

Judul : Reading Matters: An Examination of Plurality of Meaning in Indonesian
Fiction 1980-1995 (Membaca, dan Membaca Lagi, [Re]interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995
Penulis : Pamela Allen
Penerjemah : Bakdi Soemanto
Penerbit : Indonesiatera, Magelang, Cetakan I, tahun 2004
Tebal : xxxii + 318 halaman
Peresensi: Nurhadi BW*
http://www2.kompas.com/

TIDAK banyak kritikus sastra Indonesia dari luar negeri. Kebanyakan kritikus yang jumlahnya sedikit itu adalah para pengamat Indonesia atau Indonesianis yang memfokuskan kajiannya tidak hanya pada sastra, tetapi juga terhadap budaya, sosial, ekonomi, juga politik Indonesia sebagai studi kawasan.

Indonesia sendiri bukanlah kesusastraan yang telah berumur tua. Kesusastraan ini lahir pada awal abad ke-20 atau akhir abad ke-19. Berbeda dengan kesusastraan Jawa yang jauh lebih tua dan banyak menjadi kajian kritikus asing, khususnya Belanda, sehingga nama semacam Zoetmulder (dengan Kalangwan-nya) yang telah lama menetap di Indonesia sudah menjadi bagian integral mengenai sastra Jawa.

Dalam sejumlah ensiklopedia mengenai kesusastraan dunia, kesusastraan Indonesia sering kali tidak dimasukkan atau dijadikan entri. Selain tradisi sastra Barat, sastra lain yang sering dijadikan entri, misalnya, sastra China, Jepang, India, Arab, dan Israel, bahkan terkadang malah Filipina.

Dari sedikit kritikus negara lain yang mengkaji kesusastraan Indonesia, yang paling terkenal tentu saja A Teeuw dari Belanda. Kemudian Claudine Salmon dari Perancis yang banyak mengkaji sastra Indonesia Tionghoa, atau Harry Aveling dan Keith Foulcher dari Australia. Selain itu, dapat disebut tokoh-tokoh lain semacam Henri Chambert-Loir, VI Braginsky, E Ulrich Kratz, Doris Jedamsky, dan Pamela Allen.

Pamela Allen adalah seorang dosen dan peneliti studi Indonesia, khususnya bidang bahasa dan sastra, dari University of Tasmania, Australia. Selain itu, Allen juga seorang penerjemah sastra, baik Indonesia-Inggris maupun Inggris-Indonesia, yang telah diterbitkan di sejumlah media massa seperti di The Jakarta Post dan Menagerie (Jakarta: Lontar). Pada pertengahan tahun lalu bukunya yang berasal dari disertasinya, Reading Matters: An Examination of Plurality of Meaning in Indonesian Fiction 1980-1995, yang diterjemahkan oleh Bakdi Soemanto menjadi Membaca, dan Membaca Lagi, [Re]interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995, diterbitkan di Indonesia.

Kajian Pamela Allen atas dua belas novel Indonesia periode waktu tersebut sebenarnya beranjak dari teori-teori respons-pembaca yang mutakhir, seperti kajian materialisme kultural, post-modern, dan post-kolonial. Kedua belas novel yang menjadi subyek kajian Allen adalah karya-karya tetralogi Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), tiga novel Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar, Durga Umayi, Burung-Burung Rantau), dan karya-karya Putu Wijaya (Sobat, Perang, Teror, Kroco, Byar Pet).

PADA landasan teorinya, Pamela Allen menguraikan relativitas makna dalam sebuah teks yang didasarkan pada sejumlah pendapat dalam kawasan teori respons-pembaca atau kekuatan-pembaca menurut istilah Belsey. Meskipun fokus dan posisi kritisnya bervariasi, menurut Allen, pendekatan-pendekatan dalam kritik sastra itu mempertanyakan obyektivitas teks tersebut. Dalam praktik itu, berarti penaksiran-kembali dan penataan-kembali peran pengarang, pembaca, dan teks tersebut dalam proses “menciptakan” suatu karya sastra. Kalau sebuah teks tertentu dulu dianggap sebagai satu produk dari pengarangnya, dan oleh karena itu dianggap penting dan menjadi “harta milik” pengarang itu; pendekatan kritis “kekuatan pembaca” akan menolak pendapat tentang pengarang sebagai penjaga makna dalam sebuah teks. Pendek kata, menurut Allen, teks itu bebas dari “tirani pengarang” (halaman 1).

Pada bagian ini Pamela Allen mengutip sejumlah tokoh yang mengkaji masalah interpretasi teks, mulai dari Hirsch, Juhl, Wimsatt dan Beardsley, Barthes, Derrida, Gibson, Riffaterre, Poulet, Jauss, Iser, Fish, dan kemudian memfokuskan kajian teorinya pada pemikiran tiga tokoh interpretasi yang lebih kemudian, yakni Eco, Belsey, dan Easthope.

Buku Membaca, dan Membaca Lagi ini terdiri atas enam bab: (1) Pokok-pokok Masalah dalam Interpretasi, (2) Kisah-kisah Nasion (I)-Realisme Sosial, (3) Kisah-kisah Nasion (II)-Neo Regionalisme, (4) Anti Intelektualisme: Alegori, Imaji, dan Sastra Teror, (5) Pembacaan Pasca-modernis, dan (6) Pembacaan Pasca-kolonial. Buku ini diawali dengan sebuah pengantar dari Prof Dr Benny Hoed, pengantar dari penulis, dan intisari, serta diakhiri dengan sebuah kesimpulan.

Dari hasil analisisnya, Allen menyatakan bahwa iklim sastra Indonesia pada periode 1980-1995 ditandai oleh perputaran perdebatan sastra, di antaranya yang paling umum adalah masalah seni berpihak dan kemungkinan universalisme dalam sastra, atau yang lebih dikenal dengan Polemik Sastra Kontekstual. Keterlibatan politik dalam sastra sering diutamakan dalam diskusi-diskusi sastra, baik dari sudut pandang pengaruh rezim politik kala itu terhadap tindakan penulisan kreatif itu sendiri, dan sampai di mana karya-karya individual seharusnya dibaca sebagai pernyataan politik. Yang berbaring di belakang perdebatan tersebut adalah tumbuhnya suatu sastra antirealis, yang menuntut tempatnya di samping realisme yang menjadi basis dari novel Indonesia periode modern.

Periode tersebut juga ditandai oleh minat yang direvitalisasi dalam tradisi regional. Ini digabungkan ke dalam pertunjukan teatrikal dan karya-karya sastra dalam cara-cara yang terkadang melayani kebutuhan pemerintah Orde Baru untuk keselarasan dan stabilitas yang justru merupakan tantangan pada kebijakan-kebijakan itu sendiri (halaman 251).

KETIGA penulis yang dibicarakan dalam buku Allen ini mewakili berbagai titik pada kontinum realis-antirealis dan kontinum nasionalis-neo-regionalis. Karya-karya Pramoedya jatuh persis pada ujung keduanya: realis dan nasionalis. Karya-karya Mangunwijaya mencerminkan realitas yang bisa dikenali-nasion Indonesia-yang menggabungkan beberapa unsur eksperimentasi, fantasi, dan tradisi wayang. Karya-karya Putu Wijaya, sebaliknya, merupakan antitesis dari tulisan Pramoedya: fantastik dan bersifat tidak langsung, dan Putu mencampur hal tersebut dengan pinjaman-pinjaman liberal dari tradisi Bali dan Jawa.

Meskipun neoregionalisme merupakan ciri yang penting dalam beberapa karya Putu Wijaya dan Mangunwijaya, mereka memasukkan wayang ke dalam karya mereka dalam cara-cara yang amat berbeda. Mangunwijaya merajut acuan dan analogi wayang ke dalam wacana yang sebagian besar realis, sementara Putu Wijaya mengambil lisensi besar sekali dengan Mahabarata dalam narasi-narasinya yang diskursif dan fantastik.

Berlawanan dengan hal tersebut, narasi “tetralogi Pulau Buru” Pramoedya tidak mengandung jejak tradisi regional seperti yang diambil Mangunwijaya dan Putu Wijaya. Tetralogi itu ditulis dalam tradisi realisme yang murni, dengan mencerminkan keterlibatan Pramoedya pada proyek modernis dan penolakannya terhadap banyak unsur kebudayaan regional “feodal” yang ia anggap bertentangan dengan kemajuan bangsanya (halaman 252).

Dalam novel-novel Pram, suara pengarang itu terdengar paling jelas dalam kisah-kisah ketika Minke bergelut melawan warisan Jawanya, khususnya pada bagian yang mengisahkan interaksi Minke dengan ibunya. Menurut Allen, penolakan Pramoedya terhadap warisan Jawanya jauh lebih tegas daripada penolakan Minke dan, oleh karena itu, ia sungguh-sungguh berselisih paham dengan Ngugi Wa Thiong’o yang menyatakan bahwa menolak bahasa-ibu seseorang akan menghapuskan identitas diri kultural orang tersebut. Pramoedya juga tidak akan menyetujui pernyataan Memmi tentang buruknya pendidikan kolonial; Pram malah bersyukur atas pendidikan Belanda yang ia terima.

Demikian pula dalam Burung-Burung Manyar, dalam konteks pembacaan post-kolonial, kita sering “mendengar” keyakinan Mangunwijaya bahwa dekolonisasi seharusnya merupakan proses menolak kolonisasi tanpa perlu menolak orang Belanda. Hibriditas Teto, tokoh utama Burung-Burung Manyar, merupakan pernyataan politik Mangunwijaya dan sumbangan pemikirannya terhadap kondisi “pasca-Indonesia” yang amat heterogen.

Novel-novel Putu Wijaya yang interogatif (dan justru tidak bersifat deklaratif atau imperatif) menampilkan suara pengarangnya yang hadir dalam bentuk yang lebih menengahi. Suara pengarang itu hadir karena memang diajukan Putu dalam novel-novelnya yang juga ia ajukan dalam esai dan wawancaranya guna mengerti makna dan keberadaan manusia (halaman 255).

Pembacaan Pamela Allen memang berangkat dari tiga model pembacaan: 1) materialisme kultural dari Raymond William, 2) pembacaan post-modern, dan 3) pembacaan post-kolonial. Dalam kajian teorinya, Allen mengemukakan sejumlah teori yang membebaskan teks dari pengarangnya; meski demikian, dia mengakui suara pengarang tidak dapat “dibungkam” dalam analisisnya ini. Dengan begitu, pembacaan atas karya-karya Pramoedya, Mangunwijaya, dan Putu Wijaya dalam konstelasi kesusastraan dan kondisi sosial politik Indonesia pada umumnya menjadi lebih lengkap dan menarik, apalagi dia orang Australia yang melihat Indonesia dari luar.

Kajian Allen terhadap ketiga karya pengarang besar pada periode akhir abad ke-20 itu merupakan suatu angin segar dalam kritik Indonesia, apalagi kritik sastra Indonesia telah kehilangan “Paus Kritik Sastra Indonesia” HB Jassin. Publikasi atas karya-karya ilmiah semacam disertasi ini merupakan hal yang positif sehingga publik dapat mengikuti perkembangan keilmuan, khususnya kritik sastra, sehingga tidak terkurung dalam menara gading perpustakaan yang hanya dapat dibaca di tempat dan dilarang untuk mengopinya. Juga termasuk terjemahan semacam ini yang turut menyemarakkan kritik sastra Indonesia.

*) Dosen FBS Universitas Negeri Yogyakarta, Kini Tengah Mengikuti Program S3 Sastra di UGM Yogyakarta.

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati