Jumat, 28 Mei 2010

BENING, SI BINTIK BENING

KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/

Ah, ya, hampir saja aku menuju ke persimpangan jalan nan menyesatkan. Pada waktu itu, telah aku bentangkan layar-layar untuk mengkait tempatmu berlindung. Pada waktu itu, sebenarnya aku tegangkan sebuah penutup, sehingga sigatanmu mampu menghalangi sinar yang panas, sebelum empedu memahit, dan sebelum tempurung kepalamu berdenyut lunak kena jarum-jarum langit rasa sauna. Begitu kuatkah dirimu mencoba berlindung?

Bobby yang penyantun! Kiranya dinding ini terlampau tebal menyungkup, sehingga tubuhmu kegerahan, bukan? Rumah yang berdiri dan menaungi bukan sesuatu yang didambakan dalam rentang penantian. Akan tetapi, kala aku hendak menunjukkan musykilnya pengharapan yang berselang-seling, kurasakan betapa tambah rengkahnya dirimu dari persada-asal. Aku dan ibumu tengah berupaya, agar sel-sel darah yang berada dalam badan sehat bukan mempertentangkan alur dan lajurnya, melainkan justru mengalir bersama zat-zat lainnya yang secara kodrati memperteguh kelugasan antara rengkah dan rangkah di haluan.

Tiada yang mempertajam sengketa pada kehidupan di mayapada ini selain daripada mereka yang alpa, Nak. Ini sungguh pasti. Siapa memberangkatkan sampan-sampan, tanpa bisa memacakkan dayungnya, ibaratnya meramalkan cuaca tanpa mengetahui peta gunjingan angin. Pada saat manusia mengecimpungi sendang demi sendang yang pernah membincangkan air hijaunya di pagi resik – dan dengan demikian, kebugaran pun teruji kembali. Cobalah renungi kalbumu sendiri. Cobalah dekap lembah dan tebing di sekeliling sendang itu, niscaya masih lekat parakanmu.

Minggu pertama di bulan Maret, laras dengan peringatan hari jadimu yang sedikit pun tak pernah kami lupakan. Kau mungkin khilaf, bahwa papa senantiasa menyempatkan diri untuk menyimak Mazmur atau Khotbah di Bukit, sebagai pantulan rasa larutnya pada Injil nan melekat pada pori-pori kulit ini. Apakah Tuhan mendengar nyanyian kami? Mustikah kuucapkan litany cilik pada persembahyangan di kamar terasing sudut kidul rumah kita, yang kau selalu mengatakan, bahwa bau mawar oranye yang kutanam di sepetak tanah kering itu tak terlupakan, dan bahwasanya terus terasa bahwa Sang Timur sandar di situ?

“Papa bersikeras untuk bikin perjamuan, padahal masih terlalu siang untuk merayakan “Bojana Penghabisan” yang dilindungi merpati roh kudus sepanjang upacara bergema,” kata ibumu mengingatkan. Aku menjawab: “Tidak begitu, Mam. Aku merasa anak kita selalu tiba, sebelum bubur sumsum yang tersedia di panci itu habis untuk para tamu. Aku rasa, darah daging kita sendiri terus menunggu, kapan santapan utama siap…”

Ananda yang lurus hati.
Suatu pagi, saat dikau telah duduk di akhir Sekolah Dasar dan mengadakan darmawisata bersama teman-teman sekolah, ibumu kelihatan murung sekali. Kulihat, di luar, hari pun diliputi oleh gemawan tebal, sehingga keredupan udara terasa begitu menyekat tenggorokan. “Sayangnya si Bobby bersikeras berangkat hari ini,” ibumu menyampirkan handuk yang masih tertinggal di kamar mandi sehabis kaugunakan pagi buta. “Memangnya kenapa? Adakah sesuatu yang tertinggal?” tanyaku seraya memperbaiki radio transistor yang rusak di ruang tengah. “Papa lihat, celana renang dan alat pelampungnya masih tertinggal, padahal hari ini ia tentunya mandi-mandi di laut.” Aku menghela nafas. Semoga tiada marabahaya, desisku. Tapi aku rasakan, dadaku sesak. “Kau sering lupa menyiapkan apa yang perlu, jika anakmu lanang bepergian jauh,” kataku menyiasat. “Dia sih masih kebocahan sekali.”

Lantas terjadilah malam itu, lepas suara “Love Ambon” dari radio, pertanda siaran rampung di jam duapuluhempat tepat – seorang tetangga menyampaikan kabar. Dan aku beserta ibumu seperti tak bisa bernafas, karena peristiwa yang menyakitkan itu. “Putra Bapak, kini dibawa dengan ambulans. Luka-luka pada pelipis dan punggungnya.” Aku segera bergumam: “Oh, apakah Bobby mengalami kecelakaan di laut, Pak? Ia belum begitu mahir berenang.” Tapi polisi dan petugas rumah sakit cuma menggeleng lemah. Menjelang pukul tiga pagi, tahulah aku, bahwa luka-luka yang kauderita bukan karena musibah di alam yang ganas, melainkan ulah teman-temanmu sendiri jua. “Putra Bapak sering berkelahi?” tanya seorang guru yang menungguinya di zal. Aku berdesis, “Sepengetahuanku tidak.” Tapi ibumu langsung menukas: “Tuan belum tahu agaknya. Bobby bisa juga berang dan melabrak jika harga dirinya terinjak. Apalagi teman-temannya suka melecehkan, mengoloknya.” Dokter yang mendengar itu mengerling dan ikut numbrung: “Ibu, apakah dia terkucil di sekolah? Problem apa yang merisaukannya?” Maka setengah menangis, ibumu bilang begini: “Dengarlah, Tuan. Ibu mana tak tersentuh perasaannya bila anak lanang satu-satunya diperhinakan. Soal apa lagi kalau bukan rasial, soal warna kulit, soal kebangsaan. Sedih, Tuan. Teman-teman si buyung, yang tanpa sadar dicekoki prinsip nasionalisme dan patriotisme yang kelewat batas, menuding si Bobby sebagai “sisa begundal kolonial”, anak Blandis, dan cercaan yang pedas-pedas, gara-gara kulit anakku putih-bule, bukan seperti anak pribumi.”

Dokter tertawa, mengisap cerutunya, mengepulkan asap keruhnya ke langit-langit kamar. “Lebih baik tak usah kita perhatikan gurauan-senda bocah-bocah cilik yang lagi mabuk pada suasana dewasa ini. Suasana, tatkala demam nasionalisasi perusahaan asing tengah berkecamuk, karena meningkatnya perjuangan merebut Irian Barat dari rangkulan Belanda.” Aku berkata: “Kami sadar, bukan lagi menganggap semua itu sebagai omongan bocah melainkan sudah punya wur-wuran serbuk politik ekstrim, tak sehat!”

Maka, aku melangkah untuk melihat bagian-bagian dari badanmu yang dijahit, dan memerlukan penyembuhan yang cukup lama. Sejenak lampu neon di ruangan itu mengerdip dalam siratan luruh. Kupandang wajah ibumu yang suram dan temungkul. Ah, nak – kala itu alangkah pucat mukamu, bagai kapas. Seorang murid, yang melaporkan padaku tak lupa membeberkan, bagaimana Topo melakukan serangan dengan belati berkali-kali, melukaimu. Soalnya hanya karena kau mau pinjam piring dan gelas, dan dia melarang seraya mengatakan, bahwa “anak Belanda kuning seperti kamu sudah tak layak lagi tinggal di negeri republik kami yang merdeka ini.” Kau tersinggung, dan meninju lengannya. Lalu perkelahian tak terhindarkan dan kau dikeroyok lima teman-temannya yang solider. Aku mengeluh seraya melemparkan mata ke halaman rumahsakit yang luas itu. Aku raba keningmu yang panas. Balut-balut lukamu masih berdarah!

Dan itulah yang menjadi sebagian ganjalanku. Sampai di SMTP, ketika beberapa kali aku menyarankan, supaya kau lebih banyak berolahraga di alam luas, mulai dari sepakbola, basket, volley, renang, dan senam sehat. Kau begitu wangkot, Nak. Maksud bapak, olahraga akan menambah indah bentuk-jasadmu, dan lebih banyak potensi alam yang kausedot ke dalam ragamu, memperkuat sel-sel darahmu. Rupanya elektronika lebih menarik dirimu untuk berkurung dalam kamar sempit. Kau sendiri agak rendah diri jika harus bergaul dengan sahabat-sahabat di kampung. Nak, papa tak salah jika menyarankan supaya bergiat di udara terbuka. Karena jika kau banyak berjemur di bawah terik-surya, niscaya kulitmu takkan terlalu putih. Citramu sebagai ‘Sinyo’ yang agak mencurigakan, pada saat warga kampung sekitar kita tenggelam dalam antipati terhadap orang Belanda, yang mereka anggap sebagai ‘musuh republik’.

Hanya saja, aku berbesar hati, bahwa dirimu telah menuruti nasehat ayah, tiap minggu berkebun bunga di kebun belakang. Sehabis mencangkul bersamaku dan ibumu, wajahmu berkeringat, kemerahan, juga kulit leher, bahu dan dadamu. Apa boleh buat, kesunyataanlah yang bicara. Serasa, paras bulat Kapten Van Hasselman – suami ibumu, yang pergi tanpa pesan, setelah menebar benih di rahimnya. Ya, bahkan hingga dikau menatap dunia, dan berumur setahun. Kalau aku kemudian datang sebagai pelindung, dan mengangkatmu sebagai putraku terkasih, bukanlah lantaran aku berlagak pahlawan. Tidak, Nak, kinilah tiba waktunya aku untuk bicara sejujurnya. Neng Euis Tikah, ibumu itu – kembang desa Cilambuan; puluhan pria merindukannya, berhasrat mempersunting sekar mekar ini, sebelum akhirnya agresi militer kolonial datang menikam Tanah Pasundan. Dan itu kukatakan, karena aku juga termasuk salah satu di antara jejaka kolot yang mendambakan cintanya. Lantas kami bertemu, di daerah perbatasan tatkala Euis Tikah lari dari kota, ke tempat bibinya di Karilo. Kami dipertemukan Tuhan kembali. Dia menggendong anaknya yang sehat jenaka, yakni dikau sendiri, Nak. Dia tetap ayu-suci di mataku!

Bobby yang kini sudah dewasa.
Bapakmu ini jurutulis Pegadaian Negeri kala itu dan lamaran kepada Euis Tikah mendapat perhatian selayaknya. Kami menikah, dan kemudian hijrah di kota, tempat kami membesarkan dirimu hingga sekarang. Aku keluar dari pekerjaan yang lama, dan beralih jabatan sebagai pengelola hotel yang cukup terkenal itu – suatu bidang yang membuat secara materi, berkecukupan, bahkan bisa dikatakan berkelimpahan. Kami rasa, sebagai seorang ayah, aku bisa memberikan hal-hal yang bermanfaat tanpa prasangka buruk sedikitpun. Bahkan hingga SLTA, dan dirimu kepingin memasuki Akademi Militer Nasional – aku dan ibumu menyatakan keberatan yang besar.

“Kejadian-kejadian yang berhubungan dengan kemiliteran, pangkat-pangkat dan tanda lencana berkilauan senantiasa mengingatkan kami kepada perang nan memusnahkan segalanya,” itu alasan dariku. Lalu kuperlihatkan potret dari harian “Dwiwarna” yang terbit pada tahun 1948, yang mengisahkan, bagaimana dua orang pamanku terbantai di Bandung Selatan, bersama dengan ratusan warga kampung di daerah kumuh itu. Pelakunya adalah Westerling, algojo Belanda yang haus darah itu. Seorang kerabatku yang lain, ikut menjadi korban ketika pulang dari pasar. Ia seorang ibu yang tengah mengandung-tua, dan ditembak di tengkuknya, sewaktu bersepeda melintas halaman sebuah kantor. Seorang sahabat mengabarkan, salah satu penembak yang ikut merobek-robek perut rakyat tak berdosa itu adalah Van Hasselman, bapak kandungmu, yang waktu itu melampiaskan kemarahannya kepada warga kampung yang konon kabarnya pernah menyinggung harga dirinya sebagai perwira kolonel.

“Papa merasa getir dan mendendam, bukan?” tanyamu menyelidik, ketika halaman pertama suratkabar itu kubuka di atas meja untuk menerangkan hal ini kepadamu. Ibumu menjeling dari kacamata minusnya dan meletakkan jemari pada lenganku. “Tidak, tidak, Nak. Tidak sama sekali,” ujarku spontan. “Mengapa aku harus terus-menerus menciptakan dendam kesumat yang serba naif itu, Nak? Seorang manusia ditakdirkan untuk tumbuh serta bangkit sebagai orang yang jantan, betapapun kecil kedudukannya. Dendam hanyalah letupan emosional yang melorotkan martabat hingga diri kita tak lebih daripada nyamuk yang selalu mendengung untuk menghisap darah, tanpa kepedulian yang pasti. Tuhan memberi kita nalar wening dan rasa yang bermahkota, yang membuat kita harus sadar akan satu pembatas yang mengatur sikap bijak kita. Melupakan sesuatu nan teramat menggetir hati, kiranya jauh lebih mulia, katimbang kita terus tergoncang dalam deru ke-dendam-an itu.” Lalu kau tercenung beberapa menit. Ibumu menimpali: “Dengarlah, Bobby. Papa mengatakan apa yang paling mendesir di dasar nurani. Ia telah menerima ibu tanpa prasyarat apapun. Ia telah mengangkatmu sebagai satu-satunya putra terhormat, bahkan dirimu juga berhak menggunakan nama keluarganya. Keluarga bangsawan yang membuat orang membanggakannya!”

Aku tak perlu menggarami dan mengasami perkataan ibumu ini. Satu senggolan kecil di kalbu, melihatmu menitikkan airmata. Nak, kau sungguh seperti papa, yang takkan membasahkan tirta kepiluan jika bukan ada sesuatu yang membikin batin terkoyak. Tapi anakku toh tak bisa berbohong dengan dirinya sendiri, bukan? “Sekiranya papa menghadapi pembunuhan brutal tersebut dengan batin koyak-moyak, sanggupkah papa menerimanya dengan tawakal?” demikian kaucoba mengusik hatiku. “Buyung sayang, bahkan sebaliknyalah. Papa semula belum bertawakal ketika menerima kabar, kedua pamanku dijagal di pinggir jalan. Aku sendiri anggota laskar pelajar, berdarah panas, mudah mengosongkan pistol untuk kemarahan nan muspra. Di sini, peristiwa itu cukup merantaskan saraf-sarafku yang muda. Aku memerlukan waktu sepuluh hari buat mendinginkan darah nan mendidih. Aku banyak berpuasa dan sembahyang tahajud, Nak.”

“Mengapa papa tak mendendam pada orang Belanda?”
“Sekali lagi, ketololan semata yang membikin orang melampiaskan sakit hati pada sesamanya, Nak. Kalau kau jadi dewasa, lalu jadi arif di kala berangkat tua, maka salah satu faktor penyebabnya adalah iman di dada. Keinsyafan, bahwa tiada yang kekal di bumi ini. Apa jadinya jika bangsa-bangsa meletupkan keberangannya?”

“Aku kini menyesal, Papa. Waktu kecil dulu, aku mudah naik darah, bila diolok-olok ‘seperti sinyo Kemayoran’, karena kulitku bule, berbeda dengan kawan-kawan yang merasa memiliki Tanah air ini, dan putra Republik yang murni. Papa menyadarkan berulangkali, perkelahian tiada arti sama sekali jika soalnya menyangkut hakiki kesucian darah pribumi atau bukan. Sementara di luar sana, masyarakat luas telah saling bahu-membahu dalam mewujudkan kerjasama kebudayaan. Aku sekarang tahu, kalaulah orang menumpahkan kesalahan pada penjajahan imperialistik ratusan tahun, maka sebenarnya sama artinya dengan mengutik-utik keringkihan-kelemahan nenekmoyangnya sendiri yang gemar bertengkar, hingga saling-cakar buat mempertahankan sejengkal bumi. Di tengah perselisihan, datang pihak ketiga: kaum penjajah Barat yang haus wilayah, yang memainkan peranannya sebagai duta-keberanian dan atasnama Sejarah, menjadi sang pemenang.”

“Andaranmu tepat, Buyung,” kataku penuh haru. “Apakah guru-guru Sejarahmu di SMA mengajarkan tentang kawicaksanaan ini?” Malam ini, kita ingin mengucapkan rasa akrab akan cita-mulia.

“Pada garis besarnya juga, Papa,” tegasmu bersemangat. “Menyesali masalampau adalah kesia-siaan. Menangisi kejatuhan bangsa, juga suatu kenaifan yang pepat. Dewasa ini kita bukan bicara lagi tentang kesucian ras, warna kulit, ataupun prabeda ideologi nan saling adu-bokong. Kelahiran tiap individu tak usah disesali sebagai beban politis yang berkepanjangan, sementara dunia yang akbar masakini telah semakin asyik-masyuk menjalin ikatan kebudayaan, Pa.” Kau sungguh memiliki derajat pengemban TulusNya.

Aku bangga dengan beberan-beberan pikiranmu, Bobby. Malam, di mana kita berbincang tentang dimensi Sejarah itu bagiku merupakan peristiwa bersejarah. “Hidup, mati, jaya, dan uzur adalah istilah-istilah histories yang mengantar insan untuk lebih menggalang keberadaan fitrahnya. Kasih yang menguntum di tengah rabuk-rabuk nan menyuburkan persada pengabdian, akan menyandang bahagia nan wangi.”

Hari-hari di SMA telah kaulalui dengan memuaskan, dan tiga tahun yang memberiku arti adalah bahwa Bobby memiliki nilai rapor yang bagus, terutama untuk ilmu pasti. Pada akhirnya aku ‘maturnuwun’ pada Gusti, saran kami kau jadikan pertimbangan dalam menentukan sekolahmu di perguruan tinggi. Kau tak jadi memasuki Akademi Militer, melainkan menjatuhkan pilihan pada Akademi Teknik yang mengkhususkan studi pada pembangunan jembatan dan bendungan. Kudoakan, jika lulus nanti, mohonlah beasiswa untuk meneruskan studimu di Delf, Negeri Belanda, yang lebih memberikan bintik-bintik bening pada bola mata pembangunan di kemudian hari, Nak.

Bobby yang lembut hati! Liburan semesteran pada tahun pertama di akademi itu, kusambut dengan pembacaan ‘Khotbah di Bukit’, dan kau kelihatan sedikit kurus dan parasmu lebih lonjong sekarang. Kalau tak salah lihat, kulitmu tak lagi seputih dulu, melainkan sudah menglasat, dan gerak tubuhmu tambah tangkas-trengginas. Horas! Laporan pertama yang kauucapkan dalam nada agak parau, tapi mata berbinar adalah: “Pa, aku ikut lomba mendaki gunung. Kami banyak berlatih menaklukkan bukit-bukit di Pasundan. Bulan depan, kelompok kami siap mendaki Galunggung. Senang, Pa! Aku banyak teman.” Ah, buyung sayang. Tubuhmu gagah-tinggi, dan wajahmu tampan. Mengapa tidak bercerita tentang gadis-gadis ranum yang kesengsem padamu? Pipimu memerah ketika papa bertanya potret setengah badan perawan jelita berlesung pipit, yang kulihat menempel di sampul buku diktatmu. “Aku giat berolahraga, Pa. Belum tertarik kaum hawa…” Bahwasanya, sebagai lelaki muda, kau memiliki dasar yang tegar.

Aku suka mesem-mesem sendiri lamun terkenang kejenakaanmu kini, dan kenakalanmu semasa bocah. Sore kemarin aku sedang mendangir kembang gladiola di pot-pot kecil merah di beranda belakang. Sedikit kusiram dengan gayung dari ember, sementara rabuk kotoran kelelawar kuaduk dengan tanah gembur. Sorot mentari petang membelah ruangan ini dengan bayang menyiku di antara kuning keunguan. Ibumu datang dalam daster birumaya dan menyampaikan jeruk yang sudah dikupas. “Pa, aku ingin menunjukkan sesuatu yang indah,” ujarnya menyentuh bahu. “Tentang apa dan siapa? Di mana, Ma?” – demikian aku tanggapi sambil mengunyah jeruk. Ia menggandengku sambil lirih menyanyikan tembang-tembang Sunda, lagu kegemaran ibumu. Tapi bukan itu yang membuat kami ketawa dan terpesona, Nak. Kau begitu bugar, muda dan perkasa dalam keadaan telanjang bulat, seperti menikmati liburan hangat di kampung. Air segar nan jernih mengguyur tubuh, dan aku seakan menangkap masa mudaku sendiri; seolah masa itu belum jauh berlalu. Bukankah buat pertama kali dulu aku ketemu ibumu semasih gadis, dekat sumur tua di sudut ladang? Aku tengah mandi telanjang bulat ketika itu, dan lupa, ada gadis lewat.

“Mama, Mama. Mama dulu juga tertarik waktu aku…”
“Bukan begitu, Pa. Tengoklah. Semakin dewasa, Bobby makin menyerupai dirimu. Wataknya, kebiasaannya. Juga kulitnya, Pa.” Aku mengerti maksud ibumu. Kulit badanmu sekarang langsat, Nak, seperti kulitku dan mamamu. Tidak terlalu putih lagi. Langsat indah. O, terimakasih. Terimakasih matahari khatulistiwa, yang membentuk tubuh kekar putraku, memberikan kulit langsat pada si buyung sayang!

*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Ekstasi Puisi

Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/

Di saat sedang membaca puisi, terutama kalau puisi yang sedang saya baca itu mampu menimbulkan apa yang oleh si pemikir Junani Kuno Aristoteles disebut sebagai “katharsis”, yaitu semacam rasa nikmat ekstasi-tekstual, atau tekstasi, saya selalu dikonfrontasi oleh sebuah pertanyaan: Kenapa bisa timbul tekstasi tersebut? Apa yang menyebabkannya?

Tapi perlu buru-buru saya tambahkan bahwa “rasa nikmat ekstasi-tekstual” atau “tekstasi” itu tidak terjadi karena saya kebetulan membaca puisi seorang penyair yang sudah terkenal. Maksud saya, terkenal-tidaknya “nama” seorang penyair, bagi saya, tidak otomatis menimbulkan katarsis dalam peristiwa pembacaan yang saya lakukan. Reputasi biografis seorang penyair terkenal paling-paling cuma menambah rasa suspense, atau harapan-untuk-kejutan, yang lebih besar saja bagi kemungkinan terjadinya sebuah katarsis. Bahkan tidak jarang banyak sajak para penyair terkenal ternyata hanya mampu untuk tidak menimbulkan respons apa-apa pada diri saya, kecuali rasa mual tekstual, setelah membacanya, sehingga membuat saya heran kok sajak beginian bisa keluar dari imajinasi seorang yang terkenal. Malah sangat sering membuat saya menggerutu, apa sebenarnya yang membuat si penyair bisa terkenal. Sebaliknya, tidak jarang ada sajak penyair keroco, penyair sekedar, bahkan penyair pemula yang justru membuat saya terangsang secara tekstual, dan menimbulkan katarsis tadi. Jadi, belajar dari pengalaman, ternyata dalam dunia kepenyairan, dalam dunia kang-ouw puisi, nama bukanlah merek yang bisa menjamin atau menentukan mutu, seperti di dunia kapitalisme konsumer. Kembali ke pertanyaan di awal esei saya ini, lantas apa yang menyebabkan sebuah puisi bisa menimbulkan katarsis setelah membacanya?

Jawaban akademis yang biasanya diberikan adalah apa yang dalam teori sastra disebut sebagai faktor “kesastraan” (literariness) sebuah teks puisi. Faktor kesastraan sebuah teks puisi tak lebih tak kurang adalah unsur-unsur linguistik yang diyakini merupakan elemen-elemen paling penting dalam anatomi teks, yakni pola-pola bunyi dan sintaksisnya seperti repetisi, aliterasi, rima, irama dan bentuk-bentuk stanzanya, termasuk juga kadar sering munculnya kata-kata kunci atau imaji-imaji tertentu. Inilah yang disebut sebagai “alat artistik” (bahasa) puisi itu yang fungsinya bukan sebagai hiasan-tambahan bagi makna puisi, tapi justru menyebabkan perombakan total bahasa di tingkat semantik, bunyi dan sintaksisnya. Singkatnya, faktor kesastraan inilah yang membuat bahasa teks puisi dianggap unik, berbeda, dari bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari manusia. Atau dalam kata lain, inilah bedanya bahasa puitis dari bahasa prosais itu.

Bagi saya sendiri, kesastraan bahasa puisi seperti yang diungkapkan kaum Formalis Rusia di atas masih belum cukup untuk membuat sebuah puisi berhasil menjadi puisi, mampu menciptakan katarsis. Ada faktor lain di luar faktor linguistik (pola persajakan/versifikasi, misalnya) yang juga memiliki fungsi artistik yang tidak kalah pentingnya dalam membuat “sebuah sajak menjadi” (dalam istilah Chairil Anwar). Faktor lain ini adalah apa yang oleh kaum Kritik Baru Amerika disebut sebagai “relasi timbal-balik yang kompleks antara aspek-aspek ironi, paradoks, dan metafor dari makna bahasa sebuah puisi, serta pengorganisasian ketiganya di sekitar sebuah ‘tema’ kemanusiaan yang penting”. Kombinasi dari kedua pandangan inilah, bagi saya, yang menjadi hakekat “kesastraan” sebuah puisi, yang memungkinkannya untuk menimbulkan ekstasi-tekstual pada pembacanya. Paling tidak, di sisi lain, kedua definisi “kesastraan” puisi ini mesti disadari seseorang yang ingin melakukan sebuah close-reading atas puisi, sebuah pembacaan yang mendetil dan jelas atas kompleksitas antar-relasi dan ambiguitas dari unsur-unsur yang membangun sebuah karya.

Kombinasi kedua pandangan di atas biasanya akan kita temukan dalam sajak yang menjadi. Dan sajak yang menjadi ini biasanya adalah sajak yang bercerita, sajak yang memiliki sebuah topik pembicaraan, bisa tentang percintaan, kelahiran, kematian, matahari dan bulan, atau ketuhanan, yaitu pokok-pokok yang berulang-ulang telah mengharukan si seniman, mengutip Chairil lagi, dan tidak sekedar berindah-indah dengan permainan kata atau dengan musikalitas kesamaan bunyi kata. Bagi selera saya sendiri, semua sajak Chairil dan sajak-sajak Rendra dalam kumpulan Blues untuk Bonnie adalah sajak-sajak bercerita yang menjadi.

Kematangan penguasaan bahasa (dalam phrasing diksi dan irama metrikalnya) dan intensitas penghayatan pengalaman hidup merupakan dua hal yang tak dapat ditawar-tawar bagi seseorang yang ingin menjadi seorang penyair yang menjadi. Kemampuan teknis yang matang untuk menceritakan pengalaman hidup yang dengan intens dihayati adalah ciri utama puisi Chairil dan puisi Rendra di atas. Inilah sebenarnya yang disebut sebagai imajinasi itu. Satu saja dari kedua persyaratan utama untuk menjadi penyair yang menjadi ini tidak dimiliki, maka apa yang kita hadapi bukanlah sebuah imajinasi tapi khayalan kosong belaka. Dan penyair yang bisanya hanya berkhayal belaka bukanlah seorang penyair yang menjadi, tapi cuma seseorang yang menjadi penyair sekedar, malah mungkin, tanpa disadarinya sendiri, cuma seseorang yang menjadi penyair gagal.

Karena, seperti yang diyakini Chairil sendiri:

“Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentukkannya dari benda (materi) dan rohani, keadaan (ideeel dan visueel) alam dan penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-hasil kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan jiwa dengan dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang lain, segala yang masuk dalam bayangannya (verbeelding), anasir-anasir atau unsur-unsur yang sudah ada dijadikannya, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya menjadi suatu kesatuan yang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunyaan penyair itu sendiri.

Jalan, ketumbuhan, proses dari penciptaan kembali ini, datangnya, keluarnya, tersemburnya dari konsepsi si penyair, penglihatannya (visie), cita-citanya (ideaal-ideaal), perasaan dan pergeseran hidupnya, pandangan hidupnya, dasar pikirannya. Semua cabang-cabang dan ranting-ranting dari bahan pokok yang besar ini haruslah sesuatu yang dialami, dijalani (dalam jiwa, cita, perasaan, pikiran atau pengalaman hidup sendiri) oleh si penyair, menjadi sebagian dari dia, suka dan dukanya sendiri kepunyaannya, kepunyaan rohaninya sendiri. Dan ditambah lagi dengan tenaga mencipta, tenaga membentuk, yang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran sehingga terjadilah suatu kehidupan, suasana, kehidupan dan tokoh (gestalte).”

Kalau kita perhatikan pernyataan kredo puisi Chairil yang sengaja saya kutip dengan panjang itu maka terlihatlah betapa bagi Chairil penghayatan kehidupan yang intens (alam dan penghidupan sekeliling, hasil-hasil seni lain, pikiran-pikiran orang lain) merupakan unsur utama sajak yang menjadi itu. Begitu juga dengan kematangan teknik, yang dengan khas disebut Chairil sebagai “tenaga mencipta, tenaga membentuk, yang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran”. Hidupnya istilah-istilah yang dipakai Chairil dalam kutipan di atas, tidak bisa tidak, menunjukkan betapa bagi dirinya sebuah sajak yang menjadi itu bukanlah sebuah sajak yang asal-jadi. Intensitas adalah segalanya. Itulah sebabnya bagi dia sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia, suatu dunia baru, yang indah serta mengharukan, dan dunia itu menjadi kepunyaan penyair itu sendiri. Dan memang intensitas penghayatan kehidupan dan kematangan berbahasalah yang kita alami setiap kali kita membaca puisi Chairil. Pengalaman pembacaan macam inilah yang menimbulkan katarsis, tekstasi, atau rasa yang indah serta mengharukan itu.

1876, Ruh Puisi Arthur Rimbaud di Salatiga

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=464

Ruh puisi sebelum dituangkan penyairnya, masih mengawang di langit-langit bathin penciptaan. Betapa menggumuli cahaya rasa itu amat payah. Laksana air direbus di atas tungku dengan nyala api keabadian.

Mematangkan zat-zat pengalaman hingga tiada bakteri tersisa. Dari sana hadir kejelasan awal, tersugesti jiwanya sendiri demi memuntahkan gejolak terkandung lama. Sekelahiran musti, sesudah rindu tak tahan terbebani.

Kepercayaan terbit memusnahkan pekabutan was-was, tenggelamkan keraguan. Sirna bayang ketakutkan selama ini menghantui percintaan. Dalam peleburan ruang-waktu yang selalu digembol bersama kesadaran.

Tercapailah kata-kata dari mulut pena, menggambar di lelembaran kertas, memahat kayu kesaksian. Takdirnya melayarkan sampan nurani demi pelita umat manusia.

Kala raga bathin sukmanya dibuncahkan kepenuhan, menjalarlah dinaya kepenyairannya melalui jari-jemari cekatan menari dan terus-menerus bergetar.

“Putra Shakespeare” julukan dari Viktor Hugo (1802-1885) kepada Arthur Rimbaud. Menatap bayang dirinya tertimpa cahaya silam. Berbinar-binar matanya diruapi ruh nenek moyang terdekat. Membimbing jiwa-jiwa tidak jerah, kian kukuh beriktiar dalam pencarian.

Sampai titian akhir dirampungkan karyanya, dipelototi berulangkali di sana-sini. Dipangkas disesuaikan lebih manusiawi atau indrawi dari keadaan sebelumnya. Disimpan dalam kotak rapi, sebelum jarak penantian mempelajari yang berkisaran antara dirinya selama ini.

Kesungguhan berlanjut setelah keraguan menghantui balik, kecemasan diangkat kewaspadaan. Diambilnya catatan lalu, dibacanya keras-keras dalam bathin dan bersuara lantang. Di sinilah penyesuaian akhir terjadi.

Penggalan tiada ampun pada diri sendiri, pilihan kata melebihi jatuhnya hukum pancung. Warna diselaraskan melodi diseiramakan. Mematangkan hembusan perubahan yang selalu dikendarai. Jika ragu disimpan lagi, kalau dirasa purna diyakini berkesaksian akhir seperti awal kelahiran.

Bernard Dorléans dalam bukunya “Les Français et I’Indonésie du XVIe au Xxe siécle” menyebutkan Arthur Rimbaud berada di Jawa tahun 1876 sebagai anggota tentara Belanda. Kini izinkan diriku menafsirkan salah satu puisinya bertitel “Chanson De La Plus Haute Tour” dari buku Sajak-Sajak Modern Prancis Dalam Dua Bahasa, disusun Wing Kardjo, Pustaka Jaya, 1972:

LAGU MENARA TERTINGGI
Arthur Rimbaud

Datanglah, ya datang
Saat bercinta.

Aku sudah begitu sabar
Hingga semua kulupa.
Derita dan gentar
Ke langit musnah.
Dan haus maksiat
Membuat darahku pucat.

Datanglah, ya datang,
Saat bercinta.

Bagai padang
Terbengkalai lupa,
Belukar dan kemenyan
Tumbuh dan berbunga
Dalam dengung liar
Lalar-lalar kotor

Datanglah, ya datang
Saat bercinta.

Rimbaud, membangkitkan masa-masa penuh gairah dari dasar dirinya. Dinayanya diangkat melambung memenuhi panggilan jauh. Atau pribadinya yang menyerukan sebab musabab.

Lantas wajah-wajah berdatangan, berduyun-duyun mendapati kemungkinan. Kasih sayang menggebu dilumati rindu terdalam. Bersamanya segala ucapan mencipta atmosfer besar dalam rahim semesta.

Menebali keyakinan pada semua insan, laksana takdir digariskan. Tidak goyah meski seluruh penjuru dunia hendak menggagalkan. Itu ruh bathin mematangkan suara-suaranya menuju relung terdalam, kalbu jaman.

Kesabarannya menanti melululantakkan bangunan sejarah silam di atas timbunan kenangan pedih. Bebunga karang ingatan disapu hantaman gelombang atas luka-luka menggaramkan diri.

Hingga rasa gentar jua was-was, hanyut terseret arus hasratnya tak terjamah kembali. Musnah kecuali kehendak sah dan peleburan nafsunya memucatkan wajah-wajah ayu seampas tebu.

Atau kekelopak kembang layu oleh angin sayu mendadak menuakan waktu. Buah apel keriput sebelum terjamah jemari halus. Rimbaud memanggil kedatangan bayu bukan kemanjaan, namun pesona sumringah seasmara maut.

Datang angin purba membentur-benturkan mata anak-anaknya, pada bebatuan tebing meruncing legam. Di sana lelempengan waktu bersimpan hikayat kerinduan.

Tanah longsor menimbuni suara-suara lama, kini tergerus bayu pantai meniup tulang-belulang ribuan tahun silam. Yang terpendam menjelma batuan kapur, sepucat getir hujan dini hari.

Melupakannya kesadaran akan berpindah atau telah muksa. Kematian kekasih membayangi tercinta, terus mengharumkan percumbuan lekati bibir mengatup bergetaran.

Beterbangan seawan hitam melahirkan masa-masa menggoyang rerimbun kekokohan. Menara tertinggi kehadiran kala percintaan: maut selalu dirindu para pencari jalan keabadian.

Menjalarkan api abadi ke lorong-lorong buram. Hantu-hantu dibangkitkan bukan kangen, tapi petaka menimpa lama tersia.

Ngeri derita luput ke langit merah. Di padang-padang binasa berlipat amarah, datang sewaktu bercinta penuh gairah.

Demikian tafsiranku kali ini. Untuk riwayatnya aku petik dari buku Puisi Dunia, jilid I disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952:

Jean Nicolas Arthur Rimbaud (20 Oktober 1854 - 10 November 1891) penyair Perancis lahir di Charleville, Ardennes. Seorang berpendidikan agama, mula pendiam tapi tiba-tiba berontak meninggalkan sekolah dan ibunya, muncul di Paris pada usia 15 tahun. Langsung mendapatkan Paul Verlaine bersama sekumpulan sajak yang menggemparkan penyair-penyair di Paris. Yang kelihatan sajaknya berpandangan hayali dramatis. Fantasi serta perasaan halus melamun. Sajak bebasnya lincah, kata-kata yang dipergunakan sewarna bunyi bergeraknya gambar, asosiasi di sekitar satu metafor sebagai pusat.

Dari kumpulan ini mengalir arus simbolik masuk kesusastraan Prancis. Dalam beberapa hal Rimbaud dianggap pelopor aliran surealis, menulis sajak antara usia 15 dan 19 tahun. Himpunannya yang terkenal “Poésies”, “Une Saison En Enfer” , “Illuminations.” Sajak tersohornya “Le Bateau Ivre” penuh lambang peristiwa nasib-nasiban serta lukisan daerah-daerah jauh yang aneh.

Rimbaud tidak normal ini seakan sanggup melihat dengan mata bathinnya. Paul Claudel (1868 –1955) menganggapnya penyair terbesar yang pernah hidup. Setelah hampir ditembak mati oleh Verlaine, tiba-tiba menghilang. Menempuh hidup nasib-nasiban, berbakat di lapangan yang kurang cocok dengan pembawaan sastrawan. Menjadi pedagang gading, menjual senjata kepada Negus. Rimbaud meninggal di Merseille karena jatuh dari kudanya. Kakinya terpaksa dipotong, radang darah menamatkan riwayatnya.

Petikan http://en.wikipedia.org/wiki/Arthur_Rimbaud: tertulis, Mei 1876 mendaftar prajurit Tentara Kolonial Belanda demi berjalan bebas biaya ke Jawa (Indonesia), melakukan desertir dan kembali ke Perancis dengan kapal. Di kediaman walikota Salatiga, sebuah kota kecil 46 km selatan Semarang, Jawa Tengah, ada piagam marmer yang menyatakan Rimbaud pernah tinggal di kota.

Rimbaud dan Verlaine bertemu terakhir, Maret 1875 di Stuttgart, Jerman, setelah bebasnya Verlaine dari penjara. Saat itu Rimbaud menyerah menulis, memutuskan bekerja atau sudah muak kehidupan liarnya. Ada yang menyatakan berusaha kaya agar mampu hidup satu hari sebagai sastrawan independen. Terus bepergian secara ekstensif di Eropa, sebagian besar jalan kaki.

Di rumah sakit di Marseille, kaki kanannya diamputasi. Diagnosis pasca operasi ialah kanker. Setelah tinggal sebentar di kediaman keluarganya di Charleville, melakukan perjalanan kembali ke Afrika. Di jalan kesehatannya memburuk, dibawa ke rumah sakit yang sama. Pembedahan dilakukan dihadiri saudarinya Isabelle. Rimbaud meninggal di Marseille, dimakamkan di Charleville.

Minggu, 02 Mei 2010

SIHIR TERAKHIR; Antara Perjuangan, Perubahan, dan Kematian

Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

Orang kerap menganggap dalam realitas kehidupan ini selalu terjadi pemarjinalan terhadap kaum perempuan. Itu akar pondasinya bertumpu pada suatu kisah sejarah akan keberadaan manusia yang disimbolkan dengan keberadaan Adam dan Hawa. Berdasarkan kisah tersebut, kebanyakan orang berasumsi akan keberadaan wanita yang selalu berada dibawah bayang-bayang laki-laki. Ia sebagai kaum lemah yang berfungsi sebagai pelengkap hidup bagi kaum laki-laki.

Mata Air dan Kitab Kearifan

Mustofa W Hasyim*
http://www.suaramerdeka.com/

SUATU hari, masih pada zaman Orde Baru, saya bersama seorang teman berburu naskah ke Salatiga. Ketemu dengan para pendekar pemikir bebas seperti Arief Budiman, Ariel Heryanto, dan George Yunus Adicondro yang waktu itu kaca rumahnya baru saja ditembak orang sehingga pecah berantakan. Seharian bertemu dengan tiga tokoh itu, ngobrol dan mencari kemungkinan-kemungkinan masa depan Indonesia yang makin menyesakkan nafas. Waktu itu saya mencoba mengetes bagaimana persepsi atau kesan tiga tokoh Salatiga itu terhadap pribadi Pak Kuntowijoyo. Kami bilang, karya beliau juga telah kami terbitkan. Reaksi ketiga pakar hampir sama. Semua langsung khusyuk, hormat, kehilangan sifat ”badungnya”, begitu mendengar nama beliau disebut.

Waktu-waktu berikutnya, ketika masih menjadi wartawan harian, saya sering melakukan percobaan yang sama. Semua tokoh, baik dari yang termasuk sayap kiri, kanan, NU, Muhamadiyah, kelompok ekstrem tengah pun, begitu mendengar nama beliau rata-rata langsung hormat, menyatakan kekaguman atas kejernihan pikiran, juga kearifan sikap-sikapnya. Termasuk Mas Darmanto Jatman yang ahli slengekan pun langsung menjadi serius dan tertib kalau membicarakan beliau.

Memang, beliau yang kemarin meninggal dalam usia 62 tahun dan hari ini dimakamkan, sungguh merupakan mata air kearifan yang senantiasa mampu menjaga kejernihan pikiran, ucapan dan tindakannya. Menghadapi siapa pun selalu biasa, ramah dan terbuka. Terhadap wartawan atau sastrawan yang masih hijau dan grusa-grusu beliau tidak marah. Bahkan waktu masih sehat, selalu mau mendatangi semua undangan pentas drama, baca puisi, sarasehan, walau yang mengundang anak muda atau kelompok kampung yang tidak punya nama.

Pengalaman berkali-kali wawancara, menyunting banyak buku hasil tulisan beliau, membaca karya-karyanya, menyaksikan pentas drama dan pembacaan puisi dan cerpennya saya selalu menjumpai satu hal yang sama. Kejernihan dan kesegaran. Selalu ada hal yang baru yang sebelumnya tak terbayangkan. Uraian atau tafsir-tafsirnya terhadap kehidupan, juga ajaran dan momentum keagamaan juga selalu segar, dan memudahkan wartawan untuk mencari lead dan judul beritanya.

Yang mengagumkan, sepanjang saya bergaul dengan beliau, tidak pernah sekali pun Pak Kunto menasihati atau menggurui orang. Apalagi menyakiti hati. Seluruh pikiran, sikap, tindakan, dan ucapan, juga humor-humor ”alternatif” yang dilontarkan sudah lebih dari sebuah nasihat, bagi yang mampu menangkap kandungannya.

Jadi bergaul dengan beliau, menurut istilah Mas Darmanto Jatman, selalu enak kepenak, sarwo nengesemake penggalih. Bahkan ketika sakit dan baru sembuh saya menjenguk beliau, numpang shalat magrib di rumahnya suasananya tetap segar. Dalam kondisi yang sulit berkomunikasi pun beliau berusaha menyenangkan tamu, melontarkan humor, yang diterjemahkabn oleh Bu Kuntowijoyo. Ingatannya masih tajam, semua tempat yang pernah diteliti, nyaris tak terlupakan. Ketika saya menyebut sebuah desa di Klaten atau di Kebumen, langsung ingat apa yang pernah terjadi di sana. Demikian juga kalau menyebut Madura, lokasi penelitian untuk penulisan disertasinya yang kemudian diterbitkan menjadi buku. Sebagai peneliti sosial, beliau adalah orang yang serius dan piawai.

Mendidih
Dengan basis kemampuan meneliti masyarakat, dan manusia ini maka beliau memiliki kekayaan pengetahuan dan pengalaman yang kemudian dapat diolah menjadi karya kreatif berupa puisi, naskah drama, novel, cerpen misalnya.

Apalagi semangat berkarya yang mendidih dalam dada sering tak mungkin ditunda-tunda. Baru sembuh dari sakit, masih dalam perawatan dokter dan masih dalam proses pemulihan diri, beliau dengan susah payah waktu itu mampu menulis dua cerpen, dan ini mengawali cerpen dan tulisan lain yang sepertinya kemudian membanjir, lahir dari tangannya.

Dari pengalaman bergaul dengan beliau, muncul banyak kenangan melegenda. Waktu beliau masih tinggal di selatan Bioskop Mataram, misalnya, tidak pernah menolak wawancara, meski waktu itu sedang sibuk menulis.

Kabarnya, kemampuan beliau untuk berkonsentrasi dan melakukan konsentrasi ulang luar biasa. Meski diinterupsi dengan kedatangan tamu, dengan tugas-tugas rumah tangga, mengasuh anak atau lainnya, kalau sudah berniat menulis maka begitu ganguan lewat Pak Kunto mampu melanjutkan tulisan itu dengan mood dan konsentrasi yang sama.

Dengan penguasaan ilmu sejarah sosial dilengkapi dengan kepekaan intuisinya, maka kemampuan beliau memosisikan sesuatu dan masalah secara proposional jarang ada tandingnya. Sesuatu yang bagi orang lain rumit dapat dijelaskan secara sederhana. Novel Mantra Penjinak Ular yang ditulis kemudian, sama jernihnya dengan novel Pasar dan Khutbah di atas Bukit yang ditulis pada puluhan tahun sebelumnya. Demikian juga esai-esai, dan buku-buku nonfiksi yang terbit kemudian maupun pada zaman dulu.

Inilah yang menyebabkan saya selalu ingat sebuah ruang di Fakultas Sastra Jurusan Sejarah UGM. Tempat ketika dengan suara lirih ia selalu menerima saya untuk wawancara atau sekadar ngobrol memperbincangkan kehidupan, karya, sastra dan masyarakat. Demikian juga ruang tamu di rumahnya yang sangat sederhana. Hanya dihias dengan patung pohon kelapa gading kuning di sudut kamar. Di situlah saya merasa teguyur oleh mata air kearifan, atau kadang suasana itu berubah. Saya menjadi murid kecil yang sedang membaca sebuah kitab kearifan yang seantiasa terbuka. Sampai hari ini.

Demikianlah, semoga Pak Kuntowojoyo, manusia yang sangat arif segera bertemu dengan Tuhan yang Mahaarif di surga, dengan perjumpaan yang penuh kearifan yang menyemesta. Amin.

*) Aktivis sastra di Yogyakarta.

Sosok HB Jassin

Budi Darma*
http://www2.kompas.com/

HB JASSIN dan Chairil Anwar lahir pada saat yang tepat, karena itu saling ketergantungan antara mereka kemudian berhasil memberi warna indah dalam perkembangan sastra kita. Seandainya mereka tidak muncul bersama pada tahun 1940-an dan 1950-an, warna perkembangan sastra kita mungkin akan berbeda. Tahun 1940-an dan 1950-an adalah tahun-tahun menjelang kemerdekaan dan pascaperang kemerdekaan, sehingga, dengan demikian, peran letupan-letupan intuisi dalam seni, khususnya sastra, menjadi sangat menonjol.

Mengenai letupan-letupan intuisi, lihatlah misalnya sajak-sajak Chairil Anwar. Memang benar sajak-sajak Chairil Anwar menawarkan kontemplasi, dan tentunya juga lahir dari kontemplasi, namun, sebagai produk, sajak-sajak Chairil Anwar muncul sebagai intuisi-intuisi pendek, yang lahir berkat impuls-impuls yang kuat. Sajak-sajak Chairil Anwar, pada dasarnya, mirip dengan lukisan-lukisan Affandi, dan juga mirip dengan lirik lagu-lagu Ismail Marzuki, yaitu lukisan dan lirik sebagai letupan intuisi.

Bahwa kemudian Chairil Anwar “ditemukan” oleh HB Jassin, dan kemudian ditasbihkan oleh HB Jassin, tidak lain terjadi juga karena tuntutan zaman. Kritik sastra HB Jassin terhadap Chairil Anwar memang sangat berbobot dan karena itu pantas menjadi monumen. Namun, pada dasarnya, kritik sastra HB Jassin lebih banyak dipicu oleh letupan-letupan intuisi, bukan oleh anasir-anasir lain. Karena itu pertemuan antara Chairil Anwar dengan HB Jassin benar-benar “klop.”

Mungkin adalah tidak benar untuk mengatakan bahwa Chairil Anwar adalah penyair yang semata menggantungkan diri pada bakat alamnya. Tidak benar, karena, pada hakikatnya, Chairil Anwar mampu menyampaikan wawasan-wawasannya, kendati cara menyampaikannya seolah sekadar melalui letupan-letupan intuisi. Dalam perjuangannya untuk menjadi penyair, tampak benar usaha Chairil Anwar untuk memanfaatkan segala daya upaya, dan karena itu tidak sekedar tergantung pada bakat dan inspirasinya.

Adalah juga tidak benar, sementara itu, untuk menyatakan bahwa HB Jassin adalah kritikus semata berbakat alam. Usaha-usaha HB Jassin untuk menambah wawasan, sebagai upaya untuk menunjang bakatnya sebagai kritikus, benar-benar tampak, khususnya dalam pembelaannya terhadap Ki Panji Kusmin, pengarang Langit Makin Mendung, ketika dia menyampaikan orasi pada saat dia menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia. Namun, serupa halnya dengan Chairil Anwar, hakikat kritik sastra HB Jassin tetap merupakan letupan-letupan intuisi.

Justru karena hakikat kritik sastra HB Jassin merupakan letupan-letupan intuisi, maka HB Jassin dengan sangat mudah mampu bergandeng tangan dengan sastrawan-sastrawan berbakat alam. Lihatlah misalnya generasi majalah Kisah, sebagaimana yang tampak dalam cerpen-cerpen Sukanto SA, SM Ardan, Riyono Prakikto, Jamil Suherman, M Alwan Tafsiri, dan sebagainya. Para pengarang cerpen ini tidak lain adalah raja-raja besar sastra pada waktu itu. Mayoritas karya mereka adalah pengalaman harfiah mereka, yaitu ciri yang amat dominan pada sastrawan-sastrawan berbakat alam. Mereka adalah sahabat-sahabat karib HB Jassin, dan HB Jassin pulalah yang menasbihkan mereka menjadi sastrawan-sastrawan penting.

Lalu, lihatlah sastrawan-sastrawan lain yang ditasbihkan oleh HB Jassin. Mereka, antara lain, Kirjomulyo dan Muhammad Ali. Kritik sastra HB Jassin terhadap karya sastra Kirjomulyo dan Muhammad Ali nampak “klop,” karena Kirjomulyo dan Muhammad Ali, demikian pula mayoritas sastrawan pada tahun 1950-an dan 1960-an, adalah sastrawan-sastrawan berbakat alam.

HB Jassin, sementara itu, juga sanggup melihat bakat besar Rendra pada saat-saat awal Rendra menjadi penyair, dan karena itulah HB Jassin juga sangat bertanggung jawab dalam menasbihkan Rendra sebagai penyair penting. Namun ingat, HB Jassin menemukan Rendra pada saat Rendra masih bergelut dengan lirik, dengan letupan-letupan intuisi. Waktu itu, Rendra belum berkembang lebih jauh. Dan ingat pula, pada saat HB Jassin menemukan Rendra, sebetulnya HB Jassin sudah agak terlambat.
***

MENGENAI makna “agak terlambat,” dapat kita lihat kembali cerita Rendra kepada saya (dulu), ketika dia masih kadang-kadang datang ke kampus Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada di Jl Yudonegaran, Yogya. Pada waktu itu, sajak-sajak Rendra sudah dimuat oleh HB Jassin dalam berbagai majalah sastra asuhan HB Jassin. Namun, kata Rendra, sebelum sajak-sajaknya dimuat HB Jassin, secara bertubi-tubi HB Jassin selalu menolak, dan selalu mengembalikan sajak-sajak Rendra. Sajak-sajak yang sama itulah yang kemudian dimuat oleh HB Jassin sendiri. Penolakan terhadap sajak-sajak Rendra, dengan demikian, tidak terjadi karena waktu itu jumlah sajak yang masuk ke meja HB Jassin terlalu banyak, dan karena itu sajak-sajak Rendra harus menunggu giliran untuk dimuat.

Pengalaman Rendra tentu berbeda dengan pengalaman Darmanto Yatman. Pada waktu HB Jassin mengasuh majalah Sastra, Darmanto mengirim sejumlah esai kepada HB Jassin. Ternyata, tidak lama kemudian, Sastra mati. Lalu, dalam suratnya kepada Darmanto Yatman HB Jassin menyatakan bahwa dia akan berusaha untuk menerbitkan esai-esai Darmanto Yatman yang tidak termuat dalam Sastra di media-media lain.

Lalu, apa yang terjadi pada Iwan Simatupang? HB Jassin tidak bisa menerima kehadiran Simatupang, paling tidak pada awalnya, karena Iwan Simatupang bukanlah tipe sastrawan yang meletup-letupkan intuisi. Novel-novel Iwan Simatupang memang fragmentaris, sehingga, seolah antara satu bagian dengan bagian lainnya lepas tanpa ikatan. Namun, sejak awal Iwan Simatupang sadar, bahwa untuk menjadi sastrawan dia perlu belajar banyak.

Komentar A Teeuw dalam Modern Indonesian Literature (jilid II) mengenai kritik sastra dalam hubungannya dengan HB Jassin, tentu tidak lepas dari hakikat Jassin sebagai kritikus dengan letupan-letupan intuisi. Kata A Teeuw, “literary criticism … is indeed rather underdeveloped”, yaitu, kritik sastra benar-benar dalam keadaan terkebelakang. Lalu, kata A Teeuw pula, sepanjang pengetahuan A Teeuw, HB Jassin tidak pernah “published any fundamental ideas,” dan juga tidak pernah melakukan “declaration of principles of criticism.” HB Jassin, kata A Teeuw, tidak pernah menerbitkan gagasan-gagasan pokok, dan juga tidak pernah mendeklarasikan prinsip-prinsip kritik sastra.

Teeuw benar. Namun, justru pada letupan-letupan intuisi dengan tidak menganut prinsip-prinsip tertentu itulah, letak kekuatan HB Jassin. Karena itu, ketika menyampaikan orasi penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia, HB Jassin menyatakan, bahwa dia justru khawatir jangan-jangan pekerjaannya sebagai orang sastra menjadi ilmiah. Kalau sudah menjadi ilmiah, maka, katanya, mau tidak mau dia harus mempergunakan otak. Sementara itu, bagi dia, sastra adalah suara hati, dan karena itu harus ditanggapi dengan hati pula.

Prinsip bahwa sastra adalah suara hati telah meneguhkan HB Jassin sebagai pembela sastra Indonesia. Dia berjuang dengan teguh untuk menyatakan bahwa Chairil Anwar bukan penjiplak, ketika sementara khalayak bisa membuktikan, bahwa sebagian sajak Chairil Anwar tidak lain adalah saduran. Ketika Hamka juga dituduh sebagai penjiplak dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck, HB Jassin dengan penuh keyakinan juga menyatakan, bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck adalah karya asli Hamka. Karena itu, dalam tulisan-tulisannya, beberapa kali HB Jassin menekankan, bahwa dalam sastra, pengaruh-mempengaruhi adalah wajar.

Bagi HB Jassin, penjiplakan tidak ada, sebab kemiripan antara satu karya sastra dengan karya sastra tidak lain hanyalah masalah pengaruh.
***

TERHADAP pemikiran rasional, tampaknya HB Jassin juga selalu menentang, kendati penentangannya kemudian muncul sebagai pembelaan. Lihatlah, misalnya, ketika pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an ada tuduhan dari khalayak bahwa sastra Indonesia mengalami krisis. Dengan rasional khalayak berusaha untuk membuktikan, bahwa pada waktu itu memang karya-karya sastra yang baik boleh dikatakan tidak ada. Maka, HB Jassin pun tidak berpijak pada alasan mengapa oleh khalayak sastra dianggap mengalami krisis, tetapi pada kenyataan bahwa karya sastra tokh tetap ada. Karena penyair masih menulis dan pengarang juga masih menulis, maka, dalam pandangan HB Jassin, sastra Indonesia sama-sekali tidak mengalami krisis.

Keyakinan bahwa sastra adalah suara hati, mau tidak mau mendorong HB Jassin untuk membela generasi muda. Sastra harus terus hidup, dan karena itu, regenerasi harus tetap jalan. Sementara sastrawan-sastrawan senior lain cenderung untuk kurang memperhatikan generasi muda, dengan tekun HB Jassin berusaha untuk mencari titik-titik kuat pada sastrawan-sastrawan yang belum mapan. Titik-titik kuat itu, tentu saja, adalah titik kuat sastra sebagai suara hati, bukan sastra sebagai kerja otak. Karena itulah, maka HB Jassin sangat senang sastra model “Kucing,” cerpen Hudan Hidayat. Dalam sebagian besar cerpennya tampak benar, setidaknya sampai sekarang, bahwa Hudan Hidayat benar-benar mengandalkan kemampuannya pada letupan-letupan intuisi.

Sejak tahun 1980-an, sementara itu, tampak gejala kuat bahwa kritik sastra intuitif kena kutuk. Karena itu, ada kecenderungan kuat untuk menopang kritik sastra dengan berbagai pemikiran rasional, antara lain dengan penggunaan teori-teori. Apa pun anggapan khalayak terhadap HB Jassin, ia adalah peletak dasar kritik sastra sebagai salah-satu genre sastra. Sebelum HB Jassin tampil, kehadiran kritik sastra tidak dianggap sebagai keharusan dalam kehidupan sastra yang sehat, namun sebagai sesuatu yang hadir boleh, tidak hadir pun tidak apa-apa, bahkan mungkin lebih baik.

Lalu, apakah kritik sastra model HB Jassin mesti dikutuk, tentu saja tergantung pada individu masing-masing kritik sastra. Ingat, kritik sastra yang diusahakan untuk rasional, ditopang pula dengan teori-teori, belum tentu sanggup menembus persoalan sastra. Dan ingat, kritik sastra yang diusahakan untuk rasional dengan dimuati teori ini dan teori itu, ternyata tidak jarang hanya bergerak pada format penulisan dan bukan pada jantung substansi sastra.

Dalam hal-hal tertentu, HB Jassin sangat benar. Sastra adalah suara hati. Karena itu, peran common sense atau akal sehat, dalam menghadapi sastra, tidak mungkin ditinggalkan. Kritik sastra yang berusaha rasional dengan mengangkut teori ini dan teori itu, sebaliknya, justru cenderung untuk melawan kekuatan dasar sastra, yaitu common sense atau akal sehat.

Lalu, marilah kita tengok kritik sastra Goenawan Mohammad dan Sutarji Calzoum Bachri dalam menghadapi sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Marilah kita tengok pula, kritik Sapardi Djoko Damono sendiri dalam menghadapi sajak-sajak Abdul Hadi WM. Tanpa berusaha rasional, apa lagi dengan mengangkut teori ini dan teori itu, kritik sastra mereka benar-benar intuitif, dan benar-benar berwibawa.

*) Sastrawan, tinggal di Surabaya.

Sastra Indonesia dalam Dunia

Radhar Panca Dahana*
http://kompas-cetak/

Wafatnya sastrawan ternama Pramoedya Ananta Toer tentu saja meninggalkan kesedihan, kehilangan, dan keprihatinan; terutama soal atensi pemerintah terhadap seseorang yang telah demikian rupa turut menegakkan dan menjelaskan keberadaan Indonesia di mata dunia. Dalam sastra pun, seakan kita kehilangan rantai terkuat yang selama ini menghubungkan dunia literer kita dengan dunia.

Mungkin tak banyak yang dapat memungkiri, ambisi bahkan obsesi sebagian dari kita untuk melihat sastra Indonesia pun memiliki tempat, bahkan peran, yang cukup signifikan dalam perkembangan sastra mutakhir. Baik di kawasan maupun di tingkat global. Gejolak ini sejak dulu sesungguhnya telah terasa. Sejak mula apa yang disebut “sastra modern” Indonesia dianggap muncul dan tumbuh.

Gelegak kebangsaan yang mencari kebebasannya, sejak paruh pertama abad ini, mendapat ekspresi literernya dalam berbagai bentuk. Mulai dari Sanusi Pane hingga Sutan Takdir Alisjahbana. Disusul oleh semangat “Gelanggang” yang dimotori Chairil Anwar yang mencoba memosisikan diri sebagai “bagian dari kesusastraan dunia”. Hingga akhirnya di masa pos-kolonial, segolongan literati menabalkan barisannya sebagai pengusung “humanisme universal”.

Sampai masa awal Orde Baru, gelegak ini sesungguhnya masih berlanjut. Kecenderungan beberapa sastrawan “eksperimentalis” mencoba masuk dalam mainstream kesusastraan global dengan mengadopsi gaya maupun bentuk ekspresi literernya. Dari naskah drama, puisi, cerpen, hingga novel. Sebut saja beberapa nama seperti Budi Darma, Danarto, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, bahkan Sutardji Calzoum Bachri.

Namun, setelah itu, ketika Soeharto menancapkan dengan keras kuku kekuasaannya, kecenderungan atau ambisi itu seperti luluh dan memendam. Selama tiga dekade setelah itu, sastra Indonesia seperti sibuk dengan dirinya sendiri, dengan tempurung yang tak juga membesar. Terjadi pembesaran-pembesaran artifisial, yang membuat sebagian dari kalangan sastra mabuk oleh kopi yang ia racik sendiri. Kondisi itu ditandai oleh banyak hal, seperti pergaulan sastra yang tidak mengambil ruang yang membesar kecuali sibuk dan bergaung sebatas kamar internalnya sendiri. Akses pengarang dan penikmat sastra yang rendah pada sastra dunia. Penulisan yang terjebak pada gaya dan bentuk tertentu (sastra koran, misalnya), dan sebagainya.

Dunia informasi
Namun, belakangan, di dekade terakhir ini, setelah reformasi dan dunia informasi memberi kita kemudahan mengakses dunia lain dan kebebasan berkomunikasi dengan dunia lain, tumbuh selapisan kecil anak muda yang tekun dan cerdas melahap kekayaan sastra dunia. Seperti batu “gua ali baba” terbuka, sebagian bahkan mengira katup kotak pandora mulai menganga. Muncul pengamat, pemikir sastra dan penulis-penulis kreatif yang mulai meninggalkan kebekuan dekade sebelumnya. Kajian wilayah dan penguasaan mereka pada genre atau perkembangan mutakhir sastra wilayah tampak sangat menjanjikan.

Apakah ini sebuah awal yang baik bagi keterlibatan kita yang lebih positif pada lingkungan global—yang kian tak terhindar belakangan ini? Sebuah jawaban harus ditemukan. Satu usaha identifikasi masalah, penemuan relasi kultural dan literer, dan posisi atau peran apa yang dimungkinkan oleh sastra Indonesia di tengah keluarga besarnya, tampaknya perlu dilakukan. Dengan begitu, Indonesia—yang terjungkal-jungkal mengikuti percepatan pertumbuhan dunia—dapat dilihat bukan hanya sebagai satu koordinat geografis atau demografis saja dalam peta dunia. Tapi juga sebuah ruang di mana dunia pun bermain di dalamnya. Begitupun sebaliknya.

*) Sastrawan, Tinggal di Tangerang.

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati