Sabtu, 20 Maret 2010

MEMBINCANGKAN TIGA CERPEN GUS MUS

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Ketika tahun 1970-an sastra Indonesia dilanda semangat eksperimentasi, sejalan dengan gerakan “kembali ke akar, kembali ke tradisi” sebagaimana yang diusung Abdul Hadi WM, kisah-kisah dunia jungkir balik dalam prosa, termasuk di dalamnya cerita pendek (cerpen), seperti menemukan pembenaran estetik. Absurdisme, melalui perkenalkannya dengan filsafat eksistensialisme, dipandang sebagai representasi dunia jungkir balik itu. Belakangan disadari, bahwa kisah-kisah supernatural dalam khazanah sastra tradisional kita yang tersebar di seluruh Nusantara, pada hakikatnya tidaklah berbeda dengan dunia jungkir balik yang berada di entah-berantah itu. Kisah-kisah itu juga kerap mengangkat peristiwa absurd. Tentu saja absurdisme dan kisah supernatural, secara konseptual tidaklah sama. Di sana ada keberbedaan akar tradisi kultural yang melatarbelakanginya. Dalam bahasa yang lain, masyarakat kita sudah sejak lama akrab dengan persoalan irasionalitas.

Tetapi itulah, semangat penjungkalan pada logika formal yang kemudian menghasilkan dunia jungkir balik itu, dianggap sebagai sesuatu yang baru ketika konsep itu diperkenalkan oleh para pemikir Barat. Seolah-olah, itulah kecenderungan baru yang penting diadopsi secara bulat-mentah –tanpa reserve—oleh kaum akademisi kita. Seolah-olah lagi, masyarakat kita sudah tertinggal jauh, sehingga perlu menyerap segalanya dari Barat. Maka, kegandrungan pun terjadilah dan Barat menjadi sumber inspirasi. Dan kaum akademisi pun makin terpukau oleh fenomena itu.

Bagi sastrawan sendiri, penggalian pada akar tradisi laksana sebuah keniscayaan. Maka, dengan semangat kembali ke akar, kembali ke tradisi, disadari –seperti telah disebutkan—bahwa dunia jurkir balik itu bukanlah hal yang baru bagi masyarakat kita. Logikanya sederhana: dunia jungkir balik itu sesungguhnya merupakan ekspresi realitas fisik yang berkelindan dengan realitas psikis. Keserempakan penghadiran realitas faktual yang kasat mata dengan realitas imajinatif atau psikis yang tidak kelihatan lantaran berada dalam dekaman pikiran atau perasaan, menyebabkan peristiwa itu terjadi seolah-olah tanpa hubungan kausalitas, tanpa sebab-musabab. Dalam peristiwa semacam itu, logika formal terpaksa dicampakkan. Itulah yang kemudian muncul, yaitu hadirnya peristiwa irasional yang melanggar logika formal. Berbagai peristiwa dalam tindakan dan peristiwa dalam pikiran, bercampur-aduk sedemikian rupa. Akibatnya, rentetan dan jalinan peristiwa itu laksana merepresentasikan segala sesuatu yang tidak terpahamkan: absurd!

Dilihat dari kecenderungan estetik karya-karya tahun 1970-an itu, Abdul Hadi WM mencatat ada semangat yang sama yang menjadi landasan dan wawasan estetiknya, yaitu semacam kerinduan untuk menggali nilai-nilai tradisi masa lalu budaya leluhur. Menurutnya, corak pendekatan dan sikap terhadap tradisi itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok kecenderungan:

1. Mereka yang mengambil unsur-unsur budaya tradisional untuk keperluan inovasi dalam pengucapan. Mereka melihat bahwa dalam tradisi terdapat unsur-unsur dan aspek-aspek yang relevan bagi pandangan hidup manusia mutakhir, khususnya irrasionalisme yang ternyata mendapat perhatian kaum eksistensialis dan penganut aliran sastra absurd;

2. Mereka yang mengklaim menumpukan perhatian hanya terhadap satu budaya daerah saja seperti Jawa, Minangkabau, Melayu Riau, Sunda dan lain-lain. Para penulis kecenderungan ini berkarya dengan maksud memberi corak khas kedaerahan terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia;

3. Mereka yang mengambil tradisi langsung dari bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa agama besar, seperti Hindu, Buddha, dan Islam.[1]

Begitulah, pada tahun 1970-an itu,kesusastraan Indonesia kemudian bergerak dengan semangat eksperimentasi itu. Dalam prosa, khasnya cerpen, nama-nama Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, Muhammad Diponegoro, dan Danarto lalu dikaitkan dengan spiritualitas tasawuf dan mistik Jawa. Inovasi yang ditawarkan mereka lambat-laun menjadi sebuah kovensi ketika model eksperimentasi itu diterima sebagai ciri estetik. Dari sana lalu bermunculan pula sejumlah istilah yang bermuara pada apa yang disebut sebagai sastra Islam.

***

Apa kaitannya pemaparan di atas dengan cerpen-cerpen A Mustofa Bisri yang biasa dipanggil Gus Mus? Apakah Gus Mus terlambat mengikuti jejak cerpenis tahun 1970-an itu ketika kehadirannya telah lewat sekitar dua dasawarsa? Atau, ketika model spiritualitas tasawuf dan mistik Jawa itu mulai memudar, Gus Mus justru baru memulai kiprah kesastrawanannya? Sejumlah pertanyaan lain, tentu saja masih dapat dikemukakan. Juga tidak begitu menjadi persoalan benar, ada atau tidak adanya hubungan antara cerpen-cerpen Gus Mus dengan cerpen Angkatan 70-an. Tetapi, tentu saja penting artinya menempatkan cerpen karya pengarang tertentu dalam konstelasi dan sejarah perkembangan kesusastraan bangsanya. Di mana posisinya dalam alur panjang sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia? Itulah pertanyaan yang harus dijawab agar jelas letaknya dalam peta besar kesusastraan, sejauh mana kontribusinya, dan bagaimana wawasan estetiknya.

Begitulah, dengan cara itu, kita dapat pula melihat, apakah kehadiran Gus Mus dalam peta cerpen Indonesia sekadar memasukkan daftar nama dalam sebuah senarai atau justru memberi kontribusi –tematik atau stilistik—sebagai sebuah tawaran estetik? Bahkan, ketika secara tematik kita menghubung dan mengaitkannya dengan tema-tema sebelumnya, penempatan itu dapat menegaskan: apakah ia masuk dalam barisan epigonisme atau menyodorkan sesuatu yang baru dengan caranya sendiri. Berikut akan dibincangkan tiga cerpen A Mustofa Bisri yang termuat dalam antologi Bidadari Sigar Rasa (Dewan Kesenian Jakarta, 2005, hlm. 1—30). Adapun ketiga cerpen itu adalah “Lukisan Kaligrafi,” “Ngelmu Sigar Rasa,” dan “Gus Jakfar”. [2]

***

Kehadiran Gus Mus lewat cerpen-cerpennya itu sesungguhnya makin menegaskan, bahwa realitas spiritual masyarakat kita memang bergerak di antara rasionalitas dan irasionalitas; antara logika formal dan logika spiritual; antara dunia yang kasat mata dan dunia gaib. Tampak di sini, semangat yang melandasi Gus Mus bukanlah hendak menggali kembali akar tradisi—yang dikatakan Abdul Hadi sebagai kembali ke akar kembali ke tradisi—melainkan sekadar hendak mengangkat sebuah realitas sosiologis yang terjadi dalam komunitasnya, dalam masyarakat persekitarannya.

Dalam cerpen-cerpen Gus Mus itu, yang terungkapkan adalah “potret” komunitas persekitaran. Ia tidak berpretensi menyajikan simbolisme sufistik, sebagaimana yang dapat kita tangkap dalam cerpen-cerpen Fudoli Zaini atau Kuntowijoyo. Maka, kisah-kisah supernatural dalam cerpen-cerpen Gus Mus itu, boleh diperlakukan sebagai realitas sosial. Atau sebaliknya, realitas sosial, boleh tiba-tiba muncul bersamaan dengan peristiwa supernatural. Jadi, begitulah, hakikatnya, cerpen-cerpen Gus Mus merepresentasikan realitas masyarakat (Islam—pesantren) yang hidup dengan segala sistem kepercayaannya. Di luar perkara itu, suasana kehidupan kiai dengan berbagai persoalannya, setelah sekian lama tak terdengar selepas Umi Kalsum, Djamil Suherman (1963; 1984), kini seolah-olah sengaja dihadirkan kembali dengan pertanyaan besar: di manakah peranan para kiai hendak ditempatkan ketika zaman telah berubah dan kehidupan politik ikut mempengaruhi perilaku masyarakat. Dengan begitu, dilihat dari perjalanan cerpen Indonesia, kehadiran cerpen-cerpen Gus Mus, tentu saja tidak sekadar memperkaya tema cerpen kita, tetapi juga seperti menawarkan pandangan baru tentang terjadinya pergeseran peran kiai.

Jika Danarto mengkelindankan mistik Jawa dengan segala filosofi dunia pewayangannya dan tasawuf; Kuntowijoyo dan Fudoli Zaini menggali tasawuf dengan sentuhan eksistensialisme; Gus Mus terkesan lepas dari segala pretensi itu. Ia sekadar bercerita: inilah realitas dunia para kiai dengan segala sistem kepercayaannya, dengan segala kisah supernaturalnya. Maka, tokoh aku yang mendapat ijazah Mbah Joned dalam ngelmu Sigar Raga atau kisah Gus Jakfar dengan segala kesaktiannya, adalah potret sekitar kehidupan para kiai. Ia bukan kisah dunia jungkir balik model tahun 1970-an. Ia juga tidak dilahirkan dari semangat eksperimentasi atau hendak mengangkat tasawuf dan filsafat Jawa. Ia hanya memotret sisi lain dari sistem kepercayaan dalam kehidupan para kiai. Dengan begitu, perkara ngelmu Sigar Raga dan kesaktian Gus Jakfar adalah kisah supernatural yang real. Bahkan, dalam dunia pesantren kedua kisah itu telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan keseharian para santrinya, dalam sistem kepercayaan mereka yang tidak perlu diperdebatkan.

***

Cerpen “Lukisan Kaligrafi” agaknya lebih menyerupai sebuah ironi tentang dunia seni lukis kita. Dikisahkan di sana, pelukis, tanpa perlu memahami aturan-aturan penulisan khath Arab, tanpa perlu menguasai bahasa Arab, dan cukup sekadar mengetahui makna Al-Quran lewat terjemahan Departemen Agama, sudah cukuplah sebagai modal melukis kaligrafi. “Katanya dia asal ‘menggambar’ tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertulisan Arab lainnya.” Sebaliknya, seorang kiai macam Ustadz Bachri, meski bukan pelukis, lantaran merasa menguasai perkara khath Arab, dan didesakpaksa untuk ikut pameran lukisan, tertantang juga untuk coba menjadi pelukis. Hasilnya tentu saja ustadz itu mendadak jadi pelukis “karbitan”.[3]

Sesungguhnya, cerpen itu laksana potret miniatur Indonesia. Gambaran di dalamnya laksana merepresentasikan kehidupan bangsa ini. Di negeri ini, siapa pun, lantaran keadaan atau lantaran dipaksa dan didesak, bisa menjadi apa pun; atau apa pun, bisa dikerjakan oleh siapa pun, meski bukan ahlinya. Itulah yang terjadi dalam pemerintahan kita selepas Orde Baru. Itu pula yang berulang kali terjadi dalam kabinet pemerintahan Indonesia dalam setiap pergantian pemerintahan siapa pun presidennya. Dan berkat pemberitaan media massa, opini gampang diciptakan. Tinggal masyarakat bertanya-tanya dalam ketidakpahamannya. Bukankah pesan itu juga implisit terekam dalam cerpen itu?

Gus Mus boleh jadi sekadar berpretensi menggambarkan terjadinya pergeseran peran kiai. Atau, sangat mungkin ia sekadar menulis cerpen sambil menyentil ke sana ke mari. Tetapi di situlah fungsi sastra. Ia mengungkapkan problem individual yang maknanya sering kali bersifat universal. Di balik itu, misteri lukisan yang tidak dapat difoto dan lukisan itu dihargai begitu mahal, dalam banyak kasus spiritual, hal itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Selalu ada peristiwa aneh dan mengejutkan. Selalu ada faktor kebetulan yang diyakini sebagai campur tangan Tuhan. Maka kejutan dalam peristiwa itu dimungkinkan oleh adanya sejumlah faktor kebetulan (possibility), yang berbuah menjadi keniscayaan ketika keyakinan tetap bergeming. Bukankah dalam cerpen itu kita dapat menemukan beberapa faktor kebetulan: si pelukis Hardi melihat rajah di depan pintu; dia akan menyelenggarakan pameran kaligrafi; cat yang tersisa hanya dua warna, putih dan silver; dan letak huruf alif berada di tengah kanvas. Beberapa faktor kebetulan itulah yang pada akhirnya membawa Ustadz Bachri berhasil menyelesaikan sebuah lukisan alif.

Faktor kebetulan yang dalam pemikiran strukturalisme kerap dimasalahkan ketika hubungan kausalitas terkesan dipaksakan, dalam cerpen-cerpen Gus Mus justru menjadi bagian penting jika dikaitkan dengan perkara keyakinan. Maka, faktor kebetulan yang dalam pemikiran strukturalisme ditempatkan sebagai bagian dari rangkaian peristiwa, dalam cerpen-cerpen Gus Mus malah menjadi bagian dari tema cerita. Di sinilah pentingnya teks tidak dilepaskan dari konteksnya, dari kultur yang mendekam di belakang yang tersurat dalam teks. Dengan pemahaman itu, faktor kebetulan punya dasar kultural, bahkan ideologis. Bukankah faktor kebetulan itu diyakini masih berada dalam lingkaran campur tangan Tuhan?

Cermati saja cerpen “Ngelmu Sigar Rasa”. Kesediaan Mbah Joned menemui tokoh aku; kondisi Mbah Joned yang sedang murah hati; kemudahan tokoh aku memperoleh ijazah dari kiai sepuh itu; dan lancarnya proses penerimaan ilmu sigar rasa, adalah rangkaian peristiwa yang serba kebetulan. Segalanya mengalir begitu saja lantaran Tuhan telah mengaturnya demikian. Bukankah itu masih berada dalam lingkaran sistem kepercayaan. Bukankah itu juga diyakini hanya akan hadir jika di sana ada keimanan yang tidak tergoyahkan, yang tetap bergeming?

Bagaimana pula kita memperoleh penjelasan rasional ketika si tokoh aku mempraktikkan ilmunya? Bagaimana roh tiba-tiba melayang meninggalkan jasad dan sekejap berdialog sebelum roh itu pergi entah ke mana? “Mus, aku pergi ya, kamu tinggal saja di rumah!” Kulihat diriku mengangguk dan melambaikan tangan. Aku pun pergi meninggalkan diriku. Itulah dialog yang terjadi antara roh dan tubuh. Sejumlah pustaka filsafat yang membincangkan hubungan roh, tubuh, dan jiwa, kerap gagal menjawab persoalan itu ketika segalanya hendak diuraikan lewat pendekatan rasional. Selalu ada wilayah yang tidak dapat disentuh rasio. Manusia adalah misteri bagi manusia. Lalu bagaimana pula kita hendak menjelaskan peristiwa dalam cerpen itu. Apakah peristiwa itu termasuk wilayah dunia jungkir balik, kisah supernatural atau justru potret real atas realitas sosiologis kehidupan para kiai?

Itulah salah satu kekhasan cerpen-cerpen Gus Mus. Ia tidak hendak menawarkan dunia jungkir balik dengan semangat eksperimentasi model cerpen-cerpen tahun 1970-an. Ia juga tidak bermaksud mengangkat kisah supernatural. Ia justru sekadar memotret sebuah realitas sosiologis yang sengaja hendak ditempatkan sebagai bagian dari tema cerita. Maka yang terjadi adalah sebuah kritik sosial ketika peran kiai mulai bergeser lantaran kemewahan melimpahinya; ketika nafsu duniawi menghilangkan jati dirinya.

Jika di akhir cerita digambarkan, terjadi pertemuan antara lelaki berpakaian putih-putih dan tokoh aku yang dikatakannya: orang itu memandangku seperti melihat hantu; dan sang ibu memperlakukan anaknya itu dengan segala keheranannya, itu bermakna bahwa tokoh aku secara spiritual tidak lagi memperlihatkan kesalehannya sebagaimana dulu ketika ia menerima ijazah dari Kiai Sepuh, Mbah Joned. Pertanyaan-pertanyaan ibunya menegaskan terjadinya perubahan itu: “Lo, Mus, apa-apaan kau ini?”/”Kapan kau datang dan akan terus pergi ke mana malam-malam begini”/ Itu pakaian siapa yang kau pakai? Kayak orang kota saja…”/Hei, Mus, kesambet di mana kau ini?”/ … “Mus, Mus, aneh-aneh saja kau!”

Begitulah, ketika tokoh aku menikmati buah kesuksesannya: jabatan, penghormatan, kemewahan, kekayaan, fasilitas, bahkan juga wanita, ia telah kehilangan keauliaannya, kehilangan kesalehannya, dan secara metaforis, berubah menjadi hantu. Meski begitu, ilmu sigar rasa yang diperoleh dari Mbah Joned, tetap tidak meninggalkan jasad si tokoh aku. Jadi, di sana ada dua jiwa yang berbeda. Lalu, bagaimana kita menjelaskan secara rasional tentang dua jiwa yang berbeda yang mendekam dalam satu tubuh?

Dalam kehidupan para aulia, perkara itu bukanlah sesuatu yang mustahil, bukan pula kisah supernatural, tetapi sesuatu yang niscaya ketika dikaitkan dengan kehendak Tuhan. Apa pun bisa terjadi atas kehendak-Nya. Kun fa ya kun diyakini sebagai keniscayaan. Jadi, kisah itu tidak datang dari dunia entah-berantah, tidak sekadar fiksi yang diambil dari dunia lain. Ia real sebagai realitas sosial yang dipercaya sebagai kebenaran ketika keimanan tentang itu diyakini datang atas kehendak-Nya. Bukankah apa pun dapat terjadi dan serba mungkin jika Tuhan berkehendak?

Kembali, dengan semangat sekadar memotret realitas sosial di persekitarannya, Gus Mus sesungguhnya juga menyampaikan pesan ideologisnya atas terjadinya pergeseran peran kiai. Bukankah pola ini berbeda dengan pesan spiritualitas Kuntowijoyo, Muhammad Diponegoro, Fudoli Zaini, atau Danarto, meskipun semuanya berada dalam wawasan estetik yang berakar pada sumber yang sama: pada Quran.

Dalam cerpen “Gus Jakfar” dikisahkan, bahwa tokoh Gus Jakfar adalah kiai yang pandai membaca tanda-tanda seseorang. Tentu saja kepandaian ini tidak sama dengan peramal, dukun, atau cenayang. Ia kiai yang mempunyai kelebihan tertentu. Suatu saat, ia menghilang selama beberapa minggu. Dan ketika datang kembali di tengah masyarakatnya, orang-orang melihat Gus Jakfar seperti tak punya keistimewaan lagi. Satu-dua orang yang penasaran, bertanya, ke manakah ia menghilang selama beberapa minggu itu. Kiai itu kemudian bercerita: Bermula dari mimpi berjumpa ayahnya. Sang ayah menyuruhnya mencari Kiai Tawakkal. Ia lalu berkelana mencarinya. Dan terjadilah perjumpaan dengan Kiai Tawakkal, Mbah Jogo. Ituilah realitas lain yang terjadi dalam kehidupan para kiai. Di sana, dalam cerpen itu, ada peristiwa tentang tanda pada kening kiai itu yang bertuliskan, ahli neraka; ada peristiwa sang kiai dikerubuti perempuan menor di warung remang-remang; berjalan di atas permukaan air sungai; dan akhirnya Kiai Jogo, menghilang entah ke mana. Sosok misterius Kiai Jogo tetap menyimpan misteri.

Apakah peristiwa itu cuplikan dari kisah supernatural? Bagi kiai, santri atau kalangan pesantren, kisah sejenis itu kerap diyakini sebagai kebenaran yang hanya dapat dialami oleh orang-orang tertentu yang dianggap pantas mengalaminya. Kisah seperti itu berada dalam garis tipis peristiwa faktual bagi mereka yang mempercayainya, dan peristiwa irasional bagi mereka yang tidak mempercayainya. Tetapi ia tetap hidup dan diyakini sebagai fakta sosiologis dalam komunitas pesantren.

Begitulah, ia bukan peristiwa jungkir balik, bukan pula fakta yang direkayasa menjadi fiksi. Peristiwa itu berkaitan dengan sistem kepercayaan. Oleh karena itu, ia diyakini pernah terjadi, atau akan terjadi suatu saat kelak dan dialami hanya oleh orang-orang pilihan. Dengan demikian, Gus Mus sengaja menampilkan sisi lain dalam kehidupan para kiai. Dan di sana, berbagai peristiwa rasional dan irasional, berkelindan dan hidup sebagai fakta sosial. Apa yang melatarbelakangi penempatan peristiwa irasional menjadi fakta sosial? Segalanya bersumber pada satu hal: keyakinan pada kuasa Tuhan. Dengan keyakinan itu, dengan kehendak Tuhan, apa pun bisa terjadi. Batas yang mungkin dan yang tidak mungkin berada dalam garis yang sangat tipis. Bukankah kekuasaan Tuhan tidak mengenal yang mungkin dan yang tidak mungkin. Bukankah yang mungkin dan yang tidak mungkin hanya ada dalam paradigma logika manusia yang terbatas dan terikat pada dimensi ruang dan waktu?

Bagaimana kita menjelaskan tanda yang menempel di kening Kiai Jogo yang bertuliskan: ahli neraka? Bagaimana pula kita menjelaskan langkah kaki kiai itu di atas permukaan air sungai?

Kembali, rangkaian peristiwa itu sengaja dihadirkan dalam kaitannya untuk mendukung tema cerita. Dengan cara itu, Gus Mus berhasil menyelusupkan pesannya tentang peran kiai dan sikapnya dalam menghadapi anugerah. Perhatikan kutipan berikut yang mengungkapkan pesan Kiai Jogo pada Kiai Jakfar:

“Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda ‘Ahli Neraka’ di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka, terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnya Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah mata, pasti masuk neraka? … Kau harus berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabur, ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.”

Itulah sesungguhnya pesan yang hendak disampaikan Gus Mus. Peristiwa irasional yang diangkatnya menjadi bagian penting dari tema cerita. Oleh karena itu, kembali, teks itu tidak hanya mempunyai akar kultural-sosiologis, tetapi juga bersifat ideologis. Dengan demikian, tidak dapat lain, cerpen-cerpen Gus Mus, hanya mungkin dapat mengungkap kekayaannya, jika kita melakukan pendekatan terhadapnya berdasarkan kondisi sosio-budaya dan sistem kepercayaan yang melatarbelakanginya.

***

Pembicaraan tiga cerpen Gus Mus tadi, tentu saja baru mengungkapkan sebagian kecil dari persoalan besar yang terjadi dalam kehidupan dunia pesantren dan berbagai persoalan yang melingkari kehidupan para kiainya. Bagaimanapun juga, Gus Mus telah berhasil mengungkapkan sisi lain dari kehidupan persekitarannya. Dalam perjalanan cerpen Indonesia sejak kelahirannya sampai kini, cerpen-cerpen Gus Mus berdiri tegak sendirian. Itulah salah satu sumbangan penting Gus Mus dalam memperkaya khazanah cerpen Indonesia. Jelas di sini, Gus Mus tampak tak berpretensi melanjutkan semangat Angkatan 70-an, tidak juga coba menawarkan tasawuf atau pesan sufistik. Ia sekadar coba memotret masyarakatnya sambil sekalian –dalam beberapa kasus—mempertanyakan kembali peranan kiai.

Akhirnya, harus saya sampaikan: membaca cerpen-cerpen Gus Mus, rasanya saya jadi ingin segera bertobat, kembali ke jalan yang benar, dan memperbanyak istigfar!

msm/1 April 2009

[1] Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 6.

[2] Buku antologi cerpen Bidadari Sigar Rasa ( Dewan Kesenian Jakarta, 2005, 226 halaman) sebenarnya memuat 34 cerpen karya tujuh cerpenis Jawa Tengah (A. Mustofa Bisri, Eko Tunas, Herlino Soleman, Ratih Kumalasari, SN Ratmana, S Prasetyo Utomo, dan Triyanto Triwikromo). Diterbitkan dalam program Cakrawala Sastra Indonesia yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, 13—15 September 2005. Dari 34 cerpen yang dimuat dalam antologi ini, lima cerpen di antaranya karya A Mustofa Bisri, yaitu “Lukisan Kaligrafi,” “Ngelmu Sigar Rasa,” “Bidadari itu Dibawa Jibril,” “Mubalig Kondang,” dan “Gus Jakfar.” Untuk kepentingan tulisan ini, saya hanya membicarakan tiga cerpen, yaitu “Lukisan Kaligrafi,” “Ngelmu Sigar Rasa,” dan “Gus Jakfar.” Pertimbangannya semata-mata hanya karena ketiga cerpen itu menampilkan kesejajaran tematik.

[3] Kisah ini mengingatkan saya pada anekdot tentang pelukis abstrak dan anjing. Dikisahkan, lantaran kehabisan salah satu cat dengan warna tertentu, seorang pelukis abstrak terpaksa menunda pekerjaannya. Ia pergi ke toko cat dan meninggalkan lukisannya yang baru dikerjakan dalam beberapa sapuan warna. Anjingnya ditinggalkan di studio lukisnya. Tiba-tiba, seekor tikus lari ke sana. Si anjing terperanjat dan segera mengejar tikus itu. Berantakanlah studio itu, termasuk lukisan yang baru digarap. Ketika pelukis itu datang, tentu saja dia terperanjat, lantaran kanvas yang baru dilukisnya tergeletak di bawah; penuh tumpahan cat dan acak-acakan oleh bekas kaki anjing dan tikus. Bersamaan dengan itu, datang pula seorang kolektor lukisan. Begitu kolektor itu melihat lukisan yang tadi hendak digarap si pelukis penuh dengan cat yang tumpah ke sana, serta-merta si kolektor memungutnya. “Inikah karya terbaru Anda? Luar biasa! Saya baru melihat, ekspresi Anda begitu liar dan mengagumkan,” ujarnya sambil matanya terus memandangi kanvas penuh goresan yang tadi diacak-acak anjing ketika memburu tikus.

RUMI DAN SYU’AIB ANTARA HARAPAN DAN PERSEMBAHAN

Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

Harapan identik dengan adanya keinginan. Orang yang menginginkan suatu hal pastilah ia memiliki harapan agar hal tersebut bisa segera terengkuhnya. Sebaliknya, untuk mendapatkan sesuatu tentunya seseorang harus ada pengorbanan, baik pengorbanan secara fisik maupun perasaan. Pengorbanan juga identik dengan persembahan.

Nafas Keislaman dalam Macapat

Otto Sukatno CR
http://www.kr.co.id/

METRUM Macapat, yang dalam kebudayaan Jawa dikategorisasikan sebagai Tembang Cilik (kecil), jika dikaji secara seksama, sesungguhnya memiliki pengutuban atau mencerminkan nafas tradisi tasawuf (tarekat) Islam yang klop dan harmonis. Tarekat, yang dimaknai sebagai jalan atau stadia manusia dalam mencari kembali bentuk agregasi hubungan ‘kebersamaan Illahi’ (kemakhlukan dan Ketuhanan/Manunggaling Kawula Gusti), tercermin secara nyata dalam nama-nama genre Macapatan tersebut.

Di mana urutan kesebelas nama tembang Macapat itu, tidak lain mencerminkan perjalanan manusia dari sejak lahir hingga kembali bersatu dengan Tuhan. Artinya, urutan tembang Macapat itu tak lain merupakan dialektika sosial kemanusiaan sekaligus spiritual-religius bagi manusia Jawa dalam mencapai derajat kemanusiaannya yang lebih baik, bermakna dan bermartabat sesuai nafas ajaran (tasawuf) Islam. Karena nama-nama tembang tersebut menunjukkan arti masing-masing sesuai dengan maksud, tujuan dan karakter yang harmonis dengan stadia kehidupan (individu) manusia, berhadapan dengan dimensi keilahian (hablum minallah).

Urutan metrum Macapat itu adalah:

1. Mijil artinya lahir/kelahiran;

2. Maskumambang (seperti emas yang hanyut) mencerminkan kehidupan manusia masa bayi. Yakni sejak lahir hingga bisa berjalan. Artinya bayi masa ini ibarat ‘emas’, jika tidak dijaga dan dipelihara secara baik, ia hanya akan (hanyut) sia-sia;

3. Kinanthi atau masa kanak-kanak. Di mana masa ini biasanya, ke manapun orangtuanya pergi, ia selalu ingin ikut. Sehingga dinamakan kinanthi (selalu minta dikanthi).

4. Sinom adalah cerminan masa remaja;

5. Dhandhanggula atau masa-masa yang ‘serba manis’ laksana gula. Tidak lain mencerminkan masa pubertas awal;

6. Asmarandana atau masa percintaan, memasuki usia perkawinan (Asmarandana; berasal dari kata ‘asmara’ dan ‘dahana’/api). Jadi Asmarandana artinya berkobarnya api asmara;

7. Durma atau masa ‘berdarma’. Yakni masa memasuki realitas kerja yang konkret (usia produktif), sebagaimana seorang ksatria dalam pandangan Hindu. Di mana Durma atau darma juga bermakna berdarma (sedekah) dalam pengertian religius;

8. Pangkur atau munkar. Yakni masa memalingkan diri (masa pensiun). Di mana Pangkur dalam hal ini lebih bermakna religius ‘mungkuri’ kenikmatan duniawi, untuk lebih mengejar kenikmatan ukrowi (akhirat/spiritual). Dengan jalan lelaku suci, nggegulang kalbu (membina keutamaan jiwa), mencari kekayaan batiniah, dengan banyak beramal dan beribadah untuk bekal kehidupan sesudah mati. Pangkur ini dalam konsepsi tasawuf Islam disebut Ujlah atau memalingkan diri dari kehidupan duniawi untuk menempuh jalan spiritual (tarekat). Atau Sanyasi, bertapa ke hutan dalam konsepsi teologi Hindu;

9. Megatruh (megat, putus dan ruh/jiwa). Saatnya manusia meninggal;

10. Pucung (pocong: memasuki alam kubur). Selanjutnya yang terakhir adalah:

11. Gambuh. Yakni masa di mana ruh kembali ke haribaan Illahi. Gambuh atau Jumbuh. Yaitu Jumbuhing Kawula Gusti. Bersatunya manusia dengan Tuhan.

Namun dari urutan nama-nama tembang itu, ada beberapa pendapat yang menempatkan urutan Sekar Gambuh, sesudah Sekar Pangkur. Dengan pertimbangan bahwa Gambuh yang berarti ‘kesesuaian jiwa’ (jumbuh) manusia dengan Tuhan ‘dapat dicapai oleh manusia di dunia, baru kemudian disusul Megatruh (mati). Sedangkan Gambuh dalam urutan terakhir sebagaimana diurai di atas, bermakna sebuah ungkapan esoterik dari kesatuan kembali dengan Tuhan Manunggaling Kawula Gusti dicapai manusia di akhirat, setelah mengalami masa Megatruh dan Pucung (alam kubur).

Metrum Macapat ini muncul karena sebagaimana diungkap oleh pakar mistik-Islam Kejawen, Prof Dr Simuh dalam bukunya Sufisme Jawa (1995) bahwa para wali –mereka yang notabene diidentifikasikan menciptakan metrum Macapat ini– pada masa itu berdakwah dengan pertama-tama mengubah dan memperkenalkan konsep waktu.

Dari konsep waktu yang sirkulair (cakra manggilingan) yang bergerak dari alam pikir ajaran Hindu Buddha yang lebih dulu menguasai alam pikir Jawa, menjadi konsep waktu yang linier Newtonian yang bersifat rasional filosofis dan epistemologis sebagaimana paham modern. Adapun yang menjadi center of mind atau pusat orientasi dan kesadaran akan kewaktuan yang bersifat linier Newtonian itu adalah Makah (Kabah) yang menjadi kiblat dari seluruh identifikasi dan orientasi spiritual umat Islam.

Dengan adanya perubahan dan penggantian konsep waktu ini muaranya kebudayaan Jawa yang masa itu di tangan alam pikir Hindu-Buddha telah mengalami establisme, kembali menemukan watak fleksibilitasnya yang menjadi elemen penting dari proses dan energi budaya.

Sehingga kebudayaan Jawa kembali mengalami aktivitas yang dinamis. Terbukti sejak diperkenalkan metrum Macapat ini; kehidupan kebudayaan Jawa menjadi dinamis. Dengan metrum Macapat ini, kemudian di Jawa muncul ribuan karya sastra yang bernafaskan ajaran Islam –termasuk Serat Centhini yang legendaris itu– tidak bisa dibaca secara pas tanpa bantuan khazanah literer ajaran Islam.

Di samping lewat Macapat, kunci penting keberhasilan para Wali Sanga dalam misi dakwahnya menyebarkan Islam di tanah Jawa, karena mereka menggunakan metode yang bersifat kompromis-akomodatif. Artinya sebagaimana yang dipelopori Sunan Giri, Bonang dan Kalijaga, mereka menggunakan media, sarana dan prasarana budaya lokal yang telah berkembang sebelumnya. Seperti lewat ekspresi wayang (teater), gamelan (musik) maupun sastra. Selain itu para Wali juga menciptakan karya-karya baru berdasarkan genre yang sudah ada.

Di luar itu juga menyempurnakan dan meluruskan karya-karya yang ada untuk disesuaikan ajaran-ajaran dengan nafas keislaman. Itulah sebabnya, masa itu Islam mudah diterima dan berkembang secara signifikan, tanpa menimbulkan konflik yang berarti.

*) Penyair dan Pemerhati Sosial, Budaya dan Ketimuran (Agama dan Filsafat Jawa).

Gerakan Pena Kaum Sarungan

Judul Buku : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis : Rizal Mumazziq Zionis, dkk.
Editor : Tsanin A. Zuhairi, S,Hi, M.Si.
Prolog : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I; 2009
Tebal : vii + 224 halaman
Peresensi : Anwar Nuris*
http://www.nu.or.id/

Verba volant, scripta manent (kata-kata akan sirna, tulisan akan membuatnya abadi)

Di tengah maraknya santri pesantren saat ini yang sindrom jejaring sosial semacam Facebook sebagai media sharing dan menulis, terdapat anekdot menarik yang berkembang dikalangan mereka. Seorang santri yang tidak mau dan mampu menulis, ibarat burung bersayap satu. Burung itu hanya mampu meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain, atau terbang pendek dari satu pohon ke pohon lain yang jaraknya sangat dekat. Santri yang tidak mau menulis hanya mampu mengaji dan mengkaji dari satu halaqah ke halaqah yang lain. Santri yang mau menulis akan mampu mengembangkan pemikiran dan ilmu mereka lebih luas, tanpa dibatasi oleh sekat apapun, terlebih di era digital seperti sekarang ini.

Mereka (santri) sepertinya tersihir oleh lembar sejarah kepenulisan para pendahulunya. Aviecena (Ibnu Sina) yang dikenal karena kepakarannya di bidang kedokteran. Buah karyanya berjudul al-Qanuun fit-Thibb menjadi rujukan beberapa fakultas kedokteran di Barat. Bahkan dengan karyanya itu, ia dinobatkan sebagai bapak kedokteran dunia. Selain itu ada Imam al-Ghazali dengan magnum opus-nya Ihya’ Ulumiddin yang konon menjadi rujukan negeri Barat dan Eropa selama lebih kurang 7 abad lamanya. Al-Khawarizmi, Omar Khayyam, Nashir Al-Din Thusi sang profesor Matematika, Ibnu Al-Haytam yang ahli Eksprimentalis, Al-Biruni sang pegiat Fisika, Ar-Razi yang menggeluti ilmu Kimia, dan masih banyak yang lainnya.

Buah pemikiran cendikiawan yang dituangkan dalam bentuk tulisan tersebut telah merubah peradaban dunia hingga seperti sekarang. Berkat buku yang di dalamnya terdapat banyak ilmu pengetahuan telah menjadikan dunia lebih berwarna. Alam tidak lagi gelap karena Thomas Alfa Edison yang telah menemukan listrik. Manusia bisa bepergian cepat sampai tujuan dengan sarana kereta api berkat mesin uap yang ditemukan James Watt. Karya-karya mereka lah yang membuat mereka dikenal. Karya yang tidak lapuk oleh waktu, karena ditulis dalam sebuah media bernama buku atau kitab, sehingga bisa dinikmati oleh generasi yang jauh di bawahnya.

Dalam konteks Indonesia, Tradisi kepenulisan juga amat kuat. Banyak cendekiawan Islam di negeri ini yang menulis buku, kitab, atau pun karya tulis yang lain. Mayoritas dari mereka dididik dan dibesarkan oleh lingkungan pesantren.

Sebagaimana kita ketahui, pesantren memiliki tradisi unik dan unggul yang jarang didapat pada lembaga lain. Dan salah satu keunikan tersebut adalah tradisinya dalam mengembangkan warisan keilmuan ulama salaf (salafus shalih). Pola gerakan yang dilakukan ulama salaf untuk memperoleh dan mentransformasikan keilmuannya tidak hanya membaca dan mengkaji, tetapi berkontemplasi dan kemudian menerjemahkan pemikirannya dalam bentuk tulisan.

Mereka (ulama salaf) mampu melahirkan dan mewariskan karya-karya tulis yang ternyata masih dipelajari oleh berbagai pondok pesantren atau sekolah sampai sekarang. Tidak sedikit pula dari karya ulama atau kiai Indonesia yang dikenal luas di berbagai belahan bumi. Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Al-Tirmasi, atau Syekh Yasin Al-Fadani Al-Makky adalah di antara para punggawa pesantren di Indonesia yang karyanya telah melabuhi pemikiran intelektual Islam di berbagai Negara.

Selain mereka, “santri Indonesia” yang lain juga banyak menelorkan karya-karya yang bagus dan monumental. Beberapa nama yang dapat disebut di antaranya adalah KH. Ma’shum Ali dengan al-Amtsilatut Tashrifiyah, KH. Hasyim Asy’ari dengan Adab al-Alim wa al-Muta’allim, KH Bisri Mustofa dengan Tafsir al-Ibriz dan KH. Sahal Mahfudz dengan Thariqah al-Ushul ala al-Ghayah al-Ushul. Rata-rata tulisan mereka tetap di baca saat ini bahkan menjadi referensi utama dalam setiap kajian maupun pengajian dilingkungan pesantren.

Dus, santri sebagai salah satu elemen pesantren tidak hanya ta’dzim terhadap pemikiran gurunya, tetapi juga patuh dan meniru dalam usaha mendapatkan pemikiran kreatif. Kreatifitas menulis yang dikembangkan kaum santri akan menjadi media dakwah sejati bagi umat Islam dan untuk generasi mendatang nanti. Pesantren tidak akan disebut lembaga eksklusif bila mampu melahirkan pemikiran kreatif serta ide-ide cerdas demi pengembangan dan dakwah Islam sesuai dengan visi dan misi pesantren.

Oleh karena itu, persepsi yang berkembang bahwa tradisi menulis di kalangan santri kini lengang dan seakan mati suri itu tidak benar adanya. Buku Jalan Terjal Santri menjadi Penulis ini hadir sebagai bukti bahwa kaum santri intelektual (pesantren) telah “berusaha” mengikuti gerakan pena para pendahulunya meskipun hanya sebatas tulisan pendek (opini, artikel, antologi sastra, kolom, dan lain-lain) yang tersebar di media massa maupun elektronik.

Buku ini juga sebagai antitesa terhadap anggapan mayoritas masyarakat bahwa menulis itu adalah bakat. Faktanya, menulis dapat dipelajari asal ada kemauan, keberanian, dan ketekunan berlatih. Dengan kemauan kuat, setiap orang akan mahir menulis. Membaca teori saja tidak pernah cukup. Ibarat orang belajar berenang, kalau hanya membaca teori tanpa pernah mempraktikkan, tentu dia tidak akan bisa berenang. (hal. 20-21)

Buku setebal 224 halaman ini merupakan kumpulan tulisan (curhat) tentang lika-liku penulis pemula maupun yang sudah agak tua dalam upaya mnyuratkan ide yang tersirat. Mereka yang mayoritas santri asli Jawa Timur ini sebagian besar telah menempuh Perguruan Tinggi. Mereka aktif diberbagai kajian dan aktivitas yang tak jauh dari minat mereka. Adalah Rijal Mumazziq Zionis, Noviana Herliyanti, Nur Faishal, Mohammad Suhaidi RB, Ach. Syaiful A’la, Azizah Hefni, Ahmad Muchlish Amrin, Salman Rusydi Anwar, Muhammadun AS, Ana FM, Ahmad Khotib, Fathorrahman JM, dan Hana Al-Ithriyah.

Dengan menulis mereka dapat mengatasi rasa amarah, iri, kelemahan diri, dan kebencian yang ada di hati. Menulis jelas sangat membantu mereka untuk mengatasi rasa sok tahu. Menulis dapat membuat diri lebih berhati-hati dalam memutuskan sesuatu.

Dari tulisan-tulisan mereka dalam buku ini dapat diketahui bahwa jalan terjal yang dimaksud yaitu; memelihara keinginan dan semangat yang kuat, manajemen waktu yang mapan, banyak membaca dan berfikir, optimistis, komitmen dan idealisme yang tinggi, membebaskan diri dari keterikatan rasa salah, serta mencari dan menemukan tanpa menunggu berpangku tangan.

Sebuah buku yang melelahkan hingga mata tak mau terpejam.

*) Peresensi adalah alumnus Pondok Pesantren Nasy-atul Muta’allimin Gapura Sumenep Madura, sekarang nyantri di Pondok Budaya IKON Surabaya.

Menginterogasi Nietzsche

Binhad Nurrohmat*
http://www.jawapos.com/

SIAPA Nietzsche? Filsuf Jerman ini -menurut filsuf Inggris Bertrand Russell- lebih merupakan sastrawan ketimbang filsuf akademik. Gaya penulisan karya filsafatnya bergaya literer dan kerap berbentuk aforisme, bahkan puisi.

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken, Prussia, 15 Oktober 1844. Orang tua dan kakeknya penganut Lutheran. Sejak remaja dia menggemari karya pujangga Johan Wolfgang Goethe (1749-1832), musikus Richard Wagner (1813-1883), dan filsuf Arthur Schopenhauer (1788-1860). Karya para tokoh besar kebudayaan Jerman itu memberikan pengaruh besar dan penting bagi pemikiran Nietzsche.

Nietzsche belajar filologi dan teologi di Universitas Bonn, kemudian pindah ke Universitas Leipzig khusus untuk studi filologi. Dia menjadi bintang filologi di kampusnya. Selama sepuluh tahun dia mengajar di Universitas Basel. Profesor filologi Yunani klasik dan Latin itu terpaksa pensiun lantaran kesehatannya buruk. Dia bergulat menghadapi penyakitnya dengan mengembara dari kota ke kota di Jerman, Italia, dan Swiss untuk mencari cuaca yang bagus bagi kesehatannya. Dalam pengembaraan itu, dia menggarap karya-karya utama filsafatnya.

Nietzsche meninggal di Weimar pada 25 Agustus 1900. Secara biologis, Nietzsche sudah mati. Tapi secara filosofis, pemikirannya masih eksis.

***

Apa pemikiran filsafat Nietzsche?

Nietzsche kondang, antara lain, lantaran pernyataannya ”Tuhan sudah mati” maupun konsep nihilisme dan Kehendak untuk Kuasa. Filsuf fenomenologi Eugen Fink menilai Nietzsche sebagai fenomenolog pertama dan filsuf posmodernis Jacques Derrida mendaulatnya sebagai inspirator filsafat posmodernisme.

Nietzsche mengagumi para filsuf Yunani klasik (pra-socratik) dan kebudayaan zaman itu. ”Metode” filsafat Nietzsche berbeda dengan tradisi filsafat Barat. Tulisannya melawan sistem filsafat (baginya sistem adalah penjara), bergaya aforistik yang contoh utamanya adalah buku Als Sprach Zarathustra (Demikian Petuah Zarathustra) dan kental watak kontradiksinya (yang terilhami pandangan dunia Herakletian).

Filsafat Nietzsche ”mendiagnosis” kebudayaan Barat yang menurutnya dekaden (merosot) sejak masa Socrates dan berlanjut sampai ke kebudayaan Barat pada masa hidup Nietzsche. Socrates dinilai menularkan tradisi rasio yang berperan paling utama untuk memahami dunia. Nietzsche mengkritik peran rasio semacam itu.

Menurut Nietzsche, rasio yang diagungkan kebudayaan Barat membuat dunia ditatap berat sebelah karena membuat dunia tak diterima apa adanya. Rasio tidak menemukan dunia apa adanya, namun menaklukan dunia sesuai dengan kehendak manusia, sesuai isi kepala manusia belaka. Rasio tak utuh memandang dunia, bahkan juga mengelirukannya.

Rasio meringkus dunia melalui bahasa, konsep, atau ide sesuai kehendak manusia, dan bukan menerima kehadiran dunia apa adanya. Bagi Nietzsche, dunia adalah bauran segalanya (baik-buruk, benar-salah, jahat-baik) dan terus berubah. Menurut Nietzsche, dunia adalah chaos (bauran kenyataan-kenyataan) yang menurutnya diterima saja apa adanya. Amor fati (cintailah nasib), katanya.

Menurut Nietzsche, manusia adalah Kehendak untuk Kuasa (der Wille zur Macht). Maka, dunia dan kebenaran adalah sesuai yang dikehendaki manusia. Rasio menyeleksi dunia sesuai yang dikehendaki manusia, dikuasai seturut kehendak manusia, dan manusia memilah-milah dunia ke dalam kategori moral (baik-buruk, benar-salah). Bagi dia, yang terpenting adalah kuat-lemah manusia menghadapi dunia yang chaos itu.

Nietzsche menolak kebenaran yang melawan sifat alam yang terus berubah. Segalanya terus berubah (intuisi ini dijumput dari filsuf pra-socratik Heraklitus). Mendogmakan kebenaran adalah melawan kenyataan, melawan alam. Mendogmakan kebenaran berarti memberhalakan kebenaran. Kebenaran tak pernah fixed, terus bergerak, dan perspektivis. Tak ada kebenaran, melainkan kebenaran-kebenaran.

Nietzsche melancarkan Penilaian Ulang Nilai-Nilai (Umwerthung aller Werte) untuk melawan rezim atau dogma nilai-nilai yang melatari dekadensi kebudayaan Barat yang melahirkan manusia lemah, manusia bermoral budak, bukan manusia bermoral tuan.

Pemikiran filsafat Nietzsche mengguncang filsafat dan kebudayaan Barat pada akhir abad ke-19 dan menggelorakan kabar dekadensi filsafat dan kebudayaan Barat. Menurut dia, tak ada manusia-manusia agung yang lahir dalam kebudayaan Barat yang dekaden itu. Dia mengangankan kebudayaan Yunani klasik (pra-socratik) yang memandang dunia apa adanya, menciptakan kebudayaan ascenden (meninggi), dan melahirkan manusia-manusia agung.

Nietzsche menciptakan sosok ideal untuk menghadapi senjakala kebudayaan Barat itu: ubermensch (uber: melampaui; mensch: manusia), yaitu makhluk yang melampaui (bukan menolak) tata moral baku (baik-buruk, benar-salah). Watak ubermensch mencipta moral baru, melampaui moral umum. Ubermensch adalah sang pelampau. Bagi dia, manusia berada di antara satwa dan ubermensch.

Pemikiran-pemikiran Nietzsche bergaung jauh hingga ke masa sesudah masa hidupnya. Gerakan filsafat fenomenologi dan posmodernisme yang berderap sejak awal abad ke-20 hingga kini mengakui telah menimba banyak ilham dari pemikiran Nietzsche dan mengelaborasinya. Contohnya, Martin Heidegger, Jacques Derrida, Michel Faucoult, Gilles Deleuze, dan Jacques Lacan. Ini sebagian bukti kebesaran dan daya pengaruh pemikiran Nietzsche bagi pemikiran filsafat sesudahnya.

***

Penulis buku ini mencurigai pemikiran-pemikiran Nietzsche dan menginterogasinya dengan mencecarkan pertanyaan-pertanyaan dan sekaligus memberikan penyimpulan-penyimpulan bagi -menurut Akhmad Santosa-ketidakkonsistenan pemikiran Nietzsche.

Penyimpulan-penyimpulan Akhmad Santosa itu sering berbeda dan bahkan berlawanan dengan pendapat para komentator Nietzsche dari dalam dan luar negeri maupun dengan (teks) Nietzsche sendiri. Contoh, Akhmad Santosa menafsirkan pernyataan ”Tuhan sudah mati” adalah ramalan Nietzsche. Pernyataan terkenal itu pertama muncul dalam buku Nietzsche Die Frohliche Wissenschaft (Pengetahuan yang Riang), terbit 1882. Konteks pernyataan itu sudah jelas dalam buku itu: bukan ramalan.

Pemikiran Nietzsche tentang ”kematian Tuhan” menggemparkan karena menusuk jantung kebudayaan Barat ketika itu yang lekat dengan tradisi religius Kristen. Pernyataan Nietzsche bukan sensasi belaka. Tuhan, bagi Nietzsche, merupakan konsep yang dibuat manusia untuk mendapat kepastian dalam hidup yang sarat ketidakpastian. Konsep itu membuat manusia ”tak menghargai kehidupan” karena memandang ada dunia lain, “dunia di seberang sana” (Hinterwelt), yang lebih sejati dan lebih mulia seperti surga, akhirat, dunia idea, dan yang sejenisnya. Konsep tersebut membuat manusia bersandar pada sesuatu ”di luar dirinya” sehingga melembekkan potensi ”manusia kuat”.

Selain itu, Akhmad Santosa sering mengacu buku Will to Power untuk menilai konsistensi pemikiran Nietzsche. Padahal, buku atas nama Nietzsche itu -terbit setelah dia meninggal-berdasar catatan-catatan Nietzsche yang disusun dan ditambahi teks di sana-sini oleh saudari Nietzsche sehingga karya itu tak bisa disebut sebagai karya Nietzsche lagi.

Buku ini merupakan kejemawaan yang mengagumkan meski belum dari segi mutu kritik yang dihasilkannya. Sebagai rangsangan, buku ini perlu diapresiasi dan ditanggapi melalui kritik-teks seperti upaya oleh A. Setyo Wibowo di bagian akhir buku ini. Kritik-teks bukanlah hantam-cerca atau tafsir tanpa dasar yang jelas. Kritik-teks merupakan tinjauan kritis terhadap teks, bukan mendesak-paksakan pemikiran sendiri kepada teks orang lain.

Buku Akhmad Santosa ini merupakan contoh langka dalam hal keberanian ”mengkritik” filsafat Barat yang memang belum menjadi tradisi publik filsafat di Indonesia. (*)

Judul: Nietzsche Sudah Mati
Penulis: Akhmad Santosa
Penerbit: Kanisius, Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal: 284 halaman
*) Penyair, civitas academica Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

Senin, 15 Maret 2010

Tagore di Gianyar

Ketajaman, Keluasan, Kedalaman...

IBM. Dharma Palguna
http://www.balipost.com/

PADA akhir dekade kedua abad 20, seorang Rabindranath Tagore berkunjung ke Gianyar. Sebagai orang yang sangat didengarkan oleh dunia ketika itu, pujangga besar dunia itu tidak berbicara banyak tentang apa yang dilihatnya, tentang apa yang didengarnya, dirasakannya, termasuk apa yang barangkali dicemaskannya.

Ia memang tidak berbicara. Tapi ia menulis tentang semua itu, walau pun tidak banyak. Tulisannya tidak banyak yang kita ketahui. Kebanyakan orang juga tidak tahu menahu tentang itu.

Dari sedikit yang kita ketahui itu, isi tulisannya ternyata sangat menyanjung orang-orang Bali. Tulisannya penuh dengan pujian dan apresiasi yang sangat tinggi tentang kebudayaan Hindu yang konon tidak dilihatnya di India, tapi justru di Bali, atau persisnya di Gianyar itu. Lama setelah tulisan itu terbit (dalam bahasa Inggris), dan lama setelah Rabindranath Tagore meninggal dunia, dan bahkan lama setelah dunia mengalami banyak perubahan (termasuk Bali dan terutama Gianyar), tulisan-tulisannya tentang Bali itu masih tetap dirujuk oleh orang-orang yang ingin melihat Bali seperti dulu (bukan seperti apa adanya sekarang). Sebagai pembaca yang sedang berlajar kritis, kita berusaha mengerti dengan benar apa yang dikatakannya, dan memahami dengan bijaksana apa yang dimaksudkannya. Pendek kata, waspadailah setiap pujian, walaupun pujian itu datangnya dari seorang pengarang besar dunia.

Lalu apa masalahnya? Kunjungan Rabindranath Tagore di Bali sangat singkat. Kunjungan itu hanya dalam hitungan hari. Dan dari kunjungan singkat itu, sangat wajar bila ia sejatiya melihat sedikit dari apa yang ada. Kita pun sangat paham bahwa apa yang dilihatnya itu adalah tontonan yang dengan khusus disajikan kepada seorang tamu istimewa seperti dirinya. Sebaliknya, apa yang ditulisnya kemudian ternyata sangatlah dalam dan luas. Di sinilah letak pertanyaannya.

BAGI SEORANG pembaca yang hidup di jaman yang berbeda dengannya, saya melihat ada sesuatu yang belum pas hubungannya antara kunjungan singkat tamu istimewa dengan isi tulisan yang luas dan dalam itu. Bagaimana mungkin dengan paket kunjungan singkat ia bisa melihat banyak dan mendalam?

Memang tidak mudah menjadi seorang pembaca yang adil terhadap sebuah atau beberapa buah tulisan, terutama jika pembaca itu adalah orang yang hidup dari jaman yang tidak sama jiwa dan isi pikirannya. Karena berbeda udara yang dihirup. Berbeda air yang diminum. Berbeda makanan yang dimakan. Berbeda Buku Alam yang dibaca. Untuk bisa menjadi pembaca yang adil, kita coba memahaminya dari dua kemungkinan.

PERTAMA, mungkin saja ia melihat banyak dan mendalam karena ia adalah seorang pujangga besar. Karena bukankah kita sepakat bahwa pujangga besar umumnya memiliki ketajaman dan keluasan penglihatan dan kemampuan untuk merumuskan dan menuliskannya. Soal benar tidaknya isi tulisan itu adalah masalah lain lagi. Karena bukankah kita sepakat bahwa seorang pujangga lebih melihat sesuatu dengan perasaannya, dengan intuisinya, dan tidak selalu mudah dinilai oleh logika biasa. Apalagi pujangga tidak melulu menulis tentang apa yang dilihatnya, tapi terkadang apa yang ingin dilihatnya. Jadi kebenaran wacana seorang pujangga haruslah kita tempatkan pada porsinya. Dengan argumentasi ini, saya ingin menggarisbawahi bahwa hubungan antara kunjungan singkat dengan isi tulisan yang luas dan mendalam bukan sesuatu yang tidak bisa dipahami.

KEDUA, mungkin saja ia melihat banyak dan mendalam karena sebelum datang ke Bali (Gianyar) ia telah mengetahui keadaan Bali dari sumber-sumber tertulis. Pada masa itu telah terbit sangat banyak buku tentang Bali, terutama yang ditulis oleh orang-orang Eropa.

BUKU-BUKU itu secara bersama-sama berhasil membangun Bali Dalam Kata, sehingga membuat Bali menjadi sebuah pulau kecil dengan kebudayaan besar. Buku-buku seperti itu menjadi referensi utama bagi orang yang ingin tahu tentang Bali pada masa itu. Referensi tandingan ketika itu belum banyak jumlahnya, kecuali laporan-laporan pemerintah kolonial tentang pembakaran hidup-hidup janda-janda raja (masatya), jual-beli budak lelaki dan perempuan, jual beli pusaka dan lontar, dan sebagainya. Laporan seperti itu belum banyak diangkat ke permukaan sehingga jarang diketahui oleh publik.

JADI, ada kemungkinan bahwa Bali Dalam Kata seperti itu telah ada di kepala Tagore. Sehingga kunjungannya ke Bali bisa dikatakan semacam stempel atas sejumlah informasi yang telah diketahuinya. Dengan demikian memang sangat mungkin bahwa kunjungan singkat itu menghasilkan tulisan yang luas dan mendalam, seakan penulisnya telah tinggal lama di Bali dan benar-benar mengetahui seluk-beluk kejiwaannya.

Sekarang romantisme tentang Bali seperti Bali Dalam Kata itu sudah nyaris berlalu. Buku-buku tentang Bali yang terbit belakangan tidak melulu berisi kebudayaan besar dan luhung itu, tapi Bali Apa Adanya.

PENILAIAN tentang Bali sangat tergantung pada referensi yang dipergunakan. Dan referensi yang melatarbelakangi pandangan seorang Rabindranath Tagore tentang Bali sudah sangat jelas, yaitu romantisme tentang Bali. Bedanya, romantisme itu ditulis oleh seorang pujangga yang dari tulisan-tulisannya nampak sangat paham tattwa, budaya, agama, bahkan jiwa dan roh kebudayaan. Sehingga jangankan kita, dunia pun seakan tersihir olehnya pada masanya. Tak salah ketika dunia kemudian menyebutnya Bapak Romantisme Dari Timur.

Lalu apa? Tidak ada apa-apa, selain tentang sebuah Jaman yang punya jiwa dan punya kehendak sendiri. Tagore dan pikirannya adalah salah satu produk terbagus dari zamannya.

PRODUK zaman apakah kita ini? Kita akan tahu segera setelah jaman kita ini berlalu. Artinya, identitas kita akan ditemukan oleh generasi zaman mendatang.

Kamis, 11 Maret 2010

Adelbert von Chamisso (1781-1838)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=420

NYANYIAN KANON
Adelbert von Chamisso

Itulah kesusahan dari zaman yang sulit!
Itulah zaman yang sulit dari kesusahan!
Itulah kesusahan yang sulit dari zaman!
Itulah zaman dari kesusahan yang sulit!

Adelbert von Chamisso (1781–1838), anak bangsawan Prancis yang melarikan diri ke Jerman setelah Revolusi Perancis (1789–1799). Tahun 1815 sampai 1818 mengelilingi dunia dalam rangka ekspedisi ilmiah, antaranya ke Indonesia. Memperkenalkan pantun Melayu pada khalayak ramai di Jerman. Penyair dan pengarang yang dipengaruhi aliran romantik ini, terkenal karena novel simbolnya “Peter Schlemihls wundersame Geschichte” (Cerita ajaib tentang Peter Schlemihls), menceritakan nasib seseorang yang kehilangan bayangannya. {dari buku “Malam Biru Di Berlin” 1989, terjemahan Berthold Damshäuser dan Ramadhan K.H.}.
***

Diriku ditarik menyambangi novelnya, meski belum pernah membacanya. Yakni kisah nasib seseorang, yang kehilangan bayangannya.

Lantas aku mengambil benang merah, menuju pelariannya ke Jerman setelah Revolusi Prancis. Mungkinkan landasan kepenulisannya dari sana?

Chamisso anak bagsawan, laksana patung berdiri di perempatan kota, menebarkan bayangannya ke mana-mana.

Kecuali matahari tepat di ubun-ubun, titik kulminasi manusia, di mana daya magnetik meruh ke dalam diri.

Umpama badan bersimpan bayangan rakyatnya, kemampuan pesona menciptakan para penyaksi terpikat menyimaknya.

Chamisso bukan patung, tetapi tubuh hidup dipenuhi nafas-nafas mengejawantah, maka izinkan kulamuni keliarannya kembara:

Pelariannya terlunta-lunta di padang garing jiwa, menjalani kehidupan sebagaimana insan jelata.

Naluriahnya tetumpahan bencah tanah, ada linangan air mata disapu debu-debu berkaca.

Ada tiupan bayu mengusap rambutnya yang ikal memanjang bagai Arjuna.

Di jalan-jalannya terus mendendangkan pantun Melaju, sampailah renungan dalam; hidup adalah pengabdian.

Bayang-bayang rakyatnya bersimpan di badan, tegap menyunguhi harapan entah sampai kapan berpulang.

Tiada penolakan, tatkala bathin bersatu dalam alunan alam; hamba dan raja sekadar busana penopang.

Sedang sukma insan berkumpul di langit-langit-Nya, oleh pantulan hayat di atas bumi kehadiran bersinggah.

Chamisso terus dendangkan syair Melayu, gema suaranya mengisi lereng lembah hijau nan ayu.

Dinaya berlimpah, kala keningnya memeras kata-kata. Sebinaran cahaya dari tetes-tetes keringat, yang menetas seembun pagi surya.

Bening memancarkan hikmah atas kesantunan ikhtiar ditempa derita.

Oh, aku mengikuti bayang-bayangmu, kadang melebur-menyatu, pula berjarak sejarum jam penunjuk waktu.

Usia matang berpilih-pilih. Kau sehitam awan tebarkan berita di malam sepi, ditemani lampu minyak jarak.

Kau tangisi mimpi tanah seberang, seanak yatim, anak hilang atau nasib buangan, meskipun telah akrab pada kalbu paling kelam.

Adakah kerinduan menyayatmu, hingga sesimpuh hampa menanti pancungan?

Bukan keajaiban, manakala tubuh tak berbayang, bersimpuh di hadapan cahaya terang; resapannya menggetarkan sepulang dari tujuan.

Tiada bekal disandang, hanyalah ilmu menguntungkan sampai pembaringan.

Kini Chamisso lincah menggurat-gurat penalaran kalbu, pada dasarnya orang Timur yang mampu.

Serupa telah seimbangkan laguan musim dataran perubahan, fajar-senja hampir-hampir sewarna;

manakala bangun dari tidur lupa arah, hanya ufuk cinta dipandangnya.

KADO PENGHAMPIRAN SASTRA YANG “MEMBUMI”*

Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/

Lebih kurang 15 warsa silam, Pamusuk Erneste (dalam buku “pengadilan puisi” penerbit Gunung Agung Jakarta, 1986), menggambarkan bagaimana jauhnya bila jagad sastra (inklusif kepenyairan didominasi sejumlah nama, yang ingin bertahan sebagai idola, dan bukan sebagai creator), hingga publik sastra kecewa. Ia menyebut tentang Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad dan WS. Rendra di tahun-tahun 70-an (setelah menikmati kemasyhuran hampir 25 tahun lebih, sementara kader-kadernya makin meredup masa itu), sehingga timbul sekelompok penyair muda yang merasa harus bertindak untuk mengembalikan dunia sastra di sudut penglihatan netral dan imbang, selaras dengan rising demans (tuntutan semakin meningkat).

Pendekar sastra HB Jassin menyebut; kredo sastra ialah suatu keteladanan moral, suatu empati individual yang lembut, jangan dipolitisir oleh elemen-elemen imperatif. Saya mengistilahkan camera obscure puitika apabila ingin meletakkan kaca mata tilik-selidik dalam penggarapan karya, terlebih jika kita ingin memaparkan karya-kreatif yang bersejarah dan monumental. Impresi adakalanya tanpa diacuhkan para penyair muda. Akan tetapi, postulant kecendikiaan justru berharap, agar metafor-metafor puitika mempunyai modus operandi yang adil, sejujurnya, harmonis.

Selama FKY pada era 80 ke 90an, terlebih ikhwal kebangkitan, peneguhan kredo semacam ini, betapa harus diakui, banyak nama-nama kreator terkubur, sementara sejumlah nama sempat, dan ingin selalu eksis di persada Sastra Indonesia. Sejauh inipun harus diakui, bahwa habitat-habitat sastrawan sangat majemuk, dan berbeda-beda; obsesi-obsesi pewartaan literer juga kudu diakui lebih lanjut.

Di awal tahun 1977, tatkala para penyair muda Yogyakarta, berhimpun di Gunung Jala Sutra, dan mengikrarkan “konsili puitika jala-sutra,” kami berlima; Djudjuk Sagitaria, Minadi S, Kuswahyo S. Rahardjo, Fuad Riyadi dan saya. Mengumumkan; “Tiada sastrawan mati, Tiada penyair sirna, Tiada lahan penciptaan raib, namun demikian Yogyakarta, harus sanggup membangkitkan terus-menerus, gairah produktif penciptaan nan utuh.”

Dua tahun kemudian, bersama budayawan Yoyok Hadi Wahyono, Keliek Moh. Nugroho, dalam pertemuan fajar di Bukit Ratu Boko Prambanan, terbersit lagu baru; “Sastra ialah Rumah Damai yang harus sanggup menampung krida karya mereka, yang menulis puisi laksana arus sungai mengalir, gemerincing di kaki langit. Di balik kedalaman itu, kita pun harus berani menggugat dan menuding diri sendiri, manakala kemandekan (stagnasi) tiba, dan tiada bersahabat.”

Ialah tipis dan pragmatis, bahwasannya penyair-penyair andalan 80an, seperti Otto Sucatno CR, Redi Panudju, Anton Taufan Putra, Abidah El Khaliki, Ulfathien CH dan Dorothea Rosa Herliani,—kita lihat 3 sastrawati berbasis kepenyairan Yogyakarta, dapat “mempribumikan ide-ide kegelisahan perawan” pada era pembebasan Ruh, menuju Teologi Kemerdekaan -berkumandang jauh, sedangkan kaki-kaki mereka, masih berpijak ditekad membumi, dan mengabdi tanpa pamrih.

Ialah riil, betapa potensi ekologis, emasi-patoris dan aplikatif, sudah bertambah tegar, sehingga pada penulis wanita, tidak lagi menghirau apa disebut problem gender yang kini mencuat itu. Kehidupan via literer, dan qua formaleus berkesenian yang jauh berlari, juga dalam pengembaraan gemuruh, seharusnya juga masih bisa ditatap, dan diadaptasikan pada situs-situs baru, produk-puitika mutakhir.

Graduasi kekinian toh tidak harus ditafsirkan sebagai seni mutakhir, alias gerak depan akhir jaman, sebagaimana kalau saya mengamati puisi-puisi Nurel Javissyarqi, Sri Wintala Achmad, Ahmad Syekhu, dan lantaran mereka bukan bicara tentang jaman nan tenggelam, akan tetapi tentang keberpihakan, keuqahari (a simple denotati on), komprehensi dan ritme sang kala.

Demikian pula, bila kita kaji puisi Kuswaidi Syafi’i yang sarat amsal-amsal “mempribadinya manusia” dan soliditas anak manusia. Al-hasil sebuah sikap betapa seharusnya kita bicara bijak, tentang membumikan fitrah hayati, kendati kita tidak bernaung di bawah firman-Nya (secara langsung).

Di waktu sejumlah penyair 1974 berorasi di depan patung Pak Dirman, dipimpin Ragil Suwarno Pragulopati, maka terbit amarah anggota dewan perwakilan rakyat, yang masih “demam malari;” Malapetaka Januari, pertentangan borjuisme gaya hidup dan media ekspresi, sementara pola-pola kerakyatan yang termuat dalam serangkum madah, justru cenderung formulasi proletarian.

Waktu itu penyair Fauzi Abdul Salam, melantunkan kidung “Lantunan Tiri Pejalan Sunyi,” terasa menderum; Kalaulah waktu bicara sudah terpotong fiksi bincangan peraturan di gedung musyawara / dunia acapkali pangling dengan lambaian kasih / hidup bermuara pada selokan pahit anyir / dan ndoro-ndoro tuan tanpa cawat…/. Keprihatinan anak “rakyat ternyata lebih membumi” ketimbang sejumlah impian birokrat pemda DIY (antara 70an) yang cuma bisa mengunyah-kunyah ucapan “Dirgahayu wahai para pribumi kita.”

Kololaria pada memo-memo jemawa, sering kali membuat para penyair tahun 70-80an, sering mengucapkan begini; “Bukankah para priyayi sudah lebih lama mendulang intan? / bukankah si bocah pinggir kali tinggal mencukil-cukil tinja di antara batu-batu kanal di pinggir kota?”—sebagaimana Alfauzi Sofi Salam dalam renungan malamnya menggugat; “Barangkali sudah cukup lama kita menangis, dan dibentak oleh mereka yang menista, kita sebagai Pribumi dalam kepapaan.” Setara dengan laguan kidung pembebasan, sebagaimana pengolok-olok LSM yang berpijar bersama anak-anak jalanan; puisi lebih bersinar lembut di kalbu para bocah.

Lho, apakah sebab penyair juga sudah lama menanggalkan kedukacitaan bocah pedalaman? -sehingga mereka tersesat di rimba kenestapaan?- Dalam Mempertimbangkan Tradisi, WS. Rendra (Gramedia, 1983) mengungkapkan tiga kegelisahan kreatif; pertama, bahwa bila seniman atau penyair bertarung tentang hari depan puisi yang “tahan banthing, tahan jaman” maka ia harus dapat menyeleksi ragam tradisi-tradisi lama, agar memperoleh daya saring -jernih.

Kedua, metafor-metafor puitika itu sebuah pamrih kefasihan berkarya sastra, kendati ini pun bermakna peneguhan hati nurani. Ketiga, upaya melepaskan dari tradisi manapun, untuk menjadi sang sejati yang berformat global. Sejalan itu, penyair senior Imam Budhi Santosa pernah berujar; “Kita sama-sama membutuhkan tradisi;” yakni tradisi spiritual yang tiada terhadang ruang dan waktu, tapi bertutur tentang dunia yang bijak, hidup intensif. Kita juga membutuhkan tradisi intelektualitas, dimana penyair mencoba mentranformasikan gagasan-gagasan akurat, seraya setia pada habitat awal, dalam konsep berkesenian.

Penyair Sitor Situmorang, dalam buku autobiografi “Sitor Situmorang, Panyair Danau Toba” (pustaka sinar harapan Jakarta 1981) menyebut kelahiran dua kumpulan puisinya yang monumental diperalihan tahun 50an menuju 60an, yaitu; Wajah Tak Bernama, Surat Kertas Hijau, bagi gambaran segi; pertama, penyair musti memiliki retang dunia pertemuan kembali, antara masa lampaunya mistis dan polos, dengan masa kini yang keras, atos, jemawa, nyaris tanpa kompromi. Aspek kedua, upaya mempertemukan jejak-jejak, ispired, terkadang kredo penggubahan karya puitika yang produktif, dengan menuju hari esok sulit ditebak kesadaran induktif, dan kolaboratif toh kudu dipersembah kepada publik sastra, hadir tanpa jedah, musim ke musim.

Pada tahap kekinian (dimana poros semusim lalu ialah pertaruhan emosional artistik) maka biarkanlah karya-karya menemukan identitasnya, setelah menghadapi berbagai hantaman dan gugatan. Proses evolusioner memperlihatkan situasi sastra bertajuk swa-winaya (selfdispline), kemudian widya arorraga (kerendahan hati oleh sikap arif ilmiah), niscaya bakal dibasuh suatu kesimpulan; lalan dung-tyastara (dimana bobot karya sampai kepada pemahaman adi-luhung, bagi umat manapun). -seperti halnya seorang Khalil Gibran, pun Rabindranath Tagore, yang berbicara lantang kepada dunia. Di situlah letak camera obscure puitika, menunjukkan fitrah kemuliaan, nan benar-benar membumi.

Persepsi kesusastraan bagi angkatan muda, bakal menuju pada kekeluargaan sesama, antar etnis, antar-individu, bahkan antar-kelembagaan. Saya berharap, antologi-antologi sastra, jurnal-jurnal sastra, dan buletin-buletin sekitar puisi bertajuk “Selamatkan Dunia Ini, Selamatkan Jiwa-jiwa Luhur Nusantara,” niscaya akan melegitimir puncak karya masa kini dan kelak. Kita masih harus terus berjuang. Wadah sastra yang kini menjadi alternatif, barangkali merupakan langkah awal menuju kedewasaan yang terharapkan, karena disitulah kita memuliakan gairah riel berkesenian.

Nagan Lor, 21 Yogyakarta.


MEREKA YANG MEMBICARAKAN “SARANG RUH” 1999

Sajak-sajak yang terhimpun dalam antologi ini, secara tematis cenderung menyuarakan hakikat kesejatian insan. Manusia dalam sajak-sajak itu, berupaya memenuhi panggilan kesejatiannya; subyek yang sadar, dan bertindak mengatasi dunia-realitas mengkondisikannya.
Dunia realitas bukanlah sesuatu ada dengan sendirinya, dan harus diterima menurut apa-adanya. Maka, sajak pun dapat menjadi Sarang Ruh, sebuah papan melakukan refleksi terhadap situasi itu. Sajak pun bisa dianggap sebagai aktualisasi upaya concientization bagi diri sendiri, bahwa diri sebagai subyek harus mampu menunaikan imperatif sebagai kreator bagi sejarahnya.
Proses menjadi merupakan suatu yang tidak pernah selesai. Membangun Sarang Ruh bukan sekadar proses penyesuaian, melainkan proses integrasi dalam mencapai kemanusiaan sejati, Selamat (Suminto A. Sayuti).

Saya menyukai semangat dan keberanian Nurel, sesuatu yang kelak jadi persoalan serius bagi kebanyakan pengarang. Ia telah menulis ratusan puisi, menjilidnya sendiri; dan itu bagi saya, sebuah modal sangat berharga. Saya bukan seorang penyair, meskipun saya juga tidak buta puisi. Tapi saya kira, tawaran Nurel dalam buku ini, cukup menjanjikan harapan (Joni Ariadinata).

Dari Yogyakarta memasuki milenium baru, kita diajak sajak-sajak Nurel Javissyarqi pada pertanggungan diri, sebagai pusat kendali, dari perubahan di luar perubahan sosial, agar manusia tidak kehilangan dimensi kemanusiaannya, ditengah euphoria –kebablasan. (Abdul Wachid BS).

*) Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh” karya Nurel Javissyarqi, 1999 Yogyakarta.

Prospek Sastra Jawa Timur

Beni Setia*
http://cetak.kompas.com/

Jawa Timur sesungguhnya mempunyai potensi sastra sangat besar, yang siap dibangkitkan dengan mengakomodasi model estetika dari sastra lisan dan pertunjukan khas Jawa Timur-ludruk drama atau garingan dan kentrung, misalnya-sebagai teks yang menekankan peran dominan aku kreator yang bercerita atau menulis teks.

Satu ekspresi subyek temperamen dan berkarakter khas (selalu) ngomong terus terang ala lokal budaya arek, yang digarap dan ditransformasikan menjadi gaya personal (ekspresif) berkesusastraan.

Lantas keunikan alam dan khazanah budaya lokal yang bisa diintroduksi sebagai ciri karya yang orisinal dan eksotik, seperti yang dilakukan D Zawawi Imron dengan eksotisme sosial dan personal Madura, menyesuaikan diri dengan pola globalisasi yang sudah dijinakkan. Maksudnya, globalisasi klasik yang bermula dari modernisasi yang bermakna westernisasi telah ditafsirkan penganut postmodernism, dengan sengaja melawan kekuatan penyeragaman dan membuang sikap dependensi tergantung pada droping estetika dan gaya hidup para trendsetter, yang orientasinya penguasaan pasar.

Ini dengan mengintroduksi rumus aktif menggali lokalitas sekaligus kreatif memperkenalkannya ke dunia luar. Dalam kaitan ini, tahun lalu Mardiluhung menulis puisi “Sangkuriang” yang dipublikasikan di Kompas dan disertakan Ahda Imran dalam antologi puisi Di Atas Viaduct: Bandung dalam Puisi Indonesia (Bandung, Forum Sastra Bandung, 2009). Padahal, latar belakang penciptaan puisi itu bukan Sangkuriang yang mencintai ibunya (Dayang Sumbi), tetapi justru cerita rakyat lokal Gresik tentang seorang ibu menjadi teramat posesif menguasai anaknya dan malah ingin mengawininya.

Ada kontras sekaligus misinterpretasi. Berbarengan dengan fakta Mardiluhung ini berencana akan menerbitkan buku yang berisi serangkaian puisi dan foto dengan tema/obyek Bawean, sekumpulan puisi dengan bertolak dari satu riset lapangan, serta inventarisasi artefak sejarah dan cerita lisan/rakyat setempat. Unik. Menarik karena mampu menghadirkan fakta-fakta jejak pengelana Tionghoa dan para pendakwah lokal. Sementara S Yoga menulis banyak puisi dengan tema khazanah sosial-budaya Madura yang amat berbeda dari Madura-nya D Zawawi Imron.

Sementara Zoya Herawati sedang menulis novel dengan tema eksistensi wanita di tengah budaya patriarki Madura di Madura. Sementara Fahrudin Nasrulloh, selain meneliti sejarah ludruk di Jombang, juga menulis sejumlah cerpen dan menyiapkannya sebagai satu buku dengan tradisi filologis. Mencerita ulang sejarah atau cerita lisan sebagai teks edisi semi-variorum sebab menyertakan catatan kaki dan komentar kritis tentang peristiwa, kejadian, dan tempat hingga terbentuk rujukan cerdas dari kisah (lisan) yang diceritakannya. Sebuah teknik transliterasi yang didongengkan dengan gaya esai, bukan tutur fiksi para pencerita dan juga bukan narasi features jurnalistik.

Sementara itu Mashuri mengumpulkan pengalaman pergulatannya di pesantren dalam wujud puisi dalam buku berjudul Ngaceng. Uniknya, penamaan ini tidak merujuk ke arah libido, tetapi merupakan pengakuan jujur seorang santri yang berkonsentrasi ke ilmu agama tetapi tidak bisa mengingkari potensi libidinal diri saat bersipergok dengan perempuan bukan muhrim. Ini mentransendensikan semua perempuan bukan muhrim itu sebagai ibu-muhrim yang haram dikawini. Dengan begitu, syahwat akan padam oleh ancaman dosa inses dan kontraksi juga otomatis ikut melemah. Hampir mendekati perintah Allah SWT bagi yang belum mampu menikah, “Berpuasalah!” Tidak heran kalau ibu merupakan ikon yang selalu digali Mashuri.

Pada tahun-tahun mendatang kita berharap akan lebih banyak sajak, cerpen, novel, bahkan esai yang ditulis sastrawan Jatim dengan estetika (tradisional) lokal, passion yang dibangkitkan oleh dan dalam karakter (jenius) manusia berkepribadian lokal, serta khazanah pastoral dan aneka cerita lisan/rakyat setempat. Itu jawaban atas semua tantangan penyeragaman pada masa dunia datar tak berbatas. Karena itu, mari kita menengok ke ke sekitar untuk merayakan keotentikan dan keunikan. Karena dengan menjadi lain dan menonjol secara berbeda, kita akan diakui ada.

Di titik ini, upaya W Haryanto menginventarisasi komunitas sastra luar Surabaya-Malang menjadi positif dan prospektif untuk membangun angkatan terbaru sastarwan Jatim-di luar nama yang telah menyeruak macam A Muttaqin, Dheny Jatmiko, atau Puput Amiranti. Semoga.

*) Pengarang, Tinggal di Caruban.

Rendra

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

“Kebudayaan Jawa adalah kebudayan kasur tua!” kata Rendra dengan tandas dalam sebuah diskusi di Yoga pada akhir tahun 60-an, kata seorang budayawan yang diwawancari di televisi itu.

“Banyak orang tersinggung dan kaget. Itu bukan saja terlalu berani tetapi juga kurangajar. Kebudayaan Jawa yang tinggi, berciri kontemplasi dan melahirkan monumen yang mencengangkan dunia seperti Borobudur, Prambananan, buku Nagara Kertagama, Arjuna Wiwaha dan sebagainya itu, bagaimana mungkin hanya sebuah kasur tua?”

“Burung merak dari Solo yang lahir pada 1935 itu kemudian dianggap sebagai orang gila yang besar mulut. Mentang-mentang baru pulang dari Amerika, tak seenak perutnya ia bisa menilai jawa yang begitu dihormati oleh semua orang.”

“Apakah itu yang kemudian menyebabkan Rendra, penyair Ballada Orang-Orang Tercinta itu kemudian diusir dari Yogya ke Jakarta? Tidak. Sama sekali tidak. Ia justru mengeluarkan seruan yang mengejek para seniman yang sudah ramai-ramai hijrah ke Jakarta, mengejar nama dan duit. Ia berseru, berjanji, mirip sebuah sumpah, ia akan terus bertahan di Yogya. Menampik budaya kota, hidup dekat dengan lingkunganserta alam. Dan hadir untuk menunjukkan eksistensi pedalaman.”

‘Tetapi kenapa bidan Bengkel Teater yang tersohor karena ciptaannya yang bernama teater mini-kata itu, tiba-tiba kemudian boyongan ke Jakarta. Ia menghuni sebuah kawasan luas di pinggiran kota Depok. Dalam sebuah wilayah lengkap dengan sawah serta kolam. Bahkan memiliki sebuah pemakaman keluarga yang juga terbuka bagi para seniman. Di situ terbaring maestro piñata artistik Rujito dan miskus yang melejit tiba-tiba menjadi sebuah legenda, si maniak kopi, Si tak gendong-gendong: Mbah Surip Karena ia mengambil tafsir baru.

Mempertahankan tradisi itu, bukan kulitnya, tapi isinya. Hidup di kota pun penting, asal jiwanya tetap jiwa yang alami. Bahkan itu perlu bagi orang kota yang sudah habis-habisan terkena polusi. Ia ke Jakarta untuk menyelamatkan Jakarta!”

“Mas Willy, begitu panggilan akrabnya, tidak kemudian menjadi manusia terkutuk yang dikeluarkan oleh orang yang merasa dirinya orang jawa. Ia bahkan mendapat kemulyaan di malam purnama yang indah, malam Jum’at, menjelang bulan Ramadhan. Dan kepergiannya dihadiri oleh ribuan orang yang mengalir memadati seluruh pelataran kawasan Bengkel Teater sehingga membuat jalanan pun macat.”

“Kenapa? Karena ternyata di balik kata-katanya yang pedas, yang membuat telinga merah, di balik apa yang dimaksudkannya dengan kebudayaan kasur tua, tersimpan niat yang mulia. Dia ingin membebaskan tradisi dari virus-virus jahat, yang dalam perjalanannya menembus zaman sudah dititipkan oleh kekuasaan dan tangan-tangan jahil. Ia ingin membebaskan tradisi dari asesoris dan muatan temporer yang membuat tradisi menjadi beban berat dan menyiksa bahkan melukai para pewaris. Ia ingin mencuci kembali tradisi, sehingga esensinya, rohnya
yang bernama kearifan lokal bersinar kembali dengan gemilang!”

“Si Burung Meraklah yang kemudian memberi tafsir baru terhadap apa yang disebut nrimo, pasrah, gotong-royong dan sebagainya yang sudah diselewengkan menjadi tempat menyembunyikan kemalasan alias didaur-ulang. Dengan memberikan tafsir baru, ia membuat seluruh kebijakan, ilmu hidup yang diturunkan oleh tradisi Jawa menjadi dinamis, alias tidak melempem. Ia membuat tradisi Jawa tidak lagi kolot, melempem, tetapi bernas, aktual dan menyelamatkan para pewarisnya dari benturan-benturan zaman.”

Amat terkejut. Ia memandang orang yang bicara di di layer kaca itu dengan mata tak berkedip. Tak sabar. Ia kemudian mencecer.

“Maksud Bapak, mas Willy sudah membuat kebudayaan jawa kembali pada kearifan lokalnya?”
“Persis!”
“Almarhum membuat kebudyaan jawa menjadi dinamis?”
“Betul Pak Amat.”
“Seperti desa-kala-patra bagi orang Bali?”
“Itu maksud saya! Seratus untuk pak Amat!”
Amat terpekik.
“Yes!”
Tak puas hanya memekik, Amt kemudian menggebrak meja.
“Betul! Makanya dia dinamakan Burung Merak!”
Bu Amat bergegas datang.

“Sabar Pak, sabar. Telat satu menit saja sudah main pukul meja!” kata Bu Amat meletakkan kopi yang dipesan suaminya. “Jangan suka marah, main drama seperti pemain-pemain sioentron itu. Yang wajar-wajar saja.”

Amat memegang tangan istrinya yang mau kembali ke dapur, sambil menunjuk ke televisi.

“Lihat Bu, begitu banyak orang datang dalam pemakaman mas Rendra. Dia itu pantas mendapat bintang Maha Putra!”

“Betul, dengan semua perbuatan, tindakan serta pemikirannya, Mas Willy adalah orang yang mengajarkan kepada kita untuk bersikap berani melawan, “kara wajah di televisi itu lagi.melanjutkan, “dia memberikan toladan untuk berani mengemukakan pendapat, bersikap kritis kepada penguasa yang sudha bertindak sewenang-wenang, karena tidak mengoyomi rakyat dan memikirkan kesejahteraan bangsa, tetapi menumpuk keuntungan untuk dirinya sendiri. Mas Rendra mengajak kita untuk berani berkata jujur. Ia seorang pahlawan!”

Bu Amat nyeletuk.

“Kalau dia memang pahlawan, kenapa tidak dimakamkan di makam pahlawan?”
“Makam Pahlawan? Dia tidak akan mau!”
“Kenapa?”
“Karena dia tidak mau terikat oleh kehormatan. Dia pasti lebih senang lepas-bebas di dalam masyarakat, sehingga bisa bergaul dengan semua orang.”

“Itu kan kata Bapak!”

Bu Amat kemudian ngeloyor kembali ke dapur. Amat tercengang.

“Ya itu kataku. Itu memang kataku. Aku berkata untuk almarhum, sebab dia sudah tidak mampu lagi berkata. Apa salahnya kita menafsirkan apa yang akan dikatakannya, setelah orangnya tidak ada? Apa salahnya akuyang akan mengatakan apa yang hendak dikatakan oleh Michael Jackson, Mbah Surip dan Mas Rendra. Kita harus mengungkapkan apa yang tidak bisa lagi dikatakannya. Betul tidak?’ tanya Amat kemudian kepada Ami ketika Ami kembali dari kampus.
Ami mengangguk acuh tak acuh.

“Itu namanya penafsiran, Pak.”

“Memang. Kita kan harus menafsirkan apa yang sudah dilakukan dan diperbuat oleh almarhum, karena almarhum sendiri sudah tidak sanggup berkata? Orang-orang yang berbicara di televisi itu semua begitu, ketika mengomentari Mbah Surip dan mas Willy. Kita harus memberikan tafsir! Masak tidak boleh?”

“Siapa yang melarang?”
“Ibumu!”
“Apa salah Ibu melarang?”
“Karena Bapakmu tidak mau ada orang berkata lain!” damprat Bu Amat yang muncul kembali sambil membawa pisang goreng.
“Katanya Mas Rendra yang meninggal itu seorang Empu yang mengajarkan murid-muridnya untuk memberi tafsir baru. Kenapa kalau Ibu memberi tafsir baru pada tafsirnya, dilarang?”
“Yes!” teriak Ami tiba-tiba.
“Itu artinya dia orang besar. Orang besar kalau meninggal selalu membuat kita yang ditinggalkannya berpikir. Bertengkar juga berpikir. Jadi Jacko, Mbah Surip dan Mas Rendra itu memang orang hebat. Titik. Ayo sekarang ganti channel tv-nya. Itu ada tembak-menembak dengan teroris yang diduga Nurdin Top! Bukan maunya orang besar saja yang harus diperhatikan, mauku juga!”

Jakarta 7 Agustus

Nyai Ontosoroh: Hikayat Perlawanan Sanikem

dari novel BUMI MANUSIA karya Pramoedya Ananta Toer
Rakhmat Giryadi
http://teaterapakah.blogspot.com/

BABAK I

Setting : Dekat Pabrik Gula Tulangan

ADEGAN 1
Orang-orang sedang bekerja, hilir mudik, membawa karung-karung (gula) dan juga batangan tebu dengan geledekan. Mereka bertelanjang dada. Tubuhnya hitam. Ada yang kekar. Tetapi ada juga yang kurus kering.

ADEGAN 2
Seorang Juragan (Mandor), dikawal oleh dua budaknya. Dengan berkacak pinggang, Mandor itu menuding-nuding, bahkan terkadang menendang para budak. Sementara di tempat yang berbeda anak-anak perempuan yang masih remaja, berlarian. Ibunya, mengikuti dengan isak tangisnya. Seorang laki-laki dengan kasar menangkap satu di antara mereka yang melarikan diri. Anak itu meronta-ronta. Tak ada yang berani melawan. Mereka hanya bisa menyaksikan dengan sedih. Laki-laki kasar itu itu menyerahkan anak itu kepada seorang Mandor. Dengan imbalan seketip dua ketip, mereka melepaskan anak itu dibawa Mandor, entah kemana?

ADEGAN 3
Upacara menjadi dewasa. Sanikem meronta-ronta, ketika Sastrotomo, menyeretnya.

1. Sastrotomo
(Menyeret Sanikem) Kamu sekarang sudah dewasa, sudah saatnya nasibmu berubah. Hari ini akan datang orang yang membawa nasibmu lebih baik dari sekarang. Maka bersucilah, agar kemelaratanmu menjadi cambuk masa depanmu.

Ibunya Sanikem hanya bisa tersedu. Ia menggayung air bercampur bunga tujuh macam, dari genthong. Sanikem diam terpaku ketika air bunga tujuh macam mulai membasahi tubuhnya.

2. Sanikem
Sejak saat itu, nama Sanikem, sedikit-demi sedikit luntur oleh kemauan keras orang tuanya.

Dua orang datang membawa pakaian dan tikar pandan. Sanikem telah berganti ujud menjadi perawan. Kemudian dia tidur terlentang di atas tikar pandan. Ibunya kemudian melangkahinya tiga kali.

3. Istri Sastrotomo
Tabahkan hatimu, Nak. Usiamu sudah 14 tahun. Kau sudah haid. Tidak baik kau dikatakan perawan kaseb. Maka relakan hari mudamu ini.
4. Sanikem
Betul, saya sudah dewasa, tetapi saya punya hak untuk menentukan pilihan.

5. Sastrotomo
Tak ada kata pilihan! Pemuda-pemuda melarat dan kampungan, tak patut untuk dipilih. Yang ada sekarang kau dipilih untuk menjadi istri seorang yang kaya raya. Siapapun orangnya!

Sastrotomo menyeret Sanikem. Sanikem meronta. Ibunya membuntut dengan hati yang meronta. Ia membawa sekopor pakaian anaknya yang kumal. Sementara di tempat lain para budak menerima upah, Sastrotomo muncul dengan hati riang. Di belakangnya ada Sanikem. Ibunya yang kelihatan renta, hanya bisa tertunduk lesu meratapi nasib anaknya. Di sudut lain, Tuan Besar Mellema berdiri tegak, angkuh dan sombong.

6. Sastrotomo
Betul, saya akan jadi Juru Bayar, Tuan? Ah, saya senang sekali. Juru Bayar adalah pekerjaan yang sudah sayaimpikan bertahun-tahun. Bertahun-tahun! Sebagai penggantinya, terimalah persembahan saya. Ini anak saya, Tuan Besar Mellema. Terimalah. (Kepada Sanikem) Sanikem, mendekatlah, Nak. Dia adalah Tuan Besar.

7. Istri Sastrotomo
Jangan, Pak, jangan! Kenapa Ikem, kau serahkan kepada laki-laki raksasa itu? Oh, Pak, Pak. Kenapa kau tega, Pak?

8. Tuan Besar Mellema
Jadi ini anakmu? Bagus, bagus. Kowe, pintar… (Tertawa).

Tuan Besar Mellema pergi bersama dua pengawalnya, membawa Sanikem tanpa perlawanan. Sementara Istri Sastrotomo, terisak melihat anaknya dibawa Tuan Besar Mellema.

9. Sastrotomo
(Tertawa girang) Akhirnya saya jadi Juru Bayar!

10. Istri Sastrotomo
Sampeyan menjadi Juru Bayar, tetepi sampeyan harus membayar mahal, dengan mengorbankan masa depan Sanikem. Dia darah daging kita. Tetapi sampeyan tega menjual untuk menjadi gundik, demi ambisi sampeyan, Pak.

11. Sastrotomo
Kamu jangan banyak omong. Saya telah memperjuangkan anak saya untuk menjadi wanita terhormat. Istri Tuan Besar. Tuan Besar di Tulangan yang sangat kaya raya dan terhormat. Sanikem akan terhormat. Dan kita akan terhormat, karena Sanikem akan menjadi kaya raya dan tidak menjadi gelandangan bersama pemuda-pemuda kampung yang tidak berpendidikan.

12. Istri Sastrotomo
Buat apa harta benda, kalau hatinya terpenjara. Hidupnya terkerangkeng dalam genggaman, seorang laki-laki. Kita sudah kehilangan segalanya, Pak. Kamu lebih memilih sekeping Golden dan jabatan palsu. Tetapi sampeyan telah mengorbankan segalanya yang telah kita miliki dan telah kita rawat bertahun-tahun.

Anak-anak kampung yang dengan tulus memberikan cintanya, tetapi sampeyan tolak. Sementara dia yang datang dengan membawa segerobak kepalsuan sampeyan terima dengan tangan terbuka. Sampeyan telah mengadu nasib itu menjadi tidak menentu, Pak…

13. Sastrotomo
Diamlah. Saya punya rencana lain untuk Ikem. Rencana ini pasti akan mengubah hidup kita. Dan tidak ada urusannya dengan lamaran pemuda-pemuda kampung yang pada gudhikan itu. Apa mau kamu hidup melarat, dan hanya mengandalkan dari penghasilan saya sebagai Juru Tulis? Saya ini, sebentar lagi akan naik pangkat jadi Juru Bayar. Kedudukan yang lebih tinggi dari sekedar Juru Tulis. Jabatan lebih tinggi akan lebih memudahkan segala urusan. Apalagi Juru Bayar.

Ikem telah mendapatkan laki-laki yang pantas. Mulai saat ini Sanikem tidak boleh keluar rumah. Tidak boleh memandang ke laki-laki yang berkeliaran dan tidak jelas itu. Ah, saya senang sekali. Juru Bayar adalah pekerjaan yang sudah saya impikan bertahun-tahun. Bertahun-tahun!

Hehe..he..he..Juru Bayar. Saya akan jadi Juru Bayar. Semua orang di Pabrik Gula itu akan tunggu saya berderet-deret. Harus tunggu uang dari tangan saya. He..he…he..Saya akan jadi kasir. Bertumpuk-tumpuk uang di jari-jari saya. Semua orang akan berurusan dengan saya, Si Juru Bayar! Mereka harus datang ke saya. Harus ambil uang dari tangan saya dengan membubuhkan cap jempol. Para buruh, pedagang, akan bungkuk-bungkuk di depan saya. Tuan Totok, Peranakan, akan beri tabik pada saya. Guratan pena saya berarti uang. Saya akan masuk golongan penguasa di pabrik. Mereka harus dengar kata-kata saya : ‘Hei! Tunggu kau, disitu! Tunggu kau, disitu! He..he…Kalian akan berderet antri tunggu uang dari tangan saya…!’

Kemarilah istriku. Kau harus ikut senang, suamimu ini akan jadi Juru Bayar! Berpakaianlah yang pantas, selayaknya istri orang terpandang. Kamu jangan bersedih. Ikem akan lebih terhormat kawin dengan laki-laki kaya. Dia akan menghuni rumah besar. Kita bisa diundang ke sana sewaktu-waktu. Ayo istriku kita songsong kehidupan yang lebih baik.

Istri Sastrotomo terpaku. Ligting meremang. Out Stage. Disudut lain, Mellema sedang memandang Sanikem yang bongsor dan kelihatan cantik. Beberapa pembantu jalan jongkok, menyediakan minum dan buah-buahan. Sanikem hanya berdiri terpaku di pojok ruang, Tuan Besar Mellema.

14. Tuan Besar Mellema
Kowe sudah 14. Kowe sudah besar dan cantik, seperti bunga di Tulangan atau seperti mawar dari Surabaya. Kowe jangan takut dengan saya. (Kepada Sastrotomo). Sastrotomo! Ini berisi 25 golden. Kelak, setelah kowe lulus dalam pemagangan selama dua tahun, kowe akan jadi Juru Bayar.

15. Sastrotomo
(On stage) Terimakasih Tuan Besar. Saya jamin Ikem sangat penurut. (Kepada Sanikem) Ikem anggap saja ini rumahmu yang baru. Kau tidak boleh keluar rumah ini tanpa ijin Tuan Besar Kuasa. Kau juga tidak boleh kembali ke rumah tanpa seijin Tuan dan seijin Bapakmu.

Sastrotomo meninggalkan panggung. Lighting meremang biru. Tirai menurun pelan-pelan. Percintaan di balik tirai. Dua penari karonsih/tayub menari dengan lembut. Tetapi isak tangis jelas terdengar dari ibu Sanikem. Lighting semakin temaram. Penari karonsih menghilang di balik tirai. Di sudut yang lain, Nyai Ontosoroh berdiri kokoh.

16. Nyai Ontosoroh
Kini, Sanikem telah lenyap. Hilang untuk selama-lamanya. Sekarang, saya adalah Nyai Boerderij Buiternzorg. Orang-orang memanggil saya Nyai Ontosoroh. Hidup menjadi Nyai terlalu sulit. Dia Cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal!

Sewaktu-waktu Nyai harus siap dengan kemungkinan Tuannya sudah mersa bosan, untuk dicampakan kembali, menjadi kere, tanpa hak perlawanan sedikitpun. Salah-salah, bisa badan diusir dengan semu anak-anaknya sendiri. Atau bahkan dengan tangan kosong. Ya, mereka telah membikin saya jadi Nyai begini. Maka saya harus jadi Nyai, jadi budak belian yang baik, Nyai yang sebaik-baiknya.

Mang, Mbok, ke sini kalian semua. (4 pelayan laki-laki dan 3 pelayan perempuan on stage). Dengar mulai saat ini kalian tidak usah kerja di sini. Kalian pasti sudah tahu saya adalah Nyai rumah ini sekarang. Saya tidak ingin ada saksi atas kehidupan saya sebagai Nyai di rumah ini. Kalian lebih berharga dari pada saya. Kalian kerja di sini, sedangkan saya, hina dina tanpa harga, tanpa kemauan sendiri berada di rumah ini.

Semua pekerjaan rumah biar saya kerjakan sendiri. Tetapi jangan kuatir, kalian akan pergi dengan membawa bekal. Lagi pula, di lain tempat pasti kalian akan bisa memburuh atau apa saja, karena kalian merdeka. Kecuali kau Darsam, tetaplah di sini. Jagalah saya!

Baiklah kalian berkemas, beresi barang-barang kalian. Kau Darsam, siapkan bekal secukupnya buat mereka.

Mereka out stage. Tuan Mellema on stage.

17. Tuan Besar Mellema
Nyai, kenapa kau mengusir semua Bujang dan Mbok? Pekerja-pekerja itu harus disewa untuk menjalakan usaha susu ternak rumah ini. Mulai saat ini kaupun harus mulai mengurusi semua urusan usaha. Satu hal yang harus kau ingat, majikan mereka adalah penghidupan mereka. Majikan penghidupan mereka adalah kau! Jadi kau harus jadi majikan yang baik, yang tahu bagaimana mengurus pekerjaannya.

Nyai, bacalah majalah-majalah itu selalu. Juga buku-buku itu akan membawamu kepada dunia yang maha luas. Dengan begitupun, bahasa melayu dan Belandamu akan terus maju dan Nyai akan semakin menguasai berbagai bidang dan pengetahuan.

18. Nyai Ontosoroh
Ya, saya akan menjalankan semua tugas sebaik-baiknya. Akan saya kerahkan seluruh tenaga dan perasaan yang ada di diri saya untuk Tuan. Sebaik-baiknya. Karena itulah tugas saya, sebagai Nyai Tuan. Apakah wanita Eropa diajar sebagaimana saya diajar sekarang ini, Tuan? Sudahkan saya seperti wanita Belanda?

19. Tuan Besar Mellema
Ha..ha..ha..tak mungkin kau seperti wanita Belanda. Juga tidak perlu. Kau cukup seperti sekarang. Kau lebih mampu dari rata-rata mereka, apalagi yang peranakan. Kau lebih cerdas dan lebih baik dari mereka semua. Tapi kau juga harus selalu kelihatan cantik, Nyai. Muka yang kusut dan pakaian yang berantakan juga pencerminan perusahaan yang kusut dan berantakan….

Darsam, masuk panggung (on stage) bersama Sastrotomo dan Istrinya datang dengan berjalan jongkok.

20. Darsam
Tuan, maaf Tuan, ada orang tua Nyai datang, Tuan. Mereka menunggu di depan.

21. Nyai Ontosoroh
Katakan kepada mereka, bahwa Sanikem tidak ada sekarang.

22. Tuan Besar Mellema
Temuilah…

23. Nyai Ontosoroh
Kalau saya menemuinya, berarti Tuan telah mengembalikan saya kepada pemiliknya semula. Apakah saya harus pergi dari sini? Bakal jadi apa kalau saya tidak sanggup bersikap keras. Luka terhadap kebanggaan dan harga diri tak jua mau menghilang. Bila teringat kembali bagaimana terhinannya saya dijual kepada Tuan. Saya tak mampu mengampuni kerakusan Ayah saya dan kelemahan Ibu saya. Sekali dalam hidup kita meski menentukan sikap. Sudahlah, biar semua putus sudah terhadap masa lalu. Itu sudah sebaik-baiknya yang saya bisa lakukan. Suruh mereka pulang atau Tuan akan kehilangan sapi-sapi dan pabrik susu itu…? Saya telah menjadi telor yang jatuh dari petarangan. Pecah. Bukan telor yang salah.

24. Tuan Besar Mellema
(Pause) Kau terlalu keras Nyai…Temui Ayahmu!

25. Nyai Ontosoroh
Saya memang ada ayah, dulu. Sekarang tidak. Kalau dia bukan tamu Tuan, sudah saya usir!

26. Tuan Besar Mellema
Jangan…!(Memberi kode pada Darsam). Darsam beritahu mereka…

27. Darsam
Nyai bilang…Di rumah ini tidak ada orang bernama Sanikem. Pergilah!

Suasana hening. Sastrotomo dan istinya beringsut pergi. Wajahnya penuh duka. Sastrotomo beringsut terus, seperti menapaki nasibnya yang tak berujung.

ADEGAN 4
Orang-orang sedang mengusung karung. Ada juga yang mengusungnya dengan gledekan. Suasana begitu sibuk. Nyai Ontosoroh, Tuan Besar Mellema, Annelise, Robert Mellema, dan Darsam, seperti bersiap-siap hendak mau pergi.

28. Nyai Ontosoroh
Kami harus pindah ke Wonokromo, karena kontrak perusahaan gula tidak memperpanjang jabatan Tuan Besar. Kami pindah ke Surabaya. TB Mellema membeli tanah luas di Wonokromo, penuh semak belukar dan dekat rumpun-rumpun hutan muda. Sapi yang dibeli dari Australia dipindahkan kemari.

Segala yang saya pelajari selama hidup bersama TB Mellema, telah sedikit mengembalikan harga diri saya. Tetapi sikap saya tetap, mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapapun. Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang harga diri, apalagi, orang seperti saya yang masih begitu muda untuk berkeluarga.

Begitulah akhirnya saya mengerti, saya tidak tergantung pada TB Mellema. Sebaliknya dia sangat tergantung pada saya. Saya telah bisa mengambil sikap untuk ikut menentukan perkara. Tuan tidak pernah menolak. Bahkan ia sangat memaksa saya untuk terus belajar. Dalam hal ini ia seorang guru yang keras tetapi baik, saya seorang murid yang taat dan juga baik. Saya tahu, apa yang diajarkan oleh TB Mellema kelak akan berguna bagi diri saya dan anak-anak saya, kalau TB pulang ke Nederland.

Para buruh bergerak bersama-sama, mengikuti tuan mereka. Mereka membawa barang-barang pindahan. Darsam berjalan di depan. Musik. Lighting fide out.

Kritik Sastra dan Alienasi Kaum Akademisi

Fahrudin Nasrulloh*
http://www.surabayapost.co.id/

Seperti apakah perkembangan sastra mutakhir Jawa Timur? Pertanyaan ini tidak gampang dijawab dalam satu penyoalan tapi justru dari sanalah kita bisa terus berupaya menggalinya dari berbagai perspektif. Perkembangan sastra di Indonesia boleh dikatakan sangat kuat dan menggembirakan. Munculnya berbagai jenis-bentuk dan genre sastra dalam dekade terakhir ini memperkaya khasanah sastra kita; melalui beragam perspektif dari hasil riset mereka di dalam kehidupan dan perkembangan persoalan di wilayah perkotaan yang memunculkan karya-karya yang dapat diandalkan dan mampu mengisi perbendaharaan rohani. Secara khusus misalnya, munculnya para penulis perempuan yang menguakkan diri mereka ke dalam masyarakat melalui novel, cerpen, dan puisi yang nampak seiring dengan tema-teman feminisme yang juga disorot dengan berbagai perspektif lain.

Begitu pula dengan para penulis lainnya yang berusaha untuk lebih memperkaya sastra melalui sejarah lokal melahirkan karya-karya yang bukan hanya dalam perspektif sastra saja, tapi bisa juga sebagai kontribusi di dalam perkembangan pemikiran sosial, antropologi, etnografi, keagamaan, dan lain-lain. Yang menarik, kini kita temukan suatu cara kerja dari kalangan penulis yang dengan intensif melakukan riset dan studi perbandingan melalui penelitian dari perspektif sosiologis, antropologi, etnografi, nilai-nilai religius, politik, etos kerja ekonomi. Semuanya itu dijadikan sebagai bahan dalam penciptaan karya.

Marilah kita ambil contoh puisi karya Mardi Luhung, salah satu penyair Jawa Timur yang kini sangat menonjol bukan hanya di wilayahnya saja, namun juga berpengaruh dalam kehidupan sastra di Indonesia. Puisi yang dihasilkan dari pengamatan yang intensif terhadap berbagai cerita lokal, legenda, mitos, fabel, dan celoteh humor warga serta cara pandang hidup dalam kehidupan seks dan sejarah leluhur keluarga menjadi bagian dari proses penciptaan penyair yang berdomisili di Gresik ini. Sama halnya dengan Nurel Javissyarqi, penyair Lamongan, melalui proses perjalanannya dalam studi keagamaan selama 8 tahun dan proses pencarian dasar-dasar pemikiran lokal yang dipadukan dengan keyakinannya serta sejumlah arus pemikiran global dari para pemikir pos moderen hingga membentuk keunikan dan kelebihan tersendiri pada puisi-puisinya.

Pada wilayah Novel, Mashuri yang dengan tekun dan nampak kuat menciptakan suatu kerangka dan muatan lokal membuat banyak kalangan pengamat sastra di Jakarta terperangah. Sementara itu Zoya Herawati yang kini sedang menyelesaikan suatu novel yang paling tebal di wilayah Jatim dan Indonesia, sekitar 7-8 ratus halaman, merupakan hasil penelitian sepanjang 10 tahun di Madura. Novel dengan latar belakang sejarah sosial pada tahun 1960-an dan ditarik hingga kini, serta ulang-alik pada masa lampau secara terus-menerus, membuktikan, bukan hanya secara teknik, kepiawaian Zoya. Tapi juga memberikan perspektif dan membongkar posisi kaum perempuan akibat sistem politik yang tidak adil.

Itulah kilasan singkat sebagai ilustrasi dari perkembangan mutakhir sastra di Jawa Timur, yang sesungguhnya masih terdapat bukan hanya satu atau dua namun belasan atau bahkan puluhan penulis yang bisa dihandalkan. Jawa Timur sangat mungkin bisa menjadi simpul sejarah sastra seperti juga sastra Jawa lama yang pada abad ke-16 sangat kuat mempengaruhi perkembangan di wilayah Jawa Tengah (baca: Mataram), seperti yang pernah didedahkan oleh de Graaf.

Namun, perkembangan sastra Jawa Timur yang menggembirakan itu, tidaklah didukung oleh atmosfir tradisi kritik yang baik. Misalnya kita bertanya-tanya, siapakah kalangan kampus atau akademisi yang menulis kritik sastra mutakhir di Jawa Timur? Kita dapat menoleh dan mempertanyakan hal ini pada kalangan akademisi, selain kita sudah bosan disesaki akan data jumlah peminat jurusan sastra Indonesia yang setiap tahunnya meluluskan ratusan orang yang rata-rata tidak jelas orientasi spiritnya. Sementara itu kita juga menyaksikan peningkatan strata pendidikan para pengajar yang kini rata-rata magister dan tak sedikit yang meraih doktor. Lalu, untuk apakah jenjang pendidikan yang tampak tinggi dan wah itu dan berada dalam posisi sebagai akademisi jika mereka tidak melecut diri untuk menggali dan mengembangkan khasanah sastra mutakhir? Adakah mereka menganggap sastra mutakhir Jawa Timur tak layak untuk dikupas dan dijadikan bahan studi yang sebenarnya melimpah itu?

Yang menyedihkan adalah dari kalangan akademisi kita, pada sisi lain mereka tidak juga melakukan penelusuran pada masa silam, tiadanya kupasan sastra di masa lampau, dan oleh sebab itu sastra mutakhir tak pula tersentuh. Ironi lainnya, justru kalangan penulis sangat intensif melakukan penelitian kembali dalam proses penciptaan karyanya. Jadi, apa sesungguhnya tugas akademisi, selain mengajar, bukankah melakukan penelitian? Ataukah mereka mengalami sejenis disorientasi atau aborsi intelektual? Bila memang demikian, boleh jadi para akademisi telah terkubang dalam kondisi alienasi, dan tak berbeda seperti kebanyakan pegawai negeri!

*) Penggiat Komunitas Lembah Pring Jombang.

Sastra Kita Antara Tragedi dan Ironi

Tjahjono Widijanto
http://www.suarakarya-online.com/

Dari awal tumbuh dan perkembangan sastra Indonesia modern tak lepas dari persoalan luka kemanusiaan dan luka bangsa .Dalam sastra kita, monumen-monumen luka manusia ini juga diikuti dengan hero-hero yang keheroikannya bisa jadi tidak sedahsyat cerita-cerita dalam sejarah ansich. Ambil contoh roman Surapati karya Abdoel Moeis, Pulang (Toha Mohtar), Surabaya, Corat-coret di Bawah Tanah (Idrus), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis), Keluarga Gerilya, Perburuan, Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer) dan Burung-burung Manyar karya J.B Mangun Wijaya, semua menunjukan sisi paradoksal antara hero, heroisme dan tragik. Tokoh Untung Surapati dalam sejarah ditampilkan sebagai sosok yang memilki kompleksitas kejiwaan, mulai dari persoalan harga diri hingga affairnya dengan seorang noni Belanda bernama Suzana.

Demikian pula tokoh Tamin dalam Pulang, dan tokoh Gurui Isa dalam Jalan Tak Ada ujung, tidaklah tampil sebagai tokoh yang super sakti dan super hebat seperti pahlawan-pahlawan dalam sejarah tetapi justru menghayati tumbuhnya jiwa kepahlawanan dalam dirinya pada saat kondisi jiwanya terjepit dan tersia-sia. Tokoh Tamin bisa tampil sebagai hero setelah menyadari betapa ia telah tercerabut dan tidak berartinya bagi lingkungannya. Tokoh guru Isa bahkan harus menjadi seorang yang impoten dan penakut terlebih dahulu sebelum mendapatkan keberanian. Rasa heroismenya muncul justru pada saat ia berada pada puncak ketakutan ketika mengalami penyiksaan serdadau Belanda di tahanan.

Munculnya hero dan heroisme dibarengi dengan tragedi mulai tampak dengan kuat pada karya-karya masa 1940-an pada saat pendudukan Jepang. Pendudukan singkat Jepang telah membawa perubahan yang luar biasa dalam aspek linguistik dan wilayah imajinasi literer yang oleh Teeuw (1980) disebut sebagai cultural revolution. Pada masa sebelumnya (Poejangga Baroe dan Pra-Pujangga Baroe) karya sastra kita cenderung menampilkan hero dan heroisme dengan berteriak lantang, gegap gempita nyaris tanpa darah dan luka. Puisi-puisi M. Yamin “Bahasa Bangsa” dan Sanusi Pane, “Doa” misalnya tampil dengan gagah perkasa dan lantang menyuarakan pemujaan sekaligus kerinduannya terhadap kebesaran Indonesia masa lalu.

Sajak-sajak Yamin dan Pane sama-sama mengingatkan kita pada konsep kebudayaan kebangsaan yang dianut para pemuda di wilayah pergerakan seperti nasionalisme Jawa versi Soerjo Koesoemo atau nasionalisme Sumatra model Mohamad Amir dan Bahder Johan. Dalam perkembangan selanjutnya, novel-novel Sutan Takdir Alisyahbana (STA) seperti Layar Terkembang, Kalah dan Menang, serta Grota Azura mencoba membentangkan hero dan heroisme dalam uoaya mensosialisasikan orientasi kebudayaan dan kebangsaan. Justru karena hero dan heroisme tampil kelewat gagah perkasa novel-novel STA menjadi kelihatan “musykil” dan ajaib, yang oleh Keitch Foulcher (1991) malahan dikatakan tidak segemilang eseai-eseainya.

Semangat kepahlawanan kebangsaan dalam sastra kita mencapai puncaknya di tangan Chairil Anwar yang justru mencampuradukan hero, heroisme dengan pengorbanan bahkan ketragisan. Puisi-puisi Chairil meski sepentas kilas menggelegar namun menghadirkan antara yang heroik dan yang tragik. Tragik dan heroik saling berpaut, antara maut dan kekalahan senatiasa beriringan dengan sebuah “kebermaknaan” sekali berarti sesudah itu mat!.Pada karya-karya berikutnya tragedi luka-luka kemanusiaan beriringan dengan hero dan heroisme ini semakin tampil mencekam. Luka-luka kemanusiaan yang muncul bersamaan dengan hero dan heroisme itu masuk pada ruang-ruang tragedi pribadi, keluarga dan masyarakat. Karena itu dalam cerita-cerita Pramoedya dapat kita temukan sebuah kegetiran dan tragedi yang dahsyat ketika seorang bapak harus tega memenggal kepala bapaknya yang menjadi mata-mata musuh.

Dapat pula ditemukan sorang kakak yang menukar kehormatannya dengan nyawa adiknya yang tertangkap musuh. Pada titik ini pembaca dipaksa untuk menyaksikan tragic of execution, sebuah tragedi yang memperkuat hero dan heroisme, juga sebaliknya hero, heroisme yang memperjelas dan menegaskan ketragikan.

Ironi antara kepahlawanan dan ketragisan dalam karya sastra kita juga dihadirkan tidak saja dalam nada getir namun bisa juga sinis, satire bahkan menggelikan. Dalam Corat-coret di Bawah Tanah dan Surabaya, Idrus memandang dari sisi lain peritiwa pertempuran Surabaya. Pertempuran Surabaya yang menggetarkan itu di dalam teks sastra karya Idrus justru ditampilkan dengan parodi. Para pemuda yang bersenjata dilukiskan sebagai cowboy-cowboy pemula yang sedang memiliki kegemaran baru bermain-main dengan senjata.

Semangat kepahlawanan tidak lagi diletakan sebagai sesuatu yang keramat, sakral dan luar biasa namun diletakan pada sebuah situasi kejiwaan yang ganjil yang tumbuh dari situasi chaos yang bisa jadi tidak disadari dan tak dimengerti oleh ’sang hero’ itu sendiri.

Cerpen-cerpen Idrus ini mengingatkan kita pada naskah Don Quixote de La Mancha karya Carvantes. Melalui tokoh ‘hero’-nya, Don Quixote (Don Kisot), Carventes menyindir kaum bangsawan dan satriya pada zamanya yang gemar memposisikan diri sebagai hero. Bagi Carventes (juga Idrus) hero dan heroisme tidak lebih dari khayalan menggelikan dari segelintir orang yang merasa telah berbuat sesuatu yang besar yang sebenarnya hanyalah ilusi belaka dari ketakberdayaan. Heroisme adalah sebuah pelarian dari utopia yang tak kunjung mewujud.

Sudah lama pula, teks-teks sastra dianggap bisa juga mewadahi dan menghadirkan kerinduan akan “hero-hero imajinatif” dari masyarakat akibat krisis hero dalam realitas itu sendiri. Teks sastra dianggap mampu menawarkan suatu gambaran ideal seorang hero yang danggap dapat menawarkan sebuah dunia yang juga ideal justru pada saat realitas sosial masyarakat berada dalam puncak frustasi.

Contoh semacam ini dapat ditemukan dalam serat Sabda Pranawa dan Kalatida, karya pujangga Jawa terakhir, Ranggawarsita. Kalatida yang berarti zaman edan (disebut juga kalabendu) menggambarkan carut marutnya sosial, budaya dan ekonomi masyarakat akibat krisis pemimpin yang ideal. Penderitaan ini berakhir setelah munculnya pemimpin baru, hero baru bernama Ratu Adil yang membawa masyarakat pada zaman keemasan (kalasabu). ***

*) Penulis penyair dan esais. Tinggal di Ngawi, Jawa Timur.

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati