Senin, 15 Juni 2009

ANALITIK ANATOMI KESADARAN

Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Gagasan kata ibarat ruang dan esensi kedalaman kalimah bagi masanya. Sama dengan penciptaan insan dalam rahim, yang terjadi segumpal daging lalu disusul tertiupnya ruh. Maka kesadaran awal dari sebuah gagasan ialah kata, bermakna tempat serta sadar ruangan.

Pengisian-pengisian ruang menggunakan masa, mencipta ruh manfaat atas kebertemuan ruang-waktu atau penciptaan yang bergerak masanya. Tubuh-tubuh, fenomena, peredaran, tampakan dari perubahan embrio menuju gagasan gemilang.

Semacam ide takkan lahir sebelum datangnya pandangan suatu hal. Kabut pengalaman, terik dan dingin perjalanan, menentukan watak penciptaan sebuah benua lebih tinggi; drajat ide.

Posisi terbangun dari kesadaran ruangan, diteruskan dalam logika rasa, lalu menjelma muatan ruh manfaat, sebagai padanan langit-bumi selalu mencari pembicaraan alam rasa kehidupan.

Sekilat tampak pandangan di atas tidak bersesuaian dengan awal pencipaan yang berangkat dari anganan cita. Tapi sebuah penciptaan mitos pun dari kementokan mempelajari realitas, ketika akan dimanfaatkan sebagai daya tahan tubuh mental dalam memperjuangkan hayat.

Jadi awal buah gagasan, ide, fikiran serta perasaan puitik, datangnya dari himpitan persoalan pengarang, yang merasuk dalam kesadaran paling tinggi, menghujam jantung makna hayati.

Semisal bayi terlahir menangis sebagai kesadaran baru, saat tingkatan usianya menanjak, mengalami demam melewati waktu, hujaman kesadarannya bertambah mematri, serupa tempaan bathin dituntut berjuang terus.

Anatomi kesadaran itu pemaknaan diri depan cermin. Merefleksi segala yang ada bertopangan kesadaran, meneliti perubahan terus dirasakan, meski di tengah kantuk diseret goda kesambillaluan.

Saya sebut anatomi sebab kesadaran miliki tingkatan badan tertentu atas buaian masa bertumpuknya pengalaman. Dan wawasan terbaca sebagai tambahan mutunya perubahan, yang tidak melupakan esensi diri beranatomi.

Ruang-ruang yang dimaksud dalam bingkai anatomi, selalu mempelajari gerak gairah alam diri, untuk menerobos persinggungan wacana, agar tampil tidak menjadi yang terjajah.

Hikmah mengetahui anatomi kesadaran ialah manfaat kesadaran itu sendiri pada esensinya, pengembangan fitroh insani untuk diperjuangkan, meski pada rana mengecewakan.

Ketangguhan dari hempasan berulang, menjadikan anatominya menonjol, kalbu ditekan semakin berpancaran, akal dicekik keadaan terhimpit, kian lapang dalam pengambilan putusan. Kiranya jarak itu pembelajaran praktis di setingkap waktu sempit. Dan jiwa cemerlang menerima keadaan, menambah yang kekurangan atas sifat menutup diri.

Anatomi kesadaran ialah gabungan psikologi diri dalam meramu filsafat kalbu keimanan dengan memakai timbangan nalar. Dan pencerahannya dihasilkan dari membuai bentuk-bentuk keseimbangan.

Semisal sepucuk surat dari kawan lama, tahu-tahu mendapati kegembiraan sebab rindu terobati datangnya. Ketiba-tibaan itu kesembuhan, gerak luar yang membentuk kesadaran baru. Kiranya sapaan lembut memanggil jiwa, atau sebaliknya jika berkabar tragedi. Kita bisa bantu dengan bertemu memberikan motifasi, agar yang terselubung soal cepat teratasi.

Gambaran di atas menyebutkan anatomi kesadaran bisa terbentuk dari luar, yang tentu berminat meneruskan. Olehnya, karakter takkan terbentuk jika tidak mau merawat, atau kegelisahan atas keseimbangan integralitas diri sebagai pribadi.

Garis teritorial itu menyetiai yang selalu digebu agar tercipta wacana baru kesadaran diri. Pihak lain, anatomi kesadaran dapat mewujudkan kesungguhan cita, kepercayaan masa menancapkan gerak langkah menambah bobot penciptaan otot tangguh, atas kegigihan kerja demi mencapai tujuan.

Bayang-bayang purna itu terketahui, jika memiliki ruang renungan tersendiri yang baik, demi mencari daerah-daerah mana kekurangannya.

Apakah kecermatan kurang tajam dalam menganalisan, atau terlampau meremehkan pandangan orang? Apakah sering menggurui, tidak mau dengar gagasan yang lain? Jelas, kalau menginginkan anatomi kesadaran purna, kudunya membuka diri diperbaiki menerus.

Sebab sering kali egois hingga kesadaran menjadi tidak imbang, antara lengan satu dengan lainnya. Atau kita lupa diberi kaki-kaki lincah, guna langkah difungsikan berlari cepat. Maka anatomi kesadaran harus diselidik sejauh kekurangan, di mana letak kelewat batas, sebelum bercermin publik, dapat dipersiapkan sebaik-baiknya.

Sebab kepercayaan diri tanpa latihan bukanlah wujud anatomi. Kesadaran ruang-waktu menjadi penentu terbentuknya. Ini bisa diproyeksikan menjadi kerja identitas kesadaran awal. Berbeda parade kesadaran maupun teror kesadaran, dirinya lebih menitik beratkan manfaat pribadi, agar kualitas yang terbangun seirama perubahan masa.

Jika diarahkan sebuah karya sastra, mencari ceruk anatomi kesadaran lewat menelisik karakter kejiwaan pencipta dengan alat yang dia pakai, demi menyelidiki kedalamannya. Kajian ini dapat dimasukkan ke bidang analisa. Ruang-ruang pembelajaran menyuntuki pribadi. Di jarak mana harus duduk atau melangkahkan kaki.

Perkembangan lanjut, analisa ini dimungkinan merombak kejiwaan seorang, kiranya membuka kemungkinan belajar, anatomi kesadarannya semakin gamblang atas pencerahan tunggal bernama kesungguhan kerja.

Ini bukan di ruangan teater tapi alam keterbukaan, wilayah setiap orang bisa memetik buah-buahan, tubuh yang terus memproduksi perkembangan kesadaraan. Kiranya tidak menyembunyikan bayangan di depan umum akan kedirian lapang, serupa prajurit maju berperang, meninggalkan bayangannya di rumah. Bertarung mengikuti hembusan angin pengalaman di medan laga, meyakinkan diri sebagai ras pemberontak.

Lebih jauh, bermain di wilayah santai asal terjaga. Di sini telah mengetahui kerakter lingkungan, berpengalaman meramu diri bersama ruang-waktu yang dihadapi. Keterjagaan sebagai bentuk awal yang kudu terawat pada lingkup keakraban.

Menambah tingkatan yang di muka pelaku, berhadapan dengan musuh yang dapat memenggal salah satu anatomi kesadaran jika terlena. Jikalau pelaku tidak ingin anatominya terputus, kudu mawas depan cermin menyendiri, pada forum atau medan perang perkarakteran, di saat saling singgung gagasan.

Analisa ini dimasukkan jangkauan harap, merindu nilai moralitas seimbang, olehnya harus diperbaiki kesadaraan. Kenapa saya sebut bukan semua hal, sebab insan tak bisa memiliki kesegaran kencang, ada masanya istirah, membungkus anatomi kesadaran di ambang pengendapan, bukan di sampirkan lalu besok dipakai. Sebab endapan juga menentukan warna-bentuknya.

Anatomi terbentuk dengan kuat, sekiranya bisa ambil memori yang lekat di jiwa, hati semangat berkeseimbangan. Transaksi masa lampau dan sekarang sebagai perolehan kekinian demi langkah ke muka. Ini infus anatomi yang kurang cairan, karena terlalu lama berkeringat, atas jalan hayat tanpa endapan mendewasakan, semacam jalan di tempat.

Bagaimana pun melangkah tanpa pengendapan, lama-kelamaan keropos. Tidakkan renung menciptakan gunung pengertian, mengenang sejauh mana mendaki, demi mencapai puncak jati diri, yang kudu dimiliki untuk menuntut takdir semestinya.

Arti kata, renungan bisa menggagalkan peristiwa kroposnya anatomi, atau daya tahan dapat langgeng dimiliki, jika mengambil jarak prosesi yang terkerjakan. Ini bukan percepatan dalam pengambilan kesimpulan, tetapi kesimpulan dari perjalanan sebagai tanda meyakinkan sejauh identitas terbentuk.

Erich Fromm dalam bukunya Psychoanalysa and Religion, menuliskan kurang lebih berkata; “Sementara kita mampu menciptakan sesuatu yang luar biasa, kita gagal membuat diri kita bangga.”

Atau manusia dapat menciptakan dunia baik bersesuaian imaji rasa yang dipunyai, tapi ketika kembali ke bilik pribadi, terasa gagal sebab tidak dapat mengurus diri secara wajar. Atau tidak mampu merasakan nikmatnya pencapaian, kecuali gula-gula sukses kesombong, yang tentu di balik lain menimbulkan penyakit gula.

Kacamata yang saya kemukakan ini, kelebihan dari anatomi tertentu yang tidak wajar atau cacat. Lebih tragis, para menemu pencerah itu tidak bisa memperbaiki dirinya yang selalu kehausan. Oleh kurangnya renung penerimaan seimbang, pada terbentuknya struktur anatomi kesadaran secara normal.

Tujuan analisanya membongkar kedirian dari dalam, membentur ulang hasil capaian sampai di tingkatan penerimaan, atas kesadaran jauh melangkah, selain kenikmatan ego. Sehingga menjadikan diri tidak sekadar dalil pendektean (bagi atau dari) orang lain, tetapi lebih pada diri yang terpelajari, dari mana keberhasilan usaha itu terjadi.

Hal itu menemukan nikmat seimbang dalam renungan, penerimaan hasil bukan berhenti, namun menyelidik jarak sampai memperoleh kehakikian kerja. Bukan sekadar transformasi kecerdasan nalar menggurui jerih payah, lalu dianggap gemilang. Yang lebih ditekankan, bagaimana pencetus gagasan psikologi diri bermanfaat dan berkeindahan dalam karya kreatif.

Di samping permenungan tinggi, melihat kecerdasan insan berangkat dari gesekan wacana semacam pisau tajam diasa. Namun ketika tidak, menjadikan tumpul lebih berbahaya sebab berkarat. Kalau menyadari pentingnya ilmu bukan sekadar tranformasi budaya, apalagi keahlian bicara, tapi kesadaran mengambil manfaat pembicaraan. Kiranya akan berfaedah, menambah kekuatan otot-otot anatomi kesadaran di dalam kehidupan.

Kelemahan analisa teramat dangkal di sini. Insan tidak sanggup sempurna, tidak terus menerus mampu menyeimbangkan kesadaran imaji, rasa, nalar dan keseluruhan alat dalam diri. Setidaknya hal ini tempuh, tidak larut menggeluti anatomi tertentu, namun menciptakan ruang-ruang permenungan dalam kebutuhan diri menuju pencapaian.

Ada tiga pembentuk anatomi kesadaran:
Pertama, penghancuran atau revolusi. Penggempuran karakter yang telah ada atas faham orang lain yang disetianya, diganti pemberian sudut pandang sendiri.

Kedua, mencari tempat terpencil atau meditasi. Permenungan untuk menemukan hakikat paling hakiki, tidak terasuki faham yang dapat merugikan keberlangsungan tumbuh mekarnya kembang kesadaran.

Ketiga, membuka argumentasi luar. Untuk dibicarakan pada kedirian, atau ada dialog dinamis demi tercapainya anatomi kesadaran, dari berbagai pengalaman orang, bersama kedirian yang tunggal. Cara ini banyak membutuhkan energi, juga perlu daya saring yang ketat, sehingga memunculkan kesadaran universal. Saya akan mencoba mendedahnya satu-satu lebih jauh:

Revolusi Kesadaran

Kita menyadari telah mengunyah beberapa gagasan orang lain, di mana kadang tindakan itu bukan murni desakan diri. Untuk itu harus merevolusi gagasan yang masuk, bersama gagasan diri yang tercampur ide sebelumnya. Penghapusan, menggagalkan hasil-hasil yang tercapai.

Cara nekat ini belum tentu mendapati hasil maksimal. Namun resiko harus ditanggung kalau ingin penghapus memori semaksimal mungkin, dan membangun kembali gagasan semangat baru, bukan berangkat dari akar kesadaran yang lalu.

Melakukan ini lain daerah, wilayah yang benar-benar baru. Jika berada dalam situasi yang sama pada kurun berdekatan, memulai bentuk baru lewat sikap berbeda dari sebelumnya.

Mungkin orang lain akan bilang munafik, sebab kaca mata mereka berbeda saat gejolak merasuki diri. Gejolak merombak saat dorongan merevolusi kejiwaan, toh yang mendapati manfaat dianya pula. Ini bukan berarti luput bahasan tanggung jawab, sebab pengertiannya berbeda dari sebelumnya.

Semisal seorang santri memasuki pesantren. Saat berada di dalamnya, mau tidak mau merevolusi kebiasaan rumah untuk membiasakan diri di lingkungan itu. Ini dapat terjadi orang rumahan yang sadar makna ibadah, mengaktualisasi pengertian beragama atas pertaubatan. Perubahan sikap yang tampak di sini, berangkat dari merevolusi kesadaran terdalam, kiranya menginginkan bentuk baru itu langgeng.

Atau merevisi ulang secara seksama akan kesadarannya, dengan merusak anatomi kesadaran yang pernah berdenyutan hidup, lewat tergantikan paksa atas anatomi yang baru, bersama angin kehendak perubahan seluruh.

Meditasi Kesadaran

Cara ini hampir serupa bagian awal, memasuki wilayah baru demi menemukan kesadarannya. Tetapi lebih ditekankan dalam pencarian gagasan murni, walau tidak bisa ditemukan semurni mungkin.

Kiranya melewati meditasi kesadaran terpencil, kita mengulangi benang merah kesadaran belia, dengan menyelesaikan permasalahan di hadapan masa itu. Gejala lampau kita proses kembali, demi menemukan kejiwaan diri sebenarnya. Namun dapat pula membawa gagasan awal, sebelum melaksanakan meditasi kesadaran dengan makna.

Dan tidak terpenjara ide sebelumnya, demi pencarian bentuk pandangan halus dari dalam. Hingga gagasan awal bisa diperbantukan mencari tubuh kebenaran dari kenyataan. Sebab setiap insan memiliki kejiwaan berbeda, meski dapat dikategorikan secara umum.

Resiko kecil kesalahan yang ditimbulkan metode ini, dalam membentuk piramida kesadaran. Karena meditasi kesadaran bukan membuang gagasan awal dengan sinis, namun kehati-hatian sahaja, mengajak merenungkan balik yang menghasilkan gagasan dari pantulan kesadaran yang dahulu.

Di sinilah memproyeksikan kesadaran pada tercipta gagasan atas subyektivitas diri. Makna kata, merombak faham lama di goa kemungkinan terciptanya kesadaran baru, berangkat dari pengendapan diri, atas perolehan masa lampau.

Ini sikap pembersihan diri di sendang kedamaian, penguraian makna perjalanan secara mengesankan, bagi yang ingin tercapainya kemurnian pengertian, lewat kelembutan fikiran-perasaan terdalam.

Meditasi Sosial Kesadaran

Adalah menghimpun kontak sosial atas gagasan orang lain dengan pandangan diri, juga memiliki ruang meditasi dalam pemilihan mencapai nilai kebenaran. Bisa dimaksudkan sebagai penggabungan bagian pertama dan kedua, yang pengolahannya menggunakan ruang tertutup juga terbuka. Dan hasilnya mencapai argumentasi kesadaran lebih, mementingkan pandangan umun, namun tidak merugikan pendirian pribadi.

Musyawarah baik dibutuhkan, namun tidak meninggalkan pandangan awal. Seperti laut keseimbangan, debur ombak dilakukan atas angin kerja sosial, kedalaman makna laut kesadaran permenungan, memungkinkan hidupnya ikan-ikan gagasan. Ini memungkinkan yang kita kunyah menjadi daging perbaikan anatomi, ditopang kerja merefleksikan luar berkaca ke dalam.

Memakan yang jelas memberikan gizi, tapi juga berani membuang yang menimbulkan lemak berlebih, agar anatomi dalam meditasi sosial kesadaran seimbang, atas pandangan luar juga penerimaan dalam.

Meditasi sosial kesadaran itu mengembangkan kelestarian baik, berinteraksi secara dinamis dalam kejiwaan, hingga tercapainya keseimbangan bernilai universal, atas membaca faham dari dalam, serta orang lain saat membacanya.

Wawasan ini sampai kalau tekun bekerja, melaksanakan ide berkesadaran menuruti peluang atas kesuburan daging anatomi, dengan tidak terlampau bernafsu yang dapat menggagalkan perencanaan, alias timbulnya ketidakseimbangan atau cacat.

Kerja keras membaca fenomena perubahan, lalu menelaah menjadi catatan-catatan membantu bergerak maju, bagi lelatihan yang dimungkinkan subur, daya kekuatan tercapainya otot-otot tanggung, dalam merawat anatomi kesadaran sang pelaku.

*) Pengelana asal desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesiaku.
Ditulis di Krapyak, Yogyakarta, 2005.

Mencari Cinta di Mesir

Anitya Wahdini
http://jurnalnasional.com/

Ketika Cinta Bertasbih mencoba memuat setiap detail cerita dan karakter yang ada dalam novel ke layar lebar.
Judul Film : Ketika Cinta Bertasbih
Genre : Drama
Sutradara : Chaerul Umam
Penulis : Imam Tantowi
Pemain : Kholidi Asadil Alam, Oki Setiana Dewi, Alice Norin
Produksi : Sinemart Pictures
Durasi : 120 menit
Di dunia perfilman nasional, nama Habiburrahman El Shirazy mulai dikenal setelah sutradara Hanung Bramantyo memfilmkan novel Ayat-ayat Cinta, yang merupakan salah satu karya best seller-nya. Film yang dibintangi Fedi Nuril, Rianty Cartwright, dan Carissa Putri tersebut meraih sukses dan diklaim sebagai salah satu film terlaris karena ditonton jutaan penonton.

Tak heran jika kemudian masyarakat menaruh harapan besar saat setahun lalu dikabarkan novel best seller lainnya milik Kang Abik—sapaan akrab novelis itu—kembali dilayarlebarkan. Bahkan, audisi untuk para pemeran utamanya telah digelar hingga ke sembilan kota besar di Indonesia. Sebuah proyek besar yang disebut Sinemart Pictures sebagai produser, sebagai megafilm.

Film Ketika Cinta Bertasbih siap dirilis pada 11 Juni mendatang. Di tangan sutradara senior Chaerul Umam, film yang mengisahkan perjuangan seorang pemuda bernama Khairul Azzam (Kholidi Asadil Alam) dalam menyelesaikan studinya di Mesir, memiliki gaya penuturan dan efek yang berbeda dengan Ayat-ayat Cinta. Meskipun, berasal dari karya penulis novel yang sama.

Berpengalaman sebagai sutradara sinetron-sinetron religi, Chaerul Umam agaknya lebih senang dengan alur yang lebih lambat dan mengalir. Banyak dialog dan adegan yang mengedepankan dakwah akan ajaran-ajaran Islam, sehingga film ini menjadi lebih teduh dan bersahaja dari segi moral. Berbeda dengan gaya penuturan Hanung yang berapi-api, mementingkan keindahan visual dan dramatisasi cerita. Hasilnya, Ayat-ayat Cinta lebih padat dan komersial.

Dalam Ketika Cinta Bertasbih, penulis skenario Imam Tantowi mencoba menggambarkan serinci mungkin setiap detail cerita yang termuat dalam novel. Memang tak mudah mengadaptasi novel menjadi sebuah film. Ada perhitungan durasi dan skenario di dalamnya. Tak sedikit sutradara dan penulis skenario yang mungkin menggunting cerita di sana-sini bahkan mengubahnya sehingga menjadi sebuah tontonan yang lebih menyenangkan.

Namun, tidak demikian dengan Ketika Cinta Bertasbih. Gambaran alur persis seperti yang tersaji dalam novel. Dibuka dengan adegan Khairul Azzam saat menjalani pekerjaan membuat soto di acara Pekan Budaya Indonesia di KBRI Mesir yang dirancang oleh anak gadis Pak Dubes, Eliana (Alice Norin).

Dampaknya, banyak hal yang tak jelas di awal film. Tak sedikit tokoh yang muncul begitu saja tanpa penjelasan sebelumnya, seperti misalnya kehadiran Furqon (Andi Arsyil Rahman) yang tiba-tiba akrab dengan Azzam. Hingga akhir film, awal mula keakraban mereka tak pernah dijelaskan secara gamblang, mereka hanyalah sesama mahasiswa Indonesia yang kebetulan sedang menimba ilmu di Mesir. Tak mudah menerjemahkan seribu satu penjelasan yang termuat dalam novel ke dalam bentuk visual dan adegan.

Ketika Cinta Bertasbih berfokus pada kisah Azzam, seorang mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Kelulusannya tertunda selama sembilan tahun setelah ayahnya meninggal dunia, satu tahun setelah ia pindah ke Kairo. Alhasil, Azzam harus menghidupi ibu dan tiga adik perempuannya di Solo dengan berjualan tempe dan bakso. Dari pekerjaan itulah, Azzam kemudian mengenal Eliana, gadis lulusan Prancis yang memiliki pola pikir ala Barat.

Hati Azzam rupanya tak hanya terusik oleh kehadiran Eliana. Di tengah perjalanan, ia berjumpa dengan Anna (Oki Setiana Dewi), seorang perempuan Indonesia cerdas yang tengah mengejar gelar S2-nya. Sayang, perjumpaan keduanya terlambat karena Anna telah dipinang oleh Furqon yang tak lain adalah sahabat karib Azzam.

Kang Abik rupanya masih belum lepas dari konflik cinta segi tiga layaknya dalam Ayat-ayat Cinta. Bedanya, konflik percintaan dalam Ketika Cinta Bertasbih lebih rumit, karena melibatkan persoalan yang lebih kompleks dan tokoh yang lebih banyak. Bahkan, kisah Azzam-Eliana-Anna-Furqon bukanlah satu-satunya kisah cinta dalam film ini, karena masih ada kisah-kisah lain dari teman-teman satu rumah Azzam.

Kerumitan kisah ini tetap diangkat ke layar lebar oleh Chaerul Umam dan Imam Tantowi. Seolah tak ingin melewatkan setitik pun kisah dalam novel. Alhasil, alur sering lompat kian ke mari, berganti adegan dan tokoh. Padahal, tak ada salahnya menghilangkan bagian yang kurang mendukung keseluruhan cerita agar film menjadi lebih padat dan terhindar dari kebosanan penonton akibat durasi yang terlampau panjang dan kisah berbelit-belit ala sinetron.

Terlepas dari segala kekurangannya, Ketika Cinta Bertasbih tetap memperlihatkan keseriusan penggarapannya. Wajah para bintang baru hasil audisi memberikan kesegaran tersendiri meski mereka tak dapat dikatakan bermain cemerlang.

Untuk mengimbanginya, film ini juga didukung oleh belasan bintang senior papan atas, antara lain Deddy Mizwar, Didi Petet, Slamet Rahardjo, dan Ninik L Karim. Bahkan Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah, dan sastrawan Taufik Ismail sempat muncul sebagai kameo. Sementara, ilustrasi musik dan soundtrack ditangani oleh Melly Goeslaw dan Anto Hoed.

Selain itu, penonton juga dimanjakan dengan setting film yang juga disesuaikan dengan gambaran dalam novel. Mengambil tempat di Mesir, Ketika Cinta Bertasbih menyuguhkan pemandangan Kota Kairo, sungai Nil, Sphinx, Kota Alexandria, Laut Mediterania, bentang Qait Bay, dan beberapa tempat indah lainnya di Mesir.

SUDAMALA, SENI, DAN BEDA: KE ARAH TAFSIR LAIN TENTANG KEINDAHAN

Goenawan Mohamad
http://terpelanting.wordpress.com

Sebentar lagi kita akan menyaksikan sebuah pertunjukan Slamet Gundono, yang kebetulan pernah saya tonton beberapa waktu yang lalu: Sudamala, atau Uma, Nyanyi Sendon Keloloran.

Dalam kesempatan ini, saya akan bertolak dari lakon itu untuk membicarakan setidaknya dua anggapan, atau salah anggapan, yang dewasa ini acap kita jumpai ketika orang berbicara tentang kesenian. Pada hemat saya, diskusi mengenai hal itu penting sekarang. Kita hidup di sebuah masa yang ditandai oleh tuntutan yang berlebihan kepada manusia – baik melalui kekuatan dalam pasar, maupun kekuatan dalam masyarakat, yang makin mengasingkan dunia kehidupan dari kesempatan untuk bebas, mengalir, dan berbeda.

Dalam kondisi itu, kesenian adalah bagian dari dunia kehidupan yang masih vital, betapapun terkucil. Tak mengherankan bahwa ketiga anggapan yang akan saya uraiakan ini sangat kuat berakar.

Pertama, kesenian umumnya serta merta dikaitkan dengan keindahan, tanpa orang berpikir bagaimana keindahan lahir, siapa yang menentukan “indah” atau “tak indah”, mengapa satu ekspresi kesenian sebuah masa tak jarang ditampik oleh ekspresi kesenian dari masa sesudahnya, mengapa ada generasi baru yang menafikan generasi seni sebelumnya, walaupun tetap ada karya-karya seni yang tak henti-hentinya memberikan makna baru. Dengan kata lain, benarkah keindahan adalah sesuatu yang begitu penting, dan benarkah ia sesuatu yang universal?

Kedua, kesenian umumnya dikaitkan dengan “kebenaran”, tetapi hampir tak pernah kita persoalkan bagaimana kebenaran lahir dalam karya seni, dan benarkah (serta mungkinkah) ada pegangan yang sudah siap tentang “kebenaran” itu? Tidakkah “kebenaran” ditentukan oleh mekanisme kekuatan atau kekuasaan yang berada di balik wacana kebenaran itu? Juga, bagaimana ia, yang lahir dari konteks tertentu dan masalah tertentu, bisa akan bersifat universal?

Malam ini saya akan menyinggung – meskipun mungkin tak akan membahasnya sampai tuntas – dua persoalan di atas, seraya memberi pengantar sedikit tentang apa yang akan disajikan Slamet Gundono dengan lakonnya. Tentu saja saya berharap, saya tak akan membuat anda semua kehilangan nikmatnya kejutan ketika lakon Sudamala itu disajikan nanti.
***

Sebagaimana kita baca dari lembaran program, kali ini Slamet Gundono menyebut teaternya kali ini “wayang lindur”. Kita ingat Slamet sebelumnya pernah mementaskan “wayang suket” dan “wayang air” di samping kadang-kadang ia menjadi dalang “wayang kulit” atau “wayang purwa.”

Kita bisa saja bertanya apa arti “wayang” dan apa pula arti “wayang lindur”; kita mungkin akan memperoleh jawab. Tapi saya tidak yakin, perlu benarkah jawab itu bagi seseorang untuk menikmati pertunjukan ini. Slamet Gundono justru menunjukkan, bahwa seni tidak dimulai dari definisi dan taksonomi. Pengalaman artistik, ketika menikmati sebuah karya seni, adalah momen ketika kita masuk ke dalam pengalaman yang mengalir, ibarat turun ke sebuah sungai yang tak kita ketahui apa namanya, tak kita ketahui di mana pula hilir dan hulunya. Sungai adalah air — tapi tak hanya air — yang bergerak tak henti-hentinya, menampung rakit dan jukung, melindungi ikan dan ular, dalam perubahan cuaca dan saat.

Menikmati pertunjukan ini adalah menikmati gerak yang yang tak henti-henti melintasi identitas itu. Di sini, batasan makna hanyut. Pakem dipakai sebagai dasar, tetapi sekaligus diterjang. Seperti dapat kita baca dari sinopsisnya, lakon ini berangkat dari satu bagian mitologi tentang Manikmaya, atau Syiwa, atau Batara Guru, dewa utama di kahyangan, dan istrinya, Uma atau Parvati, atau Durga. Tapi apabila dalam kisah yang kita temukan di India (dan juga Bali) Uma atau Parvati adalah tokoh perempuan yang mencintai dan mengabdi, dalam Sudamala Slamet Gundono, Uma adalah isteri yang tak setia, atau, menurut sinopsis, “tak pernah tunggal memahami cinta.”. Dan bila menurut “pakem” Syiwa adalah sosok yang perkasa karena ia dewa, dalam kisah Gundono tokoh ini sempat dirundung bimbang dan kesedihan.

Pada saat yang sama, Slamet Gundon menampilkan ki dalang sebagai wayang: dia, ki dalang, juga sekaligus Manikmaya. Sejumlah aktor yang juga pemain gamelan bermain bersama satu atau dua helai wayang dari kulit. Seorang penari perempuan dalam kostum seorang nyonya muda kota besar juga hadir sebagai Uma, yang berjalan dari lantai ke lantai di sebuah mall. Seorang aktor perempuan yang juga menembang dan menari berlaku sebagai lawan dialog yang menentang Manikmaya. Dan di bagian depan pentas yang bersahaja, seorang tukang batu sedang membuat tembok. Kita kemudian akan tahu tembok itu tak akan pernah selesai.

Yang juga tak lazim adalah latar dan tempat dan perpindahan yang tak disangka-sangka dari satu lokasi ke lokasi lain. Gundono bahkan memasang ceritanya berdampingan dengan cerita lain, tentang pertemuan antara sang “aku” dengan seorang biksu pelarian dari Tibet di tepi sebuah jalan di Berlin. Tak ada alur yang urut, dan tak akan terdengar “pesan moral” yang lazim kita dapatkan dalam pertunjukan wayang.

Yang kita saksikan adalah loncatan-loncatan ruang dan waktu, pembauran antara benda sehari-hari dan elemen-elemen fantasi. Yang melankoli berselang seling dengan yang lucu, dialog bahasa Tegal bersilang dengan bahasa Indramayu. Tapi kita akan mengikutinya dengan asyik, bukan sebagai satu karya banyolan, melainkan sesuatu yang mengisyaratkan kehidupan manusia yang tak satu segi, dan di antara itu kita juga dapat merasakan saat-saat yang menyentuh hati.

Bagi saya, yang menakjubkan bukanlah campur aduk yang tak terduga-duga itu. Yang menakjubkan ialah bahwa semua itu mendekatkan kita kepada khaos, kepada “kekacauan,” tanpa kita menampiknya.Bahkan kita menerimanya dehgan asyik. Serta merta, di hadapan lakon ini, kita seakan-akan kena pesona untuk menanggalkan obsesi kita yang mendahulukan ketertiban. Mereka yang mau serba tertib akan kehilangan sesuatu yang berharga dari lakon ini.
***

Mungkin demikianlah umumnya yang terjadi dalam pertemuan kita dengan sebuah karya seni – terutama bentuk-bentuk kesenian yang tak mengikuti semangat klasik. Di hadapan karya Gundono, sebagaimana di hadapan kanvas Affandi, kita tak bisa memuja garis batas yang serba rapi. Kita mau tak mau akan terbawa oleh pesona arus yang mengalir dan bergejolak dalam sebuah situasi artistik. Situasi kesenian, kata pemikir Prancis Alain Badiou, “menyarankan kepada kita satu hubungan antara kecenderungan (disposition) khaotik dari sensibibitas, dengan apa yang dapat diterima sebagai sebuah bentuk.”

Dengan kata lain, tiap situasi artistik berada dalam ketegangan antara “kecenderungan khaotik dari sensibilitas” di satu sisi, dan bayang-bayang “sebuah bentuk” di sisi lain.

Persoalannya tentu, kenapa “khaotik”? Kenapa “kekacauan” adalah bagian dari sebuah proses kreatif? Untuk menjelaskannya, saya akan melanjutkan memakai argumentasi Badiou.

Sebuah karya seni bermula dengan apa yang disebut oleh Badiou sebagai “kejadian” (atau l’événement). “Kejadian” itu cuma berlangsung sekilas; dalam pengalaman estetik, kita misalnya tersentak di saat kita, pada sebuah malam yang jarang, menyaksikan bulan terpacak di langit di atas kuburan, seperti pernah “direkam” dalam sebuah sajak Sitor Situmorang. Seakan-akan meneguhkan sifat “sekilas” dari kejadian itu, sajak Sitor itu hanya terdiri dari dua kalimat: satu baris untuk judul, satu baris lagi untuk yang diberi judul:

MALAM LEBARAN

Bulan di kuburan

Kita tahu bahwa di malam lebaran bulan tak akan tampak — tapi di saat itu, kita tak mempersoalkan apakah bulan itu benar ada di sana, atau ia hanya sebuah ilusi. Kita terpesona, dan pesona itu menghadirkan realitas. Yang perlu saya tekankan di sini: pesona itu tak akan bisa diulangi lagi. Ia saat yang singular. Bila kita nanti melihat bulan lagi, dan kita terpesona sekali lagi, yang terjadi bukanlah sebuah repetisi. Mungkin kaena kita juga mengalami sesuatu yang tak terhingga: sajak satu kalimat singkat itu seakan-akan menyisakan sesuatu yang kosong, menjauh, tak terjangkau. Maka tiap kali kita terpesona akan bulan lagi, yang terjadi adalah sesuatu yang kembali baru, seakan-akan kita melihatnya buat pertama kalinya dalam hidup kita. Badiou mengutip Heidegger: “Penyair selalu berkata seakan-akan yang-ada diutarakan buat pertama kalinya.”

Saya kira kita dapat merasakan kejadian itu, pesona yang seakan-akan buat pertama kalinya itu, dalam sajak Chairil Anwar ini, dari sebuah malam di pegunungan:

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

Ada perasaan terkesima di dalam sajak itu, ada sesuatu yang enigmatik bak teka-teki yang menyelimuti saat seperti itu. Sang penyair mencoba mencari jawab, tapi jangan-jangan tak tepat untuk mempersoalkan sebab dan akibat pengalaman estetik seperti itu. Lebih tepat adalah masuk ke dalamnya, bermain di dalam suasana itu, seperti anak kecil yang di bawah bulan itu “main kejaran dengan bayangan”.

Sebab kita tak akan “dapat jawab”, betapapun kita “terlalu sangat” kepingin. Dari sebuah kejadian, kita tak mendapatkan “pengetahuan” – sesuatu yang sudah tersusun rapi bagaikan dalam sebuah rumus atau ensklopedia. Momen kejadian, momen pengalaman estetik, adalah sebuah “proses-kebenaran”, kata Badiou. Dengan itu, kebenaran datang ke pikiran kita bukan sebagai sebuah keputusan, melainkan sebagai sebuah proses yang tak seluruhnya dapat diutarakan dalam bahasa, sebuah proses dalam sebuah kancah yang mengandng kesadaran dan ketidak-sadaran, yang tak dapat ditangkap penuh oleh tata simbolik.

Pengetahuan, bagi Badiou, berbeda dengan Kebenaran. Pengetahuan hanya memberi kita ulangan, hanya berkaitan dengan apa yang sudah di sana. Sementara itu, Kebenaran tampil sama sekali bukan sebagai repetisi, melainkan sebagai kejutan dari yang baru, melalui “suplemen” (supplément événementiel) yang tak terduga, yang tak dapat diperhitungkan, dan berada di luar jangkauan dari yang sudah ada. Seperti ketika seseorang jatuh cinta dan cinta itu mengubah dirinya. Seperti ketika Chairil dalam sajak di atas bersua, seakan-akan buat pertama kalinya, malam di pegunungan dengan bulan yang seakan-akan “membikin dingin” dan membuat rumah jadi pucat dan menyebabkan pohon-pohon jadi kaku.

Pada momen estetik seperti itu, yang mewedarkan sesuatu yang baru dan sebab itu terasa beda sama sekali, bahasa, sebagai hasil konvensi, belum siap menampungnya. Pada momen seperti itulah kita tahu, seperti dikemukakan Chairil Anwar dalam sajaknya yang lain: ‘ada tetap yang tidak terucapkan/sebelum akhirnya kita menyerah’.

Yang tetap “tak terucapkan” itulah yang oleh Badiou disebut “yang tak ternamai”, sesuatu yang “begitu singular dalam singularitasnya, begitu intimnya dalam situasi itu”. Dalam saat itulah kita mengalami sesuatu yang “khaotik”.
***

Tapi dalam sebuah karya seni, yang “khaotik” hadir selamanya bersama bentuk. Persoalan yang harus kita jawab adalah apa gerangan yang disebut “bentuk” dalam sebuah karya seni?

Dalam percaturan telaah seni, “bentuk” sering disebut dalam perbandingannya dengan “isi”: “bentuk”-lah yang mewadahi “isi”. Kita memang dapat mengatakan, sebuah syair adalah sebuah “bentuk”, dan di dalamnya ada isi “petuah” atau “hikayat” atau “cerita jenaka.

Pemisahan yang tegas antara “bentuk” dan “isi” memang lazim dalam kesenian klasik dan tradisional. Demikian pula halnya dalam karya-karya yang dimaksudkan untuk menyampaikan isi – karya sastra yang didaktis, misalnya, atau seni rupa yang dimaksudkan untuk memberi informasi atau propaganda. Di sana, “bentuk” adalah semacam kemasan belaka – yang tak perlu dan tak niscaya bertaut senyawa dengan “isi” yang dibawakannya. Syair tentang kota Singapura yang dimakan api punya bentuk yang sama dengan syair yang berisi nasihat perkawinan.

Tapi hubungan antara “bentuk” dan “isi” tak selamanya berlaku demikian. Dalam mantra, umpamanya, bunyi dalam rima dan pengulangan beberapa patah kata, dan pilihan nama yang tak pernah jelas perannya sama sekali tak dapat dipisahkan dari daya magis yang terkandung di dalam tubuh mantra itu. Hal yang sama kita temukan dalam suluk yang ditembangkan dalang dalam wayang purwa: “isi” suluk itu adalah suasana yang terbangun dari gabungan antara kata, bunyi kata, dan lagunya. Kita dapat juga menyebut puisi modernis seperti sajak-sajak Chairil Anwar: sajak Doa, misalnya, mengandung bunyi yang praktis lahir dari suasana hati yang terasa dari dalam sajak. Dengarkanlah bunyi “u” dan “uh” dalam kalimat-kalimat ini, dan kita akan merasakan suasana murung dan lelah:

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu

Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh

Dalam sajak itu, seperti dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri yang memakai mantra sebagai model, “bentuk” bukanlah wadah atau kemasan makna; ia adalah makna tersendiri. Dengan kata lain, sebenarnya tak selamanya gampang memisahkan “bentuk” dari “isi”. Bahkan dapat dikatakan, dalam karya-karya yang berhasil, baik dalam sastra, seni rupa, seni musik ataupun seni pertunjukan, yang disebut “bentuk” acapkali tumbuh dari dalam proses kreatif, bukan sesuatu yang dipasang sebelum atau sesudah proses itu. Jika kita dengarkan Requiem karya Tony Prabowo, misalnya, dengan perkusi yang berdentam beruang-ulang di antara viola, kita akan bersua dengan sebuah sikap lain tentang kematian dan perkabungan dari tema yang sama dari Ligetti. “Bentuk” adalah bagian, atau buah, dari proses kreatif itu sendiri.

Itulah sebabnya, penilaian tentang bentuk sebagai sesuatu yang seolah-olah sudah siap di luar proses penciptaan pada akhirnya akan meleset. Namun salah sangka ini memang sudah lama bertahan. Bentuk dalam sebuah karya seni — umumnya diartikan sebagai sesuatu yang dapat dicerap oleh pancaindera atau ditangkap oleh intuisi – seringkali diharapkan menghadirkan sebuah ke-satu-an, suatu Gestalt, atau bahkan keselarasan. Tetapi pandangan seperti ini dapat digugat, terutama menghadapi karya-kaya dewasa ini.

Salah satu acara Art Summit di Jakarta baru-baru ini adalah pementasan kelompok Dorky Park, sebuah grup tari dari Berlin dengan sutradara asal Argentina, Constanza Macras. Di Taman Ismail Marzuki, Jakarta saya menonton bagian kedua dari nomor I’m not the Only One, yang pernah dipentaskan di Volkbühne di Berlin, Januari 2007. Yang saya saksikan adalah sebuah pementasan dengan gaya “pasca-Pina Bausch”: gerak mengelak dari struktur, apalagi struktur yang elegan; pentas seakan-akan diisi oleh bermacam coretan yang acak dan tak padu; tak nampak ada komposisi dalam ruang, dan sedikit sekali efek pencahayaan; ada suasana ceroboh dan tak serius, juga dalam peran video yang disorotkan ke layar. Pada satu saat, dalam semacam klimaks yang bukan klimaks, pentas kacau balau: hampir tiap pemain menirukan adegan slapstick dalam film Holywood yang klise (kue tart dijejalkan ke muka orang sampai belepotan), hingga permukaan panggung dihamburi cipratan. Saya merasakannya sebagai kehendak menegaskan diri dalam posisi “anti-anti klise”. Ada dialog, ada nyanyi, tapi tak berarti apa-apa, suara-suara itu seakan-akan tak saling menyahut. Tak ada pertumbuhan dari saat ke saat ke arah akhir. Lelucon dan ironi menyeruak, tapi tak berarah.

Dengan segera kita merasakan, inilah koreografi yang antikoreografi, bentuk yang antibentuk. Tak ada Gestalt, apalagi keselarasan. Tak ada pula ditampakkan keunggulan teknik, kepintaran mengatur panggung. Saya coba membandingkannya dengan pementasan Sudamala: di dalam karya Slamet Gundono, kita juga akan menemukan hal-hal yang tak koheren; misalnya agak di depan, ada seseorang yang membangun dinding dari bata dan campuran semen, persis seperti tukang batu yang ketinggalan, ketika cerita berlangsung. Tapi setidaknya Slamet Gundono, dengan sosok dan kehadirannya yang tak tertandingi, berhasil membentuk pusat. Panggung Dorky Park justru sepenuhnya menghancurkan pusat. Di sini, yang “khaotik” tak punya kutub lain yang berbeda dan melawannya, dan dengan demikian bisa membuat khaos itu tidak total, hingga terbit keretakan dan suspens dalam pementasan. Tapi agaknya I’m not the Only One juga menafikan bahkan suspens sekalipun. Ia bisa terasa datar.

Bukan maksud saya menilai karya Dorky Park itu di sini. Dalam pembicaraan kita malam ini, saya hanya ingin menunjukkan: sebuah pementasan yang menyatakan diri anti-bentuk seperti itu bukan saja menggugat pandangan ala Aristoteles yang mengunggulkan “kesatuan” atau koherensi. Dan jika koherensi sebuah karya seni memberinya satu nilai artistik yang lebih tinggi, yang dibawakan Dorky Park justru menolak untuk mendapatkan nilai itu. Tapi toh karya kelompok tari yang anti nilai artistik ini diakui sebagai sebuah karya seni yang sah. Dan jika I’m not the Only One sah, (kita tahu ia disertakan dalam Art Summit 2007), sejauh mana sebenarnya keindahan – yang hendak dicapai oleh suatu ikhtiar artistik — penting bagi sebuah karya seni?
***

Hampir semenjak tahun 1917, hubungan karya seni dan “keindahan” diguncang. Saya memakai tahun itu, sebab itulah tahun ketika Marchel Duchamp membuat sejarah dengan cara yang termashur itu: ke pameran seni rupa yang diselenggarakan The Society of Independent Artists di kota New York, ia menyerahkan sebuah “karya” untuk disertakan. Yang ia serahkan adalah sebuah urinal, sebuah torpis (sentoran pipis), model yang baku dan biasasaja. Ia tidak membuat torpis itu. Ia memperolehnya dengan membeli. Benda itu diletakkannya terbalik, dan di permukannnya ia tuliskan sederet huruf, “R. Mutt 1917”.

Apa yang dilakukan Duchamp, yang sebelumnya telah terlibat dengan gerakan Dadaisme, mungkin sebuah lelucon, mungkin sebuah caranya untuk mempersoalkan: apa sebenarnya sebuah karya seni? Mengapa harus ada identitas yang dipatok ketat dalam pengertian itu? Jika sebagai syarat mutlak karya seni adalah hadirnya unsur keindahan, apa gerangan yang dimaksud dengan “keindahan” itu?

Ada sebuah sajak Emily Dickinson yang mencoba menjawab itu:

The Definition of Beauty is
That Definition is none —

Pada akhirnya, definisi apapun – apalagi tentang keindahan – akan tak memadai. Salah satu kritik kepada usaha merumuskan “keindahan” ditembakkan ke arah sejarah selera manusia untuk yang indah dan tidak.

Kita memang dengan tanpa kesulitan melihat, bahwa ada yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai “modal kultural” yang menentukan sebuah selera. Buruh tani yang hidup tiap hari dengan jerih payah tak akan cukup punya waktu untuk membiasakan diri dengan kehalusan tari srimpi, yang berkembang di rumah-rumah bangsawan. Untuk menetapkan bahwa tari srimpi adalah ekspresi keindahan yang bisa dan layak diterima siapa saja adalah sebuah penjajahan selera.

Sebab itulah, sejak tahun 1976, saya menentang pengertian yang diperkenalkan Ki Hadjar Dewantoro untuk kebudayaan nasional sebagai himpunan “puncak-puncak kebudayaan daerah”. Sebab dalam pengertian “puncak”, ada peran yang mementukan dan memilih – dan umumnya, peran itu dipegang oleh mereka yang mempunyai “modal kultural” yang cukup. Penilaian tentang yang “puncak” dan tidak, yang “indah” dan “buruk”, bukanlah sesuatu yang universal.

Sejak tahun 1917, dunia kesenian mengakui pentingnya sebuah ironi: torpis yang hendak diikut-sertakan Duchamp untuk pameran seni rupa di New York itu, yang dalam jumlah yang amat banyak bisa ditemukan di kakus-kakus di dunia, akhirnya diterima sebagai karya seni, meskipun mula-mula ia ditolak. Di sini telah terjadi apa yang bisa disebut demokratisasi – ada yang menyebutnya sebagai “demokratisasi jenius” – karena kini hampir siapa saja dapat membuat atau memperkenalkan sebuah karya seni, ketika apa yang indah dan yang tidak merupakan keputusan masing-masing.

Dalam konteks seni pertunjukan di Indonesia, dengan akar Jawa, “demokratisasi” juga yang kiranya akan kita saksikan dalam Sudamala. Lakon ini tak menampilkan wayang sebagai sesuatu yang angker dan adiluhung, yang merupakan bagian dari pemegang aristokrasi selera. Slamet Gundono dengan sadar, dan saya kira juga dengan berhasil, membawakan apa yang pinggiran – yang dalam leksikon kebudayaan Jawa disebut sebagai “pasisiran” – ke sebuah proses kreatif yang memikat dan menyentuh hati. Janturan dan dialog tak disampaikan dalam bahasa Jawa yang dikenal di Kraton Yogyakarta dan Surakarta, melainkan di kalangan rakyat di pantura: bahasa Tegal yang selama ini dianggap “buruk” dan “kampungan”, yang dibawakan oleh Gundono sendiri, dan bahasa Indramayu, yang dibawakan oleh Wangi.

Yang menarik dari Sudamala ialah bahwa ia bisa terbebas dari kontradiksi yang kita temukan dalam paradigma Duchamp. Apapun niat Duchamp, hasil perbuatannya tak dapat disimpulkan hanya sebagai proses “demokratisasi.” Ada yang mengatakan, bahwa yang terjadi justru kembalinya sifat otoriter dalam seni, sebab sebuah benda akan langsung menjadi benda seni, bila seorang pelukis atau seniman terkenal memaklumkannya demikian, meskipun benda itu berupa sebatang cabang yang tertinggal kering di pantai. Dalam hal karya Slamet Gundono, saya bisa menduga, bahwa ia tak membutuhkan pengakuan dari nama dan institusi besar: suksesnya akan tercapai ketik ia bisa diteriima oleh siapa saja, dari kelas sosial mana saja – sesuatu yang tak mustahil, sebab dalam Sudamala kita menemukan banyak anasir keyakyatan yang muncul secara wajar.

Saya kira soalnya agak lain dengan kasus Dork Park. Kita memang tak tahu, sebenarnya, mungkinkah pementasan seperti yang disajikan oleh kelompok termashur dari Berlin ini akan dapat diterima dalam Art Summit, seandainya tak ada nama “Dorky Park” di sana. Kebanyakan karya yang mewarisi semangat Dadaisme umumnya membutuhkan wacana penunjang untuk bisa mendapatkan legitimasi.
Tapi seorang teman mengingatkan saya, bahwa posisi otoriter sang seniman dalam seni setelah Duchamp tidaklah sepenuhnya benar. Penonton karya Constanza Macras punya hak dan kekuatan yang taj kalah poenting ketimbang sang penggubah. Mereka toh dapat menampiknya dengan meninggalkan ruang teater, misalnya, seperti konon yang pernah terjadi di Paris. Bahkan karya itu sendiri, dengan corat-coret yang acak, dengan sebuah struktur yang tanpa pusat, tanpa fokus, memberi kesempatan seorang penonton untuk memilih, bagian mana yang hendak dinikmatinya.

Tapi dengan demikian, memang masih tergantung-gantung sebuah persoalan: bisakah kita mengandalkan sifat universal dari kesenian? Problem ini terutama terlontar ke depan kita di zaman ini, ketika kesenian sering dikaitkan dengan “ke-ber-arti-an”. Kesenian dianggap harus membawakan suatu makna (“arti”) yang dapat ditawarkan untuk mencapai dan membentuk konsensus. Kesenian juga dianggap harus punya guna, tujuan, atau peran (pendeknya “berarti”), bagian bagian instrumental dari sebuah mesin besar yang disebut “kemajuan.”

Untuk menjawab persoalaan itu, saya ingin menawarkan satu tafsir baru tentang universalitas dalam karya seni. Saya ingin kembali ke apa yang disebut oleh Badiou sebagai “kejadian” – ketika pengalaman estetik terjadi, dan kita mengalami pertemuan dengan sesuatu yang singular. Badiou telah menyebutnya juga sebagai “yang tak ternamai.” Dalam penafsiran saya, itu di dalamnya tersirat “yang tak terhingga” – yang jejaknya muncul dalam tiap karya seni, tapi hanya jejak yang sementara. Di sanalah kita mungkin berbicara tetang yang universal, yang terus menerus mengimbau tiap proses kreatif.

Saya menemukannya dalam Sudamala ketika lakon berakhir, ketika Manikmaya, yang juga Slamet Gundono, berseru memanggil-mangil nama seorang sahabat yang dikenalnya sebentar di jalan, tapi dengan dia terjalin pertemuan yang melintasi ruang dan waktu: “Monha…! Monha…!”. Yang dipanggil tak menyahut, tapi dalam keterbatasan Slamet Gundono, ia tak henti-hentinya menjangkau yang tak terbatas – yang universal itu.

Saya kira dengan itu, karya seni jadi berarti. Ia jadi bagian pembebasan dari kepungan yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan yang bermain di hari ini, kekuatan yang menyebabkan seseorang tak bisa terketuk hati oleh “yang-lain” di luar dirinya.

Terima kasih.
*) Orasi Goenawan Mohamad untuk Dies Natalis Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya, 25 Nopember 2007.

Dunia Puisi dan Iman

Mashuri*
http://mashurii.blogspot.com/

“Tapi aku tidak bisa menulis puisi kalau engkau menjamu tuhan dengan membunuh yang lain”

Afrizal Malna, dalam puisi Taman Bahasa

Puisi jelas berbeda dengan iman, tapi kadang juga bertemu dalam sebuah perjumpaan mesra. Tapi jangan andaikan pertemuan itu seperti sendok dan garpu di sebuah piring di meja makan, karena pertemuan itu kadang bisa berupa ngengat dan kertas, paku dan kayu, bahkan bisa serupa minyak dan air. Meski bisa pula bertemu seperti sepasang kekasih di ranjang pengantin. Tentu semua itu terkendali dalam ruang kemanusiaan. Tertemali oleh perspektif: kita ingin memanfaatkan puisi atau ingin membebaskannya dari pesan iman. Atau, kita ingin berpuisi dalam tudung iman. Kiranya, di situlah akar masalahnya ketika kita berhasrat memahami puisi-puisi modern yang berkumpar dan berpusat pada manusia.

Dalam konteks pemikiran modern, berpuisi adalah laku subyektif terhadap dunia, sebagaimana iman yang laku subyektif terhadap Tuhan. Keduanya adalah rentetan peluru yang berdesing dalam diri manusia yang sulit ditampik-musnahkan, karena keduanya mengandung jejak rekam dinamika kejiwaan yang menyusun psike manusia. Keduanya terselip dalam arketipe yang kadang jumbuh/saling tolak di dasar jiwa, yang kadang bisa berganti rupa begitu lewat ambang sadar dan kontrol diri.

Puisi Subversif Terhadap Iman?

Meski demikian, dalam sejarah manusia, pertemuan puisi dan iman adalah pertemuan yang indah. Kitab suci agama-agama besar begitu sastrawi dan puitis. Kisah-kisah yang teruntai dalam narasi pun termetrum dalam puisi. Bhagavad Gita, Al Kitab dan Alquran adalah contoh-contoh bagaimana Tuhan mengomunikasikan sabda lewat bahasa-bahasa puitis. Tuhan yang Jamal (Sang Maha Indah) itu telah merepresentasikan kalamnya dengan indah pula. Fakta tekstual atau meta tekstual ini kadang memang bisa menepis anggapan bahwa puisi itu bersifat subversif terhadap iman. Dalam Islam, hubungan iman dan puisi bergrafik naik-turun.

Watak subversif puisi terhadap iman-tauhid Islam itu bisa terdeteksi pada awal kemunculan Islam di Jazirah Arab. Pada masa-masa itu, perkembangan puisi pra Islam di Arab memang sudah taraf yang luar biasa. Penyair disebut-sebut sebagai Nabi tanpa wahyu yang bisa menjadi penghubung ‘langit’ dan alam raya. Festival puisi pra Islam di sekitar Ka’bah tahunan adalah bukti betapa maraknya puisi di jaman itu. Kemunculan Alquran yang puitis pun dianggap mengancam keberadaan mereka dan sampai kini pun disebut sebagai kitab syair terbesar. Kehadiran Alquran pun ‘mengancam’ eksistensi para penyair itu.

Bahkan dalam surat Asy-Syuara, Alquran dengan lantang menabuh genderang perang terhadap para penyair. Terdapat peringatan yang sangat tegas bagi para penyair yang menyimpang dari jalan Tuhan. Dengan sebuah ancaman yang tidak main-main, bahwa penyair itu bakal mendapatkan siksa.

Bagi kalangan formalis yang memegang syariat Islam secara doktriner, pehamanan pada beberapa data dan ayat yang mengacu pada kebebasan kreasi itu pun ditafsirkan secara harfiah. Artinya, tafsir yang berlaku adalah tafsir tunggal tanpa berusaha meruyak kembali adanya wacana dan konteks jaman yang berlaku. Mereka menganggap bahwa apa yang sudah di-nash (meski kadarnya mutasyabbihat) dan tidak bisa diganggu gugat, sebagai dalil yang sudah terabsahkan. Hanya saja, kesadaran itu terlalu normatif, padahal pada batas-batas tertentu wilayah sastra tidak melulu berwatak normatif. Kadangkala sastra juga berwatak subversif ketika menghadapi kemapanan yang membusuk. Ia juga memberi nilai lebih pada sisi manusia. Dengan kata lain, sastra sebagaimana pemikiran dan tafsir lain yang bersumber pada agama adalah hasil dari pemikiran dan olah pikir manusia.

Hanya saja, ketika hal itu ditarik pada tafsir kekinian dengan mengaitkannya pada konteks jaman, maka tidak bisa dipungkiri bahwa harus ada beberapa tahapan dalam penafsiran. Apalagi, dalam perkembangannya sastra juga menempati posisi sentral daalam hubungannya dengan iman (Islam). Apalagi jika menengok sejarah sastra sufi di negara-negara Islam, terutama Persia. Maka perlu ada pembacaan ulang terhadap konstruksi sastra-iman dalam konteks kekinian agar sastra tidak terjebak khotbah dan menghilangkan manusia dari sastra.

Pertemuan Puisi dan Iman

Dalam khasanah sastra dunia, genre sastra sufi adalah sebuah genre yang mengakar kuat dalam studi kesastraan Timur, baik yang dilakukan oleh para orientalis, maupun orang Timur sendiri. Di dalamnya, juga termaktub pernyataan munajat, atau ‘ungkapan’ ektase kepada Sang Khalik. Dalam masa-masa inilah pertemuan antara sastra dan iman terjadi dengan karib dan mesra.

Seorang sufi biasa mendendangkan ungkapan-ungkapan/ekspresi ke-Tuhanannya dalam bentuk syair. Maulana Jalaludin Rumi, Faridudin Atthar dan lainnya, adalah sebagian contoh untuk itu. Hanya saja, dalam hal ini, posisi mereka tidak bisa langsung vis a vis dengan penyair umumnya. Pasalnya, ungkapan ektase atau fana’ itu bukan ditujukan untuk bersyair, meski kapasitasnya adalah syair, karena mereka mengungkapkannya sebagai kerinduan seorang makhluk pada Sang Khalik dan menganggap syair sebagai dzikr. Selain itu, jika untaian ungkapan itu diungkap lewat syair, karena dengan kebertataan bahasa yang indah bisa menyentuh dan luruh ke sukma. Bukankah Alquran juga mengandung nilai sastra dan syair yang tinggi? Sejarah telah mencatat, para sufi telah melahirkan begitu banyak puisi. Tentu ini berbeda dengan penyair yang nyufi.

Dalam dunia sufi juga dikenal dengan karya berbentuk syair, baik itu matsnawi, rubaiyat, baik dalam bentuk ghazal atau diwan. Namun, harus dipahamu, bahwa syair tersebut sebagai sebuah dzikir. Menurut Muhammad Isa Waley, penggunaan syair untuk menyokong zikir didokumentasikan cukup baik, tentu dalam konteks sama’ (mendengar suara ilahi secara bersama). Contoh yang paling dikenal adalah karya Jalaludin Rumi (1207-1273) yakni Diwan Syamsi Tabriz. Syair disusun secara berirama dalam beberapa naskah, ‘tentu saja untuk memudahkan dan mensistematisasikan untuk digunakan dalam sama’.” Bahkan, penggunaan syair tunggal sebagai metode dzikr dengan mengasingkan diri sangat tidak lazim, juga sempat terekam dalam jejak sufi kembara, seperti kasus wali besar khurasan Abu Said bin Abi Khoir (w. 1049).

Syairnya yang terkenal adalah:
‘Tanpa-Mu, wahai kekasih, aku tak dapat tenang;
Kebaikanmu terhadapku tiada terhingga banyaknya
Sekalipun setiap rambut dalam tubuhku menjadi lidah,
Ribuan syukur ke atas-Mu tidaklah akan mampu menyebutkannya’
Abu Said senantiasa mengulang syair itu. Dan ia berkata: “Atas keberkahan yang terkandung dalam syair tersebut, jalan menuju Tuhan terbuka lebar pada masa kanak-kanakku”.

Terkait dengan masalah doa dalam bentuk puisi dalam dunia sufi, Anemarie Schimmel menegaskan, gagasan bahwa doa adalah karunia Tuhan dapat dipahami dengan tiga cara yang berbeda, sesuai dengan konsep tauhid yang dianut dan dilaksanakan oleh sang sufi: a. Tuhan Sang Pencipta telah menakdirkan setiap kata doa; b. Tuhan yang bersemayam di hati manusia, menyapa dia dan mendorong supaya dia supaya menjawab; atau c. Tuhan Sang Wujud Tunggal adaah tujuan doa dan kenangan dan juga subyek yang mendoa dan mengenang. Perasaan bahwa memang doa itu diilhami oleh Tuhan, agaknya amat berkesan di antara generasi-generasi sufi yang pertama. Sangat dimungkinkan bila dalam hageografi sufi, terdapat kisah-kisah yang memuat bagaimana doa khusus itu langsung diajarkan oleh malaikat kepada seorang sufi/wali bersangkutan.

Bertumpu pada Spirit

Terkait dengan hubungan sastra dan iman (Islam), yang menarik adalah apa yang diungkapkan Sayyed Hossein Nasr, seorang pemikir Iran terkemuka. Secara implisit, ia menegaskan, seni Islam merupakan seni yang tumbuh dan berkembang di beberapa kawasan Islam, yang menggambarkan bagaimana kedalaman dan ketinggian spiritual Islam. Ada unsur yang melekat di dalamnya yaitu unsur spiritualitas. Seni ini jumbuh dan membaur dalam rangka sublimitas dari sebuah kerangka pendalaman dan penghayatan beragama. Sang Khalik sendiri sudah me-nash diri sebagai Al Jamal (Yang Maha Indah), sehingga dalam menyapanya juga seyogyanya dengan bahasa yang indah.

Tentu keindahan yang dimaksudkan adalah keindahan yang berdarah-daging sebagaimana manusia sebagai makhluk historis. Agar ketakutan yang diungkap oleh Afrizal Malna dalam tulisan ini tidak terejawantahkan dalam hidup kita kini, ketika tafsir Tuhan itu demikian parsial dan bermuara pada tafsir tunggal.
Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq!

*) Tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post.

Budaya Antikritik: Memadamkan Cahaya Pengetahuan

(Tanggapan terhadap Tulisan Orang-Orang yang Berbudaya Antikritik)

Mahmud Jauhari Ali
www.radarbanjarmasin.com/
http://www.mahmud-bahasasastra.co.cc/

”salam kenal
saya selalu membaca tulisan-tulusan Anda saya salut dengan tulisan Anda, tetapi akhir-akhir ini saya kecewa dengan tulisan Anda yang seakan-akan selalu memojokkan pusat bahasa,dan balai bahasa,apalagi pada tulisan Anda pada hari minggu tanggal 8 Febuari seakan Anda sok pintar dan sok mengurui. Padahal sepengetahuan Saya Anda dulu pada tulisan-tulisan Anda selalu mengaku sebagai peneliti pusat bahasa, tetapi kenapa akhir-akhir ini Anda selalu memojokan pusat bahasa, Apakah Anda orang yang frustasi atau tidak punya kerjaan, sehingga kerjaanya hanya menjelekkan orang saja dan sok pintar. Cepatlah bercermin siapa diri Anda.”

Tulisan di atas adalah isi dari salah satu pos-el yang ditujukan kepada saya pada tanggal 11 Februari 2009. Ya, tanggal sebelas. Tanggal yang mengingatkan saya dengan runtuhnya gedung kembar di Amerika Serikat. Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud berkeluh kesah karena tulisan di atas. Akan tetapi, tulisan tersebut membuktikan kepada kita semua bahwa di alam Kalimantan Selatan masih kental dengan budaya antikritik. Budaya yang membelenggu akal manusia dalam berpikir. Budaya itu pulalah yang saya bahas dalam tulisan ini. Sebelumnya, seorang sastrawan muda Kalimantan Selatan—Harie Insani Putra—juga pernah menerima tulisan semacam itu di lamannya. Sastrawan muda itu menerimanya setelah ia menulis sebuah kritik membangun dalam lamannya berjudul Ensiklopedia Sastra Kalsel Versi Balai Bahasa Banjarmasin.

Ah, sungguh terkebelakangnya orang-orang ini dalam memandang sebuah kritik yang membangun. Padahal, selama sesuatu itu dibuat oleh manusia seperti buku Ensiklopedia Sastra Kalsel dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tentulah masih perlu direvisi. Sebenarnya kritik terhadap karya Pusat Bahasa bukan saya saja yang melakukannya. Salah satu contoh, bacalah buku besrjudul Bahasa Menunjukkan Bangsa karangan Alif Danya Munsyi yang isinya mengkritik hasil karya Pusat Bahasa, salah satunya KBBI. Ingatlah bahwa Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Banjarmasin bukanlah Tuhan yang selalu benar. Kita sama, memiliki kelemahan dan harus saling meluruskan. Jadi, tepatlah penyataan, ”Tak ada gading yang tak retak” Saya berkata yang sebenarnya dan bukan kata-kata bohong atau mengada-ada.

Untuk kepentingan tersebut di atas, mau tidak mau, kritik sangat diperlukan. Kritik tidak lain adalah tindakan meluruskan sesuatu yang salah. Lebih ringannya, kritik diartikan ’mengingatkan’ agar selamat. Jika kesalahan dibiarkan terus menerus tanpa kritik, dunia akan menjadi kacau balau dan binasa. Jadi, kata memojokkan yang dielu-elukan oleh pengirim pesan tersebut sangat tidak tepat. Bahkan, sebenarnya orang-orang yang menuliskan pesan-pesan tak bertanggung jawab ini telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan orang lain, yakni saya dan Harie I.P. Mereka juga telah melakukan kejahatan elektronik di internet yang seharusnya kita hindari sejauh-jauhnya.

Penulis pesan itu mengaku bernama Nur Janah Janah (nama yang tak lazim) dengan alamat pos-el di janahnurjanah39@yahoo.co.id. Entahlah, apakah itu nama aslinya atau bukan? Namun yang jelas, ia adalah orang yang fanatik kepada instansi yang dibelanya. Ia juga tidak berani mengirimkan tulisan itu di laman saya karena takut saya ketahui alamat IP Address-nya. Kemungkinan ia memanfaatkan IP Address kantor. Ternyata ia tidak tahu jika dari pos-el pun dapat diketahui IP Address yang digunakan seseorang (baca: pengirim). Setelah dicari kebenarannya, IP Adress yang digunakannya adalah 118.98.219.109. IP Address tersebut adalah IP Address Balai Bahasa Banjarmasin. Masya Allah! Inikah wajah Balai Bahasa Banjarmasin yang sesungguhnya? Lalu, Siapakah dia?

Siapa dia, tidak penting bagi kita. Hal yang menurut saya penting adalah sikapnya menanggapi kritikan. Yakni sikap yang menginginkan kritik ditiadakan. Ah, sangat lucu. Kritik sebenarnya merupakan sebuah pemikiran yang lahir dari akal yang sehat. Isi kritik tidak lain adalah sebuah pengetahuan yang lebih rasional dan cerdas. Jika kritik ditiadakan, itu artinya memadamkan cahaya pengetahuan yang lebih rasional dan cerdas dengan budaya antikritik. Dengan kata lain, Nur Janah Janah menginginkan kesalahan terus-menerus ada di masyarakat. Jika demikian halnya, kesalahan akan merajalela di Kalimantan Selatan. Wahai saudariku, sadarlah dan segerlah insyaf sebelum pintu tobat ditutup-Nya.

Jujur, dulu saya memang kerap menulis di media massa dengan mencantumkan embel-embel, yakni Peneliti pada Pusat Bahasa di bawah nama saya. Hal itu wajar karena pekerjaan saya adalah meneliti bahasa di bawah Pusat Bahasa. Isi tulisan saya dulu juga seputar bahasa dan sastra, seperti tulisan saya akhir-akhir ini yang dimuat di Radar Banjarmasin. Lalu apa yang berubah dengan isinya? Jawabnnya tidak ada. Mengapa demikian? Karena, dari dulu hingga sekarang, saya masih ikut berusaha memajukan bahasa dan sastra di Kalimantan Selatan lewat media massa. Jika menurut Nur Janah Janah tulisan saya tentang ”Honorarium Sastrawan”, ”Ensiklopedia Sastra Kalsel”, ”Gerakan Cinta Bahasa Indonesia”, dan juga tentang ”makna lema sastrawan dalam KBBI” merupakan tindakan memojokkan Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Banjarmasin, itu salah besar. Mengapa? Karena dalam kritikan saya tersebut, saya berusaha untuk meluruskan kesalahan yang ada, misalnya saja kesalahan penggunaan bahasa Indonesia dalam buku Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan. Ngomong-ngomong, bagaimana ya kabarya buku Ensiklopedia Sastra Kalsel itu saat ini? Apakah sudah diobati, atau entahlah? Saran saya, segeralah diobati sebelum bukunya wafat. Sebenarnya, juga tidak perlu adanya ESKS tandingan yang pernah diusulkan Tajuddin Noor Ganie dalam kotak pesan di laman Sandi Firli. Cukuplah satu, tapi benar. Bukankah yang berlebih-lebihan itu tidak baik? Setuju?

Mengenai makna-makna lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan hal-hal yang dihasilkan oleh siapa pun, kita sebaiknya tidak mengikuti begitu saja. Hal ini karena kita memiliki potensi untuk menyeleksi mana yang benar dan mana yang salah. Sebagai ilustrasi, seseorang membeli kue dan memakannya tanpa memperhatikan baik buruknya kue tersebut. Akhirnya, orang tersebut meninggal dunia karena kue tersebut (ini kisah nyata). Begitu pula dengan produk bahasa dan sastra. Jika kita langsung mengikuti pengetahuan bahasa dan sastra tanpa memperhatikan benar dan salahnya, kita juga harus siap-siap menelan kesalahan berbahasa dan bersastra. Contohnya, jika kita turuti saja pengetahuan berupa jumlah sastrawan Kalsel seperti yang ada dalam buku Ensiklopedia Sastra Kalsel, kita tentu akan salah dalam pengetahuan mengenai jumlah sastrawan di provinsi ini.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah perbuatan saya dalam usaha memanjukan bahasa dan sastra di Kalimantan Selatan termasuk tindakan sok pintar dan menjelekkan Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Banjarmasin? Silakan Anda jawab dengan hati nurani yang objektif memandang suatu perkara. Saya katakan dengan objektif karena Nur Janah Janah tidak secara objektif memandang perkara yang dilemparkannya itu. Jika ia objektif, ia akan membela pihak yang benar dan bukannya membenar-benarkan pihak yang salah. Fanatik seharusnya kita hindari karena fanatik akan melahirkan hal yang tidak sebenarnya. Hal yang sebenarnya adalah bahwa ada kesalahan sehingga ada kritik. Tetapi, disangkal Nur Janah Janah bahwa tidak ada yang salah dan tukang kritik kerjanya hanya memojokkan, menjelek-jelekkan, sok pintar, dan sok menggurui. Kalau seperti ini keadaannya, apa kata dunia?

Di akhir tulisannya, Nur Janah Janah menyuruh saya untuk bercermin siapa diri saya. Kata-katanya itu mengandung maksud bahwa dirinya lebih pintar, lebih jago, lebih segalanya daripada saya. Saya sudah mencermini diri saya sejak dulu. Saya hanyalah makhluk yang memiliki segudang kesalahan. Karena itulah saya tidak ingin orang lain melakukan kesalahan-kesalahan sehingga seperti saya. Bagaimana caranya, yakni dengan kritik yang membangun. Dengan kata lain, saya berusaha meluruskan kesalahan dengan jalur tulisan. Lalu apakah dengan itu saya sok pintar? Kalau demikian halnya, lalu apakah rasulullah yang meluruskan kesalahan kaum Jahiliah juga sok pintar? Meluruskan hal salah bukan perbuatan sok pintar, melainkan kewajiban setiap manusia terhadap sesamanya. Perhatikan ilustrasi ini. Seseorang melihat temannya tidak salat. Lalu seseorang itu cuek saja. Ia tidak peduli dengan temanya itu. Kemudian datang seorang ustad menyeru temannya itu agar mengerjakan salat dan akhirnya ustad itu berhasil sehingga temannya itu salat. Pertanyaannya, apakah ustad itu sok pintar? Tentu jawabnnya adalah tidak sok pintar. Lalu apakah seseorang yang cuek dengan temannya itu benar? Tentulah ia salah karena tidak mengkritik hal yang salah. Seseoarang itu membiarkan temannya terjerumus ke jurang hitam.

Dari paparan tersebut, jika kita, termasuk saya tidak mengkritik Ensiklopedia Sastra Kalsel misalnya, tentulah kita telah membiarkan orang-orang terjerumus dalam kesalahan. Mengenai menggurui, sebenarnya meluruskan kesalahan orang lain bukanlah menggurui. Jadi, sebaiknya jangan berprasangka buruk dulu kepada orang lain dengan mengatakai orang lain menggurui. Ingatlah, hakikatnya hidup kita saat ini adalah kita sedang berjalan di jalan setapak yang belubang-lubang. Jika kita tidak behati-hati dan tidak saling meluruskan, kita akan terjerembab dalam lubang-lubang itu. Karena itulah, kita harus berhati-hati dengan berpegang pada pedoman dari Tuhan plus sunah rasul dan harus saling meluruskan dalam segala hal untuk menggapai ridha-Nya.

Akhirnya, saya mencoba memahami keadaan alam kita saat ini. Indonesia, mengapa tidak semaju bangsa lainnya? Ya, salah satunya adalah masih adanya budaya antikritik di negara kita tercinta ini. Pada intinya, budaya antikritik hanya akan memadamkan cahaya pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Karena itulah, jangan memandang seseorang termasuk kritikus dengan tatapan yang sinis. Tataplah dengan pandangan yang baik dalam kehangatan persaudaraan. Terbukalah untuk menerima teman dari luar lingkup kita. Teman tentu bukanlah lawan yang harus dimusuhi, melainkan kita rangkul untuk melangkah bersama menuju kemajuan. Bagaimana menurut Anda?

Sastrawan Sunda dan Perempuan

Atep Kurnia
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

Bagaimana perempuan digambarkan atau direpresentasikan oleh sastrawan Sunda? Novel Sunda sebelum Perang Dunia II, umumnya menggambarkan tokoh-tokoh perempuan yang malang.

Novel Sunda pertama yang memulainya. Ya, Baruang ka nu Ngarora (1914) karya D.K. Ardiwinata menampilkan Rapiah. Ia digambarkan sebagai perempuan tidak teguh pendirian. Ia berupaya mengikatkan dirinya pada laki-laki berstatus menak, Aom Kusman. Yang ekstrem, bahkan ia rela diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya yang bergelar raden itu.

Wawacan Rusiah nu Geulis (1921) karya R. Candapraja pun demikian. Tokoh Raden Ayu Lasmana, akhirnya, digambarkan bunuh diri karena tidak kuat berumah tangga dengan saudagar Arab, Sayid Abu Bakar bin Ma`ruf, yang tidak membolehkannya keluar rumah.

Novel karya Yuhana pun menggambarkan perempuan. Pertama, Eulis Acih (1925): Eulis Acih jatuh cinta kepada Arsad. Mereka melarikan diri, tetapi setelah harta bawaan Eulis Acih habis, ia diusir oleh Arsad. Eulis Acih kemudian melahirkan seorang anak, Sukria.

Kedua, Mugiri (1928): Neng Rahmah melarikan diri dengan Gan Adung. Mereka tidak direstui sebab menurut orang tua Neng Rahmah, Gan Adung laki-laki hidung belang dan suka memeras perempuan yang mencintainya. Neng Rahmah hamil. Ketika kandungannya membesar, ia diusir Gan Adung, dengan menuduhnya serong dengan laki-laki lain.

Ketiga, Kalepatan Putra Dosana Ibu-Rama (1928): Hadijah dinikahkan kepada Haji Saleh, dengan cara ditipu oleh orang tuanya. Padahal ia telah berpacaran dengan Mahmud. Setelah Hadijah menikah, Mahmud suka bermain perempuan dan berjudi. Bahkan karena itu, ia menculik Hadijah. Mereka kumpul kebo. Ketika sudah bosan, Mahmud mengusir Hadijah. Hadijah terpaksa kembali ke rumah orang tuanya.
**

BAHKAN, di era itu ada beberapa novel Sunda yang menggambarkan keterpaksaan perempuan menjadi nyai-nyai. Dalam Siti Rayati (1923) karya Moh. Sanusi, Patimah, tukang petik teh di perkebunan Ragasirna, diperkosa oleh si galak Tuan Steenhart. Patimah pun hamil. Namun ketika ia minta dijadikan nyai-nyai, Steenhart malah mengusirnya dan menendangnya.

S.H. Kartapradja juga menyajikan cerita nyai-nyai. Dalam Carita Nyi Suhaesih (1928): Nyi Suhaesih sering bertengkar dengan suaminya yang berhenti bekerja karena ada perampingan. Ia pun terbujuk oleh orang yang hendak menjadikannya nyai-nyai Belanda di Bandung.

Sementara itu, Nyi Aminah dalam Carios Istri Sajati (1929) karya Moehamad Moekhtar, hampir saja jadi nyai-nyai. Setelah disia-siakan oleh suami keduanya, ia hampir terbujuk oleh orang yang akan menjualnya kepada seorang tuan.

Akan tetapi, ada satu novel dari era ini, yang berbeda dengan novel-novel di atas. Itulah Lain Eta (1932), buah tangan Moh. Ambri. Novel ini mulai memperlihatkan perlawanan perempuan atas otoritas kaum laki-laki, meski dikarang laki-laki dan juga pada akhirnya ada bias gender di sana. Neng Eha, tokoh perempuan dalam novel tersebut, semula menuruti kehendak ayahnya untuk menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya. Tetapi sesudah menikah, ia tidak menjalani perannya sebagai istri yang baik, sesuai dengan adat. Ia bahkan meninggalkan suaminya.

Selepas Indonesia merdeka, nasib perempuan di tangan sastrawan Sunda pun tampak tidak beranjak. Dalam Sripanggung (1963), Caraka menggambarkan Empat yang kabur dari perkebunan karena hendak diperkosa oleh pegawai berbangsa Belanda. Kemudian ia ikut sandiwara keliling, sebagai sripanggung.

Yus Rusamsi menulis Randa Bengsrat (1965) dan Dedeh (1966). Dalam Randa Bengsrat, Esih memilih bercerai dengan suami pilihannya, Udi, karena terpengaruh pemikiran saudara sepupunya, Ikah. Ia terpengaruh ide kemandirian perempuan. Meski pada akhirnya, ia pun jatuh cinta dan hamil di luar nikah oleh kekasihnya, Alex Kohar. Yang agak lain adalah Pipisahan (1977), karya Rahmatullah Ading Affandie (RAF). Tokoh Emin diceraikan atas permintaan ayah suaminya. Emin tak menolaknya. Setelah menjanda, ia berjuang menghidupi anak-anaknya dengan usaha menjahit pakaian. Pikirannya tertuju pada membesarkan anak-anaknya.

Dalam roman Ngabuang Maneh (1979), Ki Umbara di antaranya menceritakan Gilang (seorang gadis perawat asal Kuningan). Karena kakaknya berbuat tidak senonoh terhadap seorang gadis, Gilang pun merasa malu dan memilih membuang diri ke tanah seberang.

Selain itu, ada Asmaramurka jeung Bedog Si Rajapati (1987) karya Ahmad Bakri. Dalam novel tersebut, Nonoh yang dinikahkan dengan pria pilihan orang tuanya, berselingkuh dengan laki-laki lain. Dan di akhir kisah digambarkan, Nonoh harus menanggung malu karena hamil, masuk bui karena terlibat pembunuhan, dan akhirnya gila.

Akan tetapi, bagaimana perempuan ditampilkan oleh sastrawan Sunda kini? Bila membaca tulisan Teddi AN Muhtadin, “Tubuh, Erotisme, dan `Kompleks Cinta Romantis`: Penggambaran Seksualitas Perempuan dalam Lima Novel Sunda karya Pengarang Pria” (dalam Seks, Teks, Konteks, 2004: 152-179), tampak tidak juga beranjak nasib perempuan tersebut.

Dalam tulisan tersebut, dari lima novel yang dibahas, Teddi menampilkan dua novel kontemporer yang dikarang sastrawan Sunda: Galuring Gending (2001) karya Tatang Sumarsono dan Panganten (2004) karya Deden Abdul Aziz.

Galuring Gending bercerita tentang percintaan antara Sarah dan Panji. Sarah adalah penari dan Panji mahasiswa-aktivis. Suatu kali Sarah “diperkosa” oleh Um Sar, ketika mengadakan pertunjukan di luar negeri. Sejak saat itu ia jadi simpanan beberapa laki-laki. Kemudian sejak kejadian di salah satu diskotek dan ditolong oleh Panji, Sarah pun jadi kekasih Panji.

Teddi mencatat dua ketimpangan hal setelah membaca buku ini. Pertama, ia menilai bahwa fokalisator ekstern melihat Sarah hanya pada tubuhnya. Sedangkan pencerita intern dan fokalisator intern Sarah terhadap Panji adalah kepintaran, keperayuan, dan kejujurannya.

Kedua, Teddi mencatat bahwa sebenarnya dari sisi Sarah, Galuring Gending menampilkan masalah keperawanan beserta konsekuensi-konsekuensinya, terutama ketika rusak sebelum waktunya (hal. 172-173).

Sementara itu, Panganten menampilkan Rinrin yang selalu dibayangi kematian teman curhatnya, Gumilang. Bahkan, Rinrin limbung. Hingga akhirnya ia mengakhiri hidupnya.

Lagi-lagi penderitaan perempuan. Dari pembacaan Teddi, “seksualitas Rinrin (perempuan),” ia nilai, “sangat ditentukan oleh orientasinya kepada Gumilang (laki-laki). Betapa berkuasanya laki-laki. Ia masih bisa mengontrol diri Rinrin bahkan ketika ia tidak hadir (misalnya karena sudah meninggal).” Dengan demikian, dari sisi gender, “Panganten tidak memberikan jalan keluar atas dominasi laki-laki, selain malah mengukuhkannya.” (hal. 174-175).

Apa yang kita dapat dari beberapa bacaan di atas? Tidakkah dari dulu hingga kini, perempuan menderita di tangan sastrawan Sunda?***

*) Penulis lepas, tinggal di Bandung.

Wanita dalam Panggung Sastra Indonesia

Atih Ardiansyah*
http://www.pikiran-rakyat.com/

Dalam “belenggu” tradisi Jawa, Kartini dipingit. Namun, ia tidak kehabisan akal dengan hal itu. Ia lalu sering menulis surat dalam bahasa Belanda lalu mengirimkannya kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Keluarga Abendanon menjadi salah satu sahabat penanya. Kartini menuliskan pandangan-pandangannya mengenai dunia wanita dan pentingnya berbuat sesuatu untuk memajukan kaumnya. Ia pun terkenal dengan motonya “Aku mau…” (Annida edisi No.8/XVI/ 15 April-15 Mei2007, hlm.16)

APA yang dilakukan Kartini sampai sekarang masih diingat bangsa kita. Apa yang membuat kiprah Kartini masih membekas sampai sekarang? Apa pula yang kemudian menyebabkan berdirinya sekolah Kartini? Jawabannya adalah, karena Kartini menuliskan pemikiran-pemikirannya, walau melalui surat-surat, bahwa betapa penting peranan kaum wanita. Bayangkan jika saat itu Kartini hanya mengatakan unek-uneknya. Mungkin akan lain ceritanya.

Walau tidak dikenal sebagai sastrawan, bolehlah dikatakan bahwa senjata Kartini-sebagai wanita-adalah tulisan (sebuah representasi yang dekat sastra). Melalui tulisanlah (surat-surat), jejak-jejak keinginan, ide, tertuang dan terlacak untuk kemudian direalisasikan. Wanita, selama ini memang masih diidentikkan sebagai back up bagi kaum laki-laki. Istilah dapur, sumur, dan tempat tidur, masih melekat dalam diri wanita. Tak terkecuali dalam sejarah kesusastraan kita. Selama ini kita lebih akrab dengan sastrawan-sastrawan lelaki, ketimbang sastrawan perempuan. Sehingga, Maman S. Mahayana sampai berkesan bahwa ada masalah dalam sastra Indonesia, yaitu penilaian bukan jatuh kepada kualitas karya sastra. Akan tetapi jatuh kepada persoalan gender (makalah seminar Maman S. Mahayana “Perempuan dan Agama dalam Sastra: Pengalaman Indonesia dan Kanada”).

Padahal, jika mencermati media massa yang terbit pada awal abad ke-20 (1906-1928), tidak dapat dinafikan bahwa sesungguhnya pada masa itu telah berlahiran para penulis wanita. Dalam dua dasawarsa (1908-1928) tercatat sedikitnya ada 15 majalah wanita yang terbit di berbagai kota di Indonesia. Pada masa kolonial, kehadiran Balai Pustaka tidak bisa dihilangkan sebagai lokomotif kesusastraan Indonesia. Dan di antara penulis Balai Pustaka pun terdapat penulis wanita yaitu Paulus Supit, Selasih (=Sariamin =Seleguri), dan Hamidah (=Fatimah Hasan Delais).

Selepas merdeka, jumlah pengarang wanita mulai bertambah, beberapa di antaranya adalah Arti Purbani (istri Husein Djajadiningrat) dengan novelnya Widiyawati (1949). Pengarang-pengarang wanita lainnya, di antaranya Luwarsih Pringgoadisuryo, Titis Basino, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Haryati Subadio (Aryanti), Marianne Katoppo, Oka Rusmini, dan N.H. Dini. Malah, N. H. menempati posisi paling istimewa, terutama dengan novelnya Pada Sebuah Kapal (1973).

Dilanjutkan setelah itu oleh Ayu Utami lewat Saman (1998), dan Larung (2001). Diikuti oleh gebrakan Dewi Lestari dengan Supernova (2001), Akar (2002), dan Fira Basuki dengan Jendela-jendela (2001) yang merupakan bagian pertama dari trilogi Pintu (2002) dan Atap (2002).

Terbaru dan paling gress, komunitas penulisan terbesar di Indonesia-Forum Lingkar Pena-juga diprakarsai oleh wanita yaitu Helvi Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Muthmainnah. Helvi bahkan dikenal sebagai lokomotif penulis muda Indonesia (Republika), Asma Nadia telah menulis lebih dari 25 buku, dan Muthmainnah yang tulisannya banyak ditunggu oleh anak muda.

Sekali lagi, tidak dapat disangkal memang peranan wanita dalam perkembangan sastra di negeri ini. Memang benarlah apa yang disabdakan Nabi Muhammad, “Wanita itu tiang negara. Jika baik wanita, maka baik pula negara. Akan tetapi jika buruk wanita, maka buruk pula suatu negara.”

Semoga, sastra wanita Indonesia bisa makin eksis. Eksis, bukan untuk menyaingi karya sastra (atau sastrawan) kaum laki-laki. Tetapi untuk melengkapi dan makin memperkaya kesusastraan Indonesia. Sehingga, apa yang dikesankan oleh Maman S. Mahayana bahwa penilaian karya sastra Indonesia bukan pada kualitas namun lebih pada masalah gender, hanyalah sebuah kekhawatiran semata. Dan jejak-jejak Kartini dahulu, bekasnya tidak terkikis oleh laju zaman.

*) Mahasiswa Fikom Unpad, penulis buku dan skenario)***

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati