http://sastrakarta.multiply.com/
GENDERANG KURUKASETRA
(UTARI)
engkau yang kini tengah berlumur darah
menyandang beban menuju Palagan
berhentilah sejenak dan dengarlah
matahari terengah menyaksikan
korban demi korban berjatuhan
dan perang
senantiasa saja akan berkepanjangan
:
lelaki yang mencoba bertahan
dan dendam tak berkesudahan
dan janji seorang manusia
tengadahlah, di atasmu matahari dan sayap semesta
sebab mereka juga akan datang menghampiri
usaikan dulu Perang dalam sanubari
:
sementara genderang bertalu-talu
anak-anak panah pun bersintuhan dan melaju
menangkan dulu peperangan yang senantiasa jaga
sepanjang engkau bilang: aku anak manusia
(ABIMANYU)
sebab setiap langkah pasti tinggakalkan jejak
perempuan, berhentilah menagis dan berucap
gerimis yang membadai dalam palaganmu
dan berhenti menjadi isak
tak kuasa lagi mampu meredakan bara
dari harga diri yang teriris
:
pandanglah ujung cakrawala, di sana
sayap semesta pasti akan kau dengar kepaknya
di sana matahari dan bulan berlabuh juga
tempat angin dan malam akan bermula
:
simpan dan kekalkan dalam jaring usia
tetes darah dari ujung panah ini
dan kabarkan pada tetangga dunia
lelaki musti pergi dan tak kenal berhenti
lantaran hidup adalah pasang surut kata
di mimpimu aku bakal jaga
(ARJUNA)
apapun makna keangkuhan
kalau gendewa patah dan warastra cuma nancap di tanah
senja tengah siap dengan pesta warna
dan engkau tetap berjalan mengikut
suara-suara semakin menjauh
ingin aku guratkan Pulangggeni
pada bumi paling tepi
tapi angin telah berangkat tua
dan daun-daun Salam pun berguguran
di sini hanya bayang kian memanjang
palagan pun meruang, dan perang: tak juga berkesudahan
(KRESNA)
kalau saja engkau berkenan dan alam bersedia
akan aku bakar mahkota ini bersama segumpal kemenyan
dan seekor kuda putih bakal terpacu di tengah palagan
mengibarkan panji, isyarat perang tak lagi bermula
di sini, di tapal-tapal dada
dan engkau pun mengerti
tak ada yang bakal memenangkannya
kecuali diri masuk dan alam samadi
Balong, 1981
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 27 April 2010
RONTAAN TANAH IBU
Sabrank Suparno
http://www.sastra-indonesia.com/
*** Surat surat luapan keluh
Ayah..Bunda..kalian tau gak! Sekarang aku bagaimana?, dan ada di mana? Dalam kembara rantauku, jauuuh sekali. Mengelanai ruang-ruang hampa. Ahirnya aku sampai di suatu tempat yang tak bernama. Tempat ini sunyi, pengap, pekat, sesak, berdinding plasma yang buntu, tak bercerca, tak berjendela. Berjuta tahun aku disini sendirian. Sepi..Ayah..aku takut.! Kian hari kian mencekam Bunda..!
Tak hanya tak bernama Ayah..tapi juga tak berwarna Bunda..! Seluruh hamparan tampak sringkah, kuning kemerah-merahan. Dan jika dipandangi terus, risauku kian geram, galauku numpuk berjubel berbebal-bebal. Judegku tak kunjung berujung. Ruangan ini kadar udaranya, nol koma sekian persen saja. Sesak, sengal. Nafasku sejengkal-jengkal. Hanya sebintik air dari titik nisbi uap yang mencair.
Ini bukan negeri Stepa atau Sabana, yang masih tumbuhkan kaktus dan lumut. Segala sesuatu ada disini, cuma tak bisa dijamah. Anak-anak sejawatku memang berkeliaran Ayah, tapi kami tak bisa sepermainan Bunda..! Anak-anak disini mengerti bertegur sapa, tapi tak punya bahasa. Andai bisa beroral fisik, masih asyik, tapi aku hanya bergumam monolog lirih dengan telanan lidah.
Ayah, Bunda, kalian mau tau gak? Ruang disini hanya dipenuhi kabut. Wulau tidak begitu tebal namun juga tidak terlalu tipis. Tiada siang, tiada malam. Gerak hanya tercerap ke satu arah. Dan pada ahirnya berfokus di satu titik muara. Mungkin Bunda bertanya! “Anakku, kalau tidak ada gerak, tidak ada suara, lantas dengan apa kamu mengerti perintah? Sesuatu telah dihunjamkan kepadaku, menancap dalam ke palung diri. Selaksa jemparing lusurkan busur.
Tepat. Selalu tepat dititik koordinat. Ahh, tapi tak mungkin, kenapa juga Bunda harus bertanya. Bukankah Ayah- Bunda sudah singgahi tempat ini sejak berjuta tahu lalu. Dan akan kembali ketempat ini untuk berjuta tahun lagi.
Ayah..! Ini penjara abad..Yaah. bukan hanya aku yang terkurung. Imaji yang telah kurangkai untuk mainan juga terkerangkeng. Meskipun tak susut, juga tak muai.
Seribu tahun sudah aku beranjak. Selama itu pula aku menumpuk seribu tanya. Apakah kalian masih mengenali wajahku? Tidakkah kalian lupa? Aku resah Ayah..Aku kawatir Bunda! Seribu tahun sudah aku tinggalkan kampung halaman. Kadang sampai letih juga rasananya.
***.Surat Letupan damba.
Antara iya dan tidak, sesungguhnya aku sudah diperkenankan pulang menjenguk kalian berdua. Aku retakkan dinding waktu dengan tenaga cinta. Aku memasuki atmosfer. Aku mengunjungi bumi, bermandian kilatan benderang matahari. Berbasuh kilauan bulan purnama. Saat udara pongah, aku diterpa angin dengan silirnya. Saat lidahku keluh, kualamatkan mimikku sekedar bergumam mencandai awan-awan berarak. Saat rabun rimang mataku, kubelalakkan di hijau dedaunan dan pucuk padi. Saat bising dengarku, aku plongkan di derunya ombak yang berdeburan. Saat gerah badanku, aku berbalur sketsa mega yang tergelar di sepanjang kaki cakrawala.
Ayah.. aku adalah garis-garis cinta yang berserakan. Garis yang di sadap dari perasan cahaya. Di awal kepulanganku, kan ku”sungkemi”lanskap putihmu yang kosong. Gubahlah aku menjadi jelma yang merona. Bubuhkan serbuk lembut tubuhku sebagai racun bisa busurmu. Semat dan rangkai busur itu di “jemparing cintamu”. Incar tepat di dada Ibundaku. Melesat dan tancap, sampai Ibunda terkapar. Aku mengerti lelahmu Ayah. Tak gampang memang membidik Ibu. Ingat! Ibu adalah wanita. Wanita yang selalu bersolek di depan kaca. Berpupur bedak Shinta, lipstick Juliet, baju Cinderella, dan pada ahirnya berparas Hawa. Mereka selalu berumus bahwa wanita berbanding sederajat dengan satu gen ovarium yang takberkembang. Saat Ibu sekarat , tangannya terus mendekap luka. Luka mengangah yang selalu dirawatnya dengan helaian kain putihnya.
Aku membawa hutang-hutang yang menumpuk di angkasa. Ajari aku melunasinya. Aku memanggili kalian tiap malam ketaman cinta,tuk mananam bunga penuh makna yang paginya bermekaran di halama rumah. Bebijian subur di lahan gembur. Aku tak ingin tumbuh sekeras aku memecah batu. Ayah ..aku tak perlu bunda seribu, cukup satu saja namun serasa seribu.
Aku kangen pada hujan yang menggelendengku ke tengah lapang. Sekedar berbasah kuyup, likatan lumpur sekujur badan. Diam-diam aku merancang tangis, maksa kalian membopongku. Aku belum tertawa sebelum kalian mendekat, aku baluri lumpur sesudahnya. Ha..ha..ha..kita bermain hujan bersama. Lumpur dan hujan adalah debu untuk bertayamum pengganti wudlu.
Antar tidurku diayunan ninabobo kisah percintaan kalian. Apa kehebatan Bunda, hingga Ayah merengkuh Bunda, padahal ada milyatan wanita. Setelah jauh lelap dan pulas, aku mengigau-ngigau minta boneka India. Esok kusapa pagi dengan tangisan. Kubuang.Kulelehkan. Kuhabiskan berpuluh-puluh tetes jatah airmata hidupku, agar jika berpacaran kelak,aku tak lagi kebagian linangan. Sesekali aku selahi hari dengan tangisan, aku takut dengan luka dan kecacatan. Cacat yang berakibat ulah Ayah- Bunda yang tak bisa saling menerima kekurangan.
Namai aku Bre`.Lahir dari rahim mulia, yang dibuai benih cinta penuh kasih. Kedahsyatan cinta kalian menghantarku goncangkan dunia.
Bunda.. air susumu bagaikan putauw, yang kutenggak tiap tiap aku ingin manja. Sembari aku merekam lagumu, yang kuputar ulang nanti didepan sejarah. Ahhh..Bunda, aku besarkan sel-sel kromosom tubuhku dengan cairnya cinta kasihmu. Ku kebalkan kependekaranku dengan putih sucinya ketulusanmu. Tak hanya manja, akupun bergenit mesrah. Aku tidak nakal Bunda, kalau aku sibukkanmu dengan hangat kencingku, agar bunda mengerti,setiap orang tua itu muara kekencingan masalah.
Ayah-Bunda. Terlampau jauh aku mengulum angan. Meski fatamorga serasa jatiku telah menjelma. Sementara aku tetap disini. Ditempat tak bernama, ada, namun tak nyata. Entah berapa hari, bulan, dan tahun lagi yang aku semai dengan ahiran hampa.
Ayah-Bundaku. Disini aku terus menjerit, meraung- raung lengking, meratap-ratap, menunggu kalian segera menjemput, bebaskan aku.
Tapi kalian malah sibuk bersolek tampang demi ambisi. Kalian terus berkilah demi gemuruhnya dunia. Kalian bersumpal telinga dari lengkingan ratapku. Entah berapa musim lagi tegamu mengelantangku dirantau ini. Apalah arti kalian tanpa hadirku. Waktuku jangan kalian curi.
Segeralah Ayah! Cari, taksir, tembak, cintai, pacari, pinang, nikahi Ibunda tanpa syarat apapun. Sebab syarat hanyalah buatku cacat.
Segeralah Bunda! Gaet Ayah dengan cantikmu, walau engkau tak jelita. Lantarmu pada Ayah, lantarku jua. Sedangkan baktimu adalah geriangku.
Kejam kejamnya kejam adalah Ibunda yang tak segera menyusuiku. Borgol kerangkengku akan berlepasan saat gending ditabuh dihari pelaminan kalian. Dan…sesudahnya..aku pasti datang.
Namai aku Bre`! lahir dari rahim wanita mulia, ditaburi benih cinta penuh kasih.
*****
*) Petani, Pencetak bata, Cerpenis, kolomnis, Pemerhati budhaya. Aktif di komunitas Padhang mBulan dan penulis Jombang, bergiat di Lincak sastra dowong. Tergabung bersama sasterawan muda Jawa Timur. Beralamat di Dowong, Ds. Plosokerep. Kec. Sumobito. Kab. Jombang Jawa Timur
Hp:081-359-913-627
http://www.sastra-indonesia.com/
*** Surat surat luapan keluh
Ayah..Bunda..kalian tau gak! Sekarang aku bagaimana?, dan ada di mana? Dalam kembara rantauku, jauuuh sekali. Mengelanai ruang-ruang hampa. Ahirnya aku sampai di suatu tempat yang tak bernama. Tempat ini sunyi, pengap, pekat, sesak, berdinding plasma yang buntu, tak bercerca, tak berjendela. Berjuta tahun aku disini sendirian. Sepi..Ayah..aku takut.! Kian hari kian mencekam Bunda..!
Tak hanya tak bernama Ayah..tapi juga tak berwarna Bunda..! Seluruh hamparan tampak sringkah, kuning kemerah-merahan. Dan jika dipandangi terus, risauku kian geram, galauku numpuk berjubel berbebal-bebal. Judegku tak kunjung berujung. Ruangan ini kadar udaranya, nol koma sekian persen saja. Sesak, sengal. Nafasku sejengkal-jengkal. Hanya sebintik air dari titik nisbi uap yang mencair.
Ini bukan negeri Stepa atau Sabana, yang masih tumbuhkan kaktus dan lumut. Segala sesuatu ada disini, cuma tak bisa dijamah. Anak-anak sejawatku memang berkeliaran Ayah, tapi kami tak bisa sepermainan Bunda..! Anak-anak disini mengerti bertegur sapa, tapi tak punya bahasa. Andai bisa beroral fisik, masih asyik, tapi aku hanya bergumam monolog lirih dengan telanan lidah.
Ayah, Bunda, kalian mau tau gak? Ruang disini hanya dipenuhi kabut. Wulau tidak begitu tebal namun juga tidak terlalu tipis. Tiada siang, tiada malam. Gerak hanya tercerap ke satu arah. Dan pada ahirnya berfokus di satu titik muara. Mungkin Bunda bertanya! “Anakku, kalau tidak ada gerak, tidak ada suara, lantas dengan apa kamu mengerti perintah? Sesuatu telah dihunjamkan kepadaku, menancap dalam ke palung diri. Selaksa jemparing lusurkan busur.
Tepat. Selalu tepat dititik koordinat. Ahh, tapi tak mungkin, kenapa juga Bunda harus bertanya. Bukankah Ayah- Bunda sudah singgahi tempat ini sejak berjuta tahu lalu. Dan akan kembali ketempat ini untuk berjuta tahun lagi.
Ayah..! Ini penjara abad..Yaah. bukan hanya aku yang terkurung. Imaji yang telah kurangkai untuk mainan juga terkerangkeng. Meskipun tak susut, juga tak muai.
Seribu tahun sudah aku beranjak. Selama itu pula aku menumpuk seribu tanya. Apakah kalian masih mengenali wajahku? Tidakkah kalian lupa? Aku resah Ayah..Aku kawatir Bunda! Seribu tahun sudah aku tinggalkan kampung halaman. Kadang sampai letih juga rasananya.
***.Surat Letupan damba.
Antara iya dan tidak, sesungguhnya aku sudah diperkenankan pulang menjenguk kalian berdua. Aku retakkan dinding waktu dengan tenaga cinta. Aku memasuki atmosfer. Aku mengunjungi bumi, bermandian kilatan benderang matahari. Berbasuh kilauan bulan purnama. Saat udara pongah, aku diterpa angin dengan silirnya. Saat lidahku keluh, kualamatkan mimikku sekedar bergumam mencandai awan-awan berarak. Saat rabun rimang mataku, kubelalakkan di hijau dedaunan dan pucuk padi. Saat bising dengarku, aku plongkan di derunya ombak yang berdeburan. Saat gerah badanku, aku berbalur sketsa mega yang tergelar di sepanjang kaki cakrawala.
Ayah.. aku adalah garis-garis cinta yang berserakan. Garis yang di sadap dari perasan cahaya. Di awal kepulanganku, kan ku”sungkemi”lanskap putihmu yang kosong. Gubahlah aku menjadi jelma yang merona. Bubuhkan serbuk lembut tubuhku sebagai racun bisa busurmu. Semat dan rangkai busur itu di “jemparing cintamu”. Incar tepat di dada Ibundaku. Melesat dan tancap, sampai Ibunda terkapar. Aku mengerti lelahmu Ayah. Tak gampang memang membidik Ibu. Ingat! Ibu adalah wanita. Wanita yang selalu bersolek di depan kaca. Berpupur bedak Shinta, lipstick Juliet, baju Cinderella, dan pada ahirnya berparas Hawa. Mereka selalu berumus bahwa wanita berbanding sederajat dengan satu gen ovarium yang takberkembang. Saat Ibu sekarat , tangannya terus mendekap luka. Luka mengangah yang selalu dirawatnya dengan helaian kain putihnya.
Aku membawa hutang-hutang yang menumpuk di angkasa. Ajari aku melunasinya. Aku memanggili kalian tiap malam ketaman cinta,tuk mananam bunga penuh makna yang paginya bermekaran di halama rumah. Bebijian subur di lahan gembur. Aku tak ingin tumbuh sekeras aku memecah batu. Ayah ..aku tak perlu bunda seribu, cukup satu saja namun serasa seribu.
Aku kangen pada hujan yang menggelendengku ke tengah lapang. Sekedar berbasah kuyup, likatan lumpur sekujur badan. Diam-diam aku merancang tangis, maksa kalian membopongku. Aku belum tertawa sebelum kalian mendekat, aku baluri lumpur sesudahnya. Ha..ha..ha..kita bermain hujan bersama. Lumpur dan hujan adalah debu untuk bertayamum pengganti wudlu.
Antar tidurku diayunan ninabobo kisah percintaan kalian. Apa kehebatan Bunda, hingga Ayah merengkuh Bunda, padahal ada milyatan wanita. Setelah jauh lelap dan pulas, aku mengigau-ngigau minta boneka India. Esok kusapa pagi dengan tangisan. Kubuang.Kulelehkan. Kuhabiskan berpuluh-puluh tetes jatah airmata hidupku, agar jika berpacaran kelak,aku tak lagi kebagian linangan. Sesekali aku selahi hari dengan tangisan, aku takut dengan luka dan kecacatan. Cacat yang berakibat ulah Ayah- Bunda yang tak bisa saling menerima kekurangan.
Namai aku Bre`.Lahir dari rahim mulia, yang dibuai benih cinta penuh kasih. Kedahsyatan cinta kalian menghantarku goncangkan dunia.
Bunda.. air susumu bagaikan putauw, yang kutenggak tiap tiap aku ingin manja. Sembari aku merekam lagumu, yang kuputar ulang nanti didepan sejarah. Ahhh..Bunda, aku besarkan sel-sel kromosom tubuhku dengan cairnya cinta kasihmu. Ku kebalkan kependekaranku dengan putih sucinya ketulusanmu. Tak hanya manja, akupun bergenit mesrah. Aku tidak nakal Bunda, kalau aku sibukkanmu dengan hangat kencingku, agar bunda mengerti,setiap orang tua itu muara kekencingan masalah.
Ayah-Bunda. Terlampau jauh aku mengulum angan. Meski fatamorga serasa jatiku telah menjelma. Sementara aku tetap disini. Ditempat tak bernama, ada, namun tak nyata. Entah berapa hari, bulan, dan tahun lagi yang aku semai dengan ahiran hampa.
Ayah-Bundaku. Disini aku terus menjerit, meraung- raung lengking, meratap-ratap, menunggu kalian segera menjemput, bebaskan aku.
Tapi kalian malah sibuk bersolek tampang demi ambisi. Kalian terus berkilah demi gemuruhnya dunia. Kalian bersumpal telinga dari lengkingan ratapku. Entah berapa musim lagi tegamu mengelantangku dirantau ini. Apalah arti kalian tanpa hadirku. Waktuku jangan kalian curi.
Segeralah Ayah! Cari, taksir, tembak, cintai, pacari, pinang, nikahi Ibunda tanpa syarat apapun. Sebab syarat hanyalah buatku cacat.
Segeralah Bunda! Gaet Ayah dengan cantikmu, walau engkau tak jelita. Lantarmu pada Ayah, lantarku jua. Sedangkan baktimu adalah geriangku.
Kejam kejamnya kejam adalah Ibunda yang tak segera menyusuiku. Borgol kerangkengku akan berlepasan saat gending ditabuh dihari pelaminan kalian. Dan…sesudahnya..aku pasti datang.
Namai aku Bre`! lahir dari rahim wanita mulia, ditaburi benih cinta penuh kasih.
*****
*) Petani, Pencetak bata, Cerpenis, kolomnis, Pemerhati budhaya. Aktif di komunitas Padhang mBulan dan penulis Jombang, bergiat di Lincak sastra dowong. Tergabung bersama sasterawan muda Jawa Timur. Beralamat di Dowong, Ds. Plosokerep. Kec. Sumobito. Kab. Jombang Jawa Timur
Hp:081-359-913-627
Minggu, 04 April 2010
Menyimak Richard Strauss Membaca Nietzsche:
Berjumpa Richard Wagne dan Arthur Schopenhauer
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=398
Richard Strauss, putra dari Franz Strauss. Lahir 11 Juni 1864 di Munich, meninggal 8 September 1949, seorang komposer berkebangsaan Jerman. Masa mudanya berpendidikan musik menyeluruh dari sang ayah. Menulis musik pertama di usia 6 tahun, terus ke hampir kematiannya. Tahun 1874 mendengar opera Wagner; Lohengrin dan Tannhäuser. Pengaruh Wagner sangat mendalam, ayahnya melarang mempelajarinya: tidak sampai umur 16 tahun, telah peroleh skor Tristan und Isolde. Dalam keluarga Strauss, musik Wagner dianggap lebih rendah, tapi Strauss mengatakan dalam tulisan sangat menyesali ini. Pada 1882 masuk Universitas Munich, belajar filsafat dan sejarah seni, bukan musik. Meninggalkan satu tahun kemudian ke Berlin, belajar sebentar sebelum mengamankan posisi sebagai asisten konduktor Hans von Bülow, mengambil alih darinya di Meiningen, ketika Bülow mengundurkan diri 1885. Komposisinya kini berutang gaya Robert Schumann atau Felix Mendelssohn, sesuai ajaran ayahnya. Strauss menikahi Pauline de Ahna 10 September 1894 yang terkenal pemarah, eksentrik juga blak-blakan, tapi pada dasarnya bahagia, dialah sumber inspirasi terbesarnya. Gaya Strauss berubah kala bertemu Alexander Ritter, komposer dan pemain biola, suami dari salah satu keponakan perempuan Wagner. Ritter membujuk meninggalkan gaya konservatif masa mudanya, lalu menulis puisi nada, dikenalkan Strauss pada esai Richard Wagner dan tulisan Arthur Schopenhauer. Kepribadian matang Strauss tampak dalam nada puisi “Don Juan,” lalu menulis serangkaian puisi nada: Kematian dan Transfigurasi (1888-1889), Eulenspiegel’s Merry Pranks (Eulenspiegels lustige Streiche, 1894-1895), Spoke Zarathustra (1896), Don Quixote (1897), Ein Heldenleben (A Hero’s Life, 1897-1898), Domestik Symphony (1902-1903) dan An Alpine Symphony (Eine Alpensinfonie, 1911-1915). {dipetik dari http://en.wikipedia.org/wiki/Richard_Strauss}
Orkes Strauss berkehendak melukiskan sedemikian banyaknya aspek dari kejadian-kejadian sebenarnya ialah kaya, berat dan mengagumkan. Titik berat dalam orkesnya yang berat dalam ciptaan-ciptaan klasik, terdapat pada alat-alat gesek telah dipindahkan ke alat tiup. Pada Strauss ini terpenting, dan alat-alat pukul juga mempunyai makna besar. Padanya orkestrasi mencapai tingkat keunggulan tak tepermanai. Kebesaran musiknya tidak terletak pada alat, tapi pelukisan dan kerjaannya. Syair simfonis Strauss merupakan pesta besar-besaran bagi orkes. Seorang pendekar yang menghabiskan waktu dengan berhawa nafsu; pendekar yang bertarung atas suatu kesadaran lebih kuat; hidup seorang bocah yang sepiduka, serta suatu penghidupan besar seorang seniman; ini apek-aspek terindah dari seni simfoni Richard Strauss. {J. Van Ackere, di buku Musik Abadi, terjemahan J. A. Dungga, Gunung Agung Djakarta, tahun lenyap, judul buku aslinya Eeuwige Muziek, diterbitkan N.V. Standaard-Boekhandel, Antwerpen, Belgie}
Sambil menyinauhi musik Don Juan-nya Richard Strauss, atas Sekolah Leicestershire Symphony Orchestra yang dilakukan Peter Fletcher.
Dicatat dalam De Montfort Hall, Leicester 1981 melalui You Tube, maka kulayarkan ini tulisan:
Di kedalaman musik Strauss, terdapatlah panggilan jiwa, suara agung unsur-unsur ilmu pengetahuan.
Atas pengalaman hidup diresapinya, menjelma melodi memperkaya pandangan kemanusiaan.
Dengan mempercayai keyakinannya hingga nada-nada ciptaannya bergema kebaktian, teduh-tentram menggetarkan kalbu keimanan.
Laksana dengkur jaman terkumpul pada degupan nurani, menghentak nilai insani oleh dataran perikehidupan.
Terus meningkatkan niat sampai hasrat ketinggian, dileburnya ruang-waktu dalam pesona pastoral bathin.
Kepurnaan pencarian mendekam dalam perenungan panjang, letak muasal kerinduan sejati seruan hati.
Berdaya tarik setutan kenabian. Yang bernaung di bawah pohon kesahajaan.
Tiupan-tiupan halus melampaui pegunungan lembah peradaban.
Menelusupi relung-reling terpencil, hati insan bersama yang diimpi.
Sepaduan nada fitroh berkumandang kefitrian sedari gunung keabadian.
Pada batu-batu kerikil perjalanan, Strauss mengetahui perbedaan waktu.
Debu-debu beterbangan, dirinya memahami tenggang masa.
Menyimak angin mengerti ketebalan nafas-nafas usia semesta.
Yang melingkupi ruh kebesaran mutlah diraih.
Kesantausaan irama perwujudan bathinnya bertuah, demikianlah pancaindra musiknya berkata-kata.
Pencapaian Richard Strauss laksana kedudukan Friedrich Nietzsche (1844-1900) di dunia sastra.
Perpaduan berhasil dari jiwa temuan Richard Wagne (1813-1883) dan Arthur Schopenhauer (1788-1860).
Maka kupetik di sini Sabda Zarathustra dari bagian III:
“Kalian memandang ke atas ketika merindukan pujian; tapi aku justru menunduk ke bawah, sebab telah ditinggikan.
Siapa di antara kalian yang dapat tertawa sekaligus ditinggikan?
Ialah yang memanjat gunung tertinggi, menertawakan semua tragedi juga realitas tragis.”
Di puncak itulah Strauss membangkitkan naluri insani, seumpama tiupan bayu menghidupi padang rerumputan.
Menaburkan putik-putik kembang. Penerbangan dan menghinggapi bayang ketetapan dalam serentakan merentang.
Dipanggulnya beban berat kenangan pada keniscayaan.
Bergesek keraguan menempa, hantu pucat kegetiran nyata membuatnya perih dan dalam bertahan.
Keberangkatan daya sesal, pilu menyadarkan, tangisan sayu menghidupkan kembali nuanse dari kegersangan.
Drama tersayat-sayat lampu panggung, air mata hendak bermukim tidak tertampung, luruh menuju keheningan sanubari.
Musiknya memberkah tersendiri pada pejaman mata, kepada yang tertunduk bersimpuh ke hadapan masa.
Selepas pengelanaan jauh tidak tentu rimbanya, paduan harmoni, kematangan menekuk masalah.
Tubuh di kubangan penjara takdir diterima ketulusan bertabah, di sinilah ketinggian angin serta cahaya.
Menyatukan nasib permai bijaksana, kala hadirkan persembahan demi kehadirat sesama.
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=398
Richard Strauss, putra dari Franz Strauss. Lahir 11 Juni 1864 di Munich, meninggal 8 September 1949, seorang komposer berkebangsaan Jerman. Masa mudanya berpendidikan musik menyeluruh dari sang ayah. Menulis musik pertama di usia 6 tahun, terus ke hampir kematiannya. Tahun 1874 mendengar opera Wagner; Lohengrin dan Tannhäuser. Pengaruh Wagner sangat mendalam, ayahnya melarang mempelajarinya: tidak sampai umur 16 tahun, telah peroleh skor Tristan und Isolde. Dalam keluarga Strauss, musik Wagner dianggap lebih rendah, tapi Strauss mengatakan dalam tulisan sangat menyesali ini. Pada 1882 masuk Universitas Munich, belajar filsafat dan sejarah seni, bukan musik. Meninggalkan satu tahun kemudian ke Berlin, belajar sebentar sebelum mengamankan posisi sebagai asisten konduktor Hans von Bülow, mengambil alih darinya di Meiningen, ketika Bülow mengundurkan diri 1885. Komposisinya kini berutang gaya Robert Schumann atau Felix Mendelssohn, sesuai ajaran ayahnya. Strauss menikahi Pauline de Ahna 10 September 1894 yang terkenal pemarah, eksentrik juga blak-blakan, tapi pada dasarnya bahagia, dialah sumber inspirasi terbesarnya. Gaya Strauss berubah kala bertemu Alexander Ritter, komposer dan pemain biola, suami dari salah satu keponakan perempuan Wagner. Ritter membujuk meninggalkan gaya konservatif masa mudanya, lalu menulis puisi nada, dikenalkan Strauss pada esai Richard Wagner dan tulisan Arthur Schopenhauer. Kepribadian matang Strauss tampak dalam nada puisi “Don Juan,” lalu menulis serangkaian puisi nada: Kematian dan Transfigurasi (1888-1889), Eulenspiegel’s Merry Pranks (Eulenspiegels lustige Streiche, 1894-1895), Spoke Zarathustra (1896), Don Quixote (1897), Ein Heldenleben (A Hero’s Life, 1897-1898), Domestik Symphony (1902-1903) dan An Alpine Symphony (Eine Alpensinfonie, 1911-1915). {dipetik dari http://en.wikipedia.org/wiki/Richard_Strauss}
Orkes Strauss berkehendak melukiskan sedemikian banyaknya aspek dari kejadian-kejadian sebenarnya ialah kaya, berat dan mengagumkan. Titik berat dalam orkesnya yang berat dalam ciptaan-ciptaan klasik, terdapat pada alat-alat gesek telah dipindahkan ke alat tiup. Pada Strauss ini terpenting, dan alat-alat pukul juga mempunyai makna besar. Padanya orkestrasi mencapai tingkat keunggulan tak tepermanai. Kebesaran musiknya tidak terletak pada alat, tapi pelukisan dan kerjaannya. Syair simfonis Strauss merupakan pesta besar-besaran bagi orkes. Seorang pendekar yang menghabiskan waktu dengan berhawa nafsu; pendekar yang bertarung atas suatu kesadaran lebih kuat; hidup seorang bocah yang sepiduka, serta suatu penghidupan besar seorang seniman; ini apek-aspek terindah dari seni simfoni Richard Strauss. {J. Van Ackere, di buku Musik Abadi, terjemahan J. A. Dungga, Gunung Agung Djakarta, tahun lenyap, judul buku aslinya Eeuwige Muziek, diterbitkan N.V. Standaard-Boekhandel, Antwerpen, Belgie}
Sambil menyinauhi musik Don Juan-nya Richard Strauss, atas Sekolah Leicestershire Symphony Orchestra yang dilakukan Peter Fletcher.
Dicatat dalam De Montfort Hall, Leicester 1981 melalui You Tube, maka kulayarkan ini tulisan:
Di kedalaman musik Strauss, terdapatlah panggilan jiwa, suara agung unsur-unsur ilmu pengetahuan.
Atas pengalaman hidup diresapinya, menjelma melodi memperkaya pandangan kemanusiaan.
Dengan mempercayai keyakinannya hingga nada-nada ciptaannya bergema kebaktian, teduh-tentram menggetarkan kalbu keimanan.
Laksana dengkur jaman terkumpul pada degupan nurani, menghentak nilai insani oleh dataran perikehidupan.
Terus meningkatkan niat sampai hasrat ketinggian, dileburnya ruang-waktu dalam pesona pastoral bathin.
Kepurnaan pencarian mendekam dalam perenungan panjang, letak muasal kerinduan sejati seruan hati.
Berdaya tarik setutan kenabian. Yang bernaung di bawah pohon kesahajaan.
Tiupan-tiupan halus melampaui pegunungan lembah peradaban.
Menelusupi relung-reling terpencil, hati insan bersama yang diimpi.
Sepaduan nada fitroh berkumandang kefitrian sedari gunung keabadian.
Pada batu-batu kerikil perjalanan, Strauss mengetahui perbedaan waktu.
Debu-debu beterbangan, dirinya memahami tenggang masa.
Menyimak angin mengerti ketebalan nafas-nafas usia semesta.
Yang melingkupi ruh kebesaran mutlah diraih.
Kesantausaan irama perwujudan bathinnya bertuah, demikianlah pancaindra musiknya berkata-kata.
Pencapaian Richard Strauss laksana kedudukan Friedrich Nietzsche (1844-1900) di dunia sastra.
Perpaduan berhasil dari jiwa temuan Richard Wagne (1813-1883) dan Arthur Schopenhauer (1788-1860).
Maka kupetik di sini Sabda Zarathustra dari bagian III:
“Kalian memandang ke atas ketika merindukan pujian; tapi aku justru menunduk ke bawah, sebab telah ditinggikan.
Siapa di antara kalian yang dapat tertawa sekaligus ditinggikan?
Ialah yang memanjat gunung tertinggi, menertawakan semua tragedi juga realitas tragis.”
Di puncak itulah Strauss membangkitkan naluri insani, seumpama tiupan bayu menghidupi padang rerumputan.
Menaburkan putik-putik kembang. Penerbangan dan menghinggapi bayang ketetapan dalam serentakan merentang.
Dipanggulnya beban berat kenangan pada keniscayaan.
Bergesek keraguan menempa, hantu pucat kegetiran nyata membuatnya perih dan dalam bertahan.
Keberangkatan daya sesal, pilu menyadarkan, tangisan sayu menghidupkan kembali nuanse dari kegersangan.
Drama tersayat-sayat lampu panggung, air mata hendak bermukim tidak tertampung, luruh menuju keheningan sanubari.
Musiknya memberkah tersendiri pada pejaman mata, kepada yang tertunduk bersimpuh ke hadapan masa.
Selepas pengelanaan jauh tidak tentu rimbanya, paduan harmoni, kematangan menekuk masalah.
Tubuh di kubangan penjara takdir diterima ketulusan bertabah, di sinilah ketinggian angin serta cahaya.
Menyatukan nasib permai bijaksana, kala hadirkan persembahan demi kehadirat sesama.
Sabtu, 03 April 2010
Sajak-Sajak Pablo Neruda
Diterjemahkan Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/
Nyanyian buat Sierra Maestra
Kalau biasanya keheningan yang diharapkan dari kita saat meninggalkan
tempat sanak saudara kita dikuburkan,
maka aku minta satu menit yang riuh rendah,
sekali ini saja suara seluruh Amerika,
hanya satu menit nyanyian riuh rendah
aku minta untuk menghormati Sierra Maestra.
Marilah kita lupakan sebentar manusia:
saat ini marilah kita hormati tanah ini
yang menyembunyikan dalam gunung gunungnya yang misterius
bara api yang akan membakar padang padang prairie.
Aku merayakan hutan hutan kecil perkasa
yang mendiami bukit bukit batu karang,
malam yang penuh suara bisikan tak terartikan,
dengan kerlap kerlip cahaya bintang bintang,
keheningan telanjang hutan hutan,
misteri bangsa bangsa yang tak berbendera:
sampai semuanya mulai berdenyut,
lalu meledak jadi api membara seperti api unggun.
Lelaki lelaki berjanggut gagah perkasa turun
untuk menciptakan damai di seluruh negeri,
sekarang segalanya cerah tapi dulu
segalanya suram di Sierra Maestra:
itulah makanya kumohon satu menit saja
untuk menyanyikan Nyanyian Protes ini.
Aku mulai dengan kata kata ini
semoga diikuti di seluruh benua Amerika
“Bukalah matamu bangsa bangsa yang dihina
Sierra Maestra ada di mana mana.”
*) Sierra Maestra adalah daerah perbukitan di Kuba yang menjadi pusat perlawanan gerilyawan Komunis pimpinan Fidel Castro dan Che Guevara yang akhirnya menumbangkan kekuasaan diktator militer dukungan Amerika Serikat, Batista, di tahun 1959.
***
Kawan Itu
Kemudian Sandino memasuki hutan
dia tembakkan peluru peluru keramatnya
melawan para pelaut penyerbu
yang dilatih dan dibayar oleh New York:
bumi terbakar hangus, suara suara tembakan bergema di daunan:
orang Yankee itu tak menyangka apa yang akan terjadi:
dia berpakaian terlalu rapi untuk perang
sepatu dan senjatanya mengkilap
tapi segera dia mengerti
siapa Sandino dan Nicaragua:
kuburan buat para perampok berambut pirang:
di udara, pohon, jalan, air
pasukan gerilya Sandino di mana mana
bahkan di whiskey yang sedang dibuka,
mereka habisi dengan kematian kilat
para tentara Louisiana yang gagah perkasa itu
yang biasa menggantung mati orang orang Negro
dengan keberanian luar biasa:
duaribu laki laki berkerudung sibuk
mengurusi satu laki laki Negro, seutas tali dan sebuah pohon.
Segalanya berbeda di sini:
Sandino menyerang dan menunggu,
Sandino datang bersama malam,
dia adalah cahaya dari laut yang membunuh,
Sandino adalah menara penuh bendera,
Sandino adalah senapan penuh harapan.
Ini adalah pelajaran berbeda,
di West Point pelajaran dilakukan dengan bersih:
mereka tak pernah diajarkan di sekolah
bahwa siapa yang membunuh bisa juga dibunuh:
orang orang Amerika Serikat ini tidak pernah diajarkan
bahwa kita mencintai negeri tercinta kita yang sedih ini
dan kita akan mempertahankan bendera kita
yang dengan sakit dan cinta kita ciptakan.
Kalau mereka tidak mempelajari ini di Philadelphia
mereka mempelajarinya dengan darah di Nicaragua:
pemimpin rakyat menunggu di sana:
Augusto C. Sandino namanya.
Dan dalam nyanyian ini abadi namanya
penuh keagungan seperti sebuah ledakan tiba tiba
yang memberikan kita api dan cahaya
dalam melanjutkan perjuangannya.
(Diterjemahkan dari buku "Song of Protest, Poems by Pablo Neruda", New York, 1976)
http://sautsitumorang.multiply.com/
Nyanyian buat Sierra Maestra
Kalau biasanya keheningan yang diharapkan dari kita saat meninggalkan
tempat sanak saudara kita dikuburkan,
maka aku minta satu menit yang riuh rendah,
sekali ini saja suara seluruh Amerika,
hanya satu menit nyanyian riuh rendah
aku minta untuk menghormati Sierra Maestra.
Marilah kita lupakan sebentar manusia:
saat ini marilah kita hormati tanah ini
yang menyembunyikan dalam gunung gunungnya yang misterius
bara api yang akan membakar padang padang prairie.
Aku merayakan hutan hutan kecil perkasa
yang mendiami bukit bukit batu karang,
malam yang penuh suara bisikan tak terartikan,
dengan kerlap kerlip cahaya bintang bintang,
keheningan telanjang hutan hutan,
misteri bangsa bangsa yang tak berbendera:
sampai semuanya mulai berdenyut,
lalu meledak jadi api membara seperti api unggun.
Lelaki lelaki berjanggut gagah perkasa turun
untuk menciptakan damai di seluruh negeri,
sekarang segalanya cerah tapi dulu
segalanya suram di Sierra Maestra:
itulah makanya kumohon satu menit saja
untuk menyanyikan Nyanyian Protes ini.
Aku mulai dengan kata kata ini
semoga diikuti di seluruh benua Amerika
“Bukalah matamu bangsa bangsa yang dihina
Sierra Maestra ada di mana mana.”
*) Sierra Maestra adalah daerah perbukitan di Kuba yang menjadi pusat perlawanan gerilyawan Komunis pimpinan Fidel Castro dan Che Guevara yang akhirnya menumbangkan kekuasaan diktator militer dukungan Amerika Serikat, Batista, di tahun 1959.
***
Kawan Itu
Kemudian Sandino memasuki hutan
dia tembakkan peluru peluru keramatnya
melawan para pelaut penyerbu
yang dilatih dan dibayar oleh New York:
bumi terbakar hangus, suara suara tembakan bergema di daunan:
orang Yankee itu tak menyangka apa yang akan terjadi:
dia berpakaian terlalu rapi untuk perang
sepatu dan senjatanya mengkilap
tapi segera dia mengerti
siapa Sandino dan Nicaragua:
kuburan buat para perampok berambut pirang:
di udara, pohon, jalan, air
pasukan gerilya Sandino di mana mana
bahkan di whiskey yang sedang dibuka,
mereka habisi dengan kematian kilat
para tentara Louisiana yang gagah perkasa itu
yang biasa menggantung mati orang orang Negro
dengan keberanian luar biasa:
duaribu laki laki berkerudung sibuk
mengurusi satu laki laki Negro, seutas tali dan sebuah pohon.
Segalanya berbeda di sini:
Sandino menyerang dan menunggu,
Sandino datang bersama malam,
dia adalah cahaya dari laut yang membunuh,
Sandino adalah menara penuh bendera,
Sandino adalah senapan penuh harapan.
Ini adalah pelajaran berbeda,
di West Point pelajaran dilakukan dengan bersih:
mereka tak pernah diajarkan di sekolah
bahwa siapa yang membunuh bisa juga dibunuh:
orang orang Amerika Serikat ini tidak pernah diajarkan
bahwa kita mencintai negeri tercinta kita yang sedih ini
dan kita akan mempertahankan bendera kita
yang dengan sakit dan cinta kita ciptakan.
Kalau mereka tidak mempelajari ini di Philadelphia
mereka mempelajarinya dengan darah di Nicaragua:
pemimpin rakyat menunggu di sana:
Augusto C. Sandino namanya.
Dan dalam nyanyian ini abadi namanya
penuh keagungan seperti sebuah ledakan tiba tiba
yang memberikan kita api dan cahaya
dalam melanjutkan perjuangannya.
(Diterjemahkan dari buku "Song of Protest, Poems by Pablo Neruda", New York, 1976)
Kamis, 01 April 2010
Bermain Ski Di Kepala Botak Afrizal Malna
Dwi S. Wibowo
http://sastrasaya.blogspot.com/
Sehari. Aku bermimpi aku jadi manusia, Dada. Sehari.
Dada. Sehari. (Afrizal Malna: “dada”)
Naomi srikandi, dalam pengantarnya (Manusia Grogi Mebaca Puisi-Puisi Afrizal Malna) dalam acara launching buku kumpulan puisi afrizal malna yang dicetak ulang oleh penerbit omah sore menyebut bahwasanya membaca puisi-puisi afrizal malna adalah keluar dari taman bacaan sastra yang manyajikan keindahan namun memasuki tong sampah, toilet umum, dan slogan-slogan busuk yang terpampang di kota-kota. Yang justru menyajikan kesan spontan yang acak adul. Tidak seperti kebanyakan penyair lain yang betah berlama-lama membuai diri dalam kenikmatan berbahasa, afrizal justru terkesan meledak-ledak dalam ekspresi berbahasa dalam sajak-sajaknya akan kita jumpai metafor-metafor yang terlampau jauh. Bahkan bisa jadi akan sangat susah dicerna, karena memang kerap kali dalam puisi-puisi afrizal malna terdapat simbolisme-simbolisme yang bisa dibilang baru. Sehingga akan lebih terasa bahwa puisi-puisi afrizal malna sekedar menampilkan imaji-imaji visual yang mengajak pembaca ke sebuah dunia baru yang benar-benar asing dari kenyataan, dan bukan menampilkan pesan-pesan yang ingin disampaikan didalamnya.
Dalam kumpulan puisi Abad Yang Berlari, kita akan menemukan puisi berjudul “dada” yang salah satu baitnya berisi begini:
Dada
Sehari. Waktu tidak menanam apa-apa, dada. Hanya hidup, hanya hidup membaca diri sendiri; seperti anakanak membaca, seperti anak-anak bertanya. Menulis, dada. Menulis kenapa harus menulis, bagaimana harus menulis, bagaimana harus ditulis. Orang-orang menjauh dari setiap yang bergerak, dada;seperti menakuti setiap yang dibaca dan ditulisnya sendiri. Membaca jadi mengapa mebaca. Menulis jadi mengapa menulis.
Dalam satu bait puisi di atas terdapat tiga kata “dada”, dan penempatan diksi tersebut yang sepertinya tidak mengarah pada fungsi dada sebagai salah satu organ manusia, sebagai objek mati, namun justru afrizal malna meletakkan kata “dada” sebagai sebuah objek yang hidup seperti halnya menyebut nama orang. Saya sempat menerka demikian, namun perlakuan afrizal malna terhadap diksi “dada” yang demikian tidak hanya dalam puisi “dada” saja namun saya juga menemukannya dalam puisi “abad yang berlari”. Ada kalimat yang berbunyi begini:
Dada yang bekerja di dalam waktu
Di sinipun dada diperlakukan sebagai sebuah subjek hidup yang nyata bekerja. Bisa dibilang ini merupakan metafor yang tidak lazim dipakai dalam puisi di indonesia yang akan lebih banyak mengeksplorasi benda mati untuk dihidupkan dalam bait, bukan terhadap organ-organ manusia yang bisa dibilang benda hidup namun tidak dapat sepenuhnya hidup sebagai objek dalam perilaku berbahasa. Meskipun ada juga penyair lain yang juga mencoba menghidupkan organ-organ manusia, yaitu gus tf, semisal dalam puisinya yang bertajuk “daging akar”, namun di dalam puisi tersebut gus tf tidak mampu sepenuhnya menghidupkan daging menjadi subjek yang seratus persen hidup yang berlaku sesuai fungsinya sebagai subjek, daging dalam puisi gus tf hanya menjadi bulan-bulan untuk hidup namun juga menghidupi kata lain dalam puisi itu untuk menyusun metafor yang indah. Dalam kumpulan puisi Abad Yang Berlari afrizal malna melakukan banyak sekali eksplorasi semacam itu. Jadi semacam terjadi proses totalisasi yang berpusat pada subjek dalam puisi afrizal malna, tempat segala objek menjadi subjek, ekspresi suasana hati manusia. Di situ kita menyaksikan sebuah personifikasi subjek, sebuah antroposentrisme (faruk:150). Kumpulan puisi Abad Yang Berlari menampung banyak sekali diksi “dada” mulai dari puisi yang berjudul “dada”, “tanah dada”, sampai “dia hanya dada”. Nampaknya afrizal malna begitu terpesona pada dada hingga ia enggan untuk berjauhan dari dada.
Setelah saya membaca usai buku kumpulan puisi tersebut, ternyata saya menjumpai bahwasanya afrizal tidak hanya mencintai dada, namun ada beberapa diksi yang juga ia perlakukan sama halnya dengan “dada”, melakukan proses antroposentrisme, proses personifikasi subjek. Metafor lain yang ia gunakan ialah “televisi” dan “palu”. Penggunaan metafor “televisi” ini saya pikir menjadi unik karena hampir setiap pemakaiannya, afrizal seperti ingin menyampaikan sesuatu, kalau boleh saya bilang kekaguman terhadap fenomena keluarnya televisi di era 80-an
Yang barangkali masih menjadi benda langka kala itu. Misalnya dalam peutup puisi “lembu yang berjalan” terdapat kalimat seperti ini:
Angin telah pergi, tidak lagi ucapkan kotamu, tak lagi ucapkan namamu. Aku bersalaman. Mengecup pesawat TV sendiri… tak ada lagi, berita manusia.
Televisi seperti merenggut sebagian besar perhatian manusia, manusia tidak lagi berpikir nama, tidak lagi berpikir tempat. Semua telah terenggut televisi. Atau juga dalam puisi “chanel 00” yang sangant pendek,begini bunyinya:
Chanel 00
Sebentar.
Saya sedang bunuh diri.
Teruslah mengaji dalam televisi berdarah itu, bunga.
1983
Unik sekali, pendek namun betapa jelas menggambarkan imaji visual. Afrizal malna merupakan penyair yang cukup peka dengan fenomena sosial di sekitarnya, pemakaian metafor “televisi” sendiri merupakan bagian dari kepekaannya melihat fenomena masyarakat tahun 80-an yang deigemparkan oleh munculnya pesawat televisi. Sedangkan penggunaan metafor “palu” hanya saya dapati pada puisi “abad yang berlari” :
Abad Yang Berlari
Palu. Waktu tak mau berhenti, palu. Waktu tak mau berhenti. Seribu jam menunjuk waktuyang berbeda-beda. Semua berjalan sendiri-sendiri, palu.
Sama halnya dengan pemakaian metafor “dada”, metafor “palu” digunakan dengan proses antroposentrisme, personifikasi subjek secara total. Dan uniknya lagi, “dada”, “palu” selalu dikombinasikan dengan waktu. Nampaknya afrizal hendak menyampaikan bahwasanya waktu dalam dada sama dengan palu yang memukul-mukul paku (ini hanya terkaan saya saja).
Mengutip K.L. Junandharu dalam sebuah diskusi di yayasan umar kayam, (desember 2009). Bahwasanya afrizal malna menulis puisi yang bertujuan untuk melampaui hukum-hukum kausalitas temporal yang niscaya pada suatu puisi, dan memimpikan satu puisi dimana efek-efek penyejajaran dan keserempakan bisa tercipta. Afrizal malna tidak sekedar mengacak semiotika bahasa, namun ia membawa konsep dasar untuk manampilkan imaji-imaji visual yang baru dan segar lewat pemakaian simbol-simbol dalam metafor-metafornya. Terlepas dari itu semua, Abad Yang Berlari memberikan banyak sekali memberikan petualangan baru dalam ranah bahasa, sebuah permainan yang menarik seperti bermain ski di kepala afrizal yang botak, salah langkah sedikit dalam upaya memahaminya bisa terjebak dalam longsor salju tanda tanya yang mengejar dengan kecepatan ratusan mph dan siap mengubur hidup-hidup.
_ , Yogyakarta, 2010
http://sastrasaya.blogspot.com/
Sehari. Aku bermimpi aku jadi manusia, Dada. Sehari.
Dada. Sehari. (Afrizal Malna: “dada”)
Naomi srikandi, dalam pengantarnya (Manusia Grogi Mebaca Puisi-Puisi Afrizal Malna) dalam acara launching buku kumpulan puisi afrizal malna yang dicetak ulang oleh penerbit omah sore menyebut bahwasanya membaca puisi-puisi afrizal malna adalah keluar dari taman bacaan sastra yang manyajikan keindahan namun memasuki tong sampah, toilet umum, dan slogan-slogan busuk yang terpampang di kota-kota. Yang justru menyajikan kesan spontan yang acak adul. Tidak seperti kebanyakan penyair lain yang betah berlama-lama membuai diri dalam kenikmatan berbahasa, afrizal justru terkesan meledak-ledak dalam ekspresi berbahasa dalam sajak-sajaknya akan kita jumpai metafor-metafor yang terlampau jauh. Bahkan bisa jadi akan sangat susah dicerna, karena memang kerap kali dalam puisi-puisi afrizal malna terdapat simbolisme-simbolisme yang bisa dibilang baru. Sehingga akan lebih terasa bahwa puisi-puisi afrizal malna sekedar menampilkan imaji-imaji visual yang mengajak pembaca ke sebuah dunia baru yang benar-benar asing dari kenyataan, dan bukan menampilkan pesan-pesan yang ingin disampaikan didalamnya.
Dalam kumpulan puisi Abad Yang Berlari, kita akan menemukan puisi berjudul “dada” yang salah satu baitnya berisi begini:
Dada
Sehari. Waktu tidak menanam apa-apa, dada. Hanya hidup, hanya hidup membaca diri sendiri; seperti anakanak membaca, seperti anak-anak bertanya. Menulis, dada. Menulis kenapa harus menulis, bagaimana harus menulis, bagaimana harus ditulis. Orang-orang menjauh dari setiap yang bergerak, dada;seperti menakuti setiap yang dibaca dan ditulisnya sendiri. Membaca jadi mengapa mebaca. Menulis jadi mengapa menulis.
Dalam satu bait puisi di atas terdapat tiga kata “dada”, dan penempatan diksi tersebut yang sepertinya tidak mengarah pada fungsi dada sebagai salah satu organ manusia, sebagai objek mati, namun justru afrizal malna meletakkan kata “dada” sebagai sebuah objek yang hidup seperti halnya menyebut nama orang. Saya sempat menerka demikian, namun perlakuan afrizal malna terhadap diksi “dada” yang demikian tidak hanya dalam puisi “dada” saja namun saya juga menemukannya dalam puisi “abad yang berlari”. Ada kalimat yang berbunyi begini:
Dada yang bekerja di dalam waktu
Di sinipun dada diperlakukan sebagai sebuah subjek hidup yang nyata bekerja. Bisa dibilang ini merupakan metafor yang tidak lazim dipakai dalam puisi di indonesia yang akan lebih banyak mengeksplorasi benda mati untuk dihidupkan dalam bait, bukan terhadap organ-organ manusia yang bisa dibilang benda hidup namun tidak dapat sepenuhnya hidup sebagai objek dalam perilaku berbahasa. Meskipun ada juga penyair lain yang juga mencoba menghidupkan organ-organ manusia, yaitu gus tf, semisal dalam puisinya yang bertajuk “daging akar”, namun di dalam puisi tersebut gus tf tidak mampu sepenuhnya menghidupkan daging menjadi subjek yang seratus persen hidup yang berlaku sesuai fungsinya sebagai subjek, daging dalam puisi gus tf hanya menjadi bulan-bulan untuk hidup namun juga menghidupi kata lain dalam puisi itu untuk menyusun metafor yang indah. Dalam kumpulan puisi Abad Yang Berlari afrizal malna melakukan banyak sekali eksplorasi semacam itu. Jadi semacam terjadi proses totalisasi yang berpusat pada subjek dalam puisi afrizal malna, tempat segala objek menjadi subjek, ekspresi suasana hati manusia. Di situ kita menyaksikan sebuah personifikasi subjek, sebuah antroposentrisme (faruk:150). Kumpulan puisi Abad Yang Berlari menampung banyak sekali diksi “dada” mulai dari puisi yang berjudul “dada”, “tanah dada”, sampai “dia hanya dada”. Nampaknya afrizal malna begitu terpesona pada dada hingga ia enggan untuk berjauhan dari dada.
Setelah saya membaca usai buku kumpulan puisi tersebut, ternyata saya menjumpai bahwasanya afrizal tidak hanya mencintai dada, namun ada beberapa diksi yang juga ia perlakukan sama halnya dengan “dada”, melakukan proses antroposentrisme, proses personifikasi subjek. Metafor lain yang ia gunakan ialah “televisi” dan “palu”. Penggunaan metafor “televisi” ini saya pikir menjadi unik karena hampir setiap pemakaiannya, afrizal seperti ingin menyampaikan sesuatu, kalau boleh saya bilang kekaguman terhadap fenomena keluarnya televisi di era 80-an
Yang barangkali masih menjadi benda langka kala itu. Misalnya dalam peutup puisi “lembu yang berjalan” terdapat kalimat seperti ini:
Angin telah pergi, tidak lagi ucapkan kotamu, tak lagi ucapkan namamu. Aku bersalaman. Mengecup pesawat TV sendiri… tak ada lagi, berita manusia.
Televisi seperti merenggut sebagian besar perhatian manusia, manusia tidak lagi berpikir nama, tidak lagi berpikir tempat. Semua telah terenggut televisi. Atau juga dalam puisi “chanel 00” yang sangant pendek,begini bunyinya:
Chanel 00
Sebentar.
Saya sedang bunuh diri.
Teruslah mengaji dalam televisi berdarah itu, bunga.
1983
Unik sekali, pendek namun betapa jelas menggambarkan imaji visual. Afrizal malna merupakan penyair yang cukup peka dengan fenomena sosial di sekitarnya, pemakaian metafor “televisi” sendiri merupakan bagian dari kepekaannya melihat fenomena masyarakat tahun 80-an yang deigemparkan oleh munculnya pesawat televisi. Sedangkan penggunaan metafor “palu” hanya saya dapati pada puisi “abad yang berlari” :
Abad Yang Berlari
Palu. Waktu tak mau berhenti, palu. Waktu tak mau berhenti. Seribu jam menunjuk waktuyang berbeda-beda. Semua berjalan sendiri-sendiri, palu.
Sama halnya dengan pemakaian metafor “dada”, metafor “palu” digunakan dengan proses antroposentrisme, personifikasi subjek secara total. Dan uniknya lagi, “dada”, “palu” selalu dikombinasikan dengan waktu. Nampaknya afrizal hendak menyampaikan bahwasanya waktu dalam dada sama dengan palu yang memukul-mukul paku (ini hanya terkaan saya saja).
Mengutip K.L. Junandharu dalam sebuah diskusi di yayasan umar kayam, (desember 2009). Bahwasanya afrizal malna menulis puisi yang bertujuan untuk melampaui hukum-hukum kausalitas temporal yang niscaya pada suatu puisi, dan memimpikan satu puisi dimana efek-efek penyejajaran dan keserempakan bisa tercipta. Afrizal malna tidak sekedar mengacak semiotika bahasa, namun ia membawa konsep dasar untuk manampilkan imaji-imaji visual yang baru dan segar lewat pemakaian simbol-simbol dalam metafor-metafornya. Terlepas dari itu semua, Abad Yang Berlari memberikan banyak sekali memberikan petualangan baru dalam ranah bahasa, sebuah permainan yang menarik seperti bermain ski di kepala afrizal yang botak, salah langkah sedikit dalam upaya memahaminya bisa terjebak dalam longsor salju tanda tanya yang mengejar dengan kecepatan ratusan mph dan siap mengubur hidup-hidup.
_ , Yogyakarta, 2010
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati