Sabtu, 28 Februari 2009

Puisi-Puisi Goenawan Mohamad

http://www.korantempo.com/
HOLOGRAM

Dari berkas cahaya
yang mungkin tak ada,
kulihat kau:
sebuah hologram,

srimpi tak berjejak,
dari laser yang lelah
dan lantai
separuh ilusi.

Di lorong itu dinding-dinding
kuning gading,
kebun basah hijau,
dan kautaburkan biru

dari kainmu. Bangsal kraton memelukmu.
Waktu itu sore jadi sedikit dingin
karena tak putih lagi
matahari.

Aku tahu kau tak akan
menatapku. Mimpi tiga dimensi
akan cepat hilang,
juga sebaris kalimat yang kulihat

di almari yang gelap:
"Aku tari terakhir yang diberikan,
aku déjà vu
sebelum malam dari Selatan."

Aku tahu kau tak akan
menyentuhku.
Seperti pakis purba di taman itu
kau tawarkan teduh,

juga sedih. Tapi aku merasa
kaupegang tanganku,
seperti dalam kehidupan kita dahulu,
sebelum kau ingatkan

bahwa aku juga
mungkin pergi.
"Bukankah itu yang selamanya terjadi.
Aku seperti waktu, karunia itu."

2009



DI MEJA ITU

Jangan-jangan hijau teh
telah meyakinkan aku: aku melihatmu
di sebuah adegan remeh
di kafe kosong itu.

Rambutmu hitam terlepas,
dan karet gelang itu kaupasangkan
untuk kacamataku.
Dan aku pun baca huruf itu,

"Lihat, hari bisa juga jadi.
di kota yang mustahil ini."
Mungkin aku telah lama menunggumu
dan tak percaya diri. Karena

pada tiap jeda hujan,
ketika kamar dan kakilangit segaris,
yang mencinta bersembunyi
dan Maut seperti Saat: tak pernah ingin kembali.

2009



SEBENARNYA

Sebenarnya apa yang terjadi:
telah kautuliskan
sajakku dalam sajakmu
sajakmu dalam sajakku?

Atau kata-kata kita
saling selingkuh,
sejak zaman
yang tak kita tahu?

Mungkin Ritme itu pernah satu
melahirkan aku melahirkan kamu
melahirkan nasib, melahirkan apa
yang tak pernah tentu.

2008



PADA LAPTOP ITU

Di sebuah kamar yang hambar
mereka tatap laptop
yang nyaris kosong
dengan hanya satu gambar:

Sebuah desain hari
dengan sudut terpotong.
Sebatang mistar
dengan sentimeter yang samar.

Dan ketika kulit mereka
bersentuhan,
mereka arahkan kursor
ke angka jam.

Tapi yang terhapus hanya malam.
Dan mereka pun tetap diam
di kamar yang hambar
layar yang hanya sebentar.

2008



DI SETASIUN SENTRAL

Sekian ratus gram remah roti pikan
terbang dari gerbong kereta
Amsterdam. Rel lurus
dan lapar. Tak ada waktu.

Hanya 12 sinyal.
Seseorang pun pergi dengan hitam kopi
yang tumpah. Seseorang pun lekas,
seseorang lelah:

ini hari putih terakhir,
hari seorang migran,
ketika dingin jadi pelan
dan salju mungkin palsu.

2009



PADA SEBUAH PANGGUNG

Mukjizat adalah air kanal
yang bangkit
mengusung sajak yang terjebak,
tak terbaca.

Sebab sore ini, teater tak menerima kata lagi.
Tak menerima kita lagi. Hanya ada sebuah mimbar,
sepasang kursi hitam, lampu-lampu
yang ingin menjelaskan,

tapi kau tolak, "Terima kasih, terima kasih.
Sajak adalah lorong yang rentan."
Dan tiap fonem adalah liang
di mana harap tak jadi ada

Aku ingin memelukmu. Persis di pentas itu
--tapi ragu. Sajakmu pun lepas
lewat tingkap. Di luar pintu
tampak jembatan,

palang-palang logam yang memanggilnya
menyeberang, ke utara kanal...
Kubayangkan
trotoar itu kekal.

2008



15 TAHUN LAGI

15 tahun lagi ia tak akan di kamar ini.
Seperti warna biru pada gordin
yang dihisap
matahari

Tapi ia mungkin akan bisa menyisakan
merah meja
dengan bekas nikotin
pada amplop terakhir

jam yang bersembunyi
dari Tuhan
yang tak membuat
ia yakin.

Salahkah ia,
yang tak begitu percaya
pada salam, atau sekedar suara
di atap kamar itu,

kalimat pelan-pelan
yang akhirnya
hanya hujan?
Mungkin hujan?

Apa yang diharapkannya?
Tentu bukan hujan!
Ia hanya tak ingin terpisah
dari nyanyi murung

sebuah lagu Brazil,
pada cello
yang setengah serak
yang terapung-apung, sentimentil,

di luar, pada pucuk pohon
dan gerak awal
sejumlah mendung:
Sem voce, sem voce.

Mungkin ia kangen, sebenarnya,
tapi "Aku malu," katanya, pesimistis
pada telegram
yang mungkin mengetuk

dari luar itu, dari gerimis
yang berkata: 15 tahun lagi
akan ada seseorang
di kamar ini.

2008-9

Cinta dan Kebencian terhadap Buku

Saiful Amin Ghofur*
http://www.jawapos.com/

SELUBUNG asap terasa menyesakkan dada ketika pertengahan Februari lalu sekerumunan anak muda yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Kiai (AMPK) dengan amarah yang meradang membakar buku Kiai di Tengah Pusaran Politik: Antara Kuasa dan Petaka karya Ibnu Hajar, di Alun-alun Sumenep. Saya yang mengunjungi serambi kota itu beberapa waktu lalu masih merasakan geram yang mencekam itu.

Tragedi pembakaran tersebut disulut oleh kontroversi substansi buku Ibn Hajar yang dinilai mendiskreditkan eksistensi kiai hanya gara-gara terjerumus ke dalam kubangan politik. Tapi setelah menelaah sendiri, sebenarnya buku itu tak terlalu frontal. Jika ditimbang dengan seksama, buku itu tak lebih kritis dari buku Runtuhnya Singgasana Kiai karya Zainal Arifin Thoha atau Menabur Kharisma Menuai Kuasa, Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura karya Muhammad Rozaki. Tapi, yang jelas, kejadian itu tentu kian memperpanjang gejolak sosial yang disuluh selonjor buku.

Belum lekang dari ingatan ketika Ilung S. Enha, seorang penulis gaek Surabaya, dihujani caci maki dalam acara bedah bukunya, Sangkar Besi Agama, di gedung PCNU Sumenep pada 2005. Pangkal mulanya sederhana, dalam sebagian ulasan buku itu ia menguarkan wejangan moral-spiritual terhadap peran kiai yang mulai terjun ke kancah politik praktis. Namun dengan rendah hati ia berujar, ''Saya menulis buku dengan cinta, mengapa Anda menanggapi dengan benci? Saya adalah anak kiai. Maka mustahil saya menjelek-jelekkan ayah saya sendiri.''

Hal serupa juga pernah dialami Muhidin M. Dahlan pada 2005. Novelnya, Adam Hawa, disomasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dengan tuntutan ditarik dari peredaran. MMI melarang novel itu karena dianggap melecehkan akidah umat Islam.

Pada kesempatan lain, saat berlangsung bedah buku Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka Seorang Muslimah, di kampus UIN Malang pada Mei 2004, Muhidin didamprat dan dihujat habis-habisan. Bahkan seorang ustad menghakimi Muhidin telah murtad.

Sejujurnya, saya tak hendak membela mereka. Namun setangkup peristiwa itu perlu ditelisik dengan jeli. Bahwa penulis tetap bertanggung jawab terhadap buku yang ditulisnya merupakan tuntutan mutlak dalam masyarakat kita. Dalam konteks ini teori The Death of Author yang dikukus Roland Barthes tak sepenuhya matang.

Dalam masyarakat kita yang masih didominasi tradisi oral, penulis lebih penting ketimbang buku yang ditulisnya. Tokoh masih saja menjadi sentra perdebatan dalam setiap teks yang diproduksinya. Maka, tak perlu heran bila dalam setiap acara bedah buku, kehadiran penulis selalu menjadi sasaran empuk kritik hingga hujatan dan makian atas pemikirannya yang membiak dan dianggap melawan arus pemikiran dominan.

Jika kritik itu mengarah pada dialektika dan dinamika intelektual yang konstruktif, tentu tak jadi masalah --dan memang ini yang diharapkan. Sebab, ini menunjukkan kearifan dan kejernihan berpikir yang sehat. Namun bila berbuntut anarkisme sosial, jelas dari perspektif apa pun tidak bisa dibenarkan.

Soal buku diterima atau tidak, semestinya diserahkan kepada publik pembaca. Meminjam teori Darwinian, biarlah buku itu menjulur dalam jaring-jaring struggle for life dan survive of the fittes. Intinya, seleksi alamiahlah yang menentukan hidup-mati sebuah buku. Tak ada yang berhak mengantongi kriteria benar atau salah terhadap sebuah buku. Pada titik ini melarang suatu karya untuk mengunjungi alam pikiran pembaca, apalagi sampai memberangusnya, sama halnya mempertontonkan kepongahan yang berlebihan.

Seandainya disikapi secara arif dan dewasa, masih banyak cara manusiawi yang bisa ditempuh untuk menimbang buku. Misalnya, memfasilitasi penulis buku yang dianggap ''bermasalah'' untuk mengemukakan argumentasinya dalam sebuah forum. Di situ, pendapat dan gagasan saling dijualbelikan dengan segenap daya pikir untuk mencari titik temu yang saling menguntungkan, sehingga terbukalah kran dialektika yang harmoni dan menjumbuhkan wacana-wacana baru yang simpatik.

Kalaupun dalam forum tersebut belum juga ketemu jalan keluarnya, alternatif lain adalah membuat buku tanggapan. Tradisi demikian sebetulnya telah berkembang sejak zaman keemasan Islam. Sekadar contoh, al-Ghazali menulis buku Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat) yang kemudian ditanggapi oleh Ibn Rusyd dengan buku Tahafut at-Tahafut (Rancunya Kitab Kerancuan); Imam Samudra menulis buku Aku Melawan Teroris dengan begitu garang, tapi tak lama lantas muncul buku tanggapan Mereka adalah Teroris karya Luqman bin Muhammad Ba'abduh; Harun Nasution menulis buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya dan ditanggapi HM. Rasjidi dengan sangat kritis dalam buku Koreksi terhadap Dr Harun Nasution tentang `Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya`.

Begitulah, dengan budaya menanggapi buku sesungguhnya merupakan cerminan kebajikan dalam menyikapi sebuah persoalan. Seturut konsepsi tesis-antitesis-sintesis, budaya tersebut akan menumbuhkan iklim intelektual yang humanis. Sebaliknya, jika penolakan terhadap sebuah buku disertai aksi anarkisme, bukan tak mungkin akan menjadi momok yang menakutkan. Inspirasi dan imajinasi tak lagi bebas berkeredap. Sudah tentu, dengan begitu buku yang digadang-gadang sanggup membungakan hal-hal baru akan layu. Dan, dunia perbukuan menjadi miskin inovasi dan improvisasi. Sayang sekali, bukan?

Saya tak berani membayangkan bila peristiwa tragis sebagaimana yang dialami para penulis radikal seperti Mohammad Shahrur, Abid al-Jabiri, Fazlur Rahman, Faroug Fouda, dan Fetima Mernisi juga terjadi di negara kita. Mereka menulis buku yang kritis-dekonstruktif terhadap status quo pemahaman keberagamaan warisan ilmuwan Islam klasik. Selain dihujani makian, sebagian mereka ditakfirkan, dipaksa bercerai, diusir dari negaranya, bahkan dibunuh sebagaimana yang terjadi pada Faroug Fouda.

Tentu, saya yakin, masyarakat kita tidaklah sampai setega itu. Sebab, sejatinya mereka menulis buku dengan cinta, bukan benci. (*)

*) Redaktur Jurnal MILLAH PPs. Magister Studi Islam UII Jogjakarta

Cermin Manusia Seutuhnya

Rahmah Maulidia*
http://www.jawapos.com/

Salah satu tujuan pengembangan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah tercapainya manusia Indonesia seutuhnya. Tujuan ini telah menjadi acuan utama bagi setiap proses pendidikan di Tanah Air. Namun sayangnya, konsep manusia Indonesia seutuhnya saat ini kian ''absurd'' di tengah dominasi SDM asing yang merajalela. Indikasi yang terlihat nyata adalah HDI (Human Development Index) manusia Indonesia semakin merosot dari tahun ke tahun.

Buku Full Circle yang ditulis Y.W. Junardy, praktisi profesional yang berpengalaman lebih 35 tahun di dunia korporasi besar, tampaknya ingin menjawab persoalan di atas. Profil dan kompetensi seperti apakah manusia Indonesia seutuhnya itu dikupas Pak Jun (sapaan Junardy) lewat buku ini. Semua dirangkum dalam konsepsi falsafah hidup yang sangat apik, yaitu learn-lead-serve yang sebenarnya hampir sama dengan konsep asah-asuh-asih.

Membuka buku ini kita diajak menelusuri liku-liku perjalanan Pak Jun mulai kanak-kanak hingga menginjak remaja. Ia harus bisa berperan sebagai guru SMA, penjual rokok, dan pemain kasino agar bisa survive di Jakarta; perjalanan hidup selama 26 tahun berkarier di IBM dari posisi terbawah sebagai operator hingga menjadi presiden direktur. Juga perjalanan hidupnya sebagai eksekutif puncak Bank Universal, Excelcomindo, Bentoel, dan Group Rajawali; serta perjalanan hidup sebagai ''pelayan masyarakat'' melalui beragam bentuk kegiatan dan organisasi.

Sejak itu kita akan terkesima oleh track record Pak Jun yang luar biasa. Betapa tidak, Pak Jun merupakan sosok yang utuh dan lengkap sebagai manusia. Selama 60 tahun karir hidupnya dihabiskan sebagai profesional, manajer dan leader (hlm. 26). Sehingga, melihat Pak Jun ibarat melihat sosok manusia seutuhnya. Manusia dengan segudang cita-cita dan prestasi yang mampu diwujudkannya.

Gaya bertutur dengan kata ganti orang pertama, saya, yang disampaikan dalam buku ini mengalir deras dan jernih. Karena, buku ini bukanlah buku dengan analisis teori dan metodologi kaku, namun lebih pada buku yang mencerminkan sosok Pak Jun dengan wisdom dan inspirasinya. Karena itu, jika kita memeras buku ini maka akan muncul 3 (tiga) saripati dan gizi hidup yang bisa kita serap untuk bekal menjadi manusia seutuhnya.

Pertama, keutuhan dalam melakukan pembelajaran (learn) yang tak mengenal henti; memimpin (lead) dengan semangat kebersamaan, kemanusiaan, dan penuh integritas; dan mendedikasikan hidup untuk kepentingan pelayanan (serve) kepada masyarakat banyak: ''Learn-Lead-Serve''.

Kedua, keutuhan perjalanan karir dan hidup dari perspektif keseimbangan antara IQ (intellectual quotient), EQ (emotional quotient), dan SQ (spiritual quotient). Ketiga, keutuhan perjalanan karir dan hidup sebagai sebuah proses pencarian menuju kematangan dan kesempurnaan.

Ketiga prinsip hidup Pak Jun di atas memberikan warna pencerahan bagi kita bahwa hidup haruslah digunakan sebesar-besarnya untuk kemanfaatan bagi banyak orang. Karena di sinilah sebenarnya sebaik-baik manusia seperti dalam diktum hadis nabi "khoirunnas anfauhum linnash" (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat di antara kamu).

Buku ini terdiri atas 3 (tiga) pembahasan utama: learning, leading, dan serving. Diawali pembahasan tentang learning yang menggambarkan tentang perjalanan Pak Jun sebagai anak desa mulai dari anak sampai remaja dengan semangat membara mencari jati diri. Kehidupan Pak Jun berubah begitu drastis ketika ia diterima di IBM. Di IBM inilah hampir separo hidupnya didedikasikan. Warna IBM begitu kental melekat (inheren) dalam tubuhnya. Karena di IBM inilah sosok Pak Jun dibentuk dan menjadi fondasi untuk belajar menjadi pemimpin yang sesungguhnya. Semua dibeberkan dalam bab 3-6 (hlm 71-150).

Selepas dari IBM, Pak Jun bergabung dengan Group Astra sebagai Wakil Presiden Bank Universal. Pindah perusahaan juga pindah industri. Dua tahun ia di perbankan, kemudian pindah lagi ke Grup Rajawali (Excelcomindo) di awal 1997. Lalu sempat mampir di RCTI dan perusahaan rokok Bentoel. Semua dikupas di bab 8-10 (hlm. 173-230). Krisis monoter 1997 dan berlanjut di pertengahan 1998 hingga menjatuhkan penguasa Orde Baru, Soeharto, memberikan blessing in disguised (berkah tersembunyi) bagi Pak Jun untuk membangun fondasi bisnis yang lebih kokoh di Grup Rajawali (hlm. 233-352).

Sampai akhirnya ketika Pak Jun menginjak umur 60 tahun pada 5 Oktober 2007, ia mencoba merenungi semua yang telah ia berikan. Apakah sudah waktunya mengabdi pada masyarakat dan menghentikan semua aktivitas sebagai orang karir? Ataukah terus bertahan di dunia karir? Pilihannya jatuh pada aktivitas sosial yang ia sebut sebagai "passion to serve" (hlm. 257-271).

Dari sana kita sepertinya diingatkan oleh ungkapan bijak dari Sir Winston Churchill: ''We make a living by what we get, we make a life what we give". Karena sejatinya hidup dan kehidupan itu adalah dua kata yang berbeda makna dan artinya. Oleh karena itu, hadirnya buku ini mampu menjadi cermin yang sebenar-benarnya untuk menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan yang dicita-citakan. Sosok Pak Jun yang digambarkan dalam buku ini akan menginspirasi dan memotivasi kita agar ketika hidup, hiduplah dengan lebih banyak memberi. Karena dengan memberi itulah kehidupan akan semakin utuh dan bermakna. (*)

---
Judul Buku : Full Circle: Managing Through Learn-Lead-Serve
Penulis : Y.W. Junardy
Penyunting : Dyah Hasto Palupi dan Teguh S. Pambudi
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, November 2008
Tebal : 337 halaman
*) Dosen STAIN Ponorogo, dan ISID Gontor Ponorogo

Lukisan Istanbul yang Melankolik

Imam Muhtarom*
http://www.jawapos.com/

Istanbul dan Pamuk merupakan satu kesatuan yang saling membentuk dalam proses kepengarangan Orhan Pamuk. Istanbul dengan latar sejarahnya yang pernah gemilang di bawah Kesultanan Usmani berabad lampau dan mengalami kemunduran di abad ke-20, pada saat Turki perlahan mengubah menjadi republik dan berkiblat ke Eropa; sementara di sisi lain Orhan Pamuk yang mengambil jalan hidup yang berseberangan dengan rata-rata keluarga kaya dengan memilih menjadi pelukis kemudian pengarang. Antara kota yang membentang kesejarahannya dan pilihan hidup Pamuk tersebut bisa dikatakan paduan yang memukau bagi novel-novel karya Orhan Pamuk di kemudian hari.

Apa yang membedakan seseorang yang menjalani kehidupannya sebagai seorang pengarang dan yang bukan pengarang terletak pada kemampuannya menghayati tempat di mana mereka hidup. Bagi yang bukan pengarang, kota sebatas panggung kontestasi ekonomi-politik yang berujung pada seseorang menjadi penghuni kelas yang bermartabat atau penghuni kelas yang tidak mendapat penghormatan alias menjadi papa di kotanya. Bagi yang bukan pengarang kota tidak lebih medan persaingan tak berujung bagi nasib penghuninya. Kota bak papan catur penuh kemungkinan antara kehidupan yang beruntung atau sial. Dalam arti ini, gambaran kota yang sering diasosiasikan dengan kejam atau penuh kemewahan ada pada pemahaman apakah kota tersebut dialami sebagai suatu penderitaan atau sebaliknya, penuh keberuntungan. Kota menjadi kering dan tidak memiliki makna yang mendalam di luar kategori sial atau beruntung.

Namun demikian, bagi mereka memilih jalan kehidupannya sebagai pengarang sebagaimana ditunjukkan dengan meyakinkan sekaligus indah oleh Pamuk, kota akan menyuguhkan sebuah pemandangan yang menarik dan pada titik-titik tertentu sangat bermakna dan hidup. Sebelum Pamuk mengetengahkan pendapat bahwa Istanbul merupakan kota yang paling berkesan sepanjang hidupnya, dia telah mengadakan penelusuran bagaimana para pengarang dan penyair terdahulu mengalami bagaimana Kota Istanbul hidup dalam karya maupun kehidupan pribadinya.

Istanbul yang terwujud dalam karya-karya Abulhak Sinasi Hisar, Yahya Kemal, Ahmet Hamdi Tanpinar, atau Resat Ekrem Kocu adalah para penulis yang Orhan Pamuk anggap berhasil menyelami jiwa kehidupan Kota Istanbul. Menurutnya, dalam karya maupun kehidupan keempat penulis tersebut Istanbul hadir dalam kenyataan yang melankolik. Sifat melankoli yang dirundung Istanbul setelah kota ini mengalami kemunduran dengan jatuhnya Kesultanan Usmani dan pada 1920-an dengan mengambil sistem republik dalam pemerintahan untuk mengelola Turki. Jalur nasionalis inilah yang mula-mula mengubah, bukan hanya seluruh aspek budaya dan politik di Turki, tetapi secara lebih spesifik mengubah secara mendasar Istanbul yang pada abad ke-19 menjadi tujuan utama para pelancong-penulis Prancis untuk mencari akar-akar oriental. Perubahan di Istanbul dengan memilih jalur nasionalisme ini tidak menghendaki adanya perbedaan dalam bahasa, etnik, selera, dan secara umum tentunya sebuah bentuk kebudayaan. Nilai-nilai chauvimisme yang dengan sengaja diperbolehkan oleh rezim berkuasa telah mematikan perlahan-lahan keanekaragaman dalam berbahasa di Istambul dan tentunya ini mematikan kebudayaan yang pernah menawan seantero Asia maupun Eropa.

Dalam masa Kesultanan Usmani, Istanbul tempat tumbuh suburnya berbagai bahasa dari orang Rusia, Armenia, Albania, Yunani, Prancis, Inggris --terutama daerah kekuasaan kesultanan. Setelah Republik Turki berdiri, terutama setelah kekalahan selama Perang Dunia I, sikap chauvimisme ini kian menguat dengan kehendak untuk mendirikan sebuah Turki yang tunggal. Dilematisnya, kehendak Turki yang tunggal secara politik menjadi mendua tatkala Turki berkeinginan untuk menjadi sekuler seperti Eropa. Kemenduaan ini menjadikan Turki dan secara khusus Istanbul membuat silang sengkarutnya identitas yang ingin dikenakan oleh warganya.

Dilematis dalam menentukan identitas inilah yang ditangkap keempat penulis yang disebutkan Orhan dan juga yang dialami Orhan Pamuk sendiri. Keinginan untuk menjadi Eropa dan keinginan untuk mencari identitas nasionalnya yang khas memerangkap mereka dalam sebuah situasi melankolik, murung atau h�z�n dalam bahasa Turki. Situasi melankolik ini terpapar di seantero Kota Istanbul. Bagi Pamuk, kemurungan ini terlihat pada jalan-jalan, gang-gang sempit di komunitas warga miskin, pelabuhan, asap-asap kapal di pantai Bosphorus, kemiskinan yang merajalela, bangunan-bangunan lama peninggalan Kesultanan Usmani yang terbengkelai, kehidupan warga kaya yang berorientasi barat tetapi gagal dan justru kering secara spiritual.

Ambivalensi yang merundung Istanbul terus-menerus semenjak jatuhnya Kesultanan Turki dan berdirinya Republik Turki ini secara serentak juga memengaruhi kehidupan Orhan Pamuk secara pribadi. Sepanjang halaman buku Istanbul, suasana melankoli membayang begitu pekat. Seolah Pamuk tidak memiliki satu titik pun untuk keluar dari perangkap melankoli yang terbentuk secara sosial dan politik dan seluruh penghuni Istanbul secara tidak sadar mengalaminya. Semenjak Pamuk bayi hingga ia berusia 20 tahun ketika ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya di Fakultas Arsitektur dan keinginannya untuk menjadi pelukis dan memutuskan hidup untuk menulis, suasana melankolik demikian kental.

Apa yang Pamuk alami kala ia lahir dengan membandingkan situasi yang berkembang saat itu, kala ia masih bocah, kala remaja, dan kala perantara menjadi dewasa, tak lain adalah gambaran suasana melankolik. Ia menggambarkan dirinya seorang yang tidak pernah mengalami suasana riang dan penuh kegembiraan kecuali ketika ia mabuk-mabukan bersama teman sekolah menengahnya dan menggoda gadis-gadis seusianya dengan kendaraan mewah ayah-ayah mereka. Semenjak remaja pun ia tidak memiliki sikap yang demikian optimistis sebagaimana yang terangkum dalam kehidupan kakaknya yang ia gambarkan sebagai tertib dan terampil terutama dalam kaitannya dengan pelajaran matematika dan fisika.

Dilematis dan ambivalensi antara kehidupan pribadi Pamuk dan suasana Kota Istanbul inilah yang menjadi dasar dari semangat novel-novel yang Orhan Pamuk tulis di kemudian hari. Suasana melankolik dan seakan tidak memiliki masa depan yang menghinggapi semua tokoh-tokoh novelnya dapat diperbandingkan dengan apa yang ia tuturkan dalam buku memornya ini. Sekalipun karya My Name is Red dan Snow mengambil latar waktu yang berbeda, dapat dirasakan kemurungan Kota Istanbul itu. Kemurungan yang menjadi tema semua novelnya memang dialami oleh semua warga Istanbul, tetapi yang menangkap jiwanya adalah seorang Orhan Pamuk. Dan tema kemurungan inilah yang kemudian ditangkap oleh juri Nobel Sastra yang mengantarkan Orhan Pamuk meraihnya pada 2006. (*)

---
Judul Buku : Istanbul, Kenangan sebuah kota
Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 563 halaman
*)Peminat sastra dan kota.

Jumat, 27 Februari 2009

Sajak-Sajak Arsyad Indradi

http://www.republika.co.id/
http://arsyadindradi.blogspot.com/
SYAIR GURHAH

Siapa membaca syair gurdah
Di tengah malam ketika bulan memancar
Rumahrumah dan pepohonan pada tafakur
Menyingkap liriklirik yang dihampar angin

Mataku berlinangan membaca diri
Di alun terbang
Dalam dendang doa dan pujian

Bulan memancar
Bulan penuh di dalam dada
Memancar Subhanallah

Kemana kita menyempurnakan harapan
Ke sana kita menghadap menyerahkan diri

Banjrbaru, 2006



SENJA LURUH

Dangau sesak dengan cahaya redupredup
Persawahan yang lama terbengkalai
Dia terhampar di atas tumpukan jerami
Duhai lama nian menunggu
Cepatlah lepaskan tali kehidupan
Cepat ambili

Ruh yang turun di atas bumi
Yang mengandung bau cendana
Menghembus liar di padang banta
Langit berawan habiskan selaksa belalang
Terbang menjelajahi padang ilalang
Ambil daku yang membuat cinta
Yang aku sendiri merindu
Penat tiada terkira
Menanggung dalam raga

Duhai ambilkan semua warna ruhku
Ciuman kasih dan nista
Aku silau dalam cahayaku yang lelah
Burungburung kehilangan pengepak sayap
Langit dan hutan membungkus ruhku
Masuk dalam mimpi abadi

Banjarbaru, 2004



MUSAFIR

Tidak lebih yang kupinta cuma doa
Melunaskan airmata harikehari
Yang jatuh ke jejak langkah
Setiap aku menulis risalah
Perjalanan dalam puisi

Doa adalah titian
Penyeberangan
Menuju batas
Kembali ke akhir
Menyempurnakan nafas

Banjarbaru, 2006



KEMARAU

Siapa menghentak kurungkurung
ke penghabisan suara burung
jalan setapak mencari batas
hari beruap panas
menyusur suara keririang memilu
di selasela kayukayuan
sewaktu matahari menusuk

Ketika menyeberang guntung
kau berkata :
Siapa yang menghentak kurungkurung
di penghabisan suara burung
senantiasa panas menggantang

Tanah huma seperti siput dipepes
sunyi tiada berdaya
dalam letupan buah para
dikunyah matahari

Banjarbaru, 2005

Sajak-Sajak Acep Zamzam Noor

http://www2.kompas.com/
Sungai dan Muara

Kesepian telah meyakinkan kita
Bahwa setiap sudut bumi menyimpan sisi gelap
Yang berbeda. Dari getar tanganmu aku dapat meraba
Musim dingin tak pernah memadamkan matahari sepenuhnya
Sedang dari mataku kau melihat hujan segera menyusut
Lalu kita berpelukan seperti dua musim yang bertemu
Dalam kesepian yang sama. Kita menyalakan tungku di kamar
Sambil membakar seluruh pakaian dan keyakinan kita
Menjadi asap yang memenuhi ruang dan waktu
Kita tak mengundang salju turun membasahi ranjang
Tapi detik-detik menggenang dari cucuran keringat kita
Kuraba setiap lekuk tubuhmu seperti meraba setiap sudut
Bola dunia. Aku tergelincir di belahan bumi yang landai
Atau terengah di belahan lain yang berbukit-bukit
Lalu kausentuh kemarauku dengan tangan musim semimu
Hingga rumput-rumput menghijau di seluruh tubuhku
Dan kita berciuman seperti bertemunya sungai dan muara
Yang saling mengisi dan sekaligus melepaskan



Menjadi Penyair Lagi

Melva, di Karang Setra, kutemukan helai-helai rambutmu
Di lantai keramik yang licin. Aku selalu terkenang kepadamu
Setiap melihat iklan sabun, shampo atau pasta gigi
Atau setiap menyaksikan penyanyi dangdut di televisi
Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi. Bau parfummu yang memabukkan
Tiba-tiba menyelinap lewat pintu kamar mandi
Dan menyerbuku bagaikan baris-baris puisi
Kau tahu, Melva, aku selalu gemetar oleh kata-kata
Sedang bau aneh dari tengkuk, leher dan ketiakmu itu
Telah menjelmakan kata-kata juga
Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi. Helai-helai rambutmu yang kecoklatan
Kuletakkan dengan hati-hati di atas meja kaca
Bersama kertas, rokok dan segelas kopi. Lalu kutulis puisi
Ketika kurasakan bibirmu masih tersimpan di mulutku
Ketika suaramu masih memenuhi telinga dan pikiranku
Kutulis puisi sambil mengingat-ingat warna sepatu
Celana dalam, BH serta ikat pinggangmu
Yang dulu kautinggalkan di bawah ranjang
Sebagai ucapan selamat tinggal
Tidak, Melva, penyair tidak sedih karena ditinggalkan
Juga tidak sakit karena akhirnya selalu dikalahkan
Penyair tidak menangis karena dikhianati
Juga tidak pingsan karena mulutnya dibungkam
Penyair akan mati apabila kehilangan tenaga kata-kata
Atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa:
Misalkan peperangan yang tak henti-hentinya
Pembajakan, pesawat jatuh, banjir atau gempa bumi
Misalkan korupsi yang tak habis-habisnya di negeri ini
Kerusuhan, penjarahan, perkosaan atau semacamnya
O, aku sendirian di sini dan merasa menjadi penyair lagi



Perubahan

Kami menunggu seseorang
Menunggu seseorang yang membawa obor
Dan menyimpan bajak serta lunas perahu di matanya
Mengaku bukan penyair atau pegawai negeri
Berbicara dengan bahasa sederhana dan mengerti
Persoalan sehari-hari. Sudah lama kami tegang
Kami melihat arus sungai yang deras
Menyaksikan gerak air di antara batu-batu
Airmata kami runtuh juga akhirnya
Sepanjang jalan kami menundukkan kepala
Menghitung langkah kaki
Kami luluh dan kami pun bisu
Kami seperti orang-orang asing di sini
Tak tahu apapun yang akan terjadi
Kami mengubur kata-kata di dasar hati
Menyumbat kedua telinga
Perubahan yang kami rindukan
Tak kunjung terucapkan



Kau pun Tahu

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Dalam pengembaraanku
Bintang-bintang yang kuburu
Semua meninggalkanku
Lampu-lampu sepanjang jalan
Padam, semua rambu seakan
Menunjuk ke arah jurang
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Dalam setiap ucapanku
Suara yang masih terdengar
Berasal dari kegelapan
Kata-kata yang kusemburkan
Menjadi asing dan mengancam
Seperti bunyi senapan
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Dalam puisi-puisiku
Kota telah dipenuhi papan-papan iklan
Maklumat-maklumat ditulis orang
Dengan kasar dan tergesa-gesa
Mereka yang berteriak
Tak jelas maunya apa
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Dalam doa-doaku
Aku sembahyang di comberan
Menjalani hidup tanpa keyakinan
Perempuan-perempuan yang kupuja
Seperti juga para pemimpin itu --
Semuanya tak bisa dipercaya
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Di negeriku yang busuk ini
Pidato dan kentut sulit dibedakan
Begitu juga tertawa dan menangis
Mereka yang lelap tidur
Bangunnya pada kesiangan
Padahal ingin disebut pahlawan



Terbelah

Pertempuran demi pertempuran telah melumpuhkanku
Sedang langit mengurungku dengan mendung kemurungannya
Tariklah sedikit ujung kerudungmu, Siti
Biar langit mengendurkan urat-uratnya dan bumi yang lelah
Sejenak istirah dari pergolakannya yang abadi
Dari bibirmu seratus patung keindahan telah dipahatkan
Sedang senyumanmu dikekalkan seribu puisi
Tapi di tanganku, Siti, kwas seperti kehilangan gema
Dalam genggamanku pena seperti kehabisan suara
Belantara nilai terlalu rumit dalam otakku
Sungai-sungai kemiskinan bermuara di mataku
Aku bukan pelukis, Siti, yang riang dalam sunyi
Bukan penyair seperti Attar atau Rumi
Mulutku busuk meniupkan bau rumah sakit
Sedang telingaku deras mengalirkan kotoran pabrik
Dunia terlalu panas bagi perasaanku yang berminyak
Singkaplah sedikit kerudungmu, Siti
Aku ingin berenang sepanjang kemurnianmu
Ingin berwuduk dalam ketulusanmu
Gerimiskanlah airmatamu, Siti
Dan hujankanlah kata-katamu agar semesta pucat
Agar langit meruntuhkan keangkuhannya di hatiku
Sekali lagi, Siti, sekali lagi
Aku bukan pelukis
Bukan penyair



Seperti Puisi

Seperti puisi dulu aku mengenalmu
Dekat danau tenang, dekat rumput ilalang
Matahari menyalakan kita
Dalam kobaran rindu. Seperti puisi aku menyentuhmu
Dengan jemari embun
Seperti puisi
Aku memandikanmu dalam pagi yang menggenang
Betapa panjang jika harus kucatat dalam kalimat
Atau kunyanyikan lewat balada
Seperti puisi gairah ini kupadatkan, rindu ini
Kukentalkan. Tahun-tahun kuringkas, abad-abad kusingkat
Negeri-negeri kulebur, kekuasaan-kekuasaan kusulap
Menjadi sekedar kesunyian
Seperti dulu aku mengenalmu dekat danau tenang
Dekat rumput ilalang
Seperti puisi yang datang dan menghilang
Jika kukenangkan sebuah pulau, laut dan langit
Alangkah jauhnya kita:
Aku telah menemukanmu dari dunia lain
Tapi kau tak kunjung menjumpaiku di lagu-lagu
Di ayat-ayat suci, di baris-baris puisi
Padahal aku dekat sekali denganmu
Bicara pada hatimu dan menjadi pakaian tidurmu
Padahal aku sering menuntunmu ke sebuah pulau
Bercerita tentang laut dan langit biru

Senin, 23 Februari 2009

Pagar Emas

A Rodhi Murtadho
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Pagar di depan rumah mulai berkarat. Entah sejak kapan karatan itu mulai menyelimuti besi pagar. Daun yang ada di atasnya selalu saja bergerak. Sejak kapan daun itu berada di sana. Aku tak tahu pasti. Setahun yang lalu, seingatku, belum ada daun yang berada di atas pagar. Selalu saja aku bertanya dalam hati. Daun itukah yang menyebabkan pagar berkarat? Aku semakin bingung dengan pertanyaan yang muncul dalam benakku.

Aku mulai menyentuh pagar. Megingat kembali pemasangan pagar. Besi yang berkilat dan terbaluri cat warna hitam. Dan semua itu aku kerjakan sendiri.

“Pak sedang apa?” Tanya istriku sambil menggendong Rani, anak kami.

Aku mau menjawab. Apa yang sebenarnya kulakukan dan kupikirkan saat itu. Tapi aku ingat Rani, anak perempuanku, yang berada dalam gendongannya. Ingat kebutuhan susunya yang akhir bulan ini belum terpenuhi. Paling tidak, akhir bulan ini, aku harus membeli susunya.

“Tidak apa-apa, hanya menikmati udara segar.” Jawabku.

Terlihat mimik makin bertanya-tanya pada raut istriku. Ia mengalihkan pandangan pada Rani. Mungkin ia tahu kesedihanku. Seorang suami yang tidak bisa bekerja penuh untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Mungkin hanya kebutuhan untuk sehari-hari saja. Untuk makan, bayar air, dan bayar listrik sebagai kewajiban masyarakat kota.

Aku makin tertekan akhir-akhir ini. Kebutuhan keluarga makin bertambah. Gaji yang aku terima tetap. Rani hadir sebagai anugerah sekaligus idaman bagi kami. Aku sebagai kepala keluarga merasa tak mampu dan kadang juga rendah diri. Namun tekad yang aku genggam, bahwa kebutuhan anakku, Rani, mengenai gizinya harus terpenuhi. Namun bagaimana caranya. Aku semakin bingung memikirkannya.

“Ayo masuk pak, mulai dingin di luar. Hari mulai malam soalnya.”

“Ya, bu. Sebentar lagi. Kamu saja duluan, nanti aku menyusul.” Elakku.

“Sudahlah pak, ayo masuk!”

Entah apa yang ada dalam benak istriku. Seakan ia tahu kepedihan yang aku rasakan. Mengerti tentang keadaanku yang mulai tua. Hanya menggantungkan diri pada perusahaan yang hanya menggajiku tetap meski telah bekerja puluhan tahun di sana.

“Baiklah bu.” Aku mulai menurut.

Entah apa yang terjadi ketika aku melangkahkan kaki menuju rumah, aku selalu memikirkan pagar yang aku lihat, yang aku sentuh, dan memang karatan.

“Kapan aku bisa menggantinya?” tanyaku lirih pada diriku sendiri.

Terdengar tangis Rani yang baru saja dibaringkan istriku di ranjang. Suaranya amat keras. Tak seperti biasanya ia menangis begitu keras. Kalau ia ngompol atau lapar suara tangisnya tak sekeras ini. Aku hafal tangisnya. Kami mulai dilanda rasa kecemasan.

“Pak, badan Rani kok panas ya?” kata istriku sambil menyentuh jidat dan tubuh Rani. “Padahal tadi, ketika saya gendong badannya tak sepanas ini.”

Entah apalagi ini. Kecemasanku sebagai kepala rumah tangga semakin meningkat. Aku terus saja merasakannya bahkan mimik mukaku mulai berubah.

“Apa perlu kita bawa Rani ke dokter pak?” Tanya istriku.

Mimik mukaku makin tak dapat disembunyikan lagi. Istriku mulai menyadari hal itu. Ia pun kelihatan ikut cemas merasakan apa yang aku rasakan.

“Dikompres saja dulu. Mungkin besok suhu panasnya kembali normal.”

“Ya, Pak.” Kata istriku yang selama ini menurut kepadaku.

Kompres ternyata tak mampu menurunkan panas Rani. Bahkan suara tangsisnya tampak semakin keras. Padahal hari sudah mulai malam. Kami mulai kebingungan dan semakin cemas.

“Pak, Rani mencret!” kata istriku.

Tengah malam yang gulita membuat aku semakin merasa khawatir kepada anugerah yang Tuhan berikan kepada kami. Namun aku tak bisa mengelak lagi pada tanggung jawabku sebagai kepala keluarga.

“Istriku, kamu sudah tahu keadaanku, keadaan uang kita. Menurutmu apa yang harus kita lakukan? Tak ada sanak famili di sini. Dan tetangga di sini sangat individual. Apa yang harus kita lakukan pada Rani?”

“Kita bawa saja ke dokter pak. Meski kita seminggu atau bahkan sebulan kalau perlu kita puasa demi kesembuhan Rani.”

“Baiklah kalau begitu. Kita bawa Rani ke dokter sekarang.”

“Ya pak. Tapi aku bersihkan dulu kotoran ini.” Sambil menunjuk pada pantat Rani yang memang blepotan dengan mencretnya.

Tapi istriku lama sekali di kamar mandi. Ia seperti bermain air di dalam kamar mandi. Begitu juga dengan Rani yang tak henti-hentinya menangis dan semakin menggaung suaranya di kamar mandi. Membuat suara tangisnya semakin keras.

“Ada apa istriku?”

“Rani tidak bisa berhenti mencretnya.”

Kepanikan yang muncul dari tadi bertambah dalam diri ini. Degup jantung mulai cepat. Berdendang tak beraturan. Semakin cepat.

“Lho kok berhenti ya pak.”

“Coba kau bawa dia ke kamar tidur, aku panggilkan saja dokternya ke sini.”

Aku mulai melangkahkan kaki keluar rumah. Sampai di pintu depan kubuka pintu. Istriku berteriak. Detak jantung seperti ada yang menukul. Berdentang. Layaknya gong yang dipukul.

“Pak ke sini, cepat!” Teriak istriku.

Aku langsung saja mempercepat langkah. Kecemasan semakin terasa bahkan terasa akan mencabut nyawa ini. Namun yang kulihat dalam kamar, istriku tersenyum. Hal inilah yang membuatku kaget dan sekaligus heran. Hal ini juga yang memicuku untuk marah.

“Pak, Rani mencret Emas.”

“Apa?”

“Ya, pak. Rani mencret emas. Coba bapak lihat sendiri.”

Aku mulai melangkah mendekatkan diriku pada mereka. Kulihat pantat Rani yang penuh dengan warna kuning bercahaya memantulkan sinar lampu kamar.

“Ya, bu. Lantas apa yang harus kita lakukan. Bagaimana kita harus memeriksakan Rani ke dokter.”

“Tak usah pak. Jangan-jangan dokter mendiagnosa dan menyatakan Rani sakit. Kemudian menyuruh Rani harus rawat inap. Terus nanti emas yang dikeluarkan Rani pasti diambil dokter atau suster yang merawatnya dan membaginya dengan teman-temanya. Kita bagaimana? Kita harus membayar ongkos rumah sakit terus kita juga tidak kebagian emas yang dikeluarkan Rani.”

Benar juga apa yang dikatakan istriku. Hal inilah yang membuatku untuk sependapat dengannya. Kebutuhan keluarga yang makin hari makin naik seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan Rani.

“Lantas apa yang akan kita lakukan dengan emas yang dikeluarkan Rani? Apa harus kita jual? Jual kemana? orang pasti mencurigai kita.” Kataku.

“Ya ke tukang emas yang ada di pasar. Aku pernah melihat mereka membeli emas berupa anting walau hanya sebelah. Mereka pasti mau kalau membeli emas yang dikeluarkan Rani, pak”

Emas yang dikeluarkan Rani akhirnya kami jual ke penjual emas yang ada di pasar. Walau membeli dengan harga separuh dari harga emas pasaran, kami merelakan begitu saja. Yang ada dalam pikiran kami, emas itu tidak kami cari hanya menunggu dari pantat Rani. Yang tentu saja tanpa susah payah mendapatkannya.

Ekonomi keluarga semakin membaik dari hari ke hari. Kewajiban sebagai masyarakat kota terpenuhi dengan baik. Susu Rani juga tercukupi dengan baik dan tidak telat. Semua dihasilkan dari mencret Rani. Aku mulai melirik pagar yang sebulan lalu aku lihat dan memang berkarat di bawah daun mangga. Ada pemandangan ganjil di sana. Daun yang berada di atasnya ternyata hilang. Entah terbang ke mana? Atau jatuh di mana? Di bawah pohon itu tidak ada satu pun daun yang gugur. Aku semakin bingung lagi ketika aku mendekatkan diriku ke pagar.

“Kemana juga karatannya?” tanyaku lirih dalam hati.

Aku mulai menyentuh pagar yang aku yakini memang berkarat. Sekarang tidak lagi berkarat. Kemana lunturnya karatan itu? Sementara di bawah juga bersih. Tak ada bekas karatan yang jatuh. Aku mulai bingung.

“Pak sedang apa?” Istriku memanggil.

Bagaimana aku mengutarakan keganjilan yang aku dapatkan ini. Sementara sebulan lalu saja aku tidak mengutarakan kalau ada daun di atas pagar dan pagarnya berkarat. Aku tidak bisa menyembunyikan kegelisahan dalam hatiku. Mimik muka yang terpasang juga mudah sekali dianalisa oleh istriku.

“Tidak bu.” Jawabku.

“Kok kelihatannya bingung, ada apa?”

Sore yang semakin dingin. Angin yang berhembus juga semakin tak kenal kompromi. Walau begitu tak ada daun mangga yang jatuh satu pun. Aku menjadi semakin bingung. Pagar yang berwarna kusam pun mulai mengkilat lagi diterpa angin.

Suara tangis Rani yang semakin keras. Biasanya dia akan mencret emas. Dan memang itulah yang kami tunggu. Kami segera berlari ke dalam kamar dimana Rani dibaringkan. Dan seperti yang kami sangka. Segumpal emas yang bekilau ada di sana. Tepat di bawah pantatnya. Namun yang membuat kami terheran. Mengapa suhu badannya tak kunjung turun. Apa ini sebagai akibat Rani mencret emas.

“Cepat kau simpan bu, besok saja kita jual ke pasar.”

“Ya, pak.”

Istriku mulai mengambil segumpal emas yang ada di pantat Rani. Menyimpan dengan baik di tas plastik warna hitam. ia nampak begitu gembira dengan apa yang ia dapat kali ini. Segumpal emas, mungkin setengah kilo. Tak seperti biasanya mungkin hanya sekitar satu ons saja.

“Kita bisa kaya pak!”

“Ya, bu.”

“Kita bisa ganti rumah, dan segala macam perabot.”

“Ya, bu.”

Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi pada istriku. Memang dia adalah seorang istri. Seorang prempuan yang biasanya memang butuh kemanjaan dari harta yang melimpah. Kini ia dapat dari Rani, anak kami. Senyum dan tawa yang menghias bibir kami sebulan menjadi kelu ketika Rani menghentikan tangisnya mendadak setelah istriku mengambil segumpal emas yang ada di pantatnya. Mendadak dan sangat mendadak sekali. Dan itulah yang membuat bibir kami yang sebelumnya penuh dengan senyum dan tawa manis sekarang jadi kelu dan beku.

Sidoarjo, 20 Januari 2006

Minggu, 22 Februari 2009

Peluncuran Buku “Menoleh Silam Melirik Esok”

Dari Buku ke Perdebatan Lekra-Manikebu

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id

Jakarta-Pertemuan itu sebenarnya bukan pertemuan yang pertama kali sehingga tidak lagi menjadi pertemuan luar biasa.

Mereka, para pembicara, berbeda latar belakang. Seorang di antaranya adalah sastrawan yang aktif di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, ikatan seniman yang berideologi realisme sosialis) dan kini tinggal di Prancis, JJ Kusni. Seorang lagi, sastrawan penandatangan Manifestasi Kebudayaan di Indonesia, Taufiq Ismail. Moderatornya, Ikranegara, penyair dan penulis–belakangan berperan dalam film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel Andrea Hirata, yang disutradarai Mira Lesmana dan Riri Riza.

Agenda di Teater Utan Kayu (TUK), Jl Utan Kayu, Jakarta (18/2), adalah “Dialog Manifes Kebudayaan dan Lekra” menandai peluncuran buku JJ Kusni bertajuk Menoleh Silam Melirik Esok, terbitan Ultimus Bandung Februari 2009. Buku ini berisi komentarnya di milis selama dia bekerja dan tinggal di Paris, kisah sejarah pada masa prahara itu, hingga kisah pribadinya sebagai figur sastrawan “eksil”.

Namun, pertemuan kelompok budayawan dengan perbedaan latar belakang itu sudah acapkali terjadi, antara lain pertemuan yang dimediasi oleh mendiang sastrawan Ramadhan KH di awal tahun 2000-an, serta dihadiri sastrawan Lekra dan Manifes. Juga peluncuran buku karya mendiang Pramoedya Ananta Toer, Sobron Aidit yang dihadiri para sastrawan Manifes, atau sebaliknya.

“Dialog ini sudah terlambat, bahkan pertemuan pribadi antarsastrawan berbeda latar politik pun sudah dilakukan sejak dulu,” ujar Putu Oka Sukanta.

Namun, pertemuan dalam rangka peluncuran buku ini tetap hangat dalam perdebatan. Kendati berbicara rekonsiliasi, mereka tetap membawa luka psikologi dalam memori masing-masing. Kusni Sulang–nama masa silam JJ Kusni–juga Taufiq Ismail sama-sama berkisah, masih menyebutkan rentetan kelemahan kelompok yang berseberangan dengannya.

Pertemuan itu tetap bukan hal yang luar biasa. Martin Aleida malah mempertanyakan maksud pertemuan itu, seperti juga Martin menanyakan latar JJ Kusni yang mewakili Lekra di momen diskusi, juga mempertanyakan kapasitasnya sebagai sejarawan di buku itu. Forum diskusi mempertanyakan komitmen Taufiq untuk berekonsiliasi. Amarzan Loebis menimpali bahwa sejarah Lekra dan Manifes adalah sejarah yang telah menjadi jenazah.

Pertanyakan Masa Lalu

Diskusi berjalan dinamis, penuh emosi, dan sedikit bernuansa arogansi. Martin mengatakan, kualitas teks JJ Kusni “belum apa-apa” ketimbang barisan anggota Lekra lainnya. Ia sekaligus mempertanyakan karya Sitor yang tak masuk dalam buku yang disusun Taufiq.

“Anda boleh lupa menyertakan nama yang lain, tapi jangan nama Sitor Situmorang”. Taufiq kemudian menjawab bahwa sejak remaja dirinya menyukai buku kumpulan puisi Sitor Situmorang bertajuk Surat Kertas Hijau dan ketika singgah di Italia dalam perjalanan studi ke Amerika Serikat, dia bahkan teringat buku Sitor, Lagu Gadis Itali.

“Untuk Sitor, kami memintanya secara khusus. Tidak bisa tidak, ini (Sitor) raksasa puisi. Saya mengutus langsung (mendiang penyair) Hamid Jabbar, tapi dia (Sitor Situmorang) menolak dengan sombong. Dia tak mau memberikan,” papar Taufiq.

Kepada media Kompas, Maret tahun 2002, penyair Sitor Situmorang dalam dialog di kalangan budayawan di kebun belakang situs Ki Padmosusastro, Solo, memang mengaku menolak karyanya dimasukkan dalam buku Antologi Puisi Indonesia susunan Taufiq Ismail dan terbitan majalah Horison bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional, serta pihak sponsor. Respons itu dilakukannya karena dia tahu di proyek yang sama dan orang yang sama (Taufiq Ismail-red)-dalam penerbitan antologi, sebelumnya-namanya sudah tak dimasukkan.

Pada antologi pertama itu, nama Sitor yang tak tercantum justru dipersoalkan pemerhati sastra lainnya.

Joesoef Isak, yang sedang tak sehat dan berniat ke Singapura, hadir di momen diskusi dan menyatakan kerinduan dua kubu di negeri ini untuk saling memaafkan. Putu Oka Sukanta yang mengisahkan perjalanan hidupnya menjadi dokter ahli refleksi kemudian menyatakan kekangenannya untuk bertemu dengan JJ Kusni–surprise dapat bertemu dengan rekan karib.

Menurut Martin, JJ Kusni bukan Pramoedya Ananta Toer. Sikapnya tak mewakili sikap semua orang yang punya trauma politik. Dia mengkritik niat keikhlasan Taufiq pada rekonsiliasi. Aktivis muda Yeni Rosa Damayanti, bahkan mengingatkan ribuan korban yang wafat tanpa penuntasan hukum, juga pengadilan pada dua kubu besar dalam prahara 1965, sebelum niatan saling memaafkan dilakukan–Yeni mencontohkan pengadilan di Afrika Selatan.

Rekonsiliasi harus diungkapkan terlebih dahulu dari pihak korban. Namun, Taufiq mengambil referensi sejarah di Malaysia, bahwa rekonsiliasi tak bermakna hitungan dagang yang harus diaudit. Ini bisa dimaknai saling memaafkan dari kedua kelompok tanpa membicarakan lagi sejarah karena keduanya “sama-sama satu bangsa” yang menatap hari esok dan masa depan.

“Bila rantai dendam masih membelit tubuh bangsa, bagaimana kita mau maju ke depan, memasuki abad ini, semua itu sudah tak terpakai,” ujarnya.

Jurnalis senior Aristides Katoppo, kemudian menimpali bahwa perbedaan dapat menjadi energi buat perjalanan berbangsa karena negeri ini justru berlandaskan ke-bineka-an. Jurnalis, penyair dan penandatangan Manifestasi Kebudayaan, Goenawan Mohamad menyatakan sejarah bukan bangkai namun yang lebih penting adalah mempelajari untuk konteks masa depan. “Banyak kesalahan Lekra dan Manikebu, salah satunya adalah memberi alasan untuk menindas kebebasan. Kini kita merebut kembali dan menggunakan kemerdekaan yang ada,” ujar Goenawan.

Inilah sejarah generasi yang seakan rekonsilasi namun belum pernah–mungkin tak akan pernah menyetujui sepenuhnya istilah itu. Zaman bergerak dan bergeser–namun kenangan organisasi Lekra dan catatan masa silam transkrip tandatangan dan pernyataan Manifestasi Kebudayaan tak pernah lekang.

“Itulah sejarah paman-paman sekalian,” ujar seorang sastrawan muda. Sastrawan berusia 30-an itu kemudian menambahkan, “Sejarah yang telah menenggelamkan sejarah-sejarah lainnya, kedua kubu makin buram dalam menjalankan visi dan masa depan.”

Kamis, 19 Februari 2009

Sajak-Sajak Deddy Arsya

http://m.kompas.com/
Toko Serba Lima Ribu

”aku masuki dirimu seperti memasuki toko serba lima ribu. aku
satu set mainan anak-anak, tusuk gigi, dan satu pak pengorek
telinga. ibuku boneka hiu gergaji, ayahku kampak bermata dua
seperti dalam cerita silat di televisi. kau ingin menyebut nama-
nama pemilik bibir yang pernah mengucapkan cinta dan hidup
dalam kenanganmu. tapi orang-orang masuk dan keluar
membawa apa saja menjauh dari pintu.”
”aku pendingan ruangan yang menempel di sudut toko itu.
seseorang, mungkin pelayan yang mengerti isyarat hati, akan
mengganti lagu dari tape di meja kasir dan menyembunyikan
satu peristiwa bunuh diri di kantong belakang. menyalakan
kipas angin di sudut lain dan menggumamkan kematian yang
dingin. tidakkah pendingin ruangan, kipas angin, dan tape di
meja kasir juga bagian yang akan dijual dari dirimu?”
”termasuk yang ingin kau lupakan: peristiwa bunuh diri itu!”
”aku membawa pacarku ke dalam dirimu suatu petang,
berbelanja boneka anjing bermata besar dengan uang pas-
pasan, dan menemukan tulang rusukku di antara gigi depannya
yang runcing. aku memelihara omong kosong dengan
mengingat hari ulang tahun kakek buyut kita yang menghilang
dalam sebuah pertempuran. pacarku akan mengulang omong
kosong itu beberapa kali, dan mengutuk kesepianku. mungkin
kepada lelaki lain yang dia kencani.”
”aku terus melubangi pohon di halamanmu dan menjulurkan
sebelah tangan untuk membuka pintu. ada yang rebah tepat di
pintu masuk di suatu hujan badai dan menyadari dengan
terlambat: ayah kita di masa lalu pernah memangkas rambut
kita sampai botak di bawah rindang pohon itu.”
”kita besar dan menemukan diri tak lagi sesederhana bunyi
ketuk yang diwakilkan suara batuk atau desir air pembasuh
kaki itu. ibu bergegas turun dan menemukanku telah telanjang
dengan tubuh warna-warni.”
”kau seperti toko serba lima ribu!”



Perburuan

"aku bayangan anjing hitam di tepi danau itu, bayangan dari
matamu, ketika bulan penuh dan riak surut ke pusat denyut."
"hantu apa yang kau pelihara hingga terjaga sepanjang malam?
jangan melibatkan aku dalam pertempuran-pertempuran
sengitmu itu lagi."
"anak rusa yang aku buru telah masuk ke dalammu. tapi anak
panah setajam apa pun tak akan melukainya. hanya getar busur
itu juga yang akan tinggal padaku."
"aku terus memelihara bayangan anjing hitam di tepi hutan
raya itu. aku tak tahu, ketika air danau penuh, ia telah sampai
ke situ. mengejarmu."



Sajak Kota Tambang

"tak pernah aku merasa dawat mataku tumpah seperti ini untuk
mencatatmu. puisi ini puisi yang menangis. aku tak bisa
menangkapmu lebih jauh lagi. aku kehilanganmu, dan kota
tambang ini terlihat lebih menyakitkan dari atas sini."
"kau tegak berdiri di simpang itu, sementara aku larut di kelok-
kelok belakang. kau bisa memilih sementara aku dibawa
kembara tak tentu tujuan."
"aku telah membunyikan tambur di pagi buta dengan penuh
suka cita untuk mengusir kesepian hujan yang mengirisku di
bawah sana. berhentilah bersekolah sehari atau dua hari ini, aku
akan mengutarakan seluruh cita-cita dan tertidur mati. kau
boleh pergi ke manapun setelah itu."
"aku memasuki lorong-lorong itu dengan kaki yang luka. aku
membawa nyanyian televisi yang membuat ginjalku tambah
buruk, seperti suara kelelawar dan bau udara terkurung itu.
sementara kau ingin mendesakkan ke kepalaku sakit yang lain."
"aku ke rumah sakit sepekan berikutnya, dan mendapati dirimu
berenang-renang dalam tabung oksigen. aku terjerat selang-
selang infus, dan menggigit kabel-kabel pengeras suara yang
memperdengarkan ceramah agama setiap pagi sehabis jam lima."
"aku telah mencongkel mataku sendiri sebagai lampu atau
sebagai sarapan pagimu. tetapi surga dan neraka hadir bersisian
dalam surat kabar yang tiba tinggihari."
"aku sering kehabisan udara untuk bernafas. lorong dalam
dirimu begitu panjang dan jauh. kita merasa lebih baik
sendirian. kita mestinya memelihara jarak itu. melupakan cinta
yang perlahan membusuk di rabu."
"aku tak lagi percaya pada impianmu yang menggebu-gebu.
juga pada mata yang bercahaya di dalam sana. kita sebaiknya
memelihara omong kosong untuk merasa bahagia. kita tak akan
lagi bergairah memandang diri masing-masing."
"tubuh kita semakin hitam. udara terasa. kota tambang itu
semakin diam. aku dari atas sini, sudah bukan suamimu lagi."

Selasa, 17 Februari 2009

Dipandang Sebelah Mata

Dwi Fitria
http://jurnalnasional.com/

Hingga kini pendidikan sastra belum mendapat perhatian semestinya.

Ada beberapa bacaan wajib yang harus dibaca oleh para siswa sekolah menengah di Amerika. Selain Shakespeare yang tentu saja tak akan dilewatkan, karya-karya klasik semisal A Tale of Two Cities buah pena Charles Dickens, The Scarlett Letter karya Nathaniel Hawthorne hanya sedikit dari bacaan yang wajib dibaca para pelajar sekolah menengah berusia 12-18 tahun di sana.

Tahun 2007 American Library Association (Asosiasi Perpustakaan Amerika) bahkan punya ide untuk menyandingkan buku-buku sastra klasik itu dengan karya-karya sastra yang lebih kontemporer semisal Life of Pi karya Yann Martel, The Kite Runner yang ditulis oleh Khaled Hosseini, atau Night oleh Ellie Wiesel.

Ini mereka lakukan untuk terus memupuk minat baca para siswa, dengan pemikiran bahwa para siswa akan lebih mudah mendalami materi bacaan yang lebih berhubungan dengan kondisi zaman mereka.

Di Indonesia, kondisi pengajaran sastra yang kondusif seperti itu masih jauh panggang dari api. Jangankan memasukkan buku-buku pengarang mutakhir sebagai bagian dari kurikulum, karya-karya klasik semisal Bumi Manusia, Merahnya Merah, atau Harimau Harimau saja, belum menjadi bagian dari bacaan wajib para siswa sekolah menengah. Hingga saat ini, sastra belum juga mendapatkan porsi yang semestinya dalam sistem pendidikan kita.

“Kondisi ini memang sudah jadi masalah yang belum juga ditemukan solusinya. Sastra tidak diperhatikan karena masih saja banyak yang menganggap bahwa sastra itu kurang penting. Yang dipentingkan hanyalah hal-hal yang bersifat fisik saja. Padahal pendidikan bahasa dan sastra yang tepat akan memperkaya batin para siswanya,” ujar Dewaki Kramadibrata, mantan ketua Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Indonesia.

Tekanan Kurikulum

Kurikulum di Indonesia, telah beberapa kali mengalami perubahan mulai dari tahun 1950, 1958, 1964, 1968, 1975/1976, 1984, 1994, 2004 dan kemudian 2006. Pada tahun 1984 pelajaran Bahasa Indonesia, berubah menjadi pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Tetapi penekanan pelajaran ini masih berat “hanya” pada aspek kebahasaannya saja. Sastra seolah-olah menjadi tambahan, karena hanya diajarkan 2-3 jam perminggu.

Sementara kurikulum terbaru, kurikulum 2006, memberikan keleluasaan bagi para guru untuk mengembangkan sendiri materi ajarnya. Dalam kurikulum baru itu ada begitu banyak mata pelajaran yang dibebankan kepada siswa. Namun, porsi pendidikan humaniora seperti bahasa dan sastra harus bersaing ketat dengan mata pelajaran lain yang berhubungan dengan eksakta.

Endo Senggono, Ketua PDS HB Jassin mengatakan ada inisiatif untuk memasukkan materi-materi sastra yang lebih “segar” ke dalam kurikulum terbaru. Beberapa peneliti pendidikan kerap datang ke PDS untuk melakukan pengayaan terhadap materi sastra yang diajarkan.

“Sayangnya kemudian, semangat yang seharusnya bisa membawa perubahan ini dibenturkan pada sistem pendidikan yang berbasis pada Ujian Nasional yang sifatnya masih tersentralisasi,” ujar Endo. “Inisiatif untuk mengajarkan materi sastra dengan lebih menekankan pada apresiasi kemudian harus terbentur pada format ujian pilihan ganda yang hanya menguji pengetahuan teknis sebatas siapa yang mengarang apa, atau karya sastra ini diciptakan pada tahun berapa, termasuk pada angkatan sastra yang mana.”

Hal lain yang masih menjadi batu sandungan adalah kompetensi guru bahasa dan sastra Indonesia. Menurut Nur Zen Hae, seorang sastrawan yang cukup punya perhatian pada perkembangan pendidikan sastra, kebanyakan guru masih terpaku pada teori bahasa alih-alih apresiasi sastra sendiri.

“Contohnya jika memelajari esai, bukannya memperkenalkan esai sebagai bentuk tulisan, tapi malah menghapalkan bentuk-bentuk esai, semisal deskriptif, atau naratif. Atau puisi, karena kurang memahami bagaimana mengupas sebuah puisi, yang dibuat kemudian adalah musikalisasi puisi. Bahkan lebih parah lagi, pelajaran tentang itu bahkan dilewatkan begitu saja.”

Menghidupkan Apreasiasi

Dalam proses pendidikan guru di fakultas-fakultas keguruan, proporsi apresiasi sastra yang sesungguhnya merupakan salah satu bagian terpenting dalam pengajaran sastra, tidak sebesar hal-hal lain yang berhubungan dengan aspek linguistiknya. “Pelajaran-pelajaran semisal morfologi, sintaksis, metode penelitian punya porsi yang besar. Mata kuliah yang berhubungan dengan apresiasi sastra mungkin hanya sepertiganya saja,” ujar penyair yang saat ini menjabat Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta itu.

Sehingga untuk mengembangkan minat sastranya, seorang mahasiswa institut keguruan harus mencari di luar. “Jangan berharap terlalu banyak dari mata kuliah yang diberikan, pendidikan sastra yang kaya justru akan didapatkan jika aktif mengunjungi diskusi dan acara sastra yang kerap diadakan di kantung-kantung budaya semisal Taman Ismail Marzuki atau Utan Kayu.”

Sementara menurut Dewaki, agak kurang tepat jika kesalahan sepenuhnya ditimpakan kepada pendidik. “Guru pada dasarnya hanya mengikuti kurikulum yang berlaku.” Kurikulum saat ini masih lebih memberikan memberikan penekanan pada penguasaan teknis bahasa saja. “Proporsi untuk membedah sastra secara lebih serius memang diberikan, tapi kesannya bukanlah sebuah kewajiban. Boleh dilakukan boleh tidak.”

Apresiasi sastra bukannya tidak diusahakan, buku-buku pelajaran dengan menggunakan kurikulum 2006 telah memasukkan proporsi semisal analisis teks sastra. “Tapi tetap teks-teks yang dimasukkan amatlah panjang. Saya tak yakin siswa berminat untuk bahkan membacanya,” ujar Dewaki.

Selain itu pelajaran bahasa yang masuk dalam kategori humaniora masih harus bersaing dengan pelajaran eksakta. “Guru harus bisa memilah-milah waktu yang sedikit, dengan pelajaran-pelajaran lain di luar bahasa, yang proporsinya tidak bisa dibilang ringan,” ujar Dewaki. ”Jalan sastra sepertinya masih panjang untuk bisa menempati posisi yang seharusnya.”

Sastra di Antara Komoditas Ilmu

Theresia Purbandini
http://jurnalnasional.com/

Lembaga pendidikan formal yang seharusnya memayungi kegiatan pembelajaran sastra di Indonesia nampaknya mengalami stagnansi. Sunu Wasono, Kepala Lektor Fakultas Pengetahuan Ilmu Budaya Universitas Indonesia menguraikan sastra di tingkat sekolah menengah dihimpit oleh sejumlah mata pelajaran yang tidak dapat dikatakan sedikit.

“Lihat anak-anak sekolah sekarang, mereka tiap hari menggendong tas yang berisi buku ke sekolah sampai kelelahan. Mereka harus mengikuti mata pelajaran yang bermacam-macam hingga beban mereka berat. Akibatnya, mereka tidak dapat melahap karya sastra secara maksimal. Mereka harus berbagai waktu dengan mata pelajaran lain yang jumlahnya banyak,” ujarnya saat diwawancarai oleh Jurnal Nasional.

Menurut kritikus sastra Kris Budiman, kondisi pengajaran sastra sejauh ini sangatlah mengecewakan banyak kalangan seperti para sastrawan, pemerhati sastra, masyarakat, siswa dan bahkan juga kalangan guru sastra itu sendiri. Pendidikan sastra seakan terpinggirkan nasibnya menjadi komoditas yang kurang laku diperjualbelikan dalam pasar ilmu pengetahuan.

“Saya kira karena sastra, juga kesenian pada umumnya, dianggap tidak punya kontribusi apa-apa bagi pembangunan nasional yang berorientasi pada pembangunan fisik dan ekonomi. Asumsi ini masih berlanjut hingga hari ini. Sistem pendidikan di negeri kita semakin berorientasi pada industri atau sebagai bisnis pendidikan,” papar pria yang mengenyam latar belakang akademis di bidang Linguistik, Ilmu Sastra, dan Antropologi di UGM ini.

Bahkan dinilai oleh Sunu, pendidikan sendiri pun tak mendapat cukup tempat bagi pemerintah. “Sekarang (masa reformasi) pun sama. Ekonomi kita rontok dan orang lebih suka menyibukkan diri pada bidang politik. Di mana-mana orang berebut kursi dengan berbagai cara. Ijazah dibeli dan dipalsukan agar mendapat kedudukan. Ini semua merupakan tanda bahwa pendidikan diabaikan,” ungkap pria lulusan Sastra Indonesia UI ini.

Kurikulum Ideal

Kurikulum yang ideal menurut Sunu harus tetap terkait dengan porsi cukup untuk membaca dan mengapresiasi sastra. Membebani isi kepala siswa dengan teori bukan jawabannya. Menggiring siswa untuk terjun melakukan kegiatan bersastra dalam konteks yang lebih luas, akan membuat mereka lebih mudah akrab dengan dunia sastra.

“Jangan hanya aspek kebahasaan yang diberi porsi banyak, sedang sastranya tidak dijamah. Kalau dilihat dari kurikulum, pengajaran sastra di sekolah tidak lagi dijejali dengan teori dan hapalan ataupun pengetahuan tentang nama-nama pengarang dan judul buku. Di perguruan tinggi pengajaran sastra ditekankan pada pengkajian dan keilmuan, terutama di universitas yang nonkependidikan. Karya-karya yang dipelajari mencakup berbagai jenis, bukan hanya karya yang kanonik,” kata dosen sastra yang masih giat mengajar ini.

Sementara sejauh yang diamati oleh Kris Budiman, kurikulum pendidikan bahasa dan sastra hanya berubah pada tataran konseptual. “Konsep-konsepnya semakin canggih mengikuti perubahan sistem kurikulum general. Tetapi, implikasinya pada tataran operasional di dalam kelas tetap tidak ada perubahan sejak zaman baheula. Guru-guru bahasa dan sastra, juga guru menggambar, terkesan ndableg,” ujar pengarang buku Feminografi ini.

Sunu memandang adanya indikasi sastra agak dikesampingkan karena faktor kesulitan. Di sekolah, ada guru yang enggan atau kurang percaya diri kalau mengajarkan sastra. Mereka lebih "sreg" mengajarkan bahasa. Mungkin kondisi ini terkait dengan keadaan semasa guru itu menempuh pendidikan di universitas. ”Boleh jadi waktu kuliah mereka kurang mendapat materi yang memadai,” imbuhnya.

Suka Membaca

Menurut data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional 2004, guru SD Negeri yang tak kompeten mengajar sesuai bidang keilmuannya sebesar 45,2 %, sedangkan tingkat SMP sebanyak 35, 9%. Sama halnya dengan tingkat SMA yang mencapai 32, 8% dan SMK yang berada di prosentase 43, 3 %. Dari data yang ini, bisa ditarik kesimpulan, bahwa tingkat kompetensi guru di Indonesia memang cukup memprihatinkan.

Seperti juga dikemukakan dua pengajar sastra di perguruan tinggi di atas, kelayakan guru yang kurang valid cukup berkaitan dengan iklim sastra yang tercipta. Pencapaian yang mendekati ideal menurut Kris, peserta didik suka membaca buku dan mencintai bahasa apa pun, baik itu sastra atau bukan.

Sementara menurut Sunu, seorang guru dituntut tak pernah berhenti mengecap buku. “Banyak guru yang saya jumpai pengetahuan sastranya mengagumkan. Tidak semua guru tidak menguasai materi sastra. Guru bahasa Indonesia yang menjadi penulis, baik cerpen, puisi, novel, maupun esai banyak. Tapi saya yakin mereka tidak mengandalkan dari apa yang didapat semasa kuliah di IKIP atau universitas,” katanya.

CROWD dan Horizontalisasi di Dunia Sastra

Wahyu Utomo
http://jurnalnasional.com/

SEBUAH media ibu kota beberapa waktu lalu memuat sebuah artikel panjang mengenai fenomena “boom sastrawan”. Media itu menengarai munculnya para sastrawan dalam jumlah yang sangat besar dalam beberapa tahun terakhir. Menariknya, para sastrawan baru itu datang dari berbagai lapisan mulai dari pelajar SMA, mahasiswa, ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga, buruh-buruh pabrik, anak jalanan, pedagang pasar, dan sebagainya. Pokoknya semua kalangan, tak hanya para sastrawan kelas pujangga macam: WS Rendra, Danarto, Sutradji Calzoum Bachri, atau Putu Wijaya.

Fenomena munculnya para sastrawan andal dari berbagai kalangan dalam jumlah besar inilah yang saya sebut “horizontalisasi dunia sastra”. Walaupun media tersebut tidak menggunakan istilah tersebut namun fenomena yang ada di dalamnya persis sekali dengan fenomena “Horizontalisasi” yang saya gambarkan di buku saya CROWD “Marketing Becomes Horizontal”.

Tulisan itu dibuka dengan sebuah lead menggelitik sebagai berikut: “Lama sudah sastra menempati ruang sakral milik kalangan elite sastrawan yang menulis bak empu menempa keris. Ketika teknologi informasi kian canggih dan medan sosial makin terbuka, kini dunia penulisan mencair mengalami booming. Semua orang seperti keranjingan menulis, komunitas sastra bermunculan, buku-buku terbit, dan internet diramaikan puisi atau cerpen.”

Paragraf pembuka ini mencoba memberikan gambaran bahwa kini tidak zamannya lagi mencipta sebuah puisi atau cerpen hanya dimonopoli oleh kalangan elite sastrawan tertentu (sastrawan sekaliber Rendra atau Sutardji Calzoum Bachri) yang nyentrik, penyendiri, perenung, dengan karya-karya ”di menara gading”. Kini puisi dan cerpen juga bisa diciptakan oleh anak-anak SMA, remaja-remaja gaul, buruh pabrik, ibu rumah tangga, anak jalanan, hingga pembantu rumah tangga.

Selamat datang ”era demokratisasi sastra”.
Selamat datang ”era horizontalisasi sastra”.

Bagaimana revolusi dunia sastra ini terjadi? Biangnya adalah media sosial yang memungkinkan siapa pun kita bisa membicarakan, berdiskusi, membaca, dan menulis puisi. Media sosial itu bisa berupa komunitas-komunitas penggandrung sastra (contohnya di tulisan itu: Komunitas Bunga Matahari, Komunitas Lingkar Pena, dan sebagainya) juga media-media sosial seperti situs-situs Blogspot, Multiply, Worpress, Friendster, atau Facebook (sering disebut sebagai web 2.0 tools).

Dalam bahasa saya, para penggiat sastra itu membentuk “crowd” yang menjadi medium bagi mereka untuk belajar, bertukar pikiran, berdiskusi, dan akhirnya menghasilkan karya. Proses penciptaan karya sastra kini sudah tidak dilakukan secara sendiri-sendiri (merenung di pucuk gunung atau di pinggir pantai yang sepi) tapi melalui medium sosial seperti komunitas online atau situs jejaring sosial seperti Facebook untuk mengambil manfaat dari apa yang disebut sebagai “collective wisdom”. Ini yang namanya “crowdsourcing” di dunia kesusasteraan.

Karena dialog dan proses belajar di medium-medium sosial itu terbuka untuk siapa pun, makanya tak heran jika kini siapapun bisa menjadi sastrawan, persis seperti bunyi motto dari Komunitas Bunga Matahari seperti di sebut di tulisan tersebut: “Semua Orang Bisa Berpuisi”.

Dunia kesusasteraan kita rupanya tak luput dari “Tsunami web 2.0”, yang menghasilkan wajah dunia sastra kita yang “horizontal”, yang “demokratis”. Saya menyebut pelajar SMA, mahasiswa, anak-anak gaul, ibu rumah tangga, buruh pabrik, anak jalanan, pembantu rumah tangga yang memanfaatkan komunitas dan web 2.0 sebagai medium untuk menempa diri menjadi sastrawan andal itu sebagai: “Sastrawan 2.0”.

Yuswohady, MarkPlus Institute of Marketing (MIM), Penulis CROWD: “Marketing Becomes Horizontal”

Rabu, 11 Februari 2009

Ramadhan, Menikmati (Lagi) Puisi Ajamuddin Tifani, Sang Sufi dari Alam...

Raudal Tanjung Banua*
http://www.balipost.co.id/

RAMADHAN, saya pikir tidak harus berkutat sebatas kitab suci, tapi sesekali perlulah membongkar kembali koleksi buku-buku dan menikmati muatannya sebagai pesan ilahiah juga. Alhamdulillah, setelah memilih dan memilah beberapa buku, saya dapatkan buku puisi Ajamuddin Tifani, ''Tanah Perjanjian'' (Hasta Mitra-YBS 78, 2005) yang tebalnya hampir 300 halaman. Wah, ini klop, pikir saya, mencari-cari sembarang bacaan akhirnya dapat puisi sufi!

Ketika membuat catatan ini, tentu saja saya sadar sudah cukup sering karya-karya Ajamuddin Tifani dibahas, khususnya oleh sastrawan/ kritikus di Kalimantan Selatan, dan lebih khusus lagi dalam konteks nilai sufistiknya. Tapi tak apa, pikir saya, setidaknya saya menuliskannya selagi bulan Ramadhan, di mana pembacaan ulang atas puisi-puisi sufi Tifani terasa khas, kalau bukan aktual. Walaupun secara muatan, risikonya saya hanya sekadar mengulang. Maafkan.

Sembari membolak-balik buku hard-cover itu, saya terus bergumam: akhirnya, terbit juga buku puisi salah seorang penyair kuat dari Kalimantan, Ajamuddin Tifani (1951-2002) ini, setelah bertahun-tahun -- bahkan sampai akhir hayatnya -- hanya berupa manuskrip. Saya beruntung mendapatkannya satu; ketika berkunjung ke Banjarmasin beberapa tahun lalu, kolega almarhum, Y.S. Agus Suseno, Micky Hidayat dan Maman S. Tawie memberi saya kopian manuskrip itu, dengan harapan saya bisa membantu mencari penerbit di Yogya. Apa lacur, di negeri ini buku puisi belum menggugah nurani penerbit yang berbasis industri, seraya merujuk selera publik yang katanya tak doyan puisi. Untunglah, pertengahan 2006 saya dikontak Suseno: manuskrip itu akan terbit di Jakarta, berkat santunan kawan lama dikontak Suseno: manuskrip itu akan terbit di Jakarta, berkat santunan kawan lama almarhum, Tariganu. Maka, ''Tanah Perjanjian'' terbitlah.

Menikmati puisi Ajamuddin Tifani dalam buku ini, kesan pertama yang muncul adalah kekuatannya menggunakan citraan alam; dan kedua, upayanya membangun dunia transenden. Seperti sudah saya sebutkan, Tifani memang cukup lazim dikenal dalam ranah penyair sufi, terutama ketika kecenderungan aliran ''terekat puitik'' ini menguat sekitar tahun 1980-an.

Menurut Abdul Hadi W.M. dalam kata pengantar, Tifani sangat produktif bersama penyair segenerasinya seperti Heru Emka, Nyoman Wirata, Juardi Bisri, dan Raka Kusuma. Waktu itu, harian Berita Buana yang diasuh Abdul Hadi memang 'corong'-nya sastra sufi, menyusul lahirnya gagasan atau konsepsi seputar sastra sufi yang antara lain juga melibatkan Kuntowijoyo, Y.B. Mangunwijaya, Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi sendiri. Tentu kegairahan suatu zaman ikut mempengaruhi capaian estetik seseorang, sebagaimana tercermin dalam sajak Tifani.

Apa yang menarik dari sajak 'sufi' Tifani (kalau disepakati demikian), memanglah kemampuannya menggunakan citraan alam sebagai simbol atau jalan profetik seperti disinggung tadi, baik secara personal maupun kolektif (lingkungan sosial tempatnya tinggal). Yang personal, biasanya berupa bisik lirik permohonan (tapi bukan cuplikan doa); pengakuan, harapan dan pencarian (tapi jauh dari bentuk pengakuan dosa dan rintih putus asa) antara si aku lirik dengan Yang Maha Pemilik Alam. Yang kolektif terasakan dari gugatan terhadap simpul yang membuhul hajat hidup orang banyak, seperti institusi kehutanan, pengusaha kayu, penguasa, sampai rezim Orba dan arogansi Serbia di Sarajevo, tapi tidak jatuh sebagai sajak pamflet atau kutukan. Lewat citraan alam yang segar, semua itu berhasil ia tarik pada tataran reflektif.

Dengan demikian, dunia transenden Tifani adalah buah ''persetubuhan'' yang intens dengan alam, yang menyumbang tak hanya kosa kata natural seperti ricau unggas, daun basah, hutan-rimba, sungai, laut, tanah huma dan semacamnya, tapi menyatu dalam ungkapan dan bait segar, sekaligus kaya makna seperti dikutip secara acak dari beberapa sajak berikut: ''kudengarkan senandung batu, dalam rinai yang menampung jejak malam, melantun ke penjuru lembah, menghijaukan lagi lumutnya; jika ia daun, berilah gugur, berilah, agar tanah dapat menghimpunkan humusnya, restu dari luka-riangnya; sudah kutimang tandas-tikammu sedarah, sedarah sudah kubuai timpas-suburmu sepasir, sepasir sudah kuludahkan khuldimu setangis; maut menggesek tiap ranting, dengarlah suaranya berjalin dengan tiap suara, terima kasih, pagi yang bersuka.''

Kalau ada asumsi yang menyebut penyair sufi cenderung mengasingkan diri, lalu muncul dengan idiom yang sarat nama Tuhan, tak peduli streotipe atau verbal, itu tidak terjadi pada sosok Tifani. Di tangannya, sufisme justru sangat dekat dengan lingkungan alam dan sosial; sementara yang vertikal buah dari pergulatan horizontal, atau bisa juga sebaliknya. Tak heran, dalam sajak kontemplatif dengan subjek aku lirik misalnya, situasi sosial di tingkatan kolektif saja muncul tak terbendung, semisal dalam sajak ''Risalah Embun'' (hal. 182): ''inilah hamba yang ingin mengabarkan suara-suara cinta/ pada kepompong dan daun gugur, pada belukar impian/ dan putik bunga, pada padang luas dan angin pagi, pada auman badai dan jeritan burung-burung putus asa.'' Sebaliknya, dalam lirik-kolektif, suara aku-lirik tetap menyelip yang memberi aksentuasi puitis dan kritis pada suara bersama, simak misalnya sajak ''Risalah Darah'' (hal. 163): ''yang dikicaukan burung-burung pagi hari itu/ terbitkan sudah matahari pencerahan, yang olehnya/ tragika kemanusiaan kita terselamatkan/ Tapi bagaimana merumuskan sorakan berjuta-juta anak/ yang bermain rembulan dengan perut lapar?''

Situsi penciptaan semacam ini mungkin cocok dengan konsepsi ''relegiusitas sastra'' Y.B. Mangunwijaya. Lewat relegiusitas inilah Tifani menyuarakan keadaan masyarakatnya (termasuk dirinya yang gelisah); mulai dari rusaknya hutan Kalimantan (Mantuil, Murungpudak, Meratus), situasi kota kenangan (Banjarmasin, Kandangan), pertobatan dan refleksi dalam perayaan (Idul Fitri, Idul Adha, HUT kemerdekaan), sampai kepada bencana tsunami di Flores dan perang di Bosnia-Palestina. Berkat citraan alam, puisi-puisi Tifani terdedah dengan jernih, akrab dan dekat. Meski di lain waktu ia mencoba membangun imaji sureal tentang maut, hijrah, miraj dan dunia unik lainnya dalam khazanah sufi, tapi itu tetap hangat tersaji lantaran kepiawaiannya membangun 'jembatan' puitik, semisal lewat mantra, alam yang keramat, dan muatan lokal.

Sosok Ajamuddin Tifani

Memahami sosok Ajamuddin dan wawasan puitiknya, tentu dapat dilakukan lebih lanjut lewat 161 sajak alam buku ini. Setidaknya, dengan asumsi ini Abdul Hadi W.M. tak perlu menyebut bahwa salah satu kelemahan Tifani adalah 'ia jarang menulis esei dan kritik''. Seorang penyair, justru harus berbicara dengan puisinya; setidaknya, bukanlah suatu kelemahan jika ia tak menuliskan wawasannya dalam bentuk esei. Persoalannya mungkin akan lebih buruk bila seorang pengarang memaksakan diri menjelajah segala bentuk ekspresi seni, yang ternyata hanya mengantarnya jadi sekadar seorang 'budayawan'.

Apalagi dalam konteks Tifani, julukan seniman serba bisa sesungguhnya layak disandangnya, sebab ia juga melukis (sebagian dicetak di buku ini), pembaca sajak yang baik dan sebenarnya juga menulis esei (satu di antaranya tentang tassauf melengkapi Tanah Perjanjian) serta menulis cerpen (salah satunya ada dalam antologi Cerita Pendek Indonesia Jilid IV editor Satyagraha Hoerip); tapi puisilah skala prioritas Tifani. Ketimbang persoalan ini, kelemahan Tifani yang seharusnya ditelisik lebih jauh adalah kekurangcermatannya mengutip kalimat dan nama ayat Al-Quran, sebagaimana pernah diteliti seorang penyair Kalsel, Jamat T. Suryanata, yang juga diakui Abdul Hadi. Meski kalau dicermati, kadang Tifani sengaja mengubah kutipan, namun esensinya sama.

Kelemahan Lain

Kelemahan lain yang cukup mengganggu pada buku ini adalah kurang selektifnya pilihan sajak. Seharusnya puisi Ajamuddin Tifan dieditori ulang, tidak saja untuk menghindari persoalan teknis seperti salah cetak, penatan EYD atau ungkapan yang kurang tepat (perhatikan misalnya ''dianyam raungan ayam jantan''), termasuk membenahi nama surah dan kutipan ayatnya seperti disinggung di atas. Ini juga merujuk kenyataan bahwa tidak semua sajak Ajamuddin dapat dianggap kuat (sesuatu yang wajar dalam proses kreatif semua orang). Sajak-sajak periode awalnya yang relatif pendek dan sederhana, menurut saya hanya yang lebih kuat, ketimbang sajak periode akhir yang relatif panjang-panjang dan 'telanjang' (kurang mengeksplorasi citraan alam sebagai kekuatannya yang sejati).

Ketiga dokumentator -- Y.S. Agus Suseno, Micky Hidayat, dan Maman S. Tawie -- mestinya diberi kesempatan (atau menyempatkan diri) sekaligus sebagai editor. Lewat cara ini, puisi yang terpilih betul-betul yang kuat, dan buku ini pun akan sangat representatif. Sungguh pun demikian, dengan keadaan sekarang, buku ini jadi bernilai dokumentatif. Di samping semua puisi yang pernah ditulis Ajamuddin hadir full (mungkin masih banyak yang tercecer), juga disertakan esei dan surat tulisan tangan Ajamuddin, biodata lengkapnya yang ditulis Maman S. Tawie serta daftar kliping yang pernah memuat sajaknya. Pertanyaannya, sebuah buku, apakah hanya lebih bernilai dokumentatif, apalagi lantaran penyair/ penulisnya sudah tiada? Saya kira tidak juga. Sebuah buku yang baik (dalam arti selektif) dengan sendirinya akan bernilai dokumentatif, dan itu lebih esensial.

Tapi yang paling mengganggu dari semua itu adalah kehadiran penyantun yang kurang proporsional, baik peran, nama dan biografinya, maupun pengertian penyantun itu sendiri. Di cover depan misalnya, nama si penyantun, yang bernama Tariganu -- yang mengaku kawan baik Ajamudin -- tampil mencolok bersama nama penyair dan Abdul Hadi W.M. sebagai pengantar -- dua nama terakhir masih wajar. Tapi nama penyantun, adakah ia memiliki urgensi seperti itu, apalagi dengan font sebesar 'gajah'? Celakanya, di cover belakang bukan biodata Ajamuddin, tapi biodata Tariganu, sang penyantun!

Ada yang hilang dari ''Tanah Perjanjian'' sebagai sebuah 'proses panjang'. Editor yang berpayah-payah malah lenyap, di kolofon pun tak tercantum, tapi penyantun -- sebagai point yang kurang jelas posisinya dalam sebuah buku -- justru mencuri fokus. Tidakkah penyantun cukup santun dengan merasa terwakili Yayasan Bengkel Seni '78 yang bekerja sama dengan Hasta Mitra? Ah, puisi, engkau benar-benar diuji; tak dilirik penerbit industri, kurang pula ketulusan dari sedikit orang yang peduli -- meski penyairmu sudah mati! Marhaban ya Ramadhan, selamat datang ya ketulusan!

*) Penyair, Koordinator Komintas Rumahlebah Yogyakarta tinggal di Sewon, Bantul

Senin, 09 Februari 2009

Puisi-Puisi Abidah El Khalieqy

http://sastrakarta.multiply.com/
KERAJAAN SUNYI

Syair malamku
ke Sinai aku menuju
Tak terbayang kerinduan melaut
tak terpermai kesunyian memagut

Seperti bumi padang sahara
haus dan lapar mengecap di bibir
merengkuh mimpi saat madu terkepung lebah
kekosongan dalam tetirah

Padang padang membentang
melahap tubuhku tanpa tulang
dan kesana alamat kucari

Kerajaan Sunyi

2000



AKU HADIR

Aku perempuan yang menyeberangi zaman
membara tanganku menggenggam pusaka
suara diam
menyaksikan pertempuran memperanakkan tahta
raja raja memecahkan wajah
silsilah kekuasaan

Aku perempuan yang merakit titian
menabur lahar berapi di bukit sunyi
membentangkan impian di ladang ladang mati
musik gelisah dari kerak bumi

Aku perempuan yang hadir dan mengalir
membawa kemudi
panji matahari

Aku perempuan yang kembali
dan berkemas pergi

1991



PEREMPUAN YANG IBU

Perempuan yang ibu tak kan lahir
dari rahim bumi belepotan lumpur dan nanah
nurani berselubung cadar kegelapan
dan pekat bersama harapan
terkapar

Perempuan yang ibu lahir
dari buaian cakrawala
dari ukiran udara warna daun semesta
yang menyapa alam dengan bahasa mawar
atau kebeningan telaga

Tak ada matahari
luput dari jendela

1990



IBUKU LAUT BERKOBAR

Ibuku laut berkobar
gemuruhnya memanggil manggil namaku
di bukir purnama pepujian
berjalinan rindu memadat
menyala gelegak kasmaran
yang terus meruah
berkibar lembar gairah
mengiring bulanku singgsana
fitrahku kembali menghirup udara
dari persekutuan
embun baqa

Setetes cindramatamu
mengungguli istana seribu dewa
kuimani sudah

1989



SEKALI MATAHARIKU
DI TITIK ZENIT

Sekali matahariku di titik zenith
kabut memburai di pelupuk mata
tiupkan sang kala mengatom dunia
di atas inti materi
dan dzat ruh
kulangkahi serbuan yang lenyap
serentak melesat dalam gemuruh
tuntas dzikir
kembali kosong

Nol berhamburan
tetirah dari Kekasih

1988

DASA KANTA; Puisi-Puisi Bakdi Sumanto

http://sastrakarta.multiply.com/
DASA KANTA

1. TIKAR

Dengan tegas tegar
Kita menyatakan
Bahwa kita ini tikar
Orang-orang tua duduk berdoa
Orang-orang muda bercanda
Mudi-muda ciuman
Yang berselingkuh berdekapan
Dan berbadan
Pencuri menghitung curian
Koruptor berbagi hasil
Dengan kroni dan koleganya
Guru menilai pekerjaan siswa
Ahli bahasa mencari kesalahan karya-karya
Bayi-bayi ngompol
Balita-balita ek-ek
Penyair-penyair jongkok sambil ngrokok
Aktor-aktor latihan gerak indah
Pelukis-pelukis nglamun
Politikus cari akal mendepak teman seiring
Anggota DPR bikin rencana naikkan gaji
Dan studi banding ke luar negeri
Lalu, para penjudi membanting kartu-kartu

Kita ini tikar
Ketika datang kasur
Tikar akan segera digulung-gusur
Dibakar atau dibuang ke tong sampah
Dan dilupakan oleh sejarah

Oberlin, Okt 1986



2. HUJAN

Hujan tak turun
Ketika petani memerlukan air
Tetapi air tetap mengucur
Dari pori-pori tubuhnya
Membasah pada kaos
Yang sudah tiga hari
Tak dicuci air

Sekali air disuntak dari langit
Dan di sawah & ladang
Terjadi banjir-bandang
Matahari menyengat
Tapi hidup tak hangat
Sebab air setinggi leher
Hampir mengubur kehidupan

Ini siklus alam
Atau ulah "kebudayaan"
Tak pernah ada jawab
Apalagi tindakan
Untuk menjaga peradaban

Illinois 1986.



3. L’OMBRE

Barangkali yang paling nyata
Adalah bayang-bayang
Ketika janji tak pernah jadi
Ketika mimpi
Menemu senja di pagi hari

Mencintai bayang-bayang adalah solusi
Setia sampai mati pada bayang-bayang
Adalah jawaban
Untuk tak bunuh diri
Pada pagi dini
Ketika hari
Baru
Seakan
Abad baru
Kehidupan baru

Aku mencintaimu bayang-bayang
Dengan sepenuh hatiku
Sebab bayang-bayang
Menjadikanku
Nyata:
Bahwa hanya dalam bayang-bayangmu
Aku merasa ada.

Kyoto, 1987



4. SALJU

Salju mengingatkan dirimu
Di kamar sendiri
Menanti

Salju meratakan bumi dalam putih
Dan desah kehidupan
Terdengar
Di antara hampar
Salju
Tersandung sepatu

Matahari menyala
Di langit biru
Dingin menggigit
Sampai di kalbu

Dalam salju aku mengenangmu
Sendiri di kamar
Menunggu
Berita
Apa yang terjadi denganmu…

Beritanya:
Aku mengenangmu
Dalam salju

Cambridge, 1995



5. LANGIT

Langit biru
Tetap membisu

Bumi lebu
Tetap membisu

Rakyat kelu
Tetap membisu

Dalam dendam
Yang terus merajam
Dalam
Ketika yang harus diucapkan
Tak menemu kata
Sebab
Sudah dihapus dari kamus
Oleh para ahli bahasa

Pasar Minggu, 1969.



6. KUTANG

Selembar kutang
Tergantung di pemeyan
Kutang perempuan jenisnya
Kutang jawa identitasnya
Agak mambu
Tak terlalu menyengat
Adapun namanya:
Entrok
Begitu sebutannya.

Menghampiri kutang
Menghirup aromanya
Terkenang budaya Jawa:
Wasta lungset ing sampiran
Kain kusut di gantungan

Tapi siang itu
Embok memakainya
Dan dengan kutang itu
Ia bekerja keras
Menghidupi keluarga
Sedang suaminya
Masih ngorok di tempat tidur…

Entrok dengan ambu-nya yang khas
Bangkit melawan sang dominan
Sejarah yang tak ramah kepada perempuan.

Pati, 1991



7. UPA

Tiba-tiba
Mas Sarsadi merasa dirinya
Sebutir nasi:
Upa sebuatannya

Aku ini upa
Aku ini upa
Aku tak takut nuklir
Hanya takut ayam
Nanti saya dithothol
Aku tak takut tank
Aku tak takut panser
Aku tak takut bazooka
Aku tak takut metraliyur
Hanya takut ayam
Nanti saya dithothol

Hidup kita adalah upa
Tak usah nuklir,
Tak usah tank
Tak usah panser
Tak uysah bazooka
Tak usah metraliyur
Cukup seekor ayam kecil: kuthuk
Menothol upa
Tamatlah kita

Begitu sederhana
Begitu nrima
Begitu lega-lila
Dan begitu konyol

Kadisobo, 1985 (pamit ke USA)



8. KURUSETRA

Hyderabat merapat
Kepada senja
Dan lamput-lampu
Di Universitas Kurusetra menyala

Terbayang Abimanyu gugur
Kena kutuk panah seribu
Yang diucapkan diri sendiri
Kepada Utari
Di malam dalam kamar sendiri.

Terbayang Gathotkaca tersungkur
Karena Kuntawijayadanu
Senjata Karna

Terbayang Dursasana
Dirobek mulutnya oleh Bima
Yang melampiaskan dendam
Untuk Drupadi kakak iparnya

Kurusetra merekam dendam
Kurusetra melaksanakan penyucian
Kurusetra menjadi ajang pelaksanaan
Rencana rahasia para dewa

Hidup adalah
Juga ajang pelaksanaan
Rencana para dewa
Yang tersirat pada lembar misteri
Kita tak pernah bisa memeri
Sambil melangkah
Kita berada
Di antara mabuk & tahu
Dan tak pernah pasti

Hyderabad, 1996



9. KATA

Pada awalnya adalah bunyi
Yang dirangkai menjadi silabi
Dan dari silabi
Menjadi kata
Lalu menjadi sabda
Ketika di sana ada kehendak
Yang bertenanga

Dan tenaga
Berangkat dari niat
Dari dalam datangnya
Dari kesucian
Yang bersumber
Pada sunyi
Di dalam suatu kedalaman
Tak terduga
Suatu kejujuran
Ketanpamrihan
Juga keluguan

Tatabahasa
Hanyalah berkutat pada pengertian
Dan logika
Ia tak berurusan dengan tenaga
Yang berdaya sihir

Hanya puisi
Yang berawal dari mousike
Yang mampu membawa getar
Dan menggugah matahari bangkit
Sebelum waktunya…

Tetapi,
Siapa bersedia mendengar puisi
Tatkala telinga hanya menangkap sepi?

Kratonan, 1976



10. GEMPA

bumi gonjang-ganjing
selama hampir semenit
dan langit bersih membiru
tapi hari kecut-kemerucut
dan kelabu
kaki gemetar
pandang pudar
awan terlihat air

Ingatkan tsunami aceh
dan rumah-rumah berantakan
rata dengan tanah
orang-orang ke utara takut bah
takut muntahan merapi
yogya bagai kota Sodom dan gomorah
dikutuk karena terlalu banyak mall
menggusur sekaten
mencuekin bangunan kuna
kurang memperhatikan keris-keris pusaka
dan acuh pada para pendiri yogya
mencurigai kebatinan
dan mencampur-adukkan politik, uang
dan iman…

tiba-tiba hidup berubah tenda
nasi bungkus, selimut, air bersih
dan pembalut perempuan

apa artinya ini
kita tak tahu
yang jelas
kita menjadi faham
yogya tak hanya dikepung wayang
tetapi juga dikepung potensi lindhu
dan bahaya muntahan merapi

kita jug dikepung polusi
yang kita buat sendiri
kita juga dikepung sesak tempat
karena ulah sendiri

yogya tak lagi nyaman dihuni
karena setiap hari
diguncang gempa
adapun gempa itu
adalah gempa hati
gempa ruh
gempa pengangan hidup

dan gempa 26 Mei
adalah kumulasi
gempa
yang terus-menerus
diulang
dan terulang
serta berulang
bagai ritus kehidupan

2006

Minggu, 08 Februari 2009

Lintang Widodareni

Rita Zahara
http://oase.kompas.com/

Lintang Widodareni M.Hum menikah dengan Rangga Pakusadewo M.A. 15 Februari 2003 pukul 08.00 WIB. Kupandangi tulisan bertinta emas itu di atas kertas undangan berwarna coklat muda.

“Ehmmmm”, kucium kertas itu dalam-dalam. Aroma parfum menyegarkan menusuk saraf-saraf hidungku. Kututup mata, kulambungkan khayalan. Diam-diam aku menikmati angan-angan. Ya, angan-angan, yang sebentar lagi menjadi kenyataan. Angan-angan yang indah dan wangi seperti kertas undangan itu.

Rangga Pakusadewo, Mas Dewo aku memanggilnya. Akhirnya akan menjadi suamiku. Dulu aku nyaris berputus asa kalau aku tak kan pernah memperoleh laki-laki seperti dia.

Cerdas, kritis, tidak neko-neko, sederhana, dan tidak sombong. Entah apa yang bisa menyatukan kami, yang jelas kami punya kesukaan yang sama yaitu berdiskusi.

Bagiku ini keputusan yang terlalu cepat. Menikah, setelah kami saling kenal kurang lebih enam bulan. Selama itu pula tak ada ritual khusus bagi kami sebagaimana biasanya orang berpacaran. Kami bertemu jika ada forum diskusi di komunitas tempat kami bernaung. Selebihnya kami bisa bertemu di kampus, itupun dengan teman-teman. Sepenuhnya kusadari, ini keputusan yang teramat cepat. Kuyakini ini berhubungan dengan usianya yang beranjak setengah baya, 48 tahun dan ia anak satu-satunya keluarga Pakusadewo. Ya Tuhan garis hidupku kah ini untukku. Pikiranku jauh melayang, mencoba mencari makna semua ini.

Jabatan tangan, ucapan selamat, pelukan, ciuman pipi kanan pipi kiri sampai gurauan murahan terlontar untukku menjelang hari pernikahan. Saudara dekat, saudara jauh, teman, sahabat, kolega atau apalah namanya yang lain turut gembira mendengarnya. Ada nada gembira sepenuh hati, tapi ada juga yang mengajakku untuk berpikir rasional.

“Lintang, apa kamu gak salah milih suami kayak dia. Dia itu udah uzur. Sekarang kelihatan masih kuat, tapi tunggu satu sampai dua tahun lagi, pasti udah kayak kakek-kakek. Masih banyak daun muda yang menjanjikan, ada Bang Zai, Mas Koko, Uda Firman atau yang sebaya sama kita ada Penta, Surya, apa Suparno yang dari dulu ngejar-ngejar kamu, tapi kamu tolak mentah-mentah. Mereka itu gak jelek-jelek banget kok, paling gak mereka itu cukup enak dilihat lah. Lagi pula mereka punya karir yang bagus, dan saat ini mereka udah gak mau pusing-pusing milih perempuan. Katanya, asal mereka dapat perhatian cukup itu sudah lebih dari segalanya.

Kamu itu apa kualat sama Suparno makanya malah dapat perjaka tua, hanya gara-gara dia bilang pengin kamu supaya jadi wanito. Wani ditoto, perempuan yang bisa ditata, diatur sama laki-laki, trus kamu marah-marah kayak kebakaran jenggot sama dia. Enggak mau lagi denger suaranya yang masih medok logat Jawanya itu“, Rini sahabatku selalu mengatakan demikian dan selalu menganggapku membuat keputusan gila..

“Apa kamu kehilangan akal sehat? kamu itu jauh lebih muda, kamu itu kayak anak sama bapak. Lah, kamu itu beda dua puluh tahun, sedang berkarir, masih punya banyak keinginan ini-itu yang belum tercapai. Lah kok mau-maunya nikah sama bujang lapuk yang patut dipertanyakan segala-galanya. Biar gimanapun, laki-laki itu patut dicurigai, kalau sampai umur segitu belum menikah. Kalau gak homo, frigid, pedofilia, impoten, atau mengalami gangguan seksual lainnya, lalu sejak dulu itu kebutuhan biologisnya disalurkan kemana?” Bu Mirna yang sering jadi penasehat spiritualku tiada henti mengatakan itu padaku.

“Laki-laki itu kalau sudah terlalu lama hidup sendiri, sudah mati rasa. Maksudnya sudah gak ada gairah sama perempuan. Apa kamu gak takut, kalau sebenarnya dia bukan laki-laki normal. Apa kamu yang gak normal?” tanya Pak Joko yang sudah kuanggap sebagai bapak sendiri.

Mengapa mereka sephobia itu?, mengapa mereka selalu memberi harga mati untuk menilai orang seperti Mas Dewo. Apa mereka pikir usia adalah segala-galanya untuk menikah. Aaaahhhh, kutarik nafas panjang, sambil membuang letih yang sangat karena memikirkan jalan berpikir mereka yang begitu naif untuk menilai seseorang. Aku semakin tak peduli dengan segala macam komentar yang kerap kudengar jika bertemu orang-orang yang mengetahui rencana pernikahanku .

* * *

“Kepiwaianku tampil di forum diskusi adalah salah satu hal yang membuat Mas Dewo tertarik padaku. Di antara peserta diskusi, akulah yang dianggap paling dewasa menguraikan dan memecahkan masalah. Bicaraku yang ceplas-ceplos dan terkesan urakan dianggap sangat menyenangkan. Tapi entahlah, jalan berpikirku yang sederhana justru dianggapnya rumit dan filosofis.

Kulihat wajahku semakin berseri-seri menyambut hari yang kunanti. Beberapa orang teman menganggapku sudah tak tahan mau menikah, tidak dewasa mengambil keputusan, egois, bahkan ada yang mengatakan aku dipelet karena tidak rasional memilih Mas Dewo. Kututup telingaku rapat-rapat, yang ada hanya satu bunyi yang kudengar, yaitu suara orangtuaku yang menyetujui pernikahan ini.

* * *

Aku tak banyak mengundang orang. Hanya teman-teman terdekat saja yang kuundang. Tidak ada ritual khusus seperti biasanya orang menikah. Tak ada janur kuning, tak ada makanan yang enak-enak apalagi panggung hiburan. Akupun hanya berdandan sederhana. Aku terus menghitung waktu, dari detik, menit sampai ke jam. Dan seakan tanpa kompromi, jarum jam terus berputar.

Kulihat warna make-up di wajahku sudah memudar dibasahi keringat. Keadaan semakin memanas. Jantungkupun kian berdegub. Dan degubannya kian kencang.

Kulihat temanku Onanong Thipommol yang datang jauh-jauh dari Thailand sudah bermandikan keringat karena kepanasan menunggu kapan acara dimulai. Kulihat juga Mas Joko tukang bakso langgananku di kampus yang juga kuundang, tertidur pulas di kursi dan wajah-wajah lain yang memancarkan keresahan. Aku berusaha menenangkan diri, walau suasana semakin riuh.

“Kriiing, kriiiiiiing, kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiing”, suara telepon berbunyi panjang. Nyaring bunyinya mampu membuat sekelilingku terperangah dan tersentak. Aku bergegas masuk ke ruang tengah rumah. Kuangkat gagang telepon yang mulai rusak itu.

“Lintang, ini aku Dewo. Lintannngg”. Mas Dewo memutuskan pembicaraan dengan nada yang miris. Aku tak pernah mendengar suaranya seperti itu.

“Mas, Mas Dewo, ada di mana? Kita semua sudah menunggu?” Aku bertanya dengan kecemasan yang memuncak.

“Lintanggg…………….”, suaranya bertambah miris, aku semakin cemas sambil melambungkan hal yang terburuk kan terjadi saat itu.

“Lintang, aku masih di Malang. Aku, akuuuu….”, suaranya mengecil, nyaris tak terdengar olehku dan kulihat wajah-wajah cemas sekelilingku semakin bertambah.

“Mas Dewo, sebenarnya ada apa?” aku bertanya sambil berusaha tenang meski tak bisa rasanya kusembunyikan karena kuyakini ada sesuatu yang tidak diinginkan.

“Kita tidak jadi menikah, aku berkata jujur semalam pada orangtuaku tentangmu, keluargamu dan tentang kita selama ini, jadi maafkan aku. Akuuu…”

Belum selesai Mas Dewo bicara, aku melepas gagang telepon tanpa berdaya.

Langsung kering rasanya kantung air mataku, sehingga tak ada sebulirpun air mata yang jatuh. Aku terdiam, seakan berada di dunia lain yang tak pernah kutapaki. Entah ada berapa pasang mata yang menyaksikkan tragedi ini. Mereka hanya menjadi saksi. Saksi yang tak mungkin bisa mengubah keadaan saat itu.

Sejak dulu aku menegaskan padanya bahwa aku akan selalu dikecam, dimaki, dilabel atau apalah namanya oleh masyarakat. Meskipun Mas Dewo terkagum-kagum dengan riwayat hidupku, dengan perjuanganku sampai aku bisa menyandang gelar master humaniora di perguruan tinggi terkemuka. Ia harus tunduk oleh keputusan yang seakan telah disepakati bersama. Meskipun kini aku memiliki status yang cukup dipandang oleh sebagian masyarakat, aku tetaplah anak seorang pelacur dan seorang residivis.

Menurut cerita, ibuku menghilang entah kemana setelah mengetahui bapakku di tembak mati oleh polisi intel di Kali Jodo karena berusaha melarikan diri. Ia telah lama menjadi buronan. Saat itu aku baru berumur satu hari. Aku dibuang oleh ibuku di Kampung Pedongkelan. Aku ditemukan oleh Pak Tukimin di pagi hari saat bintang timur masih terlihat di langit. Saat itu ia ingin buang hajat besar di jamban Danau Ria-Rio. Bapak yang sederhana itu sekarang kukenal sebagai ayahku dan Ibu Ngatinem ibuku. Meskipun mereka selalu hidup dalam kekurangan, aku selalu diberikan yang terbaik oleh mereka karena mereka memberinya dengan cinta dan kasih sayang. Dari mereka aku belajar tentang hidup, agama, etika dan moral.

Suatu hari di saat wisuda sarjanaku, mereka memperlihatkan foto orangtuaku dan menceritakan siapa asal-usulku. Terbang ke langit lapisan ke sembilan rasanya saat itu setelah mendengar dan mengetahui darimana asal-usulku. Serasa aku diluluhlantakkan oleh sesuatu yang nyaris tak pernah kuduga. Seminggu aku mengurung diri di sebuah desa yang jauh dari keramaian. Aku merenungi garis hidupku. Aku berusaha bangkit dari keterpurukkan jiwa. Jiwa yang hancur berkeping-keping. Susah payah aku mengembalikan semangat hidup. Dan syukurlah semangat hidupku kembali, bahkan menggelegak.

Menurut Pak Tukimin, foto itu ditemukan dibawah ranjang ibuku. Keadaannya sudah lusuh kekuning-kuningan. Seorang wanita cantik berambut lurus panjang menggunakan sackdress sedang memegang sebatang rokok, duduk di bangku sofa dan menyilangkan kakinya dan seorang pria bertubuh kurus berambut model punk rock merangkulnya, ditangan kanannya memegang botol minuman. Anggap saja itu adalah bapakku. Karena ibuku memang tidak pernah diketahui siapa suami resminya. Yang jelas laki-laki yang ada di foto itu adalah yang terakhir bolak-balik di gubuknya yang dekat Danau Ria-Rio. Laki-laki itu sering dipanggil Fredi oleh ibuku, tapi kadang-kadang ibuku memanggilnya Komar. Dan kadang-kadang ada serombongan polisi yang mencari Udin dengan identitas yang sama seperti Fredi atau Komar itu. Yang jelas, warga Pedongkelan saat itu mengenal ibuku sebagai pelacur yang jika sedang tidak punya uang, suami tetanggapun diajak kencan walau hanya dibayar cukup untuk membeli nasi bungkus. Kadang tidak dibayarpun bersedia karena yang penting hasrat tersalurkan. Kebiasaan ini sudah menjadi candu, jika tidak berkencan kepalanya menjadi pening dan badannya terasa lemas.

Fredi atau Komar atau Udin, dikenal sebagai laki-laki yang pernah jadi buronan dan disembunyikan oleh ibuku. Berkat rayuannya yang begitu mantap, Fredi alias Komar alias Udin berhasil terselamatkan dari kejaran polisi. Sebagai balas budi, Fredi alias Komar alias Udin harus bisa menjadi tempat penyaluran hasrat ibu yang sulit terkendali. Hingga pada suatu hari saat mereka berkencan di gubuk, seorang tetangga yang sedang asyik mengintip mereka terpaksa memberi tahu kalau Fredi, alias Komar alias Udin sedang dicari polisi. Fredi tersentak lalu lari tunggang langgang, belum lengkap mengenakan pakaiannya ia langsung pamit pada ibuku, lalu pergi bersembunyi ke Kali Jodo.

Reni, Widodareni nama lengkapnya, meskipun sedang hamil selalu siap untuk dikencani. Entah sudah berapa banyak benih laki-laki yang betaburan di dalam rahimnya. Yang jelas aku tak akan pernah tahu terlahir dari pertemuan sperma dari laki-laki yang mana. Entah itu sperma supir truck, bandit, laki-laki hidung belang, om-om, kakek-kakek, anak ingusan atau laki-laki yang cuma sekedar mencari variasi seks karena saat itu ibuku terkenal sebagai pelacur yang permainannya cukup panas. Mendengar cerita dari orang yang pernah bermain dengan ibuku saja katanya mampu membangkitkan birahi. Yang lajang, yang beristri, yang tua, yang muda, tanpa banyak kompromi ingin segera mencoba.

Mereka penasaran karena menurut cerita, hampir semua laki-laki akan dibuat bertekuk lutut sebelum permainan selesai.

Cerita tentang pelacur Widodareni inipun baru kutahu dari Abah Yayat, sesepuh Kampung Pedongkelan yang saat itu menjabat sebagai Ketua RT. Ia tahu persis tentang kisah pelacur Widodareni, karena Reni sering membuat ulah. Reni yang sering jadi rebutan laki-laki terkenal dengan rayuannya yang begitu manis, cantik pula dan termasuk perempuan yang banyak digemari di kalangan laki-laki yang suka keberanian perempuan di atas ranjang. Tidak jarang terjadi pertengkaran di antara mereka hanya untuk memperebut waktu kencan bersama Reni.

Hari ini, 15 Februari 2003. Aku menyatakan diri bahwa aku tetap anak pelacur dan residivis. Pelacur Widodareni dan Fredi alias Komar alias Udin, residivis itu kuanggap saja sebagai bapakku. Aku menunggu entah sampai kapan hingga orang bisa melihat diriku seutuhnya sebagai Lintang Widodareni, yang menurut Pak Tukimin berarti Bintangnya Bidadari. Bukan Widodareni, pelacur Kampung Pedongkelan atau residivis yang entah siapa nama aslinyanya itu.

Jakarta Dalam Kontemplasi, November 2003 Menunggu Sahur

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati